"Tapi kamu bersedia menikahinya. Setidaknya, dia bisa menjadi pendamping hidup kamu. Lihat hidupku, kesepian tanpa seorang pendamping."
Bagas tertawa kering mendengar ucapan Delisa. Bagaimana bisa dia hidup bahagia sedangkan dia sendiri tidak pernah memiliki cinta untuk Anita?"Pernah dengar tidak, lebih baik hidup sendiri dari pada harus hidup dengan orang yang tidak pernah kita cintai."Delisa meringis, menggelengkan kepalanya perlahan."Tapi ada juga yang bilang kalo cinta bisa tumbuh dari kebiasaan. Iya kan, Gas?"Bagas tertawa miris. Memang ada kisah seperti itu, tapi entah kenapa dalam hatinya tidak pernah ada rasa cinta yang tumbuh secuil pun untuk Anita. Malahan, ketika melihat Delisa, rasa cinta itu mekar tak tertahankan dalam beberapa menit saja."Mungkin ada beberapa, tapi bukan aku salah satunya, Delisa."Delisa tertegun mendengarnya, melanjutkan makan tanpa berkomentar lagi. Betapa rumit kehidupan berumah tangga ternyata. Bukan sekadar jatuh cinta, menikah memiliki anak, sudah. Ternyata tidak sesimple itu. Banyak cerita unik bahkan aneh dari kehidupan berumah tangga seperti Bagas ini contohnya."Kamu hanya akan menderita jika hidup tanpa cinta dalam ikatan pernikahan, Sa. Ingat itu," ucap Bagas lagi.Delisa mengangguk, dia akan terus mengingatnya."Nanti aku antar pulang, Sa."Delisa yang sedang menelan kunyahan steaknya ingin tersedak. Tentu saja dia tidak mau."Nggak, Gas. Udah kubilang, aku nggak bisa pergi dengan lelaki beristri. Gas, aku bisa pesan taksi. Duduk denganmu di sini pun, sudah membuatku was-was. Apalagi, memboncengmu. Apa jadinya kepalaku? Bisa stress aku," tolak Delisa.Bagas hanya menghela napas. Dia menatap potongan steak yang sedang dinikmati oleh Delisa. Tinggal beberapa potong lagi dan itu akan menuntaskan pertemuannya dengan wanita cantik itu. Rasanya tidak rela."Aku mau ke utara, kamu bisa bareng aku, Sa.""Tapi aku mau ke selatan. Aku pindah tempat tinggal, Gas. Jadi, kita nggak bisa barengan. Udah, santai aja. Aku bisa sendiri. Aku biasa sendiri, kok."Betapa malu Bagas. Wajahnya memerah bagai kepiting rebus mendengar ucapan Delisa.Penyesalan kembali menyelinap di hati Bagas. Andai saja Bagas masih sendiri, tentu Delisa akan welcome padanya. Dengan mudah dia akan mendekati, bahkan Delisa akan menerima tawarannya untuk mengantar ke rumah seperti dulu lagi. Kandas sudah harapan Bagas mendekati cintanya semasa SMU."Ini semua gara-gara Anita!" geramnya lirih."Apa, Gas?" tanya Delisa yang mendengar samar kegeraman Bagas."Oh, nggak ada, Sa. Nggak ada apa-apa," sahut Bagas kikuk.Saking jengkelnya, nyaris Delisa mendengar umpatannya pada sang istri.Anita sialan! Dia wanita pembawa sial untukku!"Gas, udah malem, jam sebelas ini. Makasih atas traktirannya. Steaknya enak."Baru kembali kesal dengan Anita, Bagas dikejutkan dengan berakhirnya waktu. Habis sia-sia sudah waktu Bagas dengan Delisa."Sa, boleh aku minta nomor ponsel kamu? Ya ... kalo ada kabar reuni atau apa, bisa aku hubungi," kilah Bagas beralasan hanya demi mendapatkan nomor ponsel Delisa."Oh, boleh."Lega sekali hati Bagas. Delisa tidak mencurigai perasaannya. Dia dengan mudah memberikan nomor ponselnya ke Bagas. Menyodorkan barcode aplikasi hijaunya ke Bagas. Tanpa menunggu lagi, Bagas membuka ponselnya dan menerima scan nomor ponsel Delisa."Saved," ujar Bagas."Ya udah, aku pulang dulu ya, Gas? Udah malem ini, udah kenyang juga. Makasih atas semuanya ya, Gas?" ucap Delisa, agak malu karena setelah makan dia ingin pulang. Namun, memang tujuannya hanya itu ke cafe. Delisa meraih tasnya dan mengalungkan di lengan."Iya, sama-sama."Bagas hanya menatap Delisa dari belakang. Dia tidak bisa menahan Delisa. Terlalu tampak agresif dan Bagas yakin jika Delisa tidak akan suka dengan sikap seperti itu."Hati-hati, Sa. Aku anterin ke depan."Sigap sekali Bagas mengikuti Delisa dan menunggu taksi demi gadis itu. Padahal, sewaktu Anita melahirkan, dia tidak mau menungguinya. Proses melahirkan yang sangat panjang tidak diperdulikan oleh Bagas. Dia malah memilih kongkow bersama teman-teman sekantornya waktu itu."Nah, itu taksi aku udah dateng. Makasih banyak lho, Gas. Nanti kabar-kabar ya kalo ada reuni?" pesan Delisa sebelum memasuki mobil."Iya, kamu yang pertama aku hubungi kalo ada reuni, Sa."Kedua mata Delisa menyipit dengan senyuman yang memabukkan Bagas. Gadis itu masuk ke dalam mobil lalu, melaju meninggalkan Bagas sendirian di depan cafe.Tinggallah Bagas dengan rasa kesalnya. Pada siapa, tentu saja istri yang dia anggap burik itu.Padahal, saat itu Anita sedang mengganti popok bayinya yang menangis saat tidur karena popoknya basah. Setiap malam selalu seperti itu. Anita mengurusi bayinya sendirian.Sampai ketika tengah malam, Bagas pulang di saat Anita membuang pampers bekas anaknya."Baru pulang, dari mana, Mas?" sambut Anita."Itu bukan urusan kamu! Aku mau pulang jam berapapun, ini rumahku, kan?" sahut Bagas.Semula, Anita melupakan ucapan menyakitkan Bagas tentang anak mereka tadi. Sekarang, luka itu seolah diingatkan kembali. Anita memilih diam dan diam. Namun, rasanya terlalu sakit. Dia memendam perasaan sakitnya, asal tidak melihat Bagas bersama dengan wanita lain, Anita masih bisa bertahan."Apa kesalahanku begitu besar?" gumam Anita.Dadanya terasa sesak. Penyesalan yang seringkali datang itu sekarang kembali lagi. Upaya Anita masih belum berhasil membuat Bagas menoleh padanya. Memberikan cinta meski sedikit padanya. Anita mengatur napas yang mulai tersengal karena sesak di dada. Dia mengelus dadanya sendiri usai mencuci tangan.Bagas membanting pintu kamar. Ini lebih kasar dari biasanya. Anita merasakan perubahan dari diri Bagas. Namun, dia sendiri tidak tahu apa alasannya.Bayi mungil itu sudah kembali tertidur pulas setelah popoknya diganti dan menyusu. Hanya bayi itulah yang menguatkan Anita."Kamulah buah cintaku pada papamu, Nak. Hanya kamu yang membuktikan cinta mama pada papa kamu."Anita menyunggingkan senyum, menelusuri wajah bayinya yang mirip sekali dengan Bagas. Luka itu memudar dengan melihat bayinya saja. Dia mengelus pipi anaknya, menciuminya dengan lembut.Baru saja Anita memejamkan kedua mata, gebrakan di pintu membuatnya sangat kaget."Mana kopiku, Nita!" bentak Bagas.Anita harus bangun, tergopoh-gopoh mendatangi dapur. Pintu dapur sudah agak rusak karena ditendang oleh suaminya. Anita ketakutan."I-iya, aku siapkan dulu, Mas. Sebentar," sahut Anita dengan kedua tangan bergetar.Biasanya, kemarahan Bagas hanya sekadar diam. Membentak juga sesekali, tapi hari itu Anita merasakan keganjilan. Ini sudah keberapa kali Bagas melakukan sesuatu yang menyakitkannya.Anita melihat Bagas duduk dengan kesal di depan televisi. Padahal, saat itu dia sangat mengantuk karena memang sudah malam. Namun, Anita tidak protes."Mungkin dia lelah," gumam Anita, mencoba mengerti keadaan Bagas.Anita kira, kemarahan Bagas hanya sampai di situ, tapi ternyata tidak. Kopi yang dia buat dirasa terlalu panas di tangan Bagas saat menyentuh cangkirnya saja. Alhasil, tangan Bagas menampik cangkir berisi kopi panas itu hingga terjatuh dan isinya mengenai daster Anita. Tentu saja panas sampai mengenai perutnya. Anita meringis kesakitan."Kerasa kan panasnya! Makanya, jangan buatkan kopi terlalu panas untuk orang yang sudah kehausan!" bentak Bagas."Ambilkan aku air putih!"Tidak memperhitungkan rasa sakit Anita, Bagas malah menyuruh istrinya itu mengambilkan air putih dingin. Anita memungut cangkir yang terjatuh di lantai, yang untungnya tidak pecah berkeping-keping.Kemudian dia bergegas mengambilkan segelas air putih untuk Bagas. Bagas meminum air itu sekali habis, lalu meletakkan gelas kosong begitu saja di atas meja."Aku pergi keluar. Nggak bisa tidur!" ucap Bagas, bukan seperti orang berpamitan, melainkan lebih ke gerutuan.Anita hanya menghela napas, mengambil sebuah kain pel, lalu mengeringkan air yang tumpah mengotori lantai."Ya Tuhan, kuatkan aku.""Lancar, Om. Syukurlah tidak ada hal yang menghambat jalannya sidang tadi." Raut lega tampak dari wajah Laksono. Anita menyapu sekitar dengan pandangannya. Tadi, Anarita ada di depan, tapi sekarang wanita itu tidak ikut serta, padahal jelas-jelas dia menyambut kedatangan Anita tadi. Anita hanya pasrah, mengikuti pembicaraan Kendra dan Laksono dengan berpura-pura ikut tersenyum. Meski dalam hatinya ada yang mengganjal. Lega sekali saat Anita bisa keluar dari rumah itu. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana nantinya kalau menikah sementara waktu dengan Kendra. *** Waktu berlalu. Anita semakin fokus pada perceraian dan usahanya. Hubungannya dengan Rahma sang ibu juga semakin dekat. Dia banyak mendesign baju-baju selama tiga bulan itu. Hingga surat resmi perceraiannya pun tiba. Anita merasa sangat lega, sekaligus merasa cemas akan kehidupan selanjutnya. Masa iddah Anita dihabiskan di rumah dengan mendesign baju. Suatu ketika, seorang perempuan muda mendatangi ruko di mana Rahma sedan
Bagas terhenyak melihat layar ponselnya. Setelah sidang yang cukup menegangkan karena pertama kali Bagas melakoni sidang perceraian, dia sekarang melihat daftar panggilan yang banyak. "Delisa, kenapa ya?" gumamnya, melangkah ke parkiran. Bagas memencet nomor Delisa dengan wajah cemas. Tak lama, panggilan itu diangkat oleh seseorang. "Halo," ucap Bagas mengawali karena di ujung sana memang mengangkat teleponnya, tapi tidak mengucap sepatah kata pun. "Delisa, kamu kenapa? Tadi nelepon aku–" "Bagas! Kamu itu lagi ngapain? Nggak becus jadi suami anak saya? Delisa lagi sakit gara-gara hamil. Dia butuh kamu antar ke dokter, kamu malah lelet angkat teleponnya!" Gerutuan itu, Bagas yakin bukan Delisa, melainkan ibunya. "M-ma, maaf saya nggak tau. Lalu, Delisa ada di mana sekarang, Ma?" tanya Bagas. "Huh, pake nanya. Lagian kalo kamu tau dia ada di mana sekarang, kamu bisa ke sini dalam waktu berapa detik, hah? Untung kamu cuma pegawai. Kalo kamu dokter, apa nggak keburu mati itu pasie
"Kamu nggak kerja, Ken?" tanya Anita. Sejujurnya dia tidak enak hati dengan lelaki itu. Karena dirinya, maka Kendra harus meninggalkan pekerjaannya. "Kerjaanku bisa kutinggalin sebentar. Ada asisten yang menggantikan. Soal perceraian kamu, itu pun penting karena itu akan mempengaruhi masa depanku. Papa juga nyuruh aku mengawal kamu sampai selesai proses perceraian." Anita mengangguk. Dalam hati dia merasa campur aduk karena hari ini dia akan menjalani proses perpisahannya dengan Bagas, lelaki yang sangat dia cintai. "Bulatkan tekad kamu, Anita. Dia bukan lelaki yang pantas buat kamu."Anita menoleh pada Kendra. Dia meringis, kenapa Kendra bisa menebak pikirannya? "Iya," sahut Anita. Kendra mengemudikan mobilnya menuju ke pangadilan agama. Anita terdiam mengikuti alur perjalanan dengan diam, karena banyak pikirannya kala itu. Seorang istri, menggugat cerai suaminya. Antara sedih, kecewa dan kasihan pada anaknya yang nantinya tidak memiliki ayah. Anita melirik ke arah Kendra. Dia
"Kenapa tertawa, Bu? Bukannya normal orang hamil jauh-jauh dari suaminya?" tanya Bagas, mengulang ucapan Rosmini waktu itu."Iya, ada. Tapi, nggak lama seperti ini juga. Ya ... kita lihat aja bulan selanjutnya. Biasanya wanita ngidam di awal bulan. Bisa juga dia menjadi aneh dari awal bulan sampe bulan ke sembilan, sampe pas lahiran. Kamu dikuat-kuatin aja." Bagas terbelalak mendengar ucapan Tantri. Masa dia harus menahan diri sampai sembilan bulan? Bisa gondrong nganggur. "Bu, yang bener aja?" sungutnya, tiba-tiba hilang nafsu makannya. "Udah dibilangin, dilihat aja. Bukan ibu mau bilang pasti, tapi bisa jadi. Ibu cuma mau kamu bersiap untuk menyediakan sabar yang gede menghadapi ibu hamil," terang Tantri. Sebenarnya Tantri malah merasa aneh dengan kepergian Delisa saat ini. Tambah, dia juga merasa jauh dengan keluarga Delisa sejak awal mereka bertemu dalam acara lamaran. Rasanya ada yang tidak rela juga dengan pernikahan Bagas dan Delisa. Waktu itu, Tantri menepis perasaannya. D
Anita dan Kendra pulang ke rumah. Kendra masih saja menggendong Cia yang terlihat nyaman dalam pelukannya sedari di taman tadi. "Yuk, Cia ikut mama," ajak Anita mengulurkan kedua tangan ke arah bayi tiga bulan itu. Namun, Cia bergeming. Dia tetap ingin berada dalam gendongan Kendra. "Ayo, Cia. Om Kendra mau pulang. Dia ada banyak kerjaan," bujuk Anita. Anita mengambil Cia dari gendongan Kendra. Tidak disangka, Cia menunjukkan ekspresi sedih. Hendak mewek dengan bibir melebar dan kedua matanya tampak berkaca. "Udah, sana pulang dulu. Aku bisa atasi," desis Anita pada Kendra. "Beneran nggak apa-apa?" tanya Kendra dengan wajah khawatir karena sedikit lagi dipastikan Cia akan meledakkan tangis. "Iya, nggak apa-apa. Kamu kan banyak kerjaan pastinya. Iya, kan?" tanya Anita mendorong Kendra agar segera masuk ke mobilnya. "O-oke," sahut Kendra yang masih melekatkan pandangan ke Cia yang berharap digendong lagi olehnya. "Udah, buruan," desak Anita. Kendra mengangguk. Sebelum Kendra p
"Oh, jadi kayak gitu. Menuntut cerai, lalu dengan cepat gandeng dengan pria lain. Kamu, lelaki yang waktu itu, kan?" Kendra dan Anita menoleh ke sumber suara. Di sana, berdirilah Bagas yang sedang memakai baju kerjanya. Bagas hendak bertemu dengan klien di sebuah hotel dekat dengan taman, tapi saat berjalan dia melihat sepasang pria dan wanita sedang asyik di dalam taman. Semula, dia mendapat tempat parkir jauh dari hotel hingga harus membuatnya berjalan melintasi taman. Malahan, dia melihat pemandangan di dalam taman. Hati Anita masih bergetar saat melihat Bagas. Dia ingin menggelengkan kepala, tapi Kendra sudah berjalan menjauh, untuk mendekati Bagas. Anita menjadi gelisah melihat itu. "Kalo iya, kenapa?" tanya Kendra. Dua lelaki itu sekarang berdiri berhadapan. Bagas meletakkan kedua tangan di pinggang, tapi Kendra memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana dengan santai. "Kamu tau etika, nggak? Dia itu belum cerai. Kenapa kalian berduaan di sini?" tanya Bagas, menunjuk d
Bagas tidak menyahut lagi. Sebagai seorang lelaki, dia tidak ingin banyak berdebat. Selama ini, dengan Anita juga begitu. Jika ada sesuatu yang salah menurutnya, maka Anita hanya diam menurut. Isti memandangnya dengan pandangan aneh, mulutnya komat-kamit mengomeli Bagas yang ternyata di luar ekspektasinya. Bagas berjalan ke warung sore itu. Jarang, bahkan tidak pernah dia pergi ke warung setelah menikah dengan Anita. Karena itu, semua orang menatapnya dengan heran. Termasuk pemilik warung. "Oh, Mas Bagas. Kok tumben?" tanyanya. "Iya, mau beli beras dua kilo, Bu. Sama ayam sekilo aja," ujar Bagas tanpa menunggu pertanyaan lain dari mulut pemilik warung. "Oh, baik, Mas. Dua kilo, ya? Tumben banyak? Ada tamu, kah?" cecar pemilik warung.Bagas memutar kedua bola matanya. Kenapa orang-orang selalu mengurusi urusan orang lain? Dia malas sekali. Andai dia tahu akan jadi seperti itu, dia memilih berbelanja ke supermarket saja. Namun, dengan pertanyaan itu, dia penasaran juga bagaimana k
"Ambilkan nasi dan sayurnya buat Kendra, Nita," titah Rahma saat mereka sudah berada di ruang makan. "Eh, saya bisa ambil sendiri kok, Tante." Kendra meraih sendok nasi, segera mengambil nasi dan sayurnya sendiri. Rahma memperhatikan Kendra yang melakukannya secara mandiri. Anita juga bengong melihat itu. Kendra menatap keduanya dengan tidak mengerti. "Eh, kamu mandiri sekali, Kendra." Rahma takjub dengan pria macam Kendra. Kendra hanya tersenyum. Meski kaya, tapi sedari kecil dia selalu diajari soal kemandirian. Jadi dari kecil dia selalu melakukan hal-hal yang diremehkan lelaki, seperti mencuci piring. "Ya udah, aku ambilkan sayurnya aja," sahut Anita. Tangannya langsung mengambilkan sayur untuk Kendra yang menyodorkan piring berisi nasinya. Rahma melihat itu seraya tersenyum-senyum. Begitulah yang dia ingin lihat dari rumah tangga anaknya. Selama ini, dia belum pernah melihat pemandangan harmonis di rumah tangga Anita. Makan di rumahnya saja Bagas tidak pernah, apalagi meliha
Anita menyuapi dirinya sendiri dengan bubur yang dibawakan oleh Kendra. Mereka berdua makan sambil duduk di atas rerumputan. "Kamu nggak risih duduk di bawah sini?" tanya Anita sambil usai menelan buburnya. Kendra menoleh ke Anita dan terkekeh. "Risih kenapa? Manusia asalnya dari tanah kan? Nantinya juga pulang ke tanah. Rerumputan malah berada di atas tanah," sahut Kendra, merasakan segarnya rumput yang bersemi di musim hujan itu. Apalagi, mereka sekarang berada di bawah pohon besar dan teduh. Cia tertidur pulas di dalam strollernya. Nikmat sekali merasakan segarnya angin sepoi-sepoi di taman itu. Anita tersenyum mendengar sahutan Kendra. Rumah Kendra besar dan mewah untuk ukurannya. Tambah juga Kendra memiliki posisi tinggi di perusahaannya, tapi dia kagum pada kata-kata yang diucapkan oleh Kendra. Dia selalu merendah. Bahkan, mungkin orang-orang tidak tahu bahwa pria yang duduk di atas rumput itu adalah seorang pemilik sebuah perusahaan. "Kamu seharusnya bisa sombong dengan a