Share

Bab 4. Kuatkan Aku

"Tapi kamu bersedia menikahinya. Setidaknya, dia bisa menjadi pendamping hidup kamu. Lihat hidupku, kesepian tanpa seorang pendamping."

Bagas tertawa kering mendengar ucapan Delisa. Bagaimana bisa dia hidup bahagia sedangkan dia sendiri tidak pernah memiliki cinta untuk Anita?

"Pernah dengar tidak, lebih baik hidup sendiri dari pada harus hidup dengan orang yang tidak pernah kita cintai."

Delisa meringis, menggelengkan kepalanya perlahan.

"Tapi ada juga yang bilang kalo cinta bisa tumbuh dari kebiasaan. Iya kan, Gas?"

Bagas tertawa miris. Memang ada kisah seperti itu, tapi entah kenapa dalam hatinya tidak pernah ada rasa cinta yang tumbuh secuil pun untuk Anita. Malahan, ketika melihat Delisa, rasa cinta itu mekar tak tertahankan dalam beberapa menit saja.

"Mungkin ada beberapa, tapi bukan aku salah satunya, Delisa."

Delisa tertegun mendengarnya, melanjutkan makan tanpa berkomentar lagi. Betapa rumit kehidupan berumah tangga ternyata. Bukan sekadar jatuh cinta, menikah memiliki anak, sudah. Ternyata tidak sesimple itu. Banyak cerita unik bahkan aneh dari kehidupan berumah tangga seperti Bagas ini contohnya.

"Kamu hanya akan menderita jika hidup tanpa cinta dalam ikatan pernikahan, Sa. Ingat itu," ucap Bagas lagi.

Delisa mengangguk, dia akan terus mengingatnya.

"Nanti aku antar pulang, Sa."

Delisa yang sedang menelan kunyahan steaknya ingin tersedak. Tentu saja dia tidak mau.

"Nggak, Gas. Udah kubilang, aku nggak bisa pergi dengan lelaki beristri. Gas, aku bisa pesan taksi. Duduk denganmu di sini pun, sudah membuatku was-was. Apalagi, memboncengmu. Apa jadinya kepalaku? Bisa stress aku," tolak Delisa.

Bagas hanya menghela napas. Dia menatap potongan steak yang sedang dinikmati oleh Delisa. Tinggal beberapa potong lagi dan itu akan menuntaskan pertemuannya dengan wanita cantik itu. Rasanya tidak rela.

"Aku mau ke utara, kamu bisa bareng aku, Sa."

"Tapi aku mau ke selatan. Aku pindah tempat tinggal, Gas. Jadi, kita nggak bisa barengan. Udah, santai aja. Aku bisa sendiri. Aku biasa sendiri, kok."

Betapa malu Bagas. Wajahnya memerah bagai kepiting rebus mendengar ucapan Delisa.

Penyesalan kembali menyelinap di hati Bagas. Andai saja Bagas masih sendiri, tentu Delisa akan welcome padanya. Dengan mudah dia akan mendekati, bahkan Delisa akan menerima tawarannya untuk mengantar ke rumah seperti dulu lagi. Kandas sudah harapan Bagas mendekati cintanya semasa SMU.

"Ini semua gara-gara Anita!" geramnya lirih.

"Apa, Gas?" tanya Delisa yang mendengar samar kegeraman Bagas.

"Oh, nggak ada, Sa. Nggak ada apa-apa," sahut Bagas kikuk.

Saking jengkelnya, nyaris Delisa mendengar umpatannya pada sang istri.

Anita sialan! Dia wanita pembawa sial untukku!

"Gas, udah malem, jam sebelas ini. Makasih atas traktirannya. Steaknya enak."

Baru kembali kesal dengan Anita, Bagas dikejutkan dengan berakhirnya waktu. Habis sia-sia sudah waktu Bagas dengan Delisa.

"Sa, boleh aku minta nomor ponsel kamu? Ya ... kalo ada kabar reuni atau apa, bisa aku hubungi," kilah Bagas beralasan hanya demi mendapatkan nomor ponsel Delisa.

"Oh, boleh."

Lega sekali hati Bagas. Delisa tidak mencurigai perasaannya. Dia dengan mudah memberikan nomor ponselnya ke Bagas. Menyodorkan barcode aplikasi hijaunya ke Bagas. Tanpa menunggu lagi, Bagas membuka ponselnya dan menerima scan nomor ponsel Delisa.

"Saved," ujar Bagas.

"Ya udah, aku pulang dulu ya, Gas? Udah malem ini, udah kenyang juga. Makasih atas semuanya ya, Gas?" ucap Delisa, agak malu karena setelah makan dia ingin pulang. Namun, memang tujuannya hanya itu ke cafe. Delisa meraih tasnya dan mengalungkan di lengan.

"Iya, sama-sama."

Bagas hanya menatap Delisa dari belakang. Dia tidak bisa menahan Delisa. Terlalu tampak agresif dan Bagas yakin jika Delisa tidak akan suka dengan sikap seperti itu.

"Hati-hati, Sa. Aku anterin ke depan."

Sigap sekali Bagas mengikuti Delisa dan menunggu taksi demi gadis itu. Padahal, sewaktu Anita melahirkan, dia tidak mau menungguinya. Proses melahirkan yang sangat panjang tidak diperdulikan oleh Bagas. Dia malah memilih kongkow bersama teman-teman sekantornya waktu itu.

"Nah, itu taksi aku udah dateng. Makasih banyak lho, Gas. Nanti kabar-kabar ya kalo ada reuni?" pesan Delisa sebelum memasuki mobil.

"Iya, kamu yang pertama aku hubungi kalo ada reuni, Sa."

Kedua mata Delisa menyipit dengan senyuman yang memabukkan Bagas. Gadis itu masuk ke dalam mobil lalu, melaju meninggalkan Bagas sendirian di depan cafe.

Tinggallah Bagas dengan rasa kesalnya. Pada siapa, tentu saja istri yang dia anggap burik itu.

Padahal, saat itu Anita sedang mengganti popok bayinya yang menangis saat tidur karena popoknya basah. Setiap malam selalu seperti itu. Anita mengurusi bayinya sendirian.

Sampai ketika tengah malam, Bagas pulang di saat Anita membuang pampers bekas anaknya.

"Baru pulang, dari mana, Mas?" sambut Anita.

"Itu bukan urusan kamu! Aku mau pulang jam berapapun, ini rumahku, kan?" sahut Bagas.

Semula, Anita melupakan ucapan menyakitkan Bagas tentang anak mereka tadi. Sekarang, luka itu seolah diingatkan kembali. Anita memilih diam dan diam. Namun, rasanya terlalu sakit. Dia memendam perasaan sakitnya, asal tidak melihat Bagas bersama dengan wanita lain, Anita masih bisa bertahan.

"Apa kesalahanku begitu besar?" gumam Anita.

Dadanya terasa sesak. Penyesalan yang seringkali datang itu sekarang kembali lagi. Upaya Anita masih belum berhasil membuat Bagas menoleh padanya. Memberikan cinta meski sedikit padanya. Anita mengatur napas yang mulai tersengal karena sesak di dada. Dia mengelus dadanya sendiri usai mencuci tangan.

Bagas membanting pintu kamar. Ini lebih kasar dari biasanya. Anita merasakan perubahan dari diri Bagas. Namun, dia sendiri tidak tahu apa alasannya.

Bayi mungil itu sudah kembali tertidur pulas setelah popoknya diganti dan menyusu. Hanya bayi itulah yang menguatkan Anita.

"Kamulah buah cintaku pada papamu, Nak. Hanya kamu yang membuktikan cinta mama pada papa kamu."

Anita menyunggingkan senyum, menelusuri wajah bayinya yang mirip sekali dengan Bagas. Luka itu memudar dengan melihat bayinya saja. Dia mengelus pipi anaknya, menciuminya dengan lembut.

Baru saja Anita memejamkan kedua mata, gebrakan di pintu membuatnya sangat kaget.

"Mana kopiku, Nita!" bentak Bagas.

Anita harus bangun, tergopoh-gopoh mendatangi dapur. Pintu dapur sudah agak rusak karena ditendang oleh suaminya. Anita ketakutan.

"I-iya, aku siapkan dulu, Mas. Sebentar," sahut Anita dengan kedua tangan bergetar.

Biasanya, kemarahan Bagas hanya sekadar diam. Membentak juga sesekali, tapi hari itu Anita merasakan keganjilan. Ini sudah keberapa kali Bagas melakukan sesuatu yang menyakitkannya.

Anita melihat Bagas duduk dengan kesal di depan televisi. Padahal, saat itu dia sangat mengantuk karena memang sudah malam. Namun, Anita tidak protes.

"Mungkin dia lelah," gumam Anita, mencoba mengerti keadaan Bagas.

Anita kira, kemarahan Bagas hanya sampai di situ, tapi ternyata tidak. Kopi yang dia buat dirasa terlalu panas di tangan Bagas saat menyentuh cangkirnya saja. Alhasil, tangan Bagas menampik cangkir berisi kopi panas itu hingga terjatuh dan isinya mengenai daster Anita. Tentu saja panas sampai mengenai perutnya. Anita meringis kesakitan.

"Kerasa kan panasnya! Makanya, jangan buatkan kopi terlalu panas untuk orang yang sudah kehausan!" bentak Bagas.

"Ambilkan aku air putih!"

Tidak memperhitungkan rasa sakit Anita, Bagas malah menyuruh istrinya itu mengambilkan air putih dingin. Anita memungut cangkir yang terjatuh di lantai, yang untungnya tidak pecah berkeping-keping.

Kemudian dia bergegas mengambilkan segelas air putih untuk Bagas. Bagas meminum air itu sekali habis, lalu meletakkan gelas kosong begitu saja di atas meja.

"Aku pergi keluar. Nggak bisa tidur!" ucap Bagas, bukan seperti orang berpamitan, melainkan lebih ke gerutuan.

Anita hanya menghela napas, mengambil sebuah kain pel, lalu mengeringkan air yang tumpah mengotori lantai.

"Ya Tuhan, kuatkan aku."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status