BAB 30 – PERJUANGAN MIYAElang mulai menjalankan mobilnya keluar dari pelataran club, tempat dimana dia memarkirkan mobilnya tadi. Setelah sebelumnya berpamitan pada teman-temannya yang masih asyik menikmati malam di sana.Dengan Cindy yang telah duduk dengan cantik di kursi penumpang tepat di sebelahnya. Baru saja mereka berjalan tak lebih dari setengah kilo meter, rintik gerimis mulai turun membasahi jalanan yang tak begitu ramai."Maaf ya, Lang, malah jadi ngerepotin kamu," ucap Cindy dengan senyum simpul di wajahnya. Dinginnya AC mobil membuat dirinya sedikit merapatkan tubuhnya."Nggak apa-apa, kok, Cin, santai aja," jawab Elang masih menatap lurus pada jalanan di hadapannya yang mulai basah.Mendung menghiasi langit malam yang membuatnya semakin pekat dan gelap. Hanya saja sesekali terlihat kilat bercahaya di langit dari kejauhan, diikuti suara guruh yang terdengar agak jauh.Elang menyalakan wiper untuk menyingkirkan titik-titik air pada kaca mobil yang menghalangi pandangannya
BAB 31 – GUNJINGAN TETANGGA."Kenapa kamu bisa bilang kalau Mama benci sama Miya, sampai-sampai untuk jalan bareng aja nggak mau?" tanya Elang lagi dengan rasa penasaran yang kuat.Runa tersentak, dia menyadari kesalahannya karena terlalu banyak bicara. Tidak mungkin dia menjelaskan mengapa Mamanya begitu membenci Miya sejak dulu. Apalagi sampai pada titik dimana sang Mama tidak Sudi untuk hanya sekedar jalan dengan Miya."Aa-aah itu ...," ucap Runa dengan gugup, bingung mencari alasan apa yang harus dia katakan pada kakaknya."Kenapa kamu bisa bilang begitu, Dek? Jelasin ke Mas sekarang!" ujar Elang dengan sedikit memaksa.Beruntung di saat yang bersamaan, Olga datang dari dapur dan berjalan ke arah mereka."Kalian berdua ini ada apa, sih? Pagi-pagi udah ribut aja kayak kucing sama tikus," ucap Olga pada kedua buah hatinya.Runa sedikit bernapas lega, karena kedatangan sang Mama tepat pada waktunya. Dia tak mau lama-lama berhadapan dengan Elang dan terus disudutkan dengan pertanyaan-
BAB 32 – DICKY SI PEBINOR.Miya kembali ke rumah dengan hati yang remuk redam. Sakit dan perih kenyataan yang harus dia terima. Namun, dia mencoba ikhlas dan sabar menghadapinya.Nyatanya semua kesabaran yang sedang dia terapkan tak semulus bayangannya. Tatapan tajam penuh penghakiman terus tertuju pada Miya sepanjang jalan menuju rumahnya.“Dasar wanita nggak tahu diuntung. Bisa-bisanya dia selingkuhi suami sebaik Elang. Buta apa, ya, matanya?” ucap seorang wanita yang sedang menyapu halaman, sengaja mengeraskan suara agar Miya mendengar. Lirikannya penuh kebencian, membuat Miya menunduk ketakutan.“Rumput tetangga jauh lebih hijau, Bu. Makanya dia pengin makan daun muda. Ups,” sahut wanita lain yang mendengar sindiran itu. Seolah keceplosan padahal sengaja mengejek. Mereka tengah melakukan aktivitas yang sama yaitu menyapu halaman.“Perlu periksa mata kayaknya, Bu. Jelas-jelas rumput di rumah sendiri jauh lebih hijau, kok, masih mau nglirik rumput tetangga yang layu dan jelek. Ha ha
BAB 33 – KEMBALI KE KAMPUNGSekejap Miya terdiam. Dia tak tahu bagaimana caranya menjelaskan semua itu pada adiknya.“Nanti Mbak jelasin di rumah, ya. Ceritanya panjang. Yang jelas Mbak nggak selingkuh, semua itu fitnah. Tolong kamu jaga Bapak baik-baik, hari ini juga Mbak akan pulang, kamu tunggu Mbak, ya,” jawab Miya jelas. Semakin lama masalah ini dibiarkan, semakin besar dampaknya. Miya semakin resah dan tak nyaman. Namun, dia harus mengurus Bapaknya dulu. Sekarang orang tuanya jauh lebih membutuhkannya dari siapapun.Miya menutup telpon lalu menyiapkan diri untuk pulang kampung. Tas berisi beberapa baju serta keperluan sehari-hari pun tak lupa dia bawa.“Semuanya sudah masuk, sekarang aku harus cari bis untuk pulang kampung. Eh, tunggu. Aku belum izin Mas Elang. Bagaimanapun juga aku masih istri sahnya Mas Elang, aku nggak boleh ngulangin kesalahan kemarin. Bisa-bisa Mas Elang makin marah sama aku.”Miya mengambil ponsel lalu menelpon sang suami. Sayangnya sambungan telpon itu t
BAB 34 – BERTEMU PRIA ASING.Miya yang baru saja mau keluar kamar, langsung menoleh dan melihat seorang pria tampan berdiri di sisi jendela, melihat langit terang yang sudah dihiasi bintang malam."Ka—kamu siapa? Dan aku ada di mana?" tanya Miya bingung dan takut. Bahkan tubuhnya mundur, mengukir jarak di antara mereka. "Jangan takut … kamu aman di rumahku. Kenalkan ... namaku Zelo." Zelo mengulurkan tangan dengan semburat senyum ramah di wajahnya.Miya menatap Zelo dengan pandangan ragu, dia pun hanya mendiamkan tangan Zelo yang terulur meminta disambut. Zelo orang asing tak diketahui niat dan asal usulnya, Miya takut kalau Zelo punya niat buruk padanya.Zelo menarik kembali tangan yang tak bersambut itu, tapi dia masih bersikap baik dan sopan. Dia mengerti dengan yang dilakukan Miya. Miya pasti khawatir kalau Zelo akan berbuat macam-macam padanya.“Aku menemukanmu pingsan di jalan. Aku nggak tahu di mana rumahmu makanya aku bawa kamu ke sini.” Zelo menjelaskan alasan Miya bisa ada
BAB 35 – KEPERGIAN BAPAK. Miya menangis histeris, meraung meratapi kepergian bapaknya.“Bapak. Kenapa Bapak ninggalin aku secepat ini? Aku belum sempat membahagiakan Bapak. Maafin aku, Pak. Semua ini salahku. Aku minta maaf. Andai saja aku nggak pingsan tadi, aku pasti bisa lihat Bapak untuk yang terakhir kalinya. Aku minta maaf, Pak,” tangisan Miya sangat memilukan. Dia sangat terpukul menghadapi kenyataan buruk itu.Semua pelayat pun bisa melihat kalau Miya benar-benar sedih dengan kepergian bapaknya. Namun, tak ada yang berani mendekat, mereka tengah sibuk mengaji.Suara Miya sangat keras hingga terdengar sampai ke kamar ibunya—Sekar. Sekar yang juga syok dengan kematian sang suami, segera bangun dan berlari untuk menemui Miya.Tak lama datanglah Sekar saat Miya masih terduduk dengan lemas, menangisi kepergian bapak yang sangat dia sayang. PlakSebuah tamparan mendarat mulus di wajah Miya. Ibunya kesal bukan kepalang hingga reflek menampar anaknya.“Ini semua gara-gara kamu, Miya
BAB 36 – ELANG MASIH PEDULI.Elang enggan membalas pelukan yang Miya berikan. Tangannya terjuntai di sisi badan tanpa berusaha merengkuh tubuh istrinya. Ingin rasanya dia mengatakan bahwa dia masih marah dan kecewa terhadap Miya. Namun tak mungkin dia mengatakan hal itu di sini saat ini, terlebih banyak orang yang menatap ke arahnya."Lepaskan dulu, Miya. Nggak enak dilihat orang-orang, apa lagi sekarang kita ini lagi dalam keadaan berkabung," pinta Elang.Miya mengangguk mengerti, lantas melepaskan tubuh Elang dari pelukannya. Sisa air matanya masih membasahi pipi."Aku senang, Mas mau datang ke sini," ucap Miya sepenuh hati."Mas Wahyu, terima kasih banyak ya, sudah mau datang kemari," tutur Miya kali ini pada Wahyu yang diangguki oleh lelaki itu."Sama-sama, Miya. Kamu yang sabar, ya?!" Wahyu ikut berbela sungkawa atas meninggalnya ayah Miya. Dia tahu pasti tak mudah bagi Miya yang saat ini tengah mengalami masalah rumah tangganya ditambah dengan kehilangan sosok orang tuanya."Ya
BAB 37 – MEMBANTU ZELOMenjelang siang hari, masih banyak tamu yang datang untuk melayat, sekedar menyampaikan ucapan bela sungkawa atas meninggalnya Bapak Miya.Tak heran, sebab selama hidupnya. Ayahnya itu merupakan sosok yang dikenal baik dan juga ringan tangan untuk membantu sesama, terutama warga di sekitar mereka."Bahan makanan dan juga camilan untuk suguhan tamu sudah mau habis," gumam Bu Sekar."Kalau gitu, biar aku saja yang beli, Bu." Miya menawarkan diri. Tentu saja ibunya setuju, ini baru hari kedua, dan persediaan suguhan sudah mulai menipis."Aku berangkat dulu kalau begitu, assalamualaikum," pamit Miya sambil berjalan keluar."Wa'alaikum salam," jawab ibunya singkat.Tak butuh waktu lama bagi Miya untuk mencapai toko kelontong yang lumayan besar di daerahnya. Tak ubahnya seperti mini market di kota, toko ini menyediakan segala macam kebutuhan sehari-hari.Miya segera mengambil keranjang, dan memasukkan segala bahan makanan yang dia perlukan. Serta beberapa camilan.Saa