"Mas Yuda harus bertanggung jawab!" ujar tegas wanita itu dengan mata yang terus melotot.
Dengan mengenakan pakaian seksi dan minim membuat bentuk tubuhnya sangat kentara dengan perut besarnya."Tanggung jawab apa, Mbak?" Vhena memiringkan kepalanya."Ini anak Mas Yuda. Dia sudah menghamili ku beberapa bulan yang lalu, sekarang aku sudah mendekati HPL. Mana mungkin bayi ini lahir tanpa seorang ayah!" jelas wanita itu dengan nada tegas."Enggak mungkin, Mbak. Saya istrinya Mas Yuda," ujar Vhena tak percaya."Bilang pada suami mu itu, nama ku Netha. Satu tahun kami berhubungan dia selalu meminta tubuh ku. Tapi saat tahu aku hamil dia meninggalkan ku begitu saja. Ingat Vhena, jika Mas Yuda tidak mau bertanggung jawab, rumah tangga mu juga akan merasakan hal yang sama dengan apa yang aku rasakan. Ingat itu!" ancam wanita itu sebelum pergi meninggalkan Vhena yang mematung.Jantungnya berdegup kencang. Matanya tiba-tiba buram akibat genangan air mata yang hampir tumpah. Wanita itu terduduk lemas di lantai. Bulir bening mulai jatuh dan menetes ke lantai rumahnya. Vhena berusaha mencerna apa maksud dari perkataan wanita barusan.Rasanya seperti tertusuk lima puluh pedang di hatinya. Mengapa Yuda mampu menghianatinya. "Mas Yuda, kenapa kamu tega, Mas?!""Kenapa kamu jahat, Mas?!""Baru semalam kita bicara soal kehamilan. Tapi kenapa sekarang datang seorang wanita hamil yang mengaku hamil anakmu, Mas?""Apa yang sudah kamu lakukan, Mas?"***Hari sudah malam. Yuda sudah pulang dari kantor. Sementara Jheny berjalan menuju rooftop seorang diri melewati tangga darurat."Gimana?" bisik Jheny pada seorang wanita asing yang tengah hamil besar."Beres. Mungkin setelah ini Vhena akan meminta cerai dari Mas Yuda," jawab wanita hamil yang ternyata bernama Milla."Pintar sekali. Ini sisa bayaran mu. Pulanglah, kasihan bayi mu," ucap Jheny dengan memberikan sebuah amplop coklat pada Milla.***"Sayang, aku pulang!" teriak Yuda dengan berjalan masuk ke rumah sambil memanggil-manggil sang istri. Tetapi tidak ada jawaban."Sayang!" panggil Yuda lagi. Lelaki itu mencari Vhena ke dapur, ke ruang keluarga, ke halaman belakang tapi Vhena tidak ada."Kamu di mana, Vhena? Tidak biasanya kamu tidak menyambut kepulangan ku," gumam Yuda. Lelaki itu memutuskan untuk mengeceknya ke kamar."Sayang," panggilnya lagi dengan suara lembut.Namun kosong.Ranjangnya berantakan. Yuda mengerutkan alisnya tatkala melihat isi kamar dan istrinya yang benar-benar tidak seperti biasanya."Sayang kamu di mana, sih?" Yuda pun memutuskan untuk membuka toilet."VHENA!" pekiknya kaget ketika melihat Vhena terbujur lemas di bawah guyuran shower kamar mandi.Gegas Yuda melepaskan jas dan sepatunya lalu mematikan shower dan menggendong Vhena ke ranjang."What happen, Baby?" tanya Yuda.Lelaki itu terlihat khawatir sambil memeluk tubuh Vhena yang basah kuyup. Yuda terus mengusap rambut Vhena yang sangat basah itu."Say to me, Baby. Apa yang terjadi?" lanjut Yuda."Harusnya aku yang bertanya, Mas!" ketus Vhena."Ada apa, Sayang?" tanya Yuda."Siapa wanita yang sudah kau hamili itu?" tanya Vhena dengan tatapan tajam penuh selidik."Wa-wanita hamil?""Who is she?""Aku tidak pernah menghamili wanita lain, sayang." Yuda terperangah kaget mendengar pertanyaan Vhena."Jawab saja, jawab sejujur-jujurnya, Mas!" tegas Vhena."Demi Tuhan, aku tidak pernah menghamili siapa pun, Vhena. Aku ini suami mu!" ujar Yuda yang tak kalah tegasnya untuk meyakinkan Vhena."Tadi sore, ada wanita hamil datang ke sini dan mencari mu, Mas. Dia meminta pertanggungjawaban mu," jelas Vhena yang mulai mengecilkan suara."What! Wanita Hamil?" reaksi Yuda pun kaget setelah mendengar penjelasan dari Vhena dan dibalas anggukan olehnya."Aku akan pasang CCTV untuk berjaga-jaga jika wanita itu datang lagi, agar aku tahu siapa pelakunya," imbuh Yuda dengan memeluk erat Vhena.***"Morning, Mas," sapa Jheny dengan manja."Hari ini ada meeting untuk acara anniversary perusahaan kita, Mas," imbuh Jheny."Oh, oke," balas Yuda singkat."Kamu kenapa, Mas?" Jheny bertanya sembari menaiki meja kerja Yuda."Aku pusing. Banyak sekali berkas yang harus ku urus. Jam berapa meetingnya?" jelas Yuda sambil bertanya."Dua jam lagi. Kita masih punya waktu untuk bersenang-senang," goda Jheny. Ia lantas mengangkat salah satu kakinya ke atas kursi yang diduduki Yuda sehingga memperlihatkan bagian dalamnya."Oh, Baby. Ayolah, aku sedang pusing. Jangan sekarang," keluh Yuda geram."Dua puluh menit saja. Kau bersantailah, biar aku yang memuaskanmu," ujar Jheny sambil meraba dada bidang Yuda.Yuda tetap fokus pada berkas yang ia kerjakan. Akan tetapi, belaian Jheny semakin membuat l*b*donya naik. Benda yang ada di bawah pun seketika mengeras dan membuyarkan fokusnya. Dan terjadilah hubungan terlarang.***Tok..tok..tok!"Mas!"Terdengar suara Vhena di iringi dengan ketukan pintu. Dua insan yang masih sibuk berc*nt* itu pun kalang kabut memakai pakaiannya."Jangan di toilet!" ujar Yuda mencegah Jheny untuk bersembunyi di toilet."Loh, kenapa, Mas?" tanya Jheny panik."Sudah lah, di sini saja." Yuda menyuruh Jheny untuk bersembunyi di bawah meja kantor dengan berjongkok."Yang benar saja kamu, Mas!"Tok..tok..tok!"Mas, buka dong!" teriak Vhena lagi sambil terus menggedor pintu."Iya-iya, Sayang. I'm coming," balas Yuda sambil menekan kepala Jheny agar menunduk.Yuda membuka pintu. Ia melihat wajah jutek sang istri dengan kedua tangan yang dilipat di depan dada. Sepertinya Vhena sudah kesal. Dua kali ia menemui suaminya dalam kondisi pintu ruangan yang terkunci, padahal sebelumnya tidak pernah."Kenapa kamu gak ngabarin aku dulu? Sini masuk," tanya Yuda sambil merangkul bahu Vhena dan mengajaknya masuk."Kamu tuh jangan kebiasaan deh, Mas. Ngunci pintu tujuannya biar apa coba?" tanya Vhena kesal."Ya..kata kamu kan ini ruangan pribadi kita. Wajar dong kalau aku kunci rapat-rapat," jawab Yuda beralasan. Vhena lantas berjalan menuju kursi kebanggaan Yuda."Em..kita duduk di sini saja," cegah Yuda dengan menyuruh Vhena untuk duduk di sofa saja."Memangnya kenapa, Mas? Kamu gak suka istrimu ini duduk di kursi besarmu itu?""Bukan begitu, Sayang,""Bukankah aku juga berhak untuk duduk di sana, Mas?""Iya boleh dong, Sayang. Tapi kita ngobrolnya di sini saja. Lebih leluasa bukan?" bujuk Yuda. Vhena hanya menurut. Tapi ia tetap tidak bisa menyembunyikan kecurigaannya.Vhena mencurigai jika suaminya ada main dengan sekretaris barunya yaitu Jheny. Sebelum adanya Jheny di perusahaan mereka, Yuda tidak pernah mengunci pintu ruang pribadi mereka dengan alasan apapun.Ditambah lagi dengan kedekatan dan tatapan Jheny jika menatap Yuda. Mereka sama-sama seorang wanita. Jadi, sangat paham dari bagaimana seorang wanita menatap seorang pria."Kamu di rumah gimana, Sayang? Bosan ya?" tanya Yuda."Ya bosan lah, Mas. Kan kamu sudah larang aku untuk bekerja,""Ini demi kebaikan kita. Kamu sendiri minum obat dan susu promilnya, kan?""Aku minum terus kok,""Pintar sekali istri aku." Yuda langsung mencium kening Vhena. Wanita itu pun lantas terpaku dengan benda berwarna merah yang terdapat di atas meja kerja Yuda."Eh, Mas. Bentar deh, itu apa ya?" Vhena langsung bangkit dan beranjak mendekat ke arah meja kantor. Yuda yang melihat pun sedikit panik."Ada apa sih, Sayang? Sudah di sini saja, itu bukan apa-apa kok," cegah Yuda.Yuda juga melihat apa yang Vhena lihat. Benda panjang berukuran kecil dan berwarna merah milik semua wanita."Mas, ini lipstiknya siapa?" tanya Vhena sambil memegang lipstik merah tersebut.Parkiran Malam dan Sisa KeheninganUdara malam lembap, langit masih menyisakan warna biru tua di antara lampu-lampu kota yang berpendar. Restoran mulai sepi, hanya tersisa beberapa mobil di area parkir.Vhena berjalan di belakang Yuda, langkahnya pelan. Tumit sepatunya terdengar beradu lembut dengan lantai semen yang dingin. Ia menggenggam tas erat-erat, sementara pikirannya masih tertinggal di meja makan yang terasa terlalu sunyi tadi.Yuda menekan tombol kunci mobil, bunyi “klik” kecil terdengar.Ia tidak menoleh.Tidak mengulurkan tangan, tidak menunggu. Seolah jarak mereka kini bukan hanya beberapa langkah, tapi sudah dunia yang berbeda.Namun ketika Vhena hendak membuka pintu sendiri, Yuda tiba-tiba menahannya. Tangannya menahan pintu mobil.“Biar aku,” katanya pelan, nyaris tanpa ekspresi.Vhena terdiam sejenak. Sekilas, ia menangkap tatapan yang dulu begitu ia kenal, hangat dan teduh tapi kali ini kosong. Ia hanya mengangguk, lalu masuk ke dalam.Beberapa menit mereka diam di d
Malam mulai turun di langit kota, perlahan mengganti sisa cahaya jingga di balik jendela besar ruang direktur. Lampu-lampu di Wiratama Corporation mulai dimatikan satu per satu, menyisakan sinar redup dari lantai delapan, ruangan Yuda.Sejak sore, Vhena masih di sana. Duduk di sofa panjang di sudut ruangan, memperhatikan Yuda yang sibuk menatap layar, menandatangani dokumen, mengangkat telepon, dan berbicara singkat dengan tim bawahannya. Dia nyaris tidak menyapanya sejak tadi. Hanya menatap, seperti orang asing yang sedang mengingat wajah seseorang yang dulu sangat dekat dengannya.Yuda berbeda.Caranya berbicara kini lebih datar, caranya duduk pun tak lagi rileks di dekatnya seperti dulu.Sementara Vhena, kehamilan muda membuat tubuhnya cepat lelah, tapi yang paling terasa adalah perubahan di hatinya, mudah tersentuh, mudah merasa sepi.“Sudah selesai, Mas?” suara lembutnya memecah keheningan.Yuda baru saja menutup map tebal dan menaruh pulpen di meja.“Sudah,” jawab Yuda tanpa ban
Udara siang di depan gedung kantor itu terasa berat. Panas matahari memantul dari dinding kaca tinggi, membuat helm yang masih menempel di kepala Fikri terasa seperti tungku kecil. Ia turun dari motor, menenteng tas kain kecil berisi bekal, seperti biasa. Nama yang tertulis di nota pengantaran. “Untuk: Bapak Yuda Pradipta, Direktur Utama, Lantai 8.” Sudah hampir dua bulan ia rutin menerima pesanan itu dari Vhena. Dan setiap kali, ia selalu merasa ada sesuatu yang berbeda dari cara perempuan itu menitipkan bekal, selalu dengan nada lembut, kadang disertai senyum kecil yang kelihatan dipaksakan. Fikri menatap tas kain itu sebentar sebelum masuk ke lobi. “Siang, Mas Fikri.” Satpam yang sudah akrab, Pak Hasan, menyapanya. “Siang, Pak. Ini buat Pak Yuda, seperti biasa.” “Wah, istri setia ya. Tiap hari nggak pernah lupa.” Fikri tersenyum kecil. “Iya, Pak. Orang baik, Mbak Vhena itu.” "Langsung ke ruangan saja, pak Yuda ada di dalam," ucap pak Hasan. Fikri masuk. Ia kemudi
Lampu kamar hotel itu temaram, hanya tembaga kekuningan yang memantul di dinding. Asap rokok yang baru setengah padam di asbak masih mengepul pelan, menyatu dengan aroma tubuh dan parfum mahal yang samar. Di balik selimut putih itu, Yuda diam menatap langit-langit. Dada telanjangnya naik turun pelan, bukan karena lelah, tapi karena pikirannya yang tidak berhenti berputar.Jheny, wanita dengan rambut hitam terurai dan bahu polos yang bersandar di dadanya, memandangi wajah Yuda dengan pandangan samar. Ada sesuatu di mata laki-laki itu malam ini, bukan hanya amarah, tapi juga luka.“Kamu tumben, Mas,” bisik Jheny, jemarinya menggambar-gambar garis di kulit Yuda. “Kenapa nggak mau pulang?”Yuda menarik napas panjang, matanya tetap kosong menatap ke langit-langit. “Istriku hamil.”Jheny terlonjak kecil, suaranya meninggi refleks. “Hamil?!”“Iya.” nada Yuda datar, seperti ucapan yang sudah kehilangan rasa. “Tapi aku yakin itu bukan anakku.”Suasana kamar tiba-tiba berubah hening. Hanya terd
"APA? HAMIL?!" pekik Yuda. Ia sedikit tak menyangka jika istrinya hamil. Berarti progam hamilnya berhasil. "Betul, Pak. Dari hasil USG usianya kini sudah memasuki 7 minggu," jelas dokter kandunga yang memeriksa kondisi Vhena. Yuda kemudian masuk ke ruang IGD tempat Vhena di rawat. "Ini tidak mungkin terjadi, Vhena," ujar Yuda langsung saat tahu Vhena sudah sadar. "Maksud Mas Yuda apa?" tanya Vhena bingung. Rupanya dokter itu belum memberitahu Vhena. "Kau hamil, dan usianya sudah 7 minggu. 2 bulan kurang 1 minggu." Yuda menjelaskan sambil memberikan foto hasil USG Vhena. Wanita itu pun menerima foto tersebut dan tersenyum memandangnya. Ada sebuah lingkaran kecil di dalam foto tersebut, dan di dalam lingkaran itu terdapat sebuah gambar yang lebih kecil lagi. Vhena rasa itu adalah calon janinnya. "Jelaskan padaku?!" ujar Yuda dengan nada marah. "Jelaskan apa, Mas? Ini kan yang kamu mau?" tanya Vhena dengan mata yang berkaca-kaca karena terharu. "Aku tidak lagi menyentuhmu. Bagaiman
Satu bulan berlalu. Vhena sudah sangat bosan dengan kegiatannya di rumah yang hanya menonton televisi dan short videos di ponsel pintarnya. Rasanya ingin sekali ia mencari hal baru agar tidak bosan di rumah. Semenjak kejadian lipstik dengan pemilik gaib itu, ia tak lagi menemui Yuda ke kantor. Ia tidak ingin berprasangka buruk pada suaminya dan sekretarisnya yang bernama Jheni itu. "Mas, kamu mau kemana lagi? Ini kan sudah malam," tanya Vhena, melihat suaminya yang berpakaian rapi hendak keluar rumah. "Aku ada perlu dengan Bimo," jawab Yuda singkat. "Kamu baru saja pulang loh, Mas," "Ya memangnya kenapa? Ini urusan penting, Vhena," ujar Yuda dengan nada tegas. "Bukan begitu. Jika penting kenapa tadi tidak diselesaikan sekalian sebelum pulang?" "Sudahlah, aku pergi dulu. Aku akan pulang besok." Vhena menganga mendengar perkataan suaminya. Satu bulan terkahir Yuda sangat sering meninggalkannya sendirian hingga larut, bahkan tidak pulang. Yuda sudah jarang kembali ke rumah. Peker