Share

Istri gadai pria Milyarder
Istri gadai pria Milyarder
Author: Puji_Phu

bab 1

"Tolong, jangan lakukan ini.. Ku mohon, beri kami kesempatan lagi." pinta seorang gadis cantik seraya berlutut di hadapan pria tua dengan wajah berjanggut putih.

"Maaf kan aku, nak. Aku terpaksa harus menggusur tempat ini, hutang panti ini sudah sangat banyak dan lama menunggak. Aku tidak lagi bisa menunggu," kata pria itu dengan cerutu di mulutnya.

"Aku akan membayar nya, tolong beri aku waktu lagi."

"Tidak bisa, waktu mu sudah habis. Tapi aku bisa mengurungkan niat ku jika kau mau menerima tawaran ku sebelumnya,"

Luna Houzhen, wanita berusia 22 tahun yang tinggal di panti asuhan sejak bayi. Kedua orang tuanya sengaja meninggalkannya di sana, padahal Luna adalah gadis baik dan berparas cantik.

2 tahun lalu, pengurus panti asuhan memiliki hutang pada pria tua yang bernama Alexander itu. Tapi sayang, saat pengurus meninggal 1 tahun lalu dan hutang belum lunas juga, Luna sebagai penghuni panti tertua yang harus menanggung semua. Hutang, kebutuhan, dan banyak lagi.

"Lihat lah anak-anak ini, Luna. Bagaimana nasib mereka jika tempat ini rata dengan tanah dan berganti menjadi bangunan hotel. Takkan kau membiarkan mereka kehilangan tempat tinggal, bukan?" ucap Alexander. Luna menatap para anak-anak panti, hatinya begitu perih melihat wajah melas anak tak berdosa itu.

"Kau tidak perlu takut, putraku memang memiliki masalalu kelam. Tapi aku menjamin keselamatan mu, dia tidak akan memperlakukan mu sama dengan para mantan istrinya."

"Tapi tuan, jika aku menuruti anda, siapa yang akan mengurus mereka?" kata Luna dengan suara lembutnya.

"Akan ku carikan pengasuh yang baik, jangan fikirkan soal itu. Kau hanya tinggal menerima tawaran ku, itu juga kalau kau tidak mau kehilangan tempat ini." ancam Alexander.

Luna menundukkan kepala untuk mencari keputusan. Dia tidak mau kehilangan tempat itu, tapi dia juga takut jika harus menikah dengan putra CEO itu. Putra Alexander di kenal kejam dan dingin, sudah dua kali dia menikah dan mengalami kegagalan karena sifat kejamnya yang membuat keduanya enggan meneruskan pernikahan.

"Luna, apa lagi yang kau fikirkan? Percaya padaku," Alexander mengusap bahu Luna.

"Baiklah, ku terima tawaran anda. Tapi berjanjilah untuk mencarikan pengasuh yang baik untuk mereka,"

"Sepakat." balas Alexander dengan senyum tuanya.

Luna menghela nafas panjang, di antarnya Alexander keluar dari panti menuju mobilnya.

"Siapkan dirimu, akan ada yang menjemputmu besok." kata Alexander sebelum akhirnya dia pergi. Luna hanya bisa mengangguk lesu, dia benar pasrah dengan keputusannya itu.

Entah bagaimana nanti nasibnya saat menikah dengan putra Alexander. Mengingat namanya saja sudah membuat Luna merinding, apalagi harus menjadi istrinya.

"Ya tuhan, semoga keputusan ku ini benar. Tidak merugikan ku dan tidak juga merugikan anak-anak." batin Luna menatap mobil Alexander berlalu menjauh.

Luna kembali masuk kedalam panti, di lihatnya anak-anak yang jumlahnya tak lebih dari 20 orang dengan usia rata-rata tak lebih dari 10 tahun.

"Kak, apa kita tetap tinggal disini?" tanya seorang anak laki-laki bertubuh gemuk. Luna berlutut di hadapan para anak-anak yang menunggu jawaban darinya.

"Sayang, maafin kakak ya. Kakak bisa mempertahankan tempat ini, tapi kakak harus pergi." kata Luna mengusap wajah bocah gendut itu.

"Kakak mau kemana?" tanya anak perempuan dengan rambut ikal itu pula.

"Kakak ada pekerjaan, nanti kalian disini sama pengasuh baru. Kakak janji, kakak akan sering jenguk kalian."

"Kenapa kakak harus kerja? Kitakan bisa jualan bunga dan pernik buatan kita, kenapa kakak malah ninggalin kami?"

"Iyaa, kakak udah gak sayang kita lagi.."

Para anak-anak itu meringik menangis, Luna cemas melihat anak-anaknya menangisinya.

"Hei, bukan begitu. Kakak tetap sayang kalian kok, tapi kalian dengar kan apa yang di katakan bapak tadi? Kakak harus melunasi hutang, kalau tidak panti ini akan di sita dan di hancurkan. Kakak gak mau kalian kehilangan tempat tinggal, kalian ngertikan maksud kakak?" kata Luna menenangkan anak-anak agar tak lagi menangis.

"Benar kakak akan terus jenguk kami?"

"Benar, kakak janji."

Luna mengulurkan jari kelingkingnya tanda janji pada anak-anak, serentak para anak-anak itu juga mengulurkan kelingkingnya menerima janji Luna dan memeluknya. Luna sungguh terharu dengan anak-anak itu, sejak dulu panti adalah tempat paling ternyaman baginya. Sudah banyak orang yang ingin mengadopsi Luna dulu, tapi dia selalu menolak karena tidak mau meninggalkan pengasuh dan rumah terbaik baginya. Padahal para temannya sudah habis di adopsi dan hanya dia yang tersisa. Bahkan kini dia menjadi penerus pengasuh sejak pengasuh pertamanya sudah meninggal.

.....

Pagi ini, Luna berpamitan dengan anak-anak penghuni panti. Di sana juga sudah hadir pengasuh baru yang menggantikan Luna. Para anak-anak berkerumun memeluk Luna, entah kapan lagi mereka akan melakukan itu pada Luna.

"Aku titip anak-anak, ku harap kamu bisa mengurus mereka sebaik mungkin." kata Luna pada pengasuh baru itu.

"Kamu tenang saja, aku biasa bekerja di panti jompo. Mengurus anak-anak akan lebih mudah,"

"Terimakasih,"

"Aku Diana,"

"Luna," Luna menjabat tangan pengasuh baru bernama Diana itu.

"Aku sangat berterimakasih, kamu sangat baik mau menerima pekerjaan ini." ucap Luna.

"Senang bisa membantu mu, Luna. Seringlah datang berkunjung menemui anak-anak," balas Diana.

"Tentu, aku pasti akan sering datang."

"Nona, kita harus pergi. Tuan Alexander sudah menunggu," kata seorang pria bertubuh besar dan pakaian serba hitam yang menjemput Luna.

"Baiklah Diana, aku harus pergi. Aku titip mereka,"

"Jangan lupakan kami kak Luna,"

Mereka saling berpelukan untuk melepaskan Luna pergi dari panti. Di iringi dengan tangis anak-anak, Luna pergi melangkah menuju mobil. Kini Luna benar pergi meninggalkan panti dan anak asuhnya.

......

Rumah mewah dan megah dengan tiang tinggi menjulang nyaris menyentuh langit, cat tembok berwarna putih golden membuat kediaman Alexander tampak semakin terlihat menabjub kan.

Disini, di rumah mewah ini Luna akan memulai harinya. Entah menjadi nyonya, atau menjadi upik abu keluarga Alexander. Yang pasti, apapun itu akan Luna jalani demi menyelamatkan panti asuhan.

"Mari nona, tuan sudah menunggu di dalam." ajak pengawal itu setelah membukakan pintu mobil.

Luna mengikuti pengawal itu masuk kedalam rumah, pintu ber-ukir terbuka lebar dan menampakkan dua pelayan wanita yang membungkuk menyambut kedatangan Luna.

Luna yang kikuk hanya tersenyum membalas kedua pelayan itu dan terus berjalan mengikuti pengawal tadi.

"Luna, selamat datang.." sapa Alexander kala Luna tiba di ruang tengah. Luna mematung seketika melihat ruangan itu di penuhi para keluarga Alexander yang terdiri dari istri Alexander dan ketiga anaknya termasuk putra sulungnya.

Mereka menatap tajam pada Luna yang masih berdiri di ambang pintu ruang tengah, apalagi Luna hanya memakai pakaian sederhana.

"Kemarilah nak," pinta Alexander. Luna berjalan mendekati Alexander, semua mata mengikuti Luna. Tapi tidak dengan putra sulungnya, pria itu tampak cuek dan hanya fokus menatap layar ponselnya.

"Ini Luna, gadis yang sering ku ceritakan pada kalian. Luna, ini Sarah istriku." ucap Alexander memperkenalkan nyonya besar itu. Luna membungkuk memberi salam pada wanita berambut sasak tinggi dan bercat merah itu. Sarah hanya menyunggingkan sudut bibirnya tanpa membalas sapaan Luna.

"Dia tampak kampungan," kata putri kedua Alexander.

"Iya, penampilannya lucu dan aneh." sambung putri bungsu Alexander.

"Apa dia pantas tinggal disini?"

"Pantas dong, pantas jadi babu."

Kedua putri Alexander itu tertawa melihat penampilan Luna yang memang sangat sederhana.

"Samara!! Samantha!! Jaga ucapan kalian!!" bentak Alexander pada kedua putrinya.

"Luna ini akan menjadi kakak ipar kalian, dia akan menikah dengan Stevano."

"Hegh!! Aku tidak yakin wanita ini bisa menjadi menantu ku," sambung Sarah dengan bibir mengulas senyum angkuhnya.

"Kau juga, Sarah. Luna adalah pilihan ku, jika kau tidak mau itu urusan mu. Dia akan menikah dengan putraku, bukan putramu." balas Alexander membela Luna.

"Vano juga putraku, aku juga berhak memilihkan calon untuknya."

"Sejak kapan kau menganggapnya putra mu?"

"Jangan mengungkitnya, Lex. Bagaimana juga dia putraku!"

"Dia putraku!!"

"Sudah cukup!!" Stevano berdiri dan membentak kedua orang tua yang memperebutkan nya itu. Luna tersentak dan semakin menundukkan kepalanya karena takut dengan suara bariton Stevano.

"Hentikan omong kosong mu, nyonya Sarah. Kau bukan ibuku!" ucap Stevano tegas pada Sarah.

"Aku ingin bicara dengan ayah," Stevano berjalan melewati mereka semua. Alexander menatap Luna yang masih menunduk.

"Agatha.." panggil Alexander pada salah satu pelayannya. Tak lama seorang wanita dengan pakaian khas pelayan itu datang dengan tergesah. Dia membungkuk di hadapan Alexander tanda mematuhi apa pun yang majikannya perintah.

"Antar Luna ke kamar yang sudah ku siapkan," kata Alexander pada pelayan itu.

"Baik tuan," sahut pelayan bernama Agatha itu.

"Ikutlah dengannya, nak. Nanti akan ku temui kau," kata Alexander mengusap bahu Luna dan berlalu pergi.

"Kita belum selesai, Lex."

"Sudah ku selesaikan," sahut Alexander seraya berjalan mengikuti putranya.

Agatha mengantar Luna ke kamar yang di siapkan Alexander sejak kemarin, Sarah dan kedua putrinya menatap tak suka pada Luna. Bibirnya menyungging angkuh melihat Luna di perlakukan manis oleh Alexander.

......

"Apa ayah sudah gila?!! Apa yang ayah lakukan?" ucap Stevano dengan nada meninggi pada ayahnya.

"Ayah hanya ingin yang terbaik untukmu," balas Alexander.

"Aku bisa mencari pilihan ku sendiri, dia tidak akan sanggup dengan ku."

"Kapan kau menemukan pilihan mu? Hmmm!! Sudahlah Vano, coba saja dulu nikahi Luna. Dia gadis cantik dan baik, aku menyukainya"

"Dan aku tidak, ayah. Aku akan membunuhnya dalam waktu dekat ini!"

"Jangan gila, Vano!! Sampai kapan sifat keras mu akan hilang?! Kau sudah gagal berumah tangga dua kali, setidaknya rubahlah sikap kejam mu itu. Ayah ingin memiliki cucu, Vano."

"Ayah sudah bersusah payah membujuknya, sampai ayah harus mengancamnya dengan penggusuran panti. Sampai akhirnya dia setuju, jangan patahkan impian ayah, Vano."

"Terserah ayah, tapi jika nanti dia mati jangan salahkan aku. Tapi salahkan diri ayah sendiri, membawa wanita lemah untuk di jadikan umpan sang harimau." ucap Stevano seraya meninggalkan ayah nya sendiri. Alexander terdiam mengelus dada melihat putranya, entah darimana dia dapat sifat kejam itu. Padahal almarhum ibunya dulu sangat baik, bahkan Alexander yang tegas pun tidak pernah menyiksa wanita. Entah itu suatu kutukan atau memang takdir memiliki putra yang tempramental.

.....

Luna membereskan pakaiannya ke dalam lemari kaca yang besar dan cantik. Pakaian lusuhnya tampak usang berada di lemari besar itu.

"Hahh.. Astaga, lemari ini bisa menyimpan pakaian anak-anak panti. Pakaian ku masih bersisah ruang lebih," gumam Luna menaruh baju terakhirnya dalam lemari.

"Kamar ini, sama besarnya dengan panti. Ya tuhan, bagaimana bisa ada orang se kaya ini." Luna mendaratkan bokongnya di ranjang empuk berseprei putih bersih itu.

"Sekarang aku harus apa? Tuan Vano tidak akan menyukai ku, jika aku tewas di tangannya nanti ku harap akulah korban terakhirnya. Jangan lagi ada korban selanjutnya,"

Tok tok tok

Luna berjingkat kaget kala pintu kamarnya di ketuk, dengan cepat dia melompat dari ranjang dan segera membukakan pintu.

"Nona, anda sudah di tunggu di kamar tuan muda Stevano." kata pelayan lain, bukan Agatha. Pelayan di rumah sebesar itu tidak mungkin hanya satu.

"Emmm, baiklah." sahut Luna. Pelayan itu membungkuk dan pergi. Luna menutup pintu kamar dan segera menemui Stevano.

"Ohh astaga, kenapa tidak ku tanyakan dimana kamar nya, ckk.." bisik Luna kesal dengan dirinya.

"Hahh.. Ada banyak kamar disini, yang mana ya kamarnya.." Luna berjalan perlahan mencari kamar Stevano. Dia harus menerka dari sekian pintu kamar yang ada di lantai dua itu.

"Luna, apa yang kau cari?"

Luna berbalik mendapati teguran, disana dia melihat Alexander baru keluar dari salah satu ruangan, mungkin itu kamarnya.

"Emm, aku mencari kamar tuan Stevano. Dia memintaku untuk menemuinya," sahut Luna.

"Begitukah?" Alexander mengeritkan keningnya, Luna mengangguk menyahuti pria itu.

"Ikuti aku." pinta Alexander.

Alexander berjalan mendahului Luna agar bisa di ikuti wanita itu.

"Untuk apa dia meminta mu menemuinya?" tanya Alexander.

"Entahlah, salah satu pelayan yang mengatakannya tadi." balas Luna. Alexander mengangguk saja, dia berhenti di depan sebuah pintu besar dengan cat hitam polos. Pintu yang berbeda dari pintu lainnya.

"Ini kamar Vano, pintu ini penanda kamar ini miliknya. Kau lihat kan perbedaannya?" kata Alexander. Luna mengangguk.

"Baiklah, temui dia."

"Emmm, tapi tuan-"

"Jangan takut, dia tidak akan melakukan apapun padamu. Masuklah, nak."

"Terimakasih, tuan."

Alexander tersenyum membalas Luna, dia pergi membiarkan Luna sendiri berhadapan pada putranya. Dia yakin kalau Stevano tidak akan melukai Luna, entah kenapa dia memiliki firasat baik pada wanita cantik itu.

"Aku yakin Vano akan luluh pada kebaikkan Luna," batin Alexander seraya berjalan menuruni tangga.

Luna menarik nafas panjang sebelum mengetuk pintu, jantungnya berdebar hebat. Rasa takut mulai menyelimuti dirinya sampai tubuhnya mulai mengeluarkan keringat dingin.

"Tuhan, lindungi aku. Jika aku harus mati hari ini, ampuni semua dosa ku." batin Luna memejamkan mata. Di buangnya nafas kasarnya dan dengan yakin dia mulai mengetuk pintu.

Tok tok tok

Ceklek..

"Permisi tuan, anda memanggil?" sapa Luna setelah pintu terbuka dan menampakkan Stevano tengah berdiri di dekat jendela. Luna masih berdiri di ambang pintu tanpa berani masuk sebelum Stevano memintanya.

"Kemarilah," ucap Stevano tanpa membalikkan badan. Luna menuruti, di tutupnya kembali pintu itu dan berjalan mendekati si beruang kutub itu.

"Luna Houzhen, kau yakin mau menikah dengan ku?" tanya Stevano berjalan mendekati Luna yang berdiri dekat ranjang.

"Maafkan aku, tuan. Tuan Alex memaksa ku," sahut Luna dengan suara gemetar dan tetap menunduk.

"Memaksa? Kenapa kau menerima paksaannya, hmmm?" Stevano menunduk menatap wajah Luna yang tampak sekali menahan rasa takut.

"Aku, a-aku, ingin menyelamatkan panti. Tuan Alex mengancam akan menggusurnya jika aku tidak menuruti,"

"Aaa.. Begitu??"

"Baiklah, Luna. Itu artinya kau harus siap dengan segala perintah ku! Kau pasti sudah dengar bagaimana aku, kan?"

"B-baik, tuan."

"Tatap aku saat bicara, Luna!!"

Aaahhh...

Luna memekik kala tubuh nya terhempas di ranjang karena dorongan Stevano, bahkan pria itu juga mengungkungnya dan menatap wajah cantik Luna.

Deg Deg..

Stevano tertegun melihat kecantikan natural Luna, bola mata berwarna hitam pekat, hidung mancung dan dagu runcing serta bibir mungil berwarna pink muda.

Stevano tak berkedip menatap Luna di bawah kungkungannya, bahkan jantungnya pun terasa begitu kencang berdetak bersamaan dengan desiran darah yang mengalir melewati setiap urat nadinya.

"Ehmm.. Tuan, maaf." ucap Luna menggerakkan tubuhnya agar terjauh dari kungkungan Stevano.

Stevano mengerjapkan matanya menyadarkan diri dari keterpanaannya pada wanita ini. Dia beranjak dari ranjang menjauh dari Luna. Luna juga menegakkan tubuhnya dan segera turun dari ranjang empuk milik Stevano.

"Keluarlah," kata Stevano membalikkan badan dari Luna. Luna mengangguk dan cepat-cepat keluar dari kamar itu. Stevano berbalik menatap Luna yang sudah menghilang di telan pintu. Di usapnya dadanya yang masih berdetak dan menghela nafas panjang.

.....

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Iin Romita
Arhhhh... Awas ya Stevano... mulai dari pandangan mata turun ke hati. .
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status