Share

KAMBUH

“Mas!”

“Apa yang kamu lakukan, Nayla? Kenapa kamu kasar?”

Fery membantu Santi untuk berdiri sedangkan Nayla terus menggeleng karena ia merasa tidak melakukan apa pun.

“Mas, aku tidak melakukan apa pun. Itu Santi sendiri yang jatuh.”

“Tapi Mas lihat sendiri kamu mendorong Santi.”

Nayla dibuat melongo, ia tidak Salah dengarkan? Tadi Fery benar-benar menuduhnya?

“Mas nuduh aku mendorong Santi?” tanya Nayla dengan sedikit tidak percaya.

“Mas bukan menuduh, tapi Mas Ngomong kaya gini karena melihat sendiri. Kalau Mas tidak melihatnya, Mas juga tidak akan ngomong seperti tadi.”

Siska tiba-tiba datang, membuat suasana semakin tidak terkendali lagi.

“Ada apa ini? Fery kenapa dengan Santi?” tanya Siska seraya mendekat pada Santi.

“Santi jatuh, Bu.” Jawab Fery.

“Lah, kok bisa?”

“Gak apa kok, Bu. Mungkin Nayla gak sengaja.” Ucap Santi seolah-olah ia sengaja ingin membuat mertuanya semakin tidak menyukai Nayla.

“Apa? Nayla? Jadi kamu yang menyebabkan Santi jatuh? Mau kamu itu apa, sih Nayla. Heran sama kamu.” Siska menatap sengit ke arah Nayla.

“Bu, sudah. Jangan diperpanjang.”

“Bela terus istrimu. Salah juga selalu terlihat benar di matamu. Entah apa yang sudah dia lakukan ke kamu, Fer. Sampai-sampai kamu begitu percaya seratus persen sama Nayla. Nay, padahal Santi sahabat kamu Lo, kamu yang menarik Santi dalam hubungan kalian dan kamu pula yang nyakiti Santi. Otak kamu di mana sih?”

“Ibu sudah! Ibu terlalu berlebih-lebihan lagian Santi juga gak apa-apa.”

Santi tersenyum senang melihat Siska semakin membenci Nayla. Dalam hatinya Santi bersumpah akan mengambil semua yang seharusnya menjadi miliknya.

“Ini belum seberapa, Nayla. Tunggu saja tanggal mainnya.” Santi membatin. Setelah itu dibawa pergi oleh Siska.

Selepas kepergian Santi dan Siska, Nayla berusaha meyakinkan suaminya jika ia sama sekali tidak melakukan apa pun.

“Mas percayakan?”

Fery menghela napas berat. “Aku gak tahu. Mau percaya tapi aku lihat sendiri jika kamu mendorong Santi. Sudahlah jangan bahas ini lagi. Sekarang kita jadikan ke rumah sakit?”

“Besok saja, Mas. Aku gak enak sama Santi dan ibu. Nanti mereka malah salah paham lagi.”

“Ya udah terserah kamu. Mas ke kamar dulu, ya.”

Fery berlalu meninggalkan dirinya. Ia masih tidak percaya dengan perubahan sikap Santi. Padahal sebelumnya ia begitu menolak permintaan dirinya. Lalu sekarang? Berbanding terbalik. Justru di sini Santi menunjukkan sikap ketertarikan pada suaminya.

“Santi, aku kira sudah mengenal kamu lebih dalam. Ternyata... Aku sama sekali belum mengenalmu,” gumam Nayla dengan air mata yang luruh.

Sore hari sekitar pukul 4. Siska tiba-tiba menghampiri Nayla dan Fery yang tengah menikmati suasana sore hari. Tanpa sosok Santi di tengah-tengah mereka.

Siska Sudah tidak tahan lagi, melihat Fery yang selalu cuek pada Santi. Padahal mereka ada pengantin baru. Setidaknya mereka harus menikmati hari-hari indah bersama.

“Fer,” panggil Siska dan Fery serta Nayla langsung menoleh.

“Ibu, ada apa?” tanya Fery seraya sedikit menggeser posisi duduknya.

Siska duduk di sebelah Fery. “Kamu gak pikun kan? Kalau kamu itu punya dua istri? Harusnya kamu adil, dong. Kalau gini caranya kapan Santi hamil. Kamu terus cuekin.”

“Fery gak lupa kok, Bu. Fery Cuma belum terbiasa saja.”

“Gimana mau terbiasa. Kalau kerjaan kamu sama Nayla terus. Gini aja, ibu punya rencana lebih baik kamu sama Santi pergi bulan madu. Ibu sudah belikan tiketnya. Kamu sama Santi tinggal pergi saja. Ibu sudah atur semuanya.”

“Bukannya gak mau, Bu. Cuma Fery tidak tega kalau harus meninggalkan Nayla. Dia lagi sakit. Kalau sakitnya kambuh gimana?”

“Kan ada Ibu. Ibu yakin istri tertuamu akan setuju. Iya kan Nayla?”

Nayla mengaguk setuju. Karena rencana bulan madu memang sudah ia sampaikan pada suaminya. Kebetulan mertuanya membahas masalah ini jadi Nayla tidak usah repot-repot mengingatkan kembali suaminya.

“Iya, Mas pergi saja, Nayla tidak apa-apa kok.”

“Tapi..."

“Mas...”

“Oke, deal ya, besok kamu sama Santi berangkat. Tidak usah urus apa-apa ibu sudah persiapkan semuanya kamu tinggal berangkat.”

*

Keesokan paginya,

Nayla merasa berat harus mengizinkan suaminya pergi. Karena sebelumnya ia belum pernah ditinggal pergi jauh oleh suaminya. Kalau pun ada kerjaan di luar kota, maka Nayla akan dibawa oleh Fery.

Tapi, ia terus menegarkan hatinya. Jika ini adalah keputusan terbaik. Ia selalu mengingat kembali apa tujuan dirinya meminta Fery untuk menikah lagi.

“Mas pergi, jaga diri baik-baik, ya selama Mas tidak ada.”

Bibirnya terlihat tersenyum namun tidak dengan hatinya. “Kamu tenang saja, Mas. Pokoknya jangan memikirkan apa pun, nikmati saja masa bulan madunya.”

Sejurus kemudian Nayla menatap ke arah Santi yang saat ini sudah rapi dan terlihat cantik. “Santi, selamat menikmati bulan madunya, ya. Semoga setelah ini hubungan kamu dengan Mas Fery bisa lebih dekat.”

Nayla sama sekali tidak pernah memiliki pikiran jahat. Meskipun ia sudah tahu kedok asli Santi. Berpura-pura baik di depan orang lain namun berubah saat hanya ada dia dirinya.

Itu tidak masalah bagi Nayla, yang terpenting kelak akan ada wanita yang bisa menjaga suaminya. Yang bisa memberikan keturunan untuk keluarga suaminya. Karena dari dua keinginan itu tidak bisa ia wujudkan mengingat bagaimana penyakitnya semakin hari semakin terasa menyakitkan.

Nayla melepaskan kepergian Fery dan Santi. Di saat seperti inilah Nayla harus memperbanyak membesarkan hatinya. Karena Kalau bisa jujur dirinya belum sepenuhnya mengiklankan sang suami.

“Setelah ini, kamu harus siap-siap aku singkirkan dari kehidupan anakku. Jangan mimpi akan terus hidup bersama anakku. Kalau bisa aku berharap kamu secepatnya mati.”

Tes... Tes...

Tetesan air mata Nayla keluar begitu saja. Ia sedih karena ternyata ibu mertuanya menginginkan dirinya segera tiada. Apa salah dirinya? Lagi-lagi pertanyaan itu selalu sukses membuat dirinya bertanya-tanya.

“Kenapa ibu malah mendoakan Nayla cepat meninggal? Harusnya sebagai orang tua mendoakan yang terbaik, bukan sebaliknya.”

“Aku tidak peduli.”

Tidak ingin terlalu memikirkan sikap mertuanya, ia berniat untuk mencari hiburannya sendiri. Tentunya sebelum waktu janjian dengan dokter yang selalu mengawasi dan melihat perkembangan penyakitnya.

Pukul satu siang ia ada janji dengan dokter Samuel, dokter yang dua tahun terakhir ini menangani penyakit kankernya.

Sebelum pergi ia mengirim pesan pada Fery ia hendak meminta izin untuk pergi cek up. Dalam pesan singkat balasan dari Fery ia menyesal karena tidak bisa mengantarnya pergi. Nayla tidak marah malah memakluminya. Setelah rapi ia pun bergegas pergi namun baru saja ia memegang gagang pintu kamar ia meringis kesakitan.

“Astagfirullah,” ringis Nayla mengucapkan istighfar disertai dengan memegangi perut bagian bawahnya.

Lagi-lagi ia melupakan obatnya, obatnya sudah habis. Sejenak ia sedikit membungkuk dengan punggung yang ia sandarkan pada pintu saking sakitnya wajahnya terlihat pucat napasnya terang-terangan serta kering sebesar biji jagung mulai bercucuran.

Sungguh ia kadang ingin mengeluh kenapa harus dirinya yang menderita penyakit ini? Kenapa? Dalam hening dan diam karena merasakan sakit yang teramat sakit ia menangis. Meratapi nasibnya.

Dengan tenaga yang tersisa, ia berusaha berjalan dan ke rumah sakit sendiri. Ia bahkan tidak pergi bersama supir pribadinya karena tidak ingin sang supir mengadukan keadaannya pada Fery.

Sungguh ia sudah tidak tahan, bahkan matanya sudah mulai berkunang-kunang. Tubuhnya terasa lemas, keringat dingin sudah mulai bercucuran hingga di detik berikutnya saat tubuhnya sempoyongan akan terjatuh ada seseorang yang menopang hingga tubuhnya tidak jatuh ke tanah.

“Are you oke?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status