Oweee! Oweeekh! Hoaaaakh! Tangis bayi tak berdosa, terdengar kembali suara tangisnya yang melengking mengisi udara. Diselingi jeritan penuh amarah Delia meledak-ledak. Wanita itu masih terbaring lemah, namun, bukan rasa sakit yang membuatnya histeris. Tapi kondisi bayi itulah yang membuatnya marah dan malu. Ia tidak mampu menerima kenyataan yang sedang dihadapinya. "Stop Dokter! Jangan bawa bayi itu kemari, ajak dia pergi dari sini. Aku gak mau menyentuhnya! Iiiist.. Memalukan! Menjijikkan!" "Ibu, Ibu gak boleh seperti itu. Bayi ini darah daging Ibu," ujar dokter sambil menggendong bayi itu yang masih menangis. Seolah ia tahu, kalau kehadirannya tidak diterima sang ibu. "Gak mau! Aku bilang gak mau! Buang! Buang aja bayi itu." Dokter dan suster saling bertatapan. Lalu dokter membawa bayi itu keluar menemui ayahnya. Erlan mengerutkan kening saat mendengar teriakan histeris Delia. Dan kini ia melihat bayi di dalam gendongan tangan dokter dalam kondisi cacat. "Ini bayi Bapa
Di klinik tahanan wanita, Erlan dan Nesya baru tiba, ditemani Eli di belakang mereka.Teriakan mengerang kesakitan suara Delia terdengar hingga di luar klinik.Erlan masuk terlebih dulu. melihat Erlan datang, suara tangisan Delia sedikit terobati. Ia sempatkan untuk tersenyum pada Erlan."Erlan, sakit Er!"Suster menghampiri Erlan. "Bapak suami dari Ibu Delia? Sebaiknya Ibu Delia dibawa ke rumah sakit besar Pak. Disini tidak ada peralatan dan bidan.""Ya, bawa aja sus," jawab Erlan.Namun Delia melihat di belakang Erlan, berdiri seorang wanita cantik."Dia siapa Er?""Dia ini Nesya, pegawai baru di perusahaan kita," jawab Erlan sambil menarik tangan Nesya memperkenalkan ke Delia. Tapi Delia menatap Nesya tajam."Ini pacar baru kamu? Iya?" seru Delia sambil mengadu kesakitan."Stop Delia! Kamu nggak usah banyak tanya dulu. Yang terpenting adalah keselamatan baik kamu!""Oh, jadi kamu nggak mementingkan keselamatan aku ya? Kamu udah punya pacar baru ya?""Delia, kalau misalnya iya, teru
"Apa? Delia melahirkan? Laluโlalu kenapa? Ya, udah. Silahkan kamu tengok dia" jawab Erlan, yang tidak ingin lagi mendengar nama Delia.'Aku baru ingin bicara serius dengan Nesya. Malah diganggu si nenek sihir itu. Aku gak akan peduli. Lebih baik aku suruh Mama yang tengok Delia,' batinnya."Pak! Tapi kan Pak? Delia itu ... " Eli tidak meneruskan ucapan, yang langsung dipotong oleh Erlan."Stop! Jangan bicara yang gak penting lagi yah! Silahkan kamu pergi dari sini!?"Tentu saja Eli pergi dengan penuh pertanyaan. Kenapa dengan sikap Erlan yang tidak mau tahu anaknya sendiri. Seharusnya dia bahagia dengan kelahiran anaknya. Namun ini, malah mengusirnya. Menyuruhnya pergi."Padahal itu kan anak kandungnya. Kenapa Pak Erlan gak peduli? Apa mungkin karena perempuan itu?" gumam Eli sambil melangkah pergi.Erlan kembali membalikkan badannya, memandang Nesya."Maaf, ini bukan urusan kamu. Dan sekarang saya gak mau diganggu siapapun saat sedang bicara dengan kamu.""Tapi Pak? Bukannya itu ana
Tiga minggu di kantor Delia siang itu."Nesya! Nesya! Tunggu! Kamu mau kemana?" panggil Erlan berlari ke arah Nesya alias Nadine yang sedang berjalan ke arah kantin."Aku mau ke kantin. Ada apa Pak?""Aku juga mau ke kantin. Ayo bareng aku.Biar aku traktir," ujar Erlan memberi senyumnya.Nadine mengangguk. "Boleh. Aku juga udah lapar kok"Mereka jalan beriringan menuju kantin yang letaknya tidak jauh, masih di dalam perkantoran.Siang itu Erlan ingin mengungkapkan apa yang ia tahan selama tiga minggu ini.Sesampai di kantin, Erlan mengajak Nesya sudut di sudut ruangan. Matanya tak henti memandang wajah cantik Nesya yang menggoda."Kamu mau pesan apa Nes?" tanya Erlan sambil membolak balikkan menu."Aku mau ini aja, ayam geprek ... Mbak, saya ayam geprek sama air putih aja yah," Nesya memberikan menu itu ke pelayan."Oke, aku samain aja yah Mbak," ujar Erlan."Kok Bapak makannya sama-samain gitu sih Pak?""Yah, karena pilihanmu juga pilihan aku." jawab Erlan tersenyum.Nesya memandang
"Awas aja kau Ghia. Aku akan melakukan sesuatu untukmu," gumamnya penuh amarah dan cemburu. Melihat mobil Aldiano berjalan pelan menuju jalan raya, bersama Ghia. Maka Linda menghidupkan kembali motornya. Ia tetap mengikuti. "Wanita yang baru masuk kerja saja sudah bisa menarik perhatian kamu Aldiano! Sedangkan sama aku? Kamu gak mau memandang sebelah mata pun sama aku." Setelah 30 menit mobil sampai di rumah mungil bertata rapih. Ghia turun dari mobil itu, dan masuk sambil melambaikan tangannya, dibalas Aldiano. Mereka saling senyum. Aldiano menunggu Ghia masuk ke dalam rumah. Barulah ia meninggalkan rumah itu. Ada rasa sakit melihat itu di hati Linda. "Ternyata mencintai dalam diam itu menyakitkan ya," gumam Linda. Ia duduk di kursi bawah pohon pinggir jalan. Pikirannya kacau. "Haruskah aku membunuhnya lagi? Tapi harus. Ini tidak boleh terjadi. Aldiano tetap jadi milikku, walau pun dalam diam" "Aldiano, kenapa kamu dulu gak percaya saat aku bilang, Helena, istri kamu itu
"Kesempatan ini tidak datang dua kali. Ghia masuk ke ruangannya sambil membawa laptop Linda ke ruang dokumentasi. Ia duduk di depan meja sambil membuka kembali layar laptop itu."Semoga kali ini berhasil," gumamnya sambil menunggu loading layar terbuka. Rasa penasaran dan firasat yang mengusiknya, terlalu kuat untuk diabaikan. Dengan kemampuan yang ia miliki pada teknologi informatika, ia paham cela-cela keamanan untuk mengaktifkan mode pemulihan dan membuka command prompt yang tersembunyi. Beberapa kali jarinya mengetuk keyboard, dan saat menunggu yang mendebarkan, matanya lekat memandang layar itu.Ghia menunggu beberapa saat. "Ayo cepat! Cepat tebuka!"Setelah menunggu beberapa saat akhirnya layar desktop muncul di hadapannya. Ghia menghela nafas lega."Huh! Akhirnya muncul juga."Jarinya mulai mengetik kembali dan mencari folder. Beberapa folder tampak biasa. Beberapa laporan kerja dan arsip persentasi dan spreadsheet anggaran. Matanya menangkap folder yang tersembunyi bertulis