‘’Kamu dari mana, Cantik?’’
Lepasnya pelukan Mas Ega, berikut kata-kata manisnya yang beracun itu, membuatku ingin sekali meninju wajahnya.
Tapi aku tidak langsung lepas kendali. Aku memilih bersabar karena harus mencari tau dulu kebenaran tentang pria semalam.
‘’Kamu pulang jam berapa tadi malam?’’ tanyaku tanpa mempedulikan pertanyaanya.
‘’Mas tanya apa kamu malah jawab apa,’’ serunya kesal.
‘’Tinggal jawab saja apa susahnya, sih, Mas?’’ geramku dibarengi tatapan tajam.
Mas Ega memasang wajah penuh tanya. Karena, baru kali ini aku yang dikenal selalu bertutur kata lemah lembut, menggunakan intonasi berbeda.
‘’Kemarin kamu sama siapa ke rumah?’’ tanyaku lagi.
‘’Maksud kamu?’’
Aku sangat benci melihat Mas Ega memasang wajah lugu begini. Apa dia berpikir aku tidak tau apa-apa?
‘’Semalam kamu tidur di mana?’’
‘’Tidur di kamar. Bersamamu.’’
Aku tidak percaya. Jelas-jelas, laki-laki di tempat tidurku itu bukan dia.
‘’Jangan bohongi aku, Mas. Aku tau tadi malam kamu tidak sendiri.’’
‘’Selin, mas menaruh minuman keras di kulkas, bukan untuk diminum sama kamu. Ini pasti efek alkohol sampai-sampai kamu tidak sadar kalau mas tidur di kamar dan tidak ada siapapun yang datang kecuali mas. Bahkan kamu pasti juga tidak ingat, tentang apa yang terjadi semalam, bukan? Mas pergi saja kamu tidak sadar. Padahal sudah mas panggil berulang kali.’’
‘’Ah, tentu saja kamu tidak ingat. Kamu begitu pulas setelah kita…’’ gantungnya karena ekspresi curigaku tidak berubah.
Keterangan Mas Ega dan Bu Retno sangat bertolak belakang. Namun aku jadi meragukan diriku sendiri. Karena, aku memang tidak ingat apapun dengan hal-hal yang Mas Ega jelaskan. Selain percumbuan liar itu, aku masih meraba-raba setiap detail ingatan yang kebanyakan seperti hilang tersapu ombak lautan.
‘’Kamu mau bukti? Nih lihat sendiri.’’
Tiba-tiba Mas Ega mengeluarkan ponsel. Menunjukkan rekaman cctv tadi malam. Aku memperhatikan dengan jeli. Tanggal, jam dan semua pergerakan Mas Ega dari masuk hingga keluar dari rumah.
Aku terperangah karena, tidak ku temukan laki-laki dan juga mobil sport seperti penjelasan Bu Retno.
Tapi, bagaimana dengan laki-laki itu? Apa mungkin aku berhalusinasi, tentang tubuh kekar Mas Ega?
‘’Sekarang kamu percaya?’’
Saat ini, aku benar-benar dipusingkan dengan keadaan. Siapa yang harus aku percaya? Bu Retno atau Mas Ega?
Di tengah-tengah kebingunganku, terdengar suara ricuh dari tetangga sebelah. Aku penasaran begitu pula Mas Ega. Kami langsung menoleh ke sumber suara, menjeda sebentar percekcokan antar suami istri ini.
‘’Wah, berulah lagi.’’
‘’Maksud kamu?’’
‘’Sel, kamu jangan bersosialisasi dengan tetangga kita itu, ya. Aku tidak mengizinkan.’’
Kemarin Rosdiana. Sekarang Bu Retno.
‘’Apa salahnya bertetangga? Bersosialisasi? Kamu suka sekali melarangku. Aku kan tidak berteman dengan laki-laki!’’ jawabku. Masih mempertahankan intonasi dingin bercampur amarah.
‘’Aku tidak mau kamu ikut-ikutan gila,’’ ujarnya tanpa menoleh padaku.
‘’Gila?’’
Entah apa maksud gila yang disebutkannya. Namun berhasil meredakan emosiku yang sempat naik ke ubun-ubun.
‘’Mas belum memberitahumu tentang kondisi dan lingkungan di sekitar rumah kita. Terutama Bu Retno itu, agak kurang waras orangnya. Dia mengidap delusi. Kadang suka bilang, lihat laki-laki ganteng lah. Bawa mobil sport lah. Ini dan itu. Masih banyak lagi sebenarnya.’’
Kepalaku terasa ditimpa ribuan batu.
Apa? Bu Retno gila?
‘’Sejak anak perempuannya meninggal, Bu Retno sering bicara ngalor ngidul,’’ ungkapnya menjawab rasa penasaranku, akan awal mula penyebab kondisi Bu Retno.
Berkali-kali ku teguk ludah menuntaskan gundah. Menolak percaya namun tidak bisa.
Setelah mengetahui keadaan Bu Retno, aku jadi bingung harus bereaksi bagaimana. Jujur saja, setelah tersadarkan kalau semua informasi tentang Mas Ega tidak berasal dari sumber manusia normal, sumbu kemarahan di diriku seketika padam perlahan.
‘’Kamu jangan marah, ya. Anaknya Bu Retno itu, pernah mengutarakan perasaannya pada mas. Tapi mas nggak suka karena dia masih sangat muda. Sekitar delapan belas tahun. Tentu saja mas menolak secara halus. Apalagi waktu itu, mas sudah punya kekasih.’’
Pantas saja Bu Retno mengatakan kalau Mas Ega banyak yang naksir. Ternyata, putrinya salah satunya.
Sebab melihat pintu rumah Bu Retno akan terbuka, Mas Ega lekas menarik tanganku dan membawaku masuk ke dalam rumah. Adabnya, memang tak elok menonton prahara yang terjadi pada tetangga.
‘’Penyebabnya apa, Mas?’’ tanyaku sudah mulai melembut.
‘’Mas nggak tau pasti. Tapi dari informasi satpam komplek, anaknya Bu Retno tidak pulang selama tiga hari. Setibanya kembali ke rumah, sudah dalam kondisi tidak bernyawa. Katanya sih diperkosa.’’
Astaga.
Tidak bisa kubayangkan luka seperti apa yang Bu Retno derita. Pantas saja dia jadi gila.
‘’Sekarang kamu paham, kan, mengapa mas melarang?’’ ucap laki-laki yang sekarang mengelus pipiku tak lama memelukku itu.
‘’Kamu sendirian di kota yang terkenal kejam ini. Kamu harus selalu berada dalam pengawasan mas. Agar bukan hanya kamu saja yang selamat, tapi juga orang-orang yang kamu sayang.’’
‘’Maksudnya?’’
‘’Apa harus mas jelaskan juga alasannya?’’ Mas Ega berkata dan langsung mengetuk keningku pelan.
Aku tau dia menganggapku bodoh atau mungkin lambat berpikir. Namun, aku yang hanya tamatan sekolah dasar, menangkap kalimat itu adalah sebuah ancaman. Bukan kekhawatiran.
‘’Aku tidak suka kamu bicara seperti itu, Mas. Kamu seperti orang-orang jahat yang selalu ku tonton di setiap drama televisi.’’
Meski Mas Ega hanya tertawa, aku memeluknya erat.
Aku sudah salah menilai suamiku hanya karena penjelasan tetangga yang kejiwaannya terganggu. Ditambah pengaruh minuman keras dimana syaraf sadarku malah berhalusinasi tentang pria yang sepertinya tak nyata tersebut, membuatku semakin merasa bersalah pada Mas Ega.
Apa jadinya bila aku bercerita mengenai sosok yang nyatanya halusinasiku saja? Entahlah. Mungkin Mas Ega akan marah besar padaku.
Untuk Bu Retno. Sepertinya tadi merupakan kali terakhir aku bercengkrama dengannya.
Mengenaskan sekali. Bisa-bisanya aku mempercayai setiap kata yang diucapkan oleh orang seperti Bu Retno. Yang ternyata berotak geser dan tidak bisa membedakan mana kenyataan dan mana yang angan-angan.
Hari ini gerimis membungkus kota. Bulir hujan pun turun bagai tetesan air mata di teduhnya senja.Setelah melerai ketegangan dan kesalahpahaman di antara kami berdua, aku memutuskan untuk tidur sebentar sebelum menyiapkan makan malam.‘’Sel,’’ panggil Mas Ega, padahal aku sudah tidak kuat membuka mata.‘’Hm?’’‘’Tiga puluh menit lagi kita pergi. Kamu siap-siap.’’Kutemukan Mas Ega tengah berkutat dengan ponsel ketika mata ini ku paksa untuk terbuka. ‘’Kemana? Aku mager, Mas,’’ kataku, malas. Besar harapan agar Mas Ega memaklumi ketidak inginan ku untuk beranjak dari empuknya pulau kapuk. Namun tampaknya, Mas Ega tidak mau menerima alasan apapun bila melihat dari lirikannya yang setajam belati itu.Sebenarnya, aku lelah sekali setelah menghabiskan aktivitas suami istri kemarin malam. Remuk badan dan sakit pinggang, baru terasa sekarang.‘’Pak Abi mengundang kita ke acara ulang tahunnya. Kamu harus dandan yang cantik pokoknya. Aku sudah menyiapkan gaun di lemari. Jadi, kamu tinggal pa
Setengah jam seperti yang diperintahkan, aku sudah berdiri di samping mobil putih yang pernah menyambangi rumah sederhana milik orang tuaku. Sekaligus membuat heboh warga desa.Sedikit orang yang memiliki kendaraan roda empat di tempatku, sehingga menganggap, siapapun yang memiliki benda besi ini, dianggap kaya dan berkelimpahan harta.‘’Selin.’’Di tengah asik menunggu Mas Ega selesai memakai baju, tiba-tiba seseorang memanggil namaku.Keningku langsung berkerut rapat, setelah melihat sosok yang membuat seluruh tubuhku berputar seratus delapan puluh derajat.‘’Bu Retno?’’
‘’Astaga!’’Apa yang terjadi padaku? Kenapa aku bisa di sini? Kemana perginya Pak Abi? Apa Mas Ega yang melakukan ini?Beruntun pertanyaan di kepala tapi tidak ada jawabannya.Berulang kali kepala ini melihat kesana kemari, tetap tidak ada siapapun ku jumpai.Byur!Terdengar suara dari kamar mandi. Seseorang menekan flush kloset. Tak lama kemudian, gemericik dari shower yang dihidupkan.‘’Mas?’’ teriakku sambil turun dari tempat tidur. Memungut gaun berikut dalaman dengan hati cemas.Se
Bukan melabrak atau melayangkan pukulan pada Mas Ega, aku memilih membalikkan badan menjauhi keduanya.Mencari tempat sepi karena Mas Ega dan Ana sudah masuk ke dalam sebuah kamar.Seketika terduduk lemah, meratapi kebodohan juga kenyataan pahit ini. Aku langsung teringat akan bapak.Seharusnya aku menurutinya dan tidak termakan bujuk rayu Mas Ega dan juga ibu. Andai saja aku mendengarkan bapak waktu itu. Semua ini pasti tidak akan terjadi.Aku tidak sanggup, bila harus bercerita bahwa suamiku menjajakanku pada pria hidung belang selama ini.Ternyata benar apa kata Mbak Ros dan juga Bu Retno.
‘’Seharusnya aku lihat apa, Mas?’’ kataku. Dengan tubuh gemetar menahan emosi.. ‘’Eh,’’ Mas Ega tampak salah tingkah. Menggaruk kepala yang tidak gatal di mana aku ingin sekali menghantam kepala yang menyimpan banyak ide jahat itu. ‘’Maksudku, kamu ngapain di sini? Terus tadi sama Pak Abi bahas apa saja?’’ kilahnya agar aku tidak curiga. ‘’Kamu dulu deh, Mas. Waktu mau pakai ruangan beliau, kamu gunakan bahasa apa sampai bisa diizinin?’’ Lagi. Mas Ega kembali menggaruk kepala. Namun kali ini disertai seringai bangga. Membuat tanganku mengepal tegang karena bisa-bisanya dia tak merasa bersalah sudah melakukan hal keji padahal kami berstatus suami istri. ‘’Kamu gak perlu tahu. Yang jelas, aku dan Pak Abi sudah seperti teman akrab. Ya, kamu tau kan maksudku? Kayak, milikku adalah milik beliau. Begitu pula sebaliknya. Kami saling menguntungkan intinya.’’ Kurang ajar! Aku benar-benar geram. Bedebah sekali menganggapku layaknya barang. ‘’Terkecuali kamu!’’ imbuhnya karena mendapati
‘’Sel, kamu jangan bilang Ega, ya. Jangan bilang kalau kamu tahu dari aku.’’Lagi-lagi kata-kata itu terlontar.Binar takut di mata Mbak Ros, menyiratkan betapa menakutkannya sosok Mas Ega bagi penata rias di depanku ini.‘’Memangnya kenapa kalau Mas Ega tahu, Mbak?’’‘’Aku nggak mau terdepak dari studionya Ega. Aku butuh uang.’’Jika membahas faktor ekonomi, siapapun tidak berdaya dibuatnya. Uang membuat semua orang lupa diri. Berkorban bahkan tega mendagangkan istri.‘’Kamu jangan khawatir, Mbak. Tapi aku butuh informasi tentang Mas Ega lebih banyak. Kamu bisa bantu aku kan, Mbak?’’ pintaku penuh harap.Sejenak lengang, akhirnya hatiku lega ketika Mbak Ros mengangguk setuju.‘’Ega itu sangat mencintai istri pertamanya, Sel. Yang mbak tau, istrinya itu sakit keras.’’‘’Apa mbak pernah bertemu dengannya?’’‘’Pernah. Namanya Dian.’’Uhuk!Tiba-tiba saja Mbak Ros terbatuk sampai memegangi dada. ‘’Mbak… mbak sakit?’’ Cukup sering bertatap muka, baru kali ini ku lihat Mbak Ros terlihat k
Terang-terangan memberontak. Sengaja ingin melihat, seperti apa Mas Ega sebenarnya. Semenakutkan apa sehingga Mbak Ros berulang kali memastikan, agar aku tidak buka suara bahwa dialah pengungkap belang Mas Ega.‘’Sel!’’ serunya seraya mencekal tanganku. Namun Selin yang sekarang bukan Selin satu, dua atau beberapa hari lalu. Sehingga dengan tegas ku sentak cekalan tersebut hingga terlepas.Mata Mas Ega melotot. Besar seperti burung hantu. Kaget akan perlawananku.‘’Jangan maksa, Mas. Aku capek!’’Kini tak kalah kaget hingga terperangah. Karena aku menyentaknya balik. Ku lirik Mbak Ros di ambang pintu. Beliau memilih pergi. Mungkin karena tak ingin disalahkan atau jadi bahan pelampiasan.‘’Sel, kamu harus bersikap profesional. Gimana mau jadi model berkelas kalau baru lelah sedikit saja kamu mengeluh capek.’’ Terang saja nafas ini menggebu-gebu. Dadaku naik turun akibat tersulut emosi. Begitu pula dengan Mas Ega.Bisa-bisanya dia membahas profesionalisme di saat yang sebenarnya beke
Laki-laki bau tanah seumuran bapak.Itulah sosok di depanku saat ini. Berjas lengkap dengan dasi hitam terikat di lehernya.‘’Kamu tidak bohong rupanya, Ega. Ternyata dia memang sangat cantik,’’ ucapnya disertai senyum selicik rubah.‘’Saya Ari,’’ sambungnya sembari mengulurkan tangan.Tak ku katakan namaku dan hanya menyambut jari-jari keriput itu dengan wajah lesu. ‘’Selin, kamu tidak boleh seperti itu. Beliau klien penting. Bisa gak ekspresinya dibuat lebih ramah?’’ bisik Mas Ega di telinga ini. ‘’Kalau kamu terus seperti ini, bagaimana kita bisa dapat uang yang sedang kamu butuhkan?’’Ya Tuhan.Jika bukan karena bapak dan Handi, aku benar-benar tidak sudi berhadapan dengan kambing tua seperti Pak Ari ini.‘’Bersikaplah lebih sopan, Selin. Orang di depan kita ini adalah sumber uang. Dia sama seperti Pak Abi,’’ tekan Mas Ega lagi. Kali ini disertai remasan pelan pada pundak. Aku sampai meringis karena jari-jari Mas Ega bergerak dan menekan lebih kuat.Di sela-sela bisik-bisik ters