Share

6

Author: GREYWIND
last update Huling Na-update: 2024-03-01 23:03:45

‘’Kamu dari mana, Cantik?’’

Lepasnya pelukan Mas Ega, berikut kata-kata manisnya yang beracun itu, membuatku ingin sekali meninju wajahnya.

Tapi aku tidak langsung lepas kendali. Aku memilih bersabar karena harus mencari tau dulu kebenaran tentang pria semalam.

‘’Kamu pulang jam berapa tadi malam?’’ tanyaku tanpa mempedulikan pertanyaanya.

‘’Mas tanya apa kamu malah jawab apa,’’ serunya kesal.

‘’Tinggal jawab saja apa susahnya, sih, Mas?’’ geramku dibarengi tatapan tajam. 

Mas Ega memasang wajah penuh tanya. Karena, baru kali ini aku yang dikenal selalu bertutur kata lemah lembut, menggunakan intonasi berbeda.

‘’Kemarin kamu sama siapa ke rumah?’’ tanyaku lagi. 

‘’Maksud kamu?’’

Aku sangat benci melihat Mas Ega memasang wajah lugu begini. Apa dia berpikir aku tidak tau apa-apa?

‘’Semalam kamu tidur di mana?’’ 

‘’Tidur di kamar. Bersamamu.’’

Aku tidak percaya. Jelas-jelas, laki-laki di tempat tidurku itu bukan dia. 

‘’Jangan bohongi aku, Mas. Aku tau tadi malam kamu tidak sendiri.’’

‘’Selin, mas menaruh minuman keras di kulkas, bukan untuk diminum sama kamu. Ini pasti efek alkohol sampai-sampai kamu tidak sadar kalau mas tidur di kamar dan tidak ada siapapun yang datang kecuali mas. Bahkan kamu pasti juga tidak ingat, tentang apa yang terjadi semalam, bukan? Mas pergi saja kamu tidak sadar. Padahal sudah mas panggil berulang kali.’’

‘’Ah, tentu saja kamu tidak ingat. Kamu begitu pulas setelah kita…’’ gantungnya karena ekspresi curigaku tidak berubah.

Keterangan Mas Ega dan Bu Retno sangat bertolak belakang. Namun aku jadi meragukan diriku sendiri. Karena, aku memang tidak ingat apapun dengan hal-hal yang Mas Ega jelaskan. Selain percumbuan liar itu, aku masih meraba-raba setiap detail ingatan yang kebanyakan seperti hilang tersapu ombak lautan.

 ‘’Kamu mau bukti? Nih lihat sendiri.’’

Tiba-tiba Mas Ega mengeluarkan ponsel. Menunjukkan rekaman cctv tadi malam. Aku memperhatikan dengan jeli. Tanggal, jam dan semua pergerakan Mas Ega dari masuk hingga keluar dari rumah.

Aku terperangah karena, tidak ku temukan laki-laki dan juga mobil sport seperti penjelasan Bu Retno.

Tapi, bagaimana dengan laki-laki itu? Apa mungkin aku berhalusinasi, tentang tubuh kekar Mas Ega?

‘’Sekarang kamu percaya?’’

Saat ini, aku benar-benar dipusingkan dengan keadaan. Siapa yang harus aku percaya? Bu Retno atau Mas Ega?

Di tengah-tengah kebingunganku, terdengar suara ricuh dari tetangga sebelah. Aku penasaran begitu pula Mas Ega. Kami langsung menoleh ke sumber suara, menjeda sebentar percekcokan antar suami istri ini.

‘’Wah, berulah lagi.’’

‘’Maksud kamu?’’

‘’Sel, kamu jangan bersosialisasi dengan tetangga kita itu, ya. Aku tidak mengizinkan.’’

Kemarin Rosdiana. Sekarang Bu Retno. 

‘’Apa salahnya bertetangga? Bersosialisasi? Kamu suka sekali melarangku. Aku kan tidak berteman dengan laki-laki!’’ jawabku. Masih mempertahankan intonasi dingin bercampur amarah. 

‘’Aku tidak mau kamu ikut-ikutan gila,’’ ujarnya tanpa menoleh padaku.

‘’Gila?’’

Entah apa maksud gila yang disebutkannya. Namun berhasil meredakan emosiku yang sempat naik ke ubun-ubun.

‘’Mas belum memberitahumu tentang kondisi dan lingkungan di sekitar rumah kita. Terutama Bu Retno itu, agak kurang waras orangnya. Dia mengidap delusi. Kadang suka bilang, lihat laki-laki ganteng lah. Bawa mobil sport lah. Ini dan itu. Masih banyak lagi sebenarnya.’’

Kepalaku terasa ditimpa ribuan batu. 

Apa? Bu Retno gila?

‘’Sejak anak perempuannya meninggal, Bu Retno sering bicara ngalor ngidul,’’ ungkapnya menjawab rasa penasaranku, akan awal mula penyebab kondisi Bu Retno.

Berkali-kali ku teguk ludah menuntaskan gundah. Menolak percaya namun tidak bisa.

Setelah mengetahui keadaan Bu Retno, aku jadi bingung harus bereaksi bagaimana. Jujur saja, setelah tersadarkan kalau semua informasi tentang Mas Ega tidak berasal dari sumber manusia normal, sumbu kemarahan di diriku seketika padam perlahan. 

‘’Kamu jangan marah, ya. Anaknya Bu Retno itu, pernah mengutarakan perasaannya pada mas. Tapi mas nggak suka karena dia masih sangat muda. Sekitar delapan belas tahun. Tentu saja mas menolak secara halus. Apalagi waktu itu, mas sudah punya kekasih.’’

Pantas saja Bu Retno mengatakan kalau Mas Ega banyak yang naksir. Ternyata, putrinya salah satunya.

Sebab melihat pintu rumah Bu Retno akan terbuka, Mas Ega lekas menarik tanganku dan membawaku masuk ke dalam rumah. Adabnya, memang tak elok menonton prahara yang terjadi pada tetangga.

‘’Penyebabnya apa, Mas?’’ tanyaku sudah mulai melembut.

‘’Mas nggak tau pasti. Tapi dari informasi satpam komplek, anaknya Bu Retno tidak pulang selama tiga hari. Setibanya kembali ke rumah, sudah dalam kondisi tidak bernyawa. Katanya sih diperkosa.’’

Astaga.

Tidak bisa kubayangkan luka seperti apa yang Bu Retno derita. Pantas saja dia jadi gila.

‘’Sekarang kamu paham, kan, mengapa mas melarang?’’ ucap laki-laki yang sekarang mengelus pipiku tak lama memelukku itu.

‘’Kamu sendirian di kota yang terkenal kejam ini. Kamu harus selalu berada dalam pengawasan mas. Agar bukan hanya kamu saja yang selamat, tapi juga orang-orang yang kamu sayang.’’

‘’Maksudnya?’’

‘’Apa harus mas jelaskan juga alasannya?’’ Mas Ega berkata dan langsung mengetuk keningku pelan. 

Aku tau dia menganggapku bodoh atau mungkin lambat berpikir. Namun, aku yang hanya tamatan sekolah dasar, menangkap kalimat itu adalah sebuah ancaman. Bukan kekhawatiran.

‘’Aku tidak suka kamu bicara seperti itu, Mas. Kamu seperti orang-orang jahat yang selalu ku tonton di setiap drama televisi.’’

Meski Mas Ega hanya tertawa, aku memeluknya erat. 

Aku sudah salah menilai suamiku hanya karena penjelasan tetangga yang kejiwaannya terganggu. Ditambah pengaruh minuman keras dimana syaraf sadarku malah berhalusinasi tentang pria yang sepertinya tak nyata tersebut, membuatku semakin merasa bersalah pada Mas Ega.

Apa jadinya bila aku bercerita mengenai sosok yang nyatanya halusinasiku saja? Entahlah. Mungkin Mas Ega akan marah besar padaku.

Untuk Bu Retno. Sepertinya tadi merupakan kali terakhir aku bercengkrama dengannya. 

Mengenaskan sekali. Bisa-bisanya aku mempercayai setiap kata yang diucapkan oleh orang seperti Bu Retno. Yang ternyata berotak geser dan tidak bisa membedakan mana kenyataan dan mana yang angan-angan.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Istri yang Dijajakan Oleh Suami   114

    “Lin, sampai kapan, ya, saya begini? Saya capek menunggu tuan sembuh.” Linda memberiku segelas air putih, hal sederhana yang tidak bisa Abi lakukan.Rasa sejuknya bisa dirasakan mengalir di tenggorokan. Seketika membuatku jadi menangis. Linda memahami wanita hamil memang sangat sensitif. Terutama bila diterpa masalah dan tanpa pendampingan suami, sensitifnya jadi berlipat-lipat.“Sabar, ya, Nyonya. Semua akan berlalu.” Linda menatapku kasihan.Sabar? Entah masih banyak atau tidak stok sabarku ini, karena, rasanya sudah mulai habis. Perut sudah mulai membesar, mengurus segalanya sendirian, bukanlah hal mudah menjalaninya. Ditemani mama dibantu Linda sebenarnya bisa, tapi membeli perlengkapan dan persiapan lahiran nanti, aku memutuskannya sendiri. Abi pernah bilang ingin anaknya memakai baju putih saat lahir ke dunia karena bayi masih suci seperti warna bajunya. Bersih dan tidak berdosa.Aku pun memilih baju tersebut tanpa ada corak sama sekali.“Saya mau yang ini,” ucapku kepada pel

  • Istri yang Dijajakan Oleh Suami   113

    “Baru diajak ngobrol seperti itu saja sudah berani mengaku-ngaku. Aku tahu kau ditinggal suamimu, kan? Tapi bukan berarti kau bisa menjadikan orang lain sebagai ayah dari bayimu.”“Kamu pikir aku gila, Mas? Orang macam apa aku yang mengaku-ngaku suami orang jadi suamiku, dan suami orang jadi ayah dari bayiku? Aku bicara fakta. Kamu mau aku pukul berapa kali biar kamu sadar?”Jika dia tidak berekspresi ngeri, aku benar-benar ingin memukulnya lagi. Lelah batin menunggunya pulih. Aku butuh perannya sebagai suami, tapi dia malah berperan menjadi suami orang. Ditambah hormon kehamilan ini. Sebelumnya tidak pernah begitu emosi, namun sekarang seakan pagar pembatas kesabaran itu telah runtuh.“Jangan pukul lagi. Karena itu sakit!” Abi

  • Istri yang Dijajakan Oleh Suami   112

    Mungkin sudah tabiatnya jika Abi merajuk, maka butuh waktu lama untuk reda. Sekarang saja, Abi tidak ikut makan malam. Rosdiana sudah membujuk, tetapi gagal.Mama pun juga, bahkan sampai Linda.Tidak ada yang berhasil. Semua keluar dari kamar Abi dengan tangan kosong.“Sel, coba kamu deh yang bujuk.” Mama sudah putus asa sehingga datang ke meja makan dengan sangat lesu.“Dari siang nggak makan. Mana lagi masa penyembuhan. Sembuh nggak, mati iya yang ada.”Linda menahan tawanya mendengar penuturan Rosdiana. Namun cepat-cepat tutup mulut kembali menyadari siapa yang bicara.

  • Istri yang Dijajakan Oleh Suami   111

    Sel, beri mas kesempatan.Abi dan Rosdiana memang ditakdirkan bersama. Buktinya, yang diingat hanya Rosdiana, bukan kamu. Dalam ingatannya yang lupa, tertanam jelas wajah seorang Rosdiana. Ini adalah tanda kalau Abi bukan jodoh kamu. Dan ini juga pertanda, kalau kamu dan mas masihlah bisa bersama.Pesan-pesan memuakkan, memohon, meratap meminta rujuk.Sangat disayangkan, Rosdiana mencintai orang yang tak menginginkannya, namun menginginkanku.“Kamu tidak boleh bersamanya lagi, Ros. Dia masih berusaha mendekati aku.”“Aku tahu.” Rosdiana berubah sendu.Meman

  • Istri yang Dijajakan Oleh Suami   110

    “Uhuk… uhuk.”“Wulan?”“Uhuk…”Rosdiana menaikkan tangannya ke udara agar Abi tidak mendekat. Namun tentu saja tidak digubris Abi.Apalagi saat Rosdiana tidak berhenti batuk.“Kamu sakit? Kamu luka? Kamu kenapa?”Yang Abi tahu istrinya adalah wanita kuat dan tidak ada sakit apapun, namun batuk lebih dari semenit membuatnya khawatir.“Aku nggak apa-apa.” Rosdiana menerima bantuan Abi yang membantunya duduk. Juga meneguk air minum yang diberikan.

  • Istri yang Dijajakan Oleh Suami   109

    Terluka karena sikap dan kata-kata mama, Ratih menangis dalam diamnya.Sebagai sesama wanita, aku pun tergerak ingin menenangkan. ‘’Rat…’’‘’Nawang Wulan, kamu kenapa?’’ Abi menoleh, curiga akulah penyebabnya.“Tidak apa-apa. Mata saya kelilipan.” Ratih pura-pura mengucek matanya.“Betul hanya kelilipan?”“Iya, Jaka.”Ratih tersenyum palsu. Tetapi tidak menghilangkan kecurigaannya.“Dia berbuat jahat sama kamu?”

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status