Pria itu menatapku data. “Perlu. Dan saya akan menanggung semua kerugian yang timbul selama kamu tidak bekerja di sini. Anggap saja sebagai kompensasi,” ucapnya tegas tanpa memberi ruang untukku melakukan penolakan.
“Kalau begitu, saya rasa solusi terbaik sementara memang begitu, Safira. Untuk menghindari kesalahpahaman yang lebih jauh,” putus Pak Bayu semakin membuatku terpojok.
“Yeay! Mommy ikut aku! Mommy ikut pulang sama aku!” serunya penuh semangat, dan sekaligus berhasil membuatku mengurungkan niat untuk menolaknya. Tubuh mungilnya menggeliat riang di pelukanku, tangannya menepuk-nepuk lenganku sambil terkekeh di antara sisa-sisa tangis yang belum sepenuhnya mereda. “Aku janji nggak nangis lagi kalo Mommy sama aku … aku janji jadi anak yang baik,” ucapnya terdengr begitu tulus.
Hatiku mencelos, tenggorokanku tercekat melihat ketulusan yang begitu polos terpancar dari wajahnya. Kenzo benar-benar percaya jika aku adalah sosok yang selama ini ia cari. Sementara itu, ayahnya hanya menatap dengan ekspresi dingin, meski aku sempat menangkap sekilas kilatan emosi di balik mata tajamnya—entah amarah, entah kelelahan, atau sesuatu yang lebih dalam dari itu semua.
Aku menghela napas panjang, menyadari bahwa penolakanku hanya akan membuat situasi semakin terasa rumit. Tanganku terangkat membelai rambut Kenzo dengan perlahan. “Baiklah, Sayang … tapi cuma sebentar, ya,” ujarku mencoba tersenyum.
“Yeay! Mommy ikut! Mommy ikut!” teriaknya lagi, rasa senang yang ia rasakan itu seakan berhasil memecah ketegangan di dalam ruangan ini, meski justru hal itu membuat dadaku semakin terasa berat.
Aku memejamkan mata sejenak, lalu kembali mengalihkan pandangan pada ayah Kenzo yang kini sibuk dengan ponsel di tangannya. “Tuan … kalau begitu, saya izin mau mengganti baju saya dulu,” pintaku lirih.
“Kamu ganti baju yang baru. Saya tidak mau Kenzo semakin lama terkena debu dan kuman dari baju kotor itu,” jawabnya dengan tegas. “Suster, ambilkan baju dari tenant dan berikan padanya sekarang juga.”
Aku menundukkan kepala, merasakan pipiku yang mulai terasa panas, merasa semakin terpojok dan menjadi orang yang paling bersalah. Tanganku gemetar saat mencoba menjelaskan lagi, tapi ia kembali tak memberi celah sedikitpun.
Kenzo menggenggam tanganku dan mengusapnya dengan tanagn mungilnya, “Mommy … jangan pergi, ya!” bisiknya dengan polos.
Aku mencoba tetap tersenyum, walaupun terasa pahit, “Baik, Sayang… Tante cuma mau ganti baju sebentar, ya. Nanti kita langsung ke mobil,”
Bocah kecil itu mengangguk paham, sementara aku melangkah ke arah suster yang baru saja kembali dengan membawa baju baru di tangannya. Hatiku terasa berat, tapi aku tahu jika ini hanya sementara—aku harus menyesuaikan diri dengan aturan orang tua Kenzo, dan sebisa mungkin menjaga kepercayaan bocah itu.
Setelah mengganti pakaian dan berpamitan dengan Bu Ratih, aku bergegas melangkahkan kaki ke depan pintu utama mall dengan menggandeng tangan Kenzo, sementara satu tangan lainnya menggenggam totebag yang berisi baju milikku dan akta cerai, di depan sana, sebuah mobil hitam mewah sudah terparkir dengan sopir yang sigap membukakan pintu begitu melihat kedatangan kami. Aura dingin dari pria itu kembali terasa saat ia melangkah lebih dulu, memberi isyarat agar aku masuk setelah Kenzo.
Kenzo segera menarik tanganku masuk, lalu duduk manis di pangkuanku begitu kami berada di dalam mobil. Bocah itu menyandarkan kepalanya di dadaku, wajahnya begitu tenang, dengan senyum tipis yang masih mengembang di bibir mungilnya.
“Akhirnya Mommy pulang juga sama aku …” bisiknya bahagia sebelum matanya terpejam, beberapa menit kemudian dengkuran halus dan tarikan napas yang stabil menandakan jika bocah itu sudah terlelap dalam tidurnya. Wajah mungilnya terlihat begitu damai, seakan semua tangis, rengekan, dan ketakutan tadi lenyap begitu saja setelah memastikan aku ada di sisinya.
Kepalanya bersandar tepat di dadaku, membuatku nyaris tak berani menggeakkan badanku. Aku takut membangunkannya, takut mengganggu mimpinya yang mungkin sedang penuh warna tentang Mommy yang akhirnya pulang ke pelukannya. Aku mengembuskan napas panjang, dada terasa sesak oleh perasaan yang belum bisa kujelaskan.
“Nama kamu siapa?” tanyanya tiba-tiba, dan berhasil membuatku sedikit terlonjak.
Aku menatap ke arahnya sekilas lalu kembali mengalihkan pandangan ke arah lain, merasa canggung dengan pertanyaan yang cukup mendadak itu. “S-Safira …,” jawabku pelan, hampir berbisik.
Ia menganggukkan kepalanya, sekali. “Safira…” gumamnya seakan mencoba mengingat namaku.
Aku menggigit bibir bawahku, lalu memberanikan diri untuk bertanya. “Kalau … boleh tahu, nama Tuan ...?” tanyaku dengan ragu.
“Raynard.”
Aku mengangguk dengan cepat. “Baik, Tuan, Raynard” lirihku paham. Tetapi di dalam hati, aku masih mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi di dalam hidupku dalam waktu singkat ini. “Kenapa bisa begini…” bisikku lirih, hampir tak terdengar, sembari menatap wajah polos anak itu.
Aku menunduk kepala makin dalam, mencoba mencerna kata-katanya, sementara nafasku berhembus tak beraturan selaras dengan rasa tenang yang tak bisa kumiliki.“Kau tidak berhutang budi pada mereka,” ujar Raynard dengan tegas. “Kau membutuhkan pekerjaan, sementara mereka butuh pekerja—sederhana. Tidak ada yang perlu kau sesali dengan keputusan yang akan kau ambil.”Aku mengangkat kepalaku sedikit, menatapnya dengan penuh keraguan. “Tapi ... bukankah itu keterlaluan, Tuan? Saya merasa seperti orang yang ... tidak tahu diri,” cicitku mengeluarkan keresahan.Rahang Raynard mengeras begitu ia mendengar ucapanku, lalu ia menggeleng dengan pelan. “Bukan kau yang tidak tahu diri, Safira. Saya yang tidak akan membiarkan seseorang yang kubutuhkan ... terbuang sia-sia.” Tangannya bergerak membuka laci meja dan mengeluarkan sebuah map berwarna hitam, terdengar begitu misterius.“Saya sudah menyiapkan kontrak untukmu,” ucapnya singkat.Aku menatap map itu dengan ragu, lalu menatap pria itu sejenak
Tubuhku langsung menegang begitu mendengar ucapannya, refleks aku menatap wajahnya dan membuat sendok di tanganku hampir terlepas. “D-dengan saya, Tuan?” tanyaku tergagap.Raynard hanya mengangguk sekali. “Ya. Denganmu.”Aku menganggukkan kepala cepat, berusaha menyembunyikan rasa gugup yang jelas terpampang nyata di wajahku. “B-baik, Tuan,” sahutku lirih.Begitu kami semua selesai menyantap makanan, Kenzo buru-buru berlari kecil ke ruang keluarga sambil membawa mainannya dan berteriak memanggil Sus Rini. Tersisa aku dan Raynard yang sama-sama dilanda rasa canggung, tanganku bergerak ikut merapikan piring, tapi sebelum membawanya ke dapur, Raynard kembali bersuara.“Letakkan saja. Biar orang rumah yang membereskan,” ujarnya singkat.Aku terdiam sejenak, kemudian menunduk patuh. “Baik, Tuan ....”“Sekarang ikut saya.”Aku mengangguk sekali lagi, kini langkah kakinya terdengar mantap menuju ke lantai atas, sementara aku masih menatap punggungnya yang begitu tegap.“Ehm,” dehamnya membua
“Mulai sekarang, makan sendiri,” ujarnya datar, tapi terdengar tegas. “Biar Monty-mu itu bisa makan juga,” tambahnya terdengar ketus.Aku terperangah, sendok di tanganku sampai berhenti di udara karena rasa terkejut yang tak bisa aku tahan. Rasanya sulit membedakan apakah nada suaranya sebuah perintah, atau justru sebagai sindiran. Sementara Kenzo hanya terdiam beberapa detik, matanya melirikku seolah meminta perlindungan.“Ta-tapi ... Daddy, aku kan suka disuapin sama Monty ...,” gumam Kenzo dengan suara kecil.Tetapi, tatapan Raynard makin terlihat tajam seolah ia tak mengingkan anaknya itu membantah. “Kenzo,” hanya satu kata yang terucap memang, tapi nadanya cukup untuk membuat bocah itu meringkuk ke arahku. Perlahan, ia meraih tanganku yang masih tergeletak di atas meja, menggenggamnya erat seolah mencari perlindungan.Aku kembali membeku, mataku tak berani menatap Raynard yang jelas-jelas menyadari tindakan anaknya itu. Jantungku berdegup keras, ada rasa takut sekaligus bingung t
Aku menatapnya sungkan, lalu berdeham pelan. “S-saya ...,” lirihku dengan ragu.Raynard menoleh ke arahku dan menatapku tajam. Tatapan yang dalam itu membuatku refleks menundukkan kepala dengan cepat, seakan takut akan ada amarah yang meledak sewaktu-waktu. Beberapa detik berlalu dalam keheningan dan Raynard kembali fokus pada piring di hadapannya, hingga aku akhirnya menghembuskan napas dan memberanikan diri menundukkan kepala sedikit ke arah Raynard.“Maaf, Tuan ... jika saya lancang, dan tidak meminta izin terlebih dahulu ketika ingin ke dapur,” pintaku dengan suara lirih.Raynard mengangkat wajahnya lagi, lalu menatapku lekat dengan ekspresi yang tak terbaca. Jantungku semakin berdebar, aku buru-buru menunduk makin dalam, seakan ingin menghilang dari sorot matanya yang terkesan menelanjangi kesalahanku.Tapi kemudian ... hanya satu anggukan kecil yang ia berikan, sebelum kembali menunduk dan menikmati makanannya.Aku sempat melirik sekilas dari ekor mataku, lalu cepat-cepat menund
“Mbak ... aku boleh masak nggak?” tanyaku hati-hati, aku memutuskan melangkah ke dapur ketika bosan berada di kamar, sementara aku sudah membersikan diriku dan mengganti baju dengan baju yang disiapkan oleh Sus Rini.Seisi dapur sontak menoleh ke arahku dan menghentikan akivitas mereka. Tatapan mereka seolah menelanjangiku dari ujung kepala sampai kaki, ekspresi kaget jelas terlihat di wajahnya. Aku bisa menebak apa yang mereka pikirkan—mungkin mengira aku adalah Nyonya Aruna yang sudah lama tiada?“Lho ... kok mirip banget, ya ...” salah seorang berbisik, tak sadar jika suaranya terdengar olehku.Aku mengibaskan tanganku cepat, menepis pikiran liar yang ersemayam di benaknya. “Bukan, bukan ... aku bukan beliau. Namaku Safira, dan ... aku nggak ada hubungannya sama Nyonya Aruna,” jelaku pada mereka.Mereka saling pandang satu sama lain, seolah ragu dengan penjelasanku. Beberapa di antaranya bahkan langsung menundukkan kepalanya lagi, pura-pura sibuk dengan aktivitasnya.“Ehm ... maaf,
“Aruna …” aku kembali menyebut nama itu pelan, hampir seperti bisikan doa untuknya.Suster Rini mengangguk kecil. Matanya menatapku lama, lalu menggeleng tipis seolah tengah menimbang sesuatu. “Saya, boleh nanya sesuatu?”Aku menoleh dengan alis yang berkerut. “Iya, Sus … apa ya?”“Kalau boleh tahu, kamu aslinya dari mana? Maksudnya, asal-usulmu, gitu. Soalnya … aku masih kepikiran dari pas pertama ngeliat kamu, wajahmu mirip banget sama Nyonya Aruna ... kayak bukan cuma sekadar mirip biasa. Rasanya kayak … ada hubungannya, ditambah Kenzo yang langsung lengket sama kamu padahal belum pernah ketemu kan?”Nafasku tercekat. Pertanyaan itu membuat tenggorokanku kering seketika, bibirku sempat terbuka, tapi kata-kata tak kunjung keluar, aku menelan ludah dengan susah payah.Melihat reaksiku, Suster Rini buru-buru tersenyum tipis, mencoba meredakan suasana. “Maaf ya kalo aku kepo. Soalnya selama ini aku yang paling sering sama Kenzo, dan sekarang ngeliat dia bisa secepat ini deket sama kamu