Ayahnya kini sudah berdiri tepat di depan kami. Sorot matanya begitu menusuk, aura dinginnya membuatku semakin sulit bernapas. “Lepaskan dia,” perintahnya dengan suara rendah.
Tanganku terayun di udara, sementara bibirku hendak merespon ucapanya, tapi Kenzo lebih dulu menjawabnya, “Nggak! Aku nggak mau! Aku takut kalau Mommy pergi lagi … Aku nggak bakal lepasin!”
Ayahnya menarik napas berat, rahangnya terlihat semakin mengeras, jelas ia tengah menahan sesuatu di dalam dadanya. Tangannya terulur, hendak memisahkan kami dengan paksa. Namun, begitu jemarinya menyentuh bahu kecil Kenzo, bocah itu kembali menjerit histeris, memelukku lebih erat lagi, seolah tubuh mungilnya menolak disentuh siapa pun kecuali aku. “Nggak! Aku mau Mommy!”
Aku semakin terpaku dibuatnya, otakku seakan tak bisa mencari jalan keluar dari situasi ini, mataku hanya bisa menatap balik tatapan dingin pria itu, sementara hatiku sendiri semakin diremuk oleh tangisan anak kecil yang bahkan baru saja kukenal.
Tanganku terulur memegang kedua bahunya, “Lepasin dulu ya,” ujarku dengan suara lembut, berharap kali ini ia akan menurutinya.
Ia menggelengkan kepalanya, “Aku mau dipeluk Mommy,” tolaknya mentah-mentah.
“Baik,” putus pria itu dengan menghela napas panjang. “Kalau begitu, ikut saya ke ruangan,” perintahnya dengan tatapan menusuk lalu berbalik meninggalkan ketegangan yang masih tersisa di antara kami.
Aku menatap babbysitter itu, sekilas, mencoba meminta jawaban dari apa yang diinginkan pria itu. Dan, hanya sebuah anggukkan singkat yang ia berikan padaku, tanpa ingin menjelaskan lebih banyak. Aku menghela napas lelah, pandanganku beralih pada sapu dan pel yang kini tergeletak di lantai.
"Lepas sebentar, ya ... Tante mau menyimpan sapu dulu," ujarku singkat. Ajaib! Anak itu bahkan melepaskan pelukannya tanpa perlawanan sedikitpun, lalu berangsur mengikuti langkahku tanpa takut, seolah aku bukanlah ancaman baginya.
Sesampainya di dalam ruangan yang mewah itu, hawa dingin semakin menekan tubuhku. Aku duduk di sofa dengan Kenzo yang masih menempel erat di pangkuanku, kini wajahnya tertanam sempurna di dadaku. Bocah itu masih sedikit sesenggukan, genggamannya begitu kuat seolah aku akan menghilang jika ia melepasnya sedikit saja.
“Kenzo,” suara ayahnya terdengar berat dan tegas, meski masih jelas ada nada sabar yang mungkin dipaksakan. “Lepaskan. Dia bukan Mommy-mu ... dan kita harus pulang.”
Ia menggeleng lebih kuat. “Aku mau pulang sama Mommy…” gumam Kenzo, dengan suara yang serak oleh tangis.
Ayahnya kembali menatapku tajam, seakan aku adalah masalah yang baru saja jatuh dari langit. “Kamu. Tolong bujuk dia,” ujarnya dingin.
Aku menelan ludah dengan susah payah, lalu refleks menganggukkan kepala, tanganku bergerak mengusap rambut Kenzo dengan hati-hati. “Sayang … dengerin Tante ya. Tante bukan Mommy kamu. Tapi kamu boleh kok ketemu sama Tante terus, besok kamu bisa ke sini lagi … sekarang, kamu pulang sama Daddy kamu, ya.”
Namun, bocah itu malah menangis lebih keras, tubuh mungilnya kembali gemetar. “Nggak! Aku tahu Mommy! Aku hafal baunya! Aku nggak mau tinggal sama siapa-siapa, aku maunya pulang sama Mommy!”
Ayahnya mendengus kesal, jelas ia mulai kehilangan kesabarannya. Tubuhnya berangsur mendekat, lalu berjongkok di depan kami, tatapannya lurus menusuk mata Kenzo. “Kenzo, cukup. Pulang sama Daddy.”
Bocah itu langsung menggeleng, tangannya mencengkeram bajuku lebih erat, bahkan kakinya melingkar di pinggangku, seolah mengikatku agar tak bisa ditarik paksa. “Enggak! Aku mau sama Mommy!”
Helaan napas panjang lolos dari bibirnya, seperti mengerahkan seluruh kesabaran yang tersisa. Ia mengangguk sekali, lalu berdiri dan kembali menjaga jarak di antara kita. “Baik," ujarnya dingin. “Kalau begitu ... Suster, tolong panggilkan HRD mall ini,” perintahnya penuh kuasa.
Jantungku berdegup kencang. Apa yang sebenarnya akan terjadi padaku sekarang? Sementara Suster yang dimaksud langsung bergegas menuruti perintah tuannya, ia berlalu dan meninggalkan kami dalam situasi yang menegangkan.
Beberapa menit kemudian, pintu ruangan kembali terbuka, membawa Pak Bayu dengan tatapannya yang penuh kehati-hatian saat melihat pemandangan di hadapannya, seorang bocah yang menangis keras-keras, melingkari tubuhku erat, sementara sang ayah berdiri tegak dengan wajah menegang.
“Permisi, ada yang bisa saya bantu, Tuan?” tanya Pak Bayu hati-hati.
Ayah Kenzo melirik tajam, lalu menunjuk ke arahku. “Anak saya tiba-tiba menempel pada perempuan ini, menangis dan menyebutnya ‘Mommy’, ia bahkan menolak ikut pulang bersama saya,” jelasnya dengan datar. “Tolong bantu luruskan situasi.”
Pak Bayu menoleh ke arahku dengan raut bingung. “Safira … bisa jelaskan?”
Aku menelan ludah, lalu mengangguk singkat. “Saya … tengah berjalan untuk kembali memulai pekerjaan saya. Saya bahkan tidak mengenal anak ini sebelumnya, tapi dia tiba-tiba berlari memeluk saya dan … tidak mau melepaskannya.”
Kenzo menggeleng cepat, menolak semua fakta yang aku ucapkan. “Enggak! Dia Mommy! Aku nggak mau ikut siapa-siapa. Aku mau sama Mommy!” ujarnya tengah tangisan yang kembali pecah di pelukanku.
Ayahnya menghela napas panjang, menekan pelipisnya dengan jari seakan sedang menahan ledakan emosi yang semakin memuncak. “Begini saja,” ujarnya pada akhirnya. “Kalau dia menolak pulang dengan saya, maka … perempuan ini akan ikut. Sampai saya bisa meyakinkan Kenzo.”
Mataku melebar tak percaya. “A-apakah itu perlu, Tuan?” tanyaku pelan.
Ayahnya kini sudah berdiri tepat di depan kami. Sorot matanya begitu menusuk, aura dinginnya membuatku semakin sulit bernapas. “Lepaskan dia,” perintahnya dengan suara rendah.Tanganku terayun di udara, sementara bibirku hendak merespon ucapanya, tapi Kenzo lebih dulu menjawabnya, “Nggak! Aku nggak mau! Aku takut kalau Mommy pergi lagi … Aku nggak bakal lepasin!”Ayahnya menarik napas berat, rahangnya terlihat semakin mengeras, jelas ia tengah menahan sesuatu di dalam dadanya. Tangannya terulur, hendak memisahkan kami dengan paksa. Namun, begitu jemarinya menyentuh bahu kecil Kenzo, bocah itu kembali menjerit histeris, memelukku lebih erat lagi, seolah tubuh mungilnya menolak disentuh siapa pun kecuali aku. “Nggak! Aku mau Mommy!”Aku semakin terpaku dibuatnya, otakku seakan tak bisa mencari jalan keluar dari situasi ini, mataku hanya bisa menatap balik tatapan dingin pria itu, sementara hatiku sendiri semakin diremuk oleh tangisan anak kecil yang bahkan baru saja kukenal.Tanganku te
“A-aku … Mommy?” bisikku, bingung, tatapanku menoleh kanan-kiri mencari siapa orangtuanya.Bocah itu… entah kenapa tatapannya begitu menusuk hati, seolah aku benar-benar orang yang ia cari selama ini. “Mommy … jangan tinggalin aku lagi…” rengeknya dengan memeluk pinggangku erat.“Sayang … kamu salah orang …” bisikku pelan, tapi justru kalimat itu berhasil membuat tangisnya pecah semakin keras. Air mataku jatuh tanpa bisa kucegah. Jemariku gemetar saat menyentuh rambut hitamnya yang begitu lebat. “Maafkan Tante, Nak… Tante bukan orang yang kamu cari…,” gumanku dengan suara parau.Tapi bocah itu menggeleng kuat-kuat, tangannya masih menempel erat pada tubuhku, seolah tengah menyampaikan rasa rindunya pada sosok yang ia panggil Mommy. “Enggak! Kamu Mommy! Aku hafal tubuh Mommy! Aku hafal wajah Mommy!”Aku memejamkan mataku sejenak, kata-katanya menusuk begitu dalam, seakan ia benar-benar yakin kalau aku adalah ibunya. Sementara itu, aku hanya bisa berdiri di tengah-tengah mall, memeluk s
Pak Bayu berdeham, lalu terlihat menuliskan sesuatu di sebuah buku besar, setelah beberapa saat, ia mengangguk seraya mengembalikan KTP milikku. “Mulai kerja hari ini, ya. Seragam nanti diambil di gudang. Kamu langsung ikut Bu Ratih dulu, belajar cara kerjanya gimana.”Aku terbelalak, nyaris tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. “S-sekarang, Pak?” tanyaku terbata.“Ya, sekarang,” ujarnya menganggukkan kepala. “Mall ini sudah mau soft opening besok pagi, jadi kami butuh tenaga tambahan segera buat memastikan pengunjung tetap merasa aman dan nyaman. Kalau kamu bersedia, langsung bisa kerja sekarang juga,” jawabnya dengan tenang, seolah itu hal paling biasa di dunia.Aku menangkupkan tangan di dada, menahan haru yang terus menyerusuk masuk. “Terima kasih banyak, Pak … terima kasih, Bu Ratih …,” ucapku menatap keduanya bergantian.Bu Ratih menepuk bahuku dan tersenyum hangat. “Lihat, Nak? Tuhan nggak pernah tidur untuk membantu setiap hamba-Nya. Jalannya akan selalu ada, bahkan
“Nak … kamu kenapa? Kok nangis di sini?” suara lembut seorang ibu paruh baya menembus kabut pilu di hatiku.Aku menoleh pelan ke arahnya, sementara tanganku buru-buru mengusap pipi dan menyeka air mata secepat mungkin. “Saya … baru aja diusir, Bu …” jawabku dengan nada tercekat. “Ak-akta cerai,” tambahku memperlihatkan selembar kertas, satu-satunya barang yang kubawa dari rumah itu.Ibu itu tersenyum samar, lalu menepuk pelan punggungku. “Sabar ya, Nak. Hidup memang kadang nggak adil buat kita. Tapi bukan berarti hidup kamu harus berhenti di sini. Kamu masih muda, masih bisa kerja, dan masih bisa berdiri lagi buat buktiin kalo kamu kuat menghadapi dunia yang nggak adil ini.”Aku menundukkan kepala, menatap kaki yang sudah membawaku melangkah berjam-jam dan jauh dari rumah hingga ke tempat ini. “Tapi saya nggak punya siapa-siapa, Bu. Saya nggak tau harus kemana....”“Kebetulan, di mall tempat Ibu kerja, masih ada lowongan kerja buat office girl. Kerjanya bersih-bersih aja, ringan kok .
"Betul!" pekik ibu mertua lantang. "Saya yang udah ngurus semuanya! Mulai hari ini kamu BUKAN lagi istri anak saya! Kamu itu aib bagi keluarga ini, Safira! Dan saya nggak mau satu atap lagi sama orang kayak kamu!" murka ibu mertua tanpa mempedulikan perasaanku.Tubuhku terduduk di lantai yang terasa dingin, serasa semua otot-otot dan tulangku melunak, mataku menatap penuh harap pada ibu mertua. "Bu … to-long … jangan … saya … saya masih istri sah Mas Alvin …," bisikku menahan isak. Rasanya, aku belum siap menghadapi situasi seperti ini seorang diri setelah semua yang aku korbankan untuk keluarga ini.Ibu mertua bertolak pinggang, dan tatapan yang begitu nyalang. "SAH apanya?!" potongnya tak terima. "Kalau Alvin sendiri udah rela tanda tangan cerai dan ngurus semuanya, buat apa kamu masih bertahan di sini?! Harusnya kamu bilang seperti itu ketika dalam persidangan ... tapi, semuanya sudah telat, Safira!"Aku mengerjapkan mataku, menoleh sekali lagi ke arah suamiku, berharap ia memberi
Itu gerakan yang sama. Yang dia lakukan padaku saat dia bilang aku satu-satunya wanita di hatinya. Saat dia bilang cinta tak akan berubah. Tapi sekarang, semua itu dia bagikan … pada orang lain. Pada keluarganya sendiri.Aku berdiri mematung, dadaku naik-turun menahan amarah dan luka secara bersamaan. Tapi bibirku tak mampu mengeluarkan satu kata pun. Mataku mulai panas melihat adegan yang begitu menjijikan. Aku ingin berteriak! Ingin marah pada mereka, tapi ... aku tak memiliki tenaga. Aku hancur. Aku hancur!"Mas ... lebih dalam ...," desahan Nesya mengiris gendang telingaku seperti pecahan kaca, tanganya menggelayut pada tengkuk suamiku dan kakinya mengapit badan suamiku, lidah mereka saling beradu satu sama lain, bertukar saliva tanpa merasa bersalah.Seakan menuruti permintaannya, suamiku menggerakkan badannya lebih cepat, ia memompa miliknya begitu semangat seakan ini menjadi permainan terakhir untuk mereka, "Kamu milikku malam ini … eh, pagi ini," ia terkekeh lalu menghentakkan