Share

Bab 4

Perlahan Nadine memapah suaminya menaiki anak tangga. Cukup sulit apalagi Sadam berjalan sempoyongan dan Nadine harus menahan bobot tubuh suaminya yang cukup berat. Tapi akhirnya Nadine berhasil membawa Sadam ke kamar.

Sadam dibaringkan di atas tempat tidur. Dengan telaten Nadine membuka beberapa kancing kemeja yang di pakai suaminya, tak lupa sepatunya pun dia lepas.

Nadine duduk di samping Sadam. Menatap suaminya dengan tatapan miris. Tangannya mengusap rambut Sadam yang basah karena keringat.

"Maafkan aku, Mas. Gara-gara aku, kamu jadi seperti ini. Asal kamu tau Mas, aku tak pernah melakukan hubungan intim dengan siapapun sebelumnya. Kamu adalah orang pertama yang melepas kesucianku. Masalah darah yang keluar atau tidak, bukanlah tolak ukur untuk menentukan apakah seseorang itu masih perawan atau bukan. Dan hal seperti itu seharusnya kamu juga tau, jangan jadikan masalah kecil menjadi pemicu hancurnya hubungan kita, Mas," lirih Nadine lantas menyandarkan kepalanya pada bahu Sadam yang sudah tertidur pulas.

Hal paling nyaman bersandar di bahu suami seperti ini. Membuat Nadine kantuk dan terlelap tidur.

***

Sadam memijit pusing kening, kepalanya terasa berat hingga ia belum membuka mata meski sudah terbangun dari tidur.

Sadam merasa ada seseorang yang bersandar di bahunya. Perlahan pria itu membuka mata, meski baru setengah terbuka namun dia bisa melihat jika Nadine lah yang sedang tertidur di bahunya.

Sontak Sadam mengenyahkan kepala Nadine dengan kasar. Menjauhkan wanita itu dari tubuhnya.

Nadine yang saat itu sedang tertidur nyenyak pun akhirnya bangun.

"Beraninya kamu tidur di sini!" bentak Sadam kini posisinya sudah duduk di tempat tidur berukuran King itu.

Nadine mengucek matanya sebentar, lalu segera turun dari ranjang tersebut.

"Mas, kita ini suami istri. Wajar kalau kita tidur satu ranjang," sergah Nadine.

"Kita memang suami istri, tapi aku tak pernah mau tidur satu ranjang dengan wanita kotor sepertimu! Ikatan pernikahan antara kita hanya sebuah formalitas belaka di mataku, jadi jangan harap kamu akan mendapatkan hak mu sebagai seorang istri," ujar Sadam.

"Cukup Mas, jangan sakiti aku lagi dengan kata-katamu itu. Aku tak seperti yang kamu pikirkan. Hanya karena tak ada bercak darah yang keluar saat kita melakukan malam pertama, lantas kamu tiba-tiba saja berubah membenciku seperti ini? Sungguh tak adil bagiku, Mas. Sepenting apa darah keperawanan itu bagimu? Apa melebihi rasa cintamu padaku? Tak keluar darah keperawanan bukan berarti tak perawan, Mas!" bela Nadine kali ini dia tak kuat memendam perasaannya.

"Tentu saja penting! Mungkin memang ada kasus semacam itu, ada wanita yang tak mengeluarkan darah keperawanan. Tapi siapa tau hal semacam itu dijadikan alasan olehmu. Jadi aku tak mau tertipu untuk yang kedua kalinya, aku tak yakin kamu berkata jujur!" ujar Sadam sambil menunjuk-nunjuk wajah Nadine.

"Bagaimana cara agar kamu percaya? Apa yang harus aku lakukan untuk membuktikan bahwa tuduhan kamu itu tidak benar. Berkata jujur pun kamu tetap tak percaya, Mas. Apakah ini yang dinamakan cinta? Tanpa ada rasa saling percaya satu sama lain?" lirih Nadine mulai terisak.

"Lakukan saja apa yang harus kamu lakukan layaknya seorang istri. Aku akan tetap memberikan nafkah lahir tapi jangan pernah mengharapkan aku untuk menyentuhmu lagi, aku tak sudi!" Sadam melangkah menuju kamar mandi setelah sebelumnya meraih handuk putih yang tergantung di dekat pintu kamar mandi tersebut.

Nadine menjatuhkan bobot tubuhnya di atas ranjang. Menutup wajah dengan kedua telapak tangannya sambil menangis. Tak menyangka pernikahannya akan bernasib buruk seperti ini.

Semula dia pikir tak salah memilih pasangan. Sadam yang dulu dia kenal begitu baik dan mencintainya. Tapi karena sebuah kesalahpahaman membuat pria itu tiba-tiba saja berubah seperti orang asing baginya.

Nadine mengusap kasar air mata yang membasahi wajahnya. Ia tak boleh larut seperti ini. Dia yakin suatu saat Sadam akan luluh dan percaya padanya. Rasa cinta pada Sadam membuatnya begitu mudah memaafkan sikap kasar suaminya, apalagi sikap itu nampak hanya karena sebuah kesalahpahaman saja.

Nadine harus menjadi istri yang baik, melayani suaminya dengan baik agar bisa meluluhkan hati Sadam. Ya, Nadine akan tetap bersabar menghadapi suaminya.

Segera Nadine berdiri membereskan tempat tidur yang berantakan. Kemudian melangkah menuju lemari pakaian. Menyiapkan baju untuk suaminya.

Di simpannya baju itu di atas ranjang yang sudah dia bereskan sebelumnya.

Lalu dia keluar kamar berniat membuat kopi untuk suaminya.

"Selamat pagi, Non Nadine," sapa Mbak Nur asisten rumah tangga di kediaman Prasetyo.

"Pagi, Mbak." Nadine meraih cangkir kecil, mengisinya dengan kopi dan gula yang tersedia di sana.

Kemudian menuangkan air panas ke dalam kopi tersebut.

"Bikin kopi buat Tuan Sadam ya?" tanya Mbak Nur.

Nadine mengangguk pelan, melirik sekilas sambil melempar senyum.

Sadam baru selesai mandi dan hendak mengambil pakaian. Namun belum sempat ia menuju lemari, matanya tertuju pada pakaian yang sudah tersedia rapi di atas tempat tidur.

Sebenarnya pakaian yang dipilih Nadine yang ingin dia pakai hari ini. Tapi karena Sadam ingin menyakiti perasaan istrinya, maka dengan sengaja dia mengambil baju yang lain di lemari dan membiarkan baju yang di ambil Nadine tergeletak di tempat tidur.

Matanya celingukan mencari keberadaan istrinya. Tak dipungkiri perasaan cintanya pada wanita itu masih ada, hanya saja kebencian seakan menutupi perasaan cinta itu.

Ceklek

Terdengar suara pintu terbuka. Nadine muncul dari balik pintu dengan membawa cangkir kopi di tangan. Nampak asap tipis masih mengepul di atas cangkir tersebut. Aroma kopi menguar di udara, tercium harum dan membuat Sadam ingin mencicipinya.

Nadine melempar senyum tertahan saat melihat pakaian yang dikenakan Sadam bukanlah pakaian yang disediakan olehnya. Bahkan pakaian yang sengaja dia sediakan masih ada di atas kasur.

Nadine berusaha untuk berpikir positif, mungkin suaminya memang ingin memakai baju yang lain.

Wanita itu melangkah ke dekat nakas. Menyimpan kopi yang masih panas di atas nakas kecil di samping ranjang.

"Aku buatkan kopi untukmu, minum gih." Nadine berjalan mendekat ke arah suaminya, meraih handuk yang masih di genggam Sadam.

Tak ada jawaban dari suaminya. Nadine menggantungkan handuk di tempatnya lalu membuka jendela kamar agar udara pagi yang segar masuk ke dalam.

Sadam duduk di tepi ranjang, meraih cangkir kopi yang disuguhkan istrinya. Melihat hal itu Nadine diam-diam tersenyum. Akhirnya Sadam mau mencicipi kopi buatannya yang dibuat spesial dengan penuh cinta.

"Cih!" Sadam berdecih setelah menyeruput kopi buatan Nadine.

"Kopi apa ini? Rasanya tak enak! Istri macam apa kamu ini? Bikin kopi saja tak becus," tukas Sadam bangkit melangkah keluar kamar meninggalkan Nadine yang mematung dengan senyuman yang luntur di wajah cantiknya.

"Mas ... biar aku buatkan yang baru." Nadine tak menyerah, dia menyusul langkah suaminya menuju dapur bersih yang bersatu dengan ruang makan.

Di sana sudah ada Saras dan Prasetyo, orang tua Sadam yang sedang sarapan di meja makan.

Keduanya menoleh melihat Nadine mengejar Sadam yang berjalan cepat.

"Mbak Nur, tolong buatkan kopi seperti biasa," titah Sadam dengan nada masih kesal. Pria itu duduk bergabung bersama kedua orang tuanya.

Mbak Nur hanya bengong tak segera mengerjakan perintah majikannya. Ia heran karena tadi Nadine istri dari Sadam sudah membuatkan kopi, lantas kenapa sekarang malah memintanya membuatkan kopi lagi? Mbak Nur malah bertanya-tanya dalam hati sambil mematung menatap Sadam dan Nadine secara bergantian.

"Malah bengong sih? Mbak denger perintahku gak?" ucap Sadam.

"Ba-baik, Tuan. Mbak cuma heran saja, bukannya tadi Non Nadine sudah bikin kopi?" ucap Mbak Nur segera membuatkan kopi dengan mesin.

"Gak enak!" jawab Sadam singkat tanpa menoleh pada Nadine.

"Ya ampun, istri kamu gak bisa bikin kopi doang? Ck ... ck ... " Saras geleng-geleng kepala.

Nadine hanya tersenyum kecut, dia masih mematung berdiri di tempat tak beranjak sedikitpun. Hatinya sakit di kata-katai di depan mertuanya sendiri oleh suaminya. Padahal masalahnya sepele, hanya soal kopi saja. Nadine bisa belajar membuatnya dari Mbak Nur, seharusnya Sadam tak perlu menjatuhkan dirinya di hadapan orang tua, terutama di depan Ibu Saras.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status