Share

Bab 5

"Salah sendiri pilih dia jadi istrimu," ucap Saras mendelik pada Nadine.

"Bu ...." Prasetyo menoleh pada istrinya, seolah matanya mengatakan agar istrinya tak ikut campur urusan rumah tangga mereka.

Mbak Nur nampak iba pada Nadine. Kasihan karena baru sehari saja menginjakkan kaki di rumah ini sudah dijadikan bahan pergunjingan mertua dan suaminya.

"Maaf, Mas, Bu. Nanti saya akan minta diajarin sama Mbak Nur, gimana bikin kopi yang sesuai selera Mas Sadam," ucap Nadine bersuara pada akhirnya.

"Kalau perlu bantu beres-beres sama masak di dapur. Kamu lebih cocok dijadikan pembantu kok daripada jadi istrinya Sadam," pungkas Saras sambil melempar sapu tangan putih dengan kasar ke atas meja.

Ia bangkit dan melengos pergi meninggalkan ruang makan.

"Ya ampun, Ibu ... mulutmu itu loh!" Prasetyo berdiri menyusul langkah istrinya.

Kini hanya ada Sadam dan Nadine di sana, sedang Mbak Nur buru-buru pergi ke belakang ke dapur kotor untuk mencuci piring bekas sarapan. Mbak Nur tak mau mendengar hinaan demi hinaan yang terlontar dari mulut majikannya terhadap Nadine. Dia merasa tak tega melihat Nadine yang begitu lugu tapi di perlakukan dengan tidak baik. Padahal Nadine tidak membuat kesalahan besar.

Sadam melirik pada Nadine yang masih mematung di tempat tampak wanita itu sedang menahan air matanya.

Sadam tersenyum miring, ia merasa puas melihat Nadine menderita, dikata-katai oleh ibunya. Sadam bangkit mendekati istrinya.

"Kamu dengar apa kata ibuku? Kamu memang pantas jadi babu di rumah ini. Wanita kotor sepertimu memang terlalu beruntung jika menjadi istriku, tapi semua sudah terlanjur. Nikmati saja statusmu sebagai istri sekaligus pembantu di rumah ini," bisik Sadam lalu ngeloyor pergi meninggalkan Nadine begitu saja.

Mata wanita itu sudah tak mampu membendung tangis. Apa salah dan dosanya hingga diperlakukan seperti ini. Sadam yang seharusnya menjadi pembela bagi dirinya, malah ikut menghina bahkan membenarkan perkataan ibunya yang tak sepantasnya diucapkan.

Mbak Nur yang selesai mencuci piring nampak kembali ke dapur bersih, melihat Nadine yang menitikkan air mata.

"Sabar, Non. Namanya rumah tangga memang selalu dihiasi oleh kerikil-kerikil kecil yang membuat kita tertusuk dan sakit. Tapi semua itu tak selamanya terjadi. Mbak doakan agar Non sama Tuan Sadam hidup bahagia," ucap Mbak Nur mengelus lengan Nadine.

"Makasih, Mbak." Nadine memeluk wanita berusia 45 tahun itu. Rasanya dia menemukan saudara di rumah ini. Dia yang belum beradaptasi dengan lingkungan rumah suaminya, tentu masih banyak kesalahan kecil yang akan dia lakukan. Jika di ambil dari segi positifnya, perkataan Saras mertuanya dan Sadam memang ada benarnya.

Nadine memang harus banyak belajar pada Mbak Nur. Apa saja kesukaan Sadam, dia harus banyak bertanya pada Mbak Nur yang sudah dua puluh tahun bekerja di rumah ini.

***

Drrrt drrrt

Ponsel Nadine bergetar di atas nakas. Sadam yang sedang sibuk dengan layar laptopnya, melirik sekilas pada ponsel yang tergeletak di atas nakas di sampingnya.

Tertera nama Maya pada layar ponsel tersebut. Saat itu Nadine sedang berada di kamar mandi.

Ponsel Nadine terus berbunyi karena Sadam tak mau mengangkat telepon tersebut. Dia memilih untuk kembali fokus dengan pekerjaannya, membiarkan ponsel itu berdering sampai Nadine selesai mandi.

"Loh, Mas, kenapa gak kamu angkat saja sih? Aku dengar dari tad ponselku berbunyi," ucap Nadine masih mengenakan handuk kimono, melangkah mendekat dan meraih ponsel di atas nakas.

"Kamu pikir aku ini asisten mu? Lagian itu ponsel punya kamu, aku gak mau tau privasi kamu. Begitu juga sebaliknya, kamu jangan pernah berani mengotak-atik ponselku," ujar Sadam.

"Kenapa gitu ngomongnya, Mas? Kita ini suami istri ... " belum selesai Nadine berkata, Sadam sudah lebih dulu memotongnya.

"Sudah aku bilang, status itu hanya formalitas saja." Sadam sibuk mengetik dengan mata tak lepas dari layar laptop.

"Mungkin menurutmu pernikahan kita ini hanya permainan, tapi tidak bagiku. Pernikahan itu sakral, ada janji yang harus kamu tepati diantaranya adalah membahagiakan aku," tukas Nadine.

Sadam menyimpan laptop disampingnya, kini manik mata itu menatap lekat istrinya dengan tatapan menusuk.

"Jika aku harus menepati janjiku untuk bisa membahagiakan kamu, maka seharusnya kamu juga bisa membahagiakan aku. Tapi dari awal kamu sudah membuat aku kecewa, jadi JANGAN PERNAH LAGI MENUNTUT APA-APA DARIKU, APALAGI KEBAHAGIAAN!" suara Sadam makin meninggi membuat Nadine menyipitkan matanya dengan tubuh gemetaran karena takut.

Tanpa mereka sadari di luar sana Saras kebetulan sedang melewati kamar mereka. Mendengar suara ribut-ribut dari dalam kamar putranya, sontak diapun menguping dari luar. Menempelkan telinganya pada daun pintu, agar suara Sadam lebih jelas terdengar.

"Tapi Mas, kamu hanya salah paham." Nadine membela diri.

"Salah paham? Aku capek debat sama kamu, tau gak? Jelas-jelas aku sudah tertipu olehmu! Menikahi wanita yang ternyata sudah tak perawan, kamu pikir aku bodoh? Yang gini ini yang bikin aku gak betah di rumah! Udah salah masih bantah lagi, bawel juga. Malas lama-lama berada di dekatmu," ucap Sadam bangkit hendak mengganti pakaian dan berniat untuk pergi ke diskotik lagi.

"Mas, kamu mau kemana? Aku mohon jangan pergi, jangan mabuk lagi. Oke! Aku gak akan banyak menuntutmu kecuali satu, aku tak mau melihat kamu mabuk-mabukan seperti semalam. Aku khawatir dengan kesehatan kamu, Mas," lirih Nadine memelas.

Sadam sebenarnya hanya menggertak saja, dia tak benar-benar berniat pergi dari rumah apalagi ke diskotik. Banyak kerjaan yang harus dia selesaikan dari rumah, sementara ini dia sedang ambil cuti menikah dan belum masuk kantor lagi. Meskipun dia bosnya di kantor tak membuatnya berleha-leha masalah pekerjaan. Dia terus memantau perkembangan perusahaan selama dirinya tidak hadir ke kantor.

Sadam kembali menjatuhkan dirinya di atas ranjang, meraih laptop dan kembali sibuk bekerja.

Saras yang berada di balik pintu tampak membuka mulutnya lebar-lebar setelah mendengar perdebatan anak dan mantunya. Seakan tak percaya mendengar Nadine yang katanya sudah tak perawan lagi. Kebenciannya terhadap menantunya itu makin menjadi, hatinya meradang dan dia makin tak rela menyerahkan anak semata wayangnya pada wanita yang salah, yaitu Nadine.

Pantas jika sikap Sadam tiba-tiba berubah pada Nadine, rupanya itu alasannya. Pantas mereka pulang dari hotel, mungkin Sadam kecewa dan merasa tertipu saat malam pertama mereka, pikir Saras.

Suara ponsel kembali berbunyi, Nadine segera mengangkat telepon dari Maya yang sedari tadi menghubunginya.

Sebelum menerima panggilan tersebut, terlebih dahulu ia menormalkan suaranya agar tak terdengar serak karena habis menangis dan bertengkar dengan suaminya.

"Hallo, May!" sahut Nadine.

"Mentang-mentang pengantin baru, lama banget ngangkat telepon. Pasti lagi berdua-duaan ya sama suaminya?" Maya menggoda di sebrang telepon.

"Kamu, bisa saja." Nadine melirik sekilas pada Sadam sambil tersenyum kecut.

Senyatanya keadaan Nadine tak seindah yang dibayangkan oleh Maya.

"Maaf, barusan aku habis mandi. Ada apa ya, May? Tumben nelepon," tanya Nadine.

"Lusa nanti ada cara reuni, kamu mau ikut? Harus ikut ya, aku kangen banget sama kamu. Lama gak ketemu, soalnya aku sibuk terus di luar kota sampai-sampai gak sempat datang ke acara nikahan teman sendiri, maaf ya! Sebagai permohonan maaf, aku undang kamu ke acara reuni lusa nanti, biar aku yang atur semua acaranya, jangan khawatir! Kamu hanya tinggal datang, duduk manis dan nikmati acaranya," cerocos Maya seakan tak bisa berhenti bicara.

"Aku minta izin dulu sama suamiku ya, May. Nanti aku kabari lagi," ucap Nadine melirik kembali pada Sadam.

Tatapan mereka pun saling bertemu, namun dengan cepat Sadam memalingkan wajah bersikap acuh tak acuh.

"Ajak saja suamimu, sekalian kenalan kan?" desak Maya.

"Ya, nanti aku kabari lagi, makasih ya undangannya. Bye!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status