Sementara laki-laki yang dicurigai Bima, sudah kembali ke hotel tempatnya selama ini tinggal. "Sial! Kenapa bisa aku tidak menyadari kalau tuan muda ada di belakang tadi?" Lau--si penguntit mengomel sendiri, "mana tadi lagi nelpon tuan besar lagi. Apa tadi dia mendengar percakapanku? Sepertinya iya, soalnya dia langsung bertanya menggunakan bahasa kanton. Bisa-bisa ketahuan. Sial," imbuhnya kembali mengumpat, lalu menghempas duduk di tempat tidur. Setelah berhasil melarikan diri, Lau langsung mencegat motor yang lewat dan minta diantar ke hotel. Tentu saja menggunakan mesin penerjemah agar bisa dipahami oleh pengguna motor tersebut. "Terus motornya gimana, nih?" Lau merebahkan tubuhnya dengan kaki dibiarkan menggantung ke lantai. Lalu kembali bangun saat teleponnya yang sempat mati saat terjatuh, kini kembali berdering setelah dia hidupkan lagi. "Gawat, Tuan Besar nelpon!" Lau panik, seakan orang yang dia takuti itu ada di depannya, laki-laki itu duduk tegak sebelum mene
Ponsel laki-laki itu terjatuh, dia hampir terjatuh saat Bima menarik agar turun dari motor. "Katakan! Siapa kamu? Kamu suruhan Tuan Edward untuk mengawasi aku, kan?!" sentak Bima tak memberi waktu laki-laki itu untuk berdiri dengan benar. Laki-laki itu tak menjawab, tapi dengan gesit dia balas menyerang, hingga cekalan Bima terlepas dan mendorong Bima sampai terjengkang. Tenaga laki-laki sangat kuat, hingga Bima tak bisa menahan keseimbangannya. Pak Tri segera turun, dan sesuai instruksi dari Bima tadi, dia berteriak mencari perhatian warga. "Woii! Tolong! Ada penjahat!" Laki-laki itu mengambil ponselnya cepat, lalu tanpa peduli pada motornya. Dia segera berlari sebelum warga datang begitu mendengar teriakan pak Tri. "Hei! Jangan lari!" teriak pak Tri, namun dia tak bisa mengejar karena lebih mementingkan menolong Bima yang tadi didorong hingga jatuh. Warga mulai berdatangan, namun orang yang dicurigai Bima sebagai suruhan Edward, sudah tak nampak lagi. Larinya san
"Bagaimana keadaan Louis, Dokter?" tanya Bima begitu sudah berhadapan dengan dokter. "Penyebab bayi bapak demam adalah infeksi. Namun selain infeksi, bayi baru lahir juga dapat mengalami demam akibat dehidrasi, efek samping vaksinasi, atau kegerahan karena mengenakan pakaian yang terlalu ketat dan tertutup. Bayi yang terlalu lama terpapar terik matahari pun berisiko tinggi untuk terserang demam. Apa bapak membawa bepergian jauh Louis?" tanya dokter membuat Bima kembali menyadari satu hal. Apa Louis sudah divaksin sebelum dia bawa pergi? Seingatnya, saat dia melihat Louis, bayinya dibalut dengan kain tebal, mungkin maksudnya untuk melindungi dari kedinginan, tapi justru mungkin itu salah satu sebab kini Louis demam. Dehidrasi? Tentu saja hal itu lebih mungkin lagi. Meski saat di pesawat Ajeng begitu telaten mengurus Louis, hingga bayi mungil itu tak sempat menangis lama, dan diberi susu formula. Dan begitu sampai di Indonesia, kembali Louis menggunakan baju tebal untuk
Ketukan di pintu membangunkan Bima dari tidurnya. Dia bahkan belum lama memejamkan mata, setelah terus mencoba menghubungi nomor asing yang tertulis di kertas. Meski tahu ada perbedaan waktu, namun Bima seakan tak ingin peduli dengan itu. Meski tetap hasilnya membuat dia kecewa, karena nomor itu masih tidak bisa dihubungi. "Pak Dirga!" Suara Mela terdengar, gedoran di pintu semakin kencang terdengar, bahkan seperti tidak sabar. Bima segera turun dari pembaringan, membawa langkah meski terasa berat karena kantuk yang mendekap. "Mbak? Ada apa?" tanya Bima begitu pintu terbuka, nampak Mela dan Ajeng berdiri di depan pintu dengan wajah tegang. Dalam gendongan Ajeng, Louis terlihat memejamkan mata. "Mas Louis panas, Pak," terang Mela terlihat cemas. Kantuk Bima langsung pergi begitu saja, dia lantas mengulurkan tangan untuk menyentuh dahi mungil Louis, dengan jantung berdegup kencang. "Bagaimana awalnya, Mbak?" tanya Bima, dia sangat awam mengurus bayi, saat mengetahui
"Bagaimana aku bisa tenang, Max? Kesalahan itu … kesalahan itu mungkin sudah diketahui Edward sejak lama, Max. Tapi aku baru menyadarinya tadi." Max berdiri tegang di depan Sarah. Meski dalam tatapan Sarah, laki-laki itu terlihat tetap tenang seperti biasa. "Saya tidak yakin, Nyonya." "Tapi dia jelas menanyakan padaku, apa aku pernah mengkhianati dia selama pernikahan, Max! Dan kesalahan itu … itu bukan satu pengkhianatan kan, Max? Kita tidak mengkhianati Edward. Kita hanya terjebak dalam situasi yang tidak menguntungkan. Benar kan, Max?!" pekik Sarah sambil berdiri di depan Max. "Pelankan suara anda, Nyonya. Nona Louisa bisa sadar kapan saja. Bukankah anda tidak ingin nona mengetahui tentang hal itu?" kata Max seakan menyadarkan Sarah. "Aku takut, Max. Aku takut kalau Edward sudah mengetahui kebenaran Louisa. Bagaimana aku bisa menjelaskan padanya tentang kesalahan itu?!" "Justru kalau Nyonya terus bersikap seperti ini--apalagi di depan Tuan Edward, bukan tidak mung
"Katakan, apa kamu tidak merasa sudah mengkhianati aku, Sayang?" Edward membingkai wajah Sarah, menatap sendu pada istrinya yang masih terengah setelah tautan bibir mereka terlepas. "Edd … apa yang kamu katakan?" tanya Sarah balas menatap Edward yang langsung terkekeh. "Rupanya istriku tercinta ini benar-benar polos." Edward menjauh, lalu berbalik memunggungi Sarah yang jantungnya masih berdegup kencang mencerna apa yang dikatakan Edward. "Pergilah! Temui papa. Sampaikan salamku untuknya," kata Edward lalu melangkah ke meja kerjanya, "ah, aku belum sempat melihat Louisa lagi. Aku pasti kesana nanti bersama Jason. Calon suaminya." "Jangan keterlaluan, Edd!" sentak Sarah, namun Edward hanya menggeleng. "Aku tak membutuhkan pendapatmu, Sayang. Pergilah! Aku sibuk," usir Edward lalu menyibukkan diri tanpa menganggap Sarah masih ada di sana. "Kenapa kamu bersikap seperti ini padaku, Edd?" lirih Sarah yang berhasil membuat Edward berhenti dari sikap tak pedulinya. Laki-l