JERITAN MALAM PENGANTIN part 5
"Janc*k!" teriak Hanif berlari sambil memegangi handuk yang melingkari pinggangnya."Kalian pada kenapa sih? Kenapa pada lari-larian gitu?" tanya Kak Sarah panik."Demit sial. Tuh, ada di dapur.""Panik sih panik, itu celana dipakai dulu sana," ujar Irma melihat Hanif dengan pandangan aneh."Gue lupa. Ya udah gue pakai di pojokan aja, jangan pada ngintip lu semua!""Rugi gue liatin lu pakai celana, menodai mata gue aja!" ketus Irma sambil menutup wajahnya dengan tangan.Cetlek!Tiba-tiba lampu padam. Di dalam rumah tampak gelap gulita. Ka Sarah langsung mengintip ke jendela, ternyata bukan hanya rumah Nenek yang lampunya mati. Tapi semuanya padam.Teror, lampu mati. Lengkap sudah kini penderitaan kami.Dug ....Dug ....Dug ...."Siapa yang malam-malam dan mati lampu gini main bola sih? Kurang kerjaan banget, udah gitu hujan deras lagi. Gila apa ya, tuh, orang!" maki Hanif."Entah, coba lu tengok, Nif!" ucapku sambil menyinari ruang dengan lampu ponselku."Ayo temenin gue keluar!" Hanif mengajak Ridwan keluar."Elah ... gitu aja minta di temenin, payah lu,"Ridwan dan Hanif memegang gagang pintu dan menekannya.Duaaaarrr ....Gelegar suara petir serta kilatannya mengagetkan kita semua. Ditambah, karena sinar dari kilatan petir tadi langsung menyoroti sesosok yang sudah berdiri tepat di depan pintu.Sosok tanpa kepala itu sudah berdiri dihadapan kami semua."Astaghfirullahaldzim, Allahu Akbar!" Teriak kami bersamaan.Intan dan juga Yuni sudah menangis karena ketakutan. Sedangkan aku, Irma, Ka Sarah juga Hanif dan Ridwan mematung menatap sosok itu.Dari leher yang sudah tidak mempunyai kepala itu mengeluarkan darah sangat banyak.Crraaasshhh ....Darah menyembur mengenai Hanif dan Ridwan."Arrghh ... tolooonggg ..!!"Teriakan dari kepala yang melayang-layang dari atap rumah Pak Cipto begitu lirih. Setelahnya, ia menyeringai begitu seram.Bruukk!!Ridwan menutup pintu dengan sangat kencang. Napasnya tersengal, bagai habis lari maraton.Teror tidak berhenti di sini saja, di dapur kegaduhan yang dibuat pun tidak ada hentinya."Ya Allah, hanya padamu aku berlindung dari godaan setan yang terkutuk," lirih, aku berdoa menyebut asma-asma Allah."Kita nggak bisa di sini terus, Mel, mending sekarang kita keluar. Kalian ke rumah Kakak saja. Bisa jantungan lama-lama diteror seperti ini," ajak Kak Sarah."Tapi di luar masih hujan deras, Kak. Apa nggak sebaiknya kita nunggu hujan berhenti dulu? Seenggaknya tunggu sampai mereda dulu, Kak," jawabku dengan suara bergetar."Nggak bisa kalau diam terus-terusan seperti ini. Bisa mati berdiri di sini kita. Kamu nggak lihat, Dek, keadaan Intan dan Yuni? Mereka sudah pucat pasi seperti itu kerena ketakutan."Kuembuskan napas kasar. Memang tidak bisa diam terus-terusan seperti ini. Lebih baik aku coba telepon Paklik Mulyono dulu."Sebentar, Kak, aku telepon Paklik Mulyono dulu!" Kak Sarah dan lainnya pun mengangguk tanda setuju. Yang lain langsung mempersiapkan jas hujan dan dipakai ke badan masing-masing.Tutttt ....Tuttt ....Tuuuttt ...."Assalamu'alaikum, Paklik. Paklik, jadi menginap atau tidak sekarang?" tanyaku, pada Paklik di sebrang telepon."Jadi, kenapa memangnya? Kenapa suaramu seperti ketakutan begitu, Mel?""Sepulang dari rumah Bule, ada hal yang harus kalian jelaskan padaku. Kami diteror oleh hantu kepala buntung. Sekarang ada teman-temanku. Tapi tetap saja walaupun jumlah kami banyak tidak mengurangi rasa takut kami, Paklik. Aku ijin ke rumah Kak Sarah," ucapku dengan suara yang hampir menangis."Baik, kalian ke rumah Sarah saja dulu. Besok habis subuh kami akan pulang dan menjelaskan semuanya padamu. Jaga diri kalian, hati-hati. Assalamu'alaikum.""W*'alaikumsalam."Sambungan telepon pun terputus. Aku segera memasukkan ponselku ke dalam tas."Kata Paklik kita menginap di rumah Kak Sara dulu. Besok sehabis subuh mereka akan pulang."Mereka semua menggangguk mendengarkan ku. Lalu saat itu juga kami bersiap-siap untuk pergi ke rumah Kak Sarah. Untungnya aku dan Intan bawa jas hujan dari rumah. Semua perlengkapan ku sangat lengkap di sini."Ayo kita keluar!" ajak Ridwan yang sudah bersiap-siap membuka pintu."Tapi di luar masih ada setan itu. Petirnya juga seram banget, gimana mau keluar? Kita nggak boleh mengendarai motor dalam keadaan panik seperti ini. Yang ada kita malah celaka," ucap Kak Sarah menjelaskan."Betul juga yang dibilang sama Kak Sarah. Sebaiknya kita atur dulu rasa takut kita, coba kalian embuskan napas secara perlahan. Jangan panik, sebisa mungkin jangan panik. Anggap saja di luar itu hanya boneka yang mau menakut-nakuti kita. Semakin kita takut, mereka akan semakin senang mengganggu kita," jelas Ridwan menasehati, sambil membersihkan wajahnya yang terkena darah.Kemudian kami semua mencoba apa yang disarankan Ridwan. Kuatur napasku, aku kendalikan rasa takutku."Gimana?" tanya Ridwan lagi."Oke, kita berangkat sekarang. Jangan takut pas lihat tuh makhluk semprul di luar. Anggap aja nggak ada!" tegas Kak Sarah.Kami semua pun sudah prepare dengan tas masing-masing."Bismillahirohmannirohim ...," ucap kami bersama saat akan membuka pintu.Ceklek!Pintu sudah dibuka oleh Ridwan. Posisi Ridwan kita di depan kami semua."Alhamdulillah, nggak ada sosoknya. Ayo cepat keluar!"Kami langsung bersiap-siap dengan motor masing-masing. Aku memakai motor matic milik Paklik Mulyono. Setelah pakai helm, kami langsung tancap gas meluncur ke rumah Kak Sarah. Untuk sampai jalan raya kami harus melewati jalan kampung yang begitu sepi. Banyak pohon-pohon besar di sini.Hujan deras serta kilatan petir tak kami hiraukan. Yang kami pikirkan sekarang adalah sampai dengan selamat di rumah Kak Sarah. Di sepanjang jalan banyak sekali godaan yang menghalangi.Desa ini seperti desa mati. Seperti tidak punya kehidupan. Suara burung hantu menggema, membuat suasana semakin mencekam.Kepakan sayap burung berada sangat dekat denganku. Sepertinya burung ini ada tepat diatas kepalaku."Mel, Mel, kok kaya ada yang ngikutin kita ya?" teriak Intan di boncenganku."Ngikutin gimana?!" balasku berteriak juga."Jangan ngeliat ke atas ya, Mel, fokus nyetir aja."Tiba-tiba saja Intan berbicara seperti itu. Mungkin dia melihat sesuatu di atas, aku pun menuruti perintah Intan.Aku tidak menghiraukan kepakan sayap burung itu, yang terus saja mengikuti kami. Dalam hati terus ku lantunkan asma-asma Allah. Meminta perlindungan-Nya agar kami selamat sampai tujuan.Saat sampai di persimpangan jalan tiba-tiba saja pandangan mataku gelap. Mungkin karena derasnya air hujan juga membuatku tidak fokus. Karena helm-ku berembun.Brakkk!Aku dan Intan jatuh tersungkur di jalanan, motor yang aku kendarai tiba-tiba saja oleng."Astaghfirullah," lirih suara Intan yang jatuh tengkurap. Sedangkan aku, aku jatuh terlentang dengan kepala membentur batu. Untungnya aku menggunakan helm. Jadi tidak begitu terasa sakit.Teman-temanku yang lainnya panik setelah tau aku jatuh. Mereka langsung berhenti dan membantu aku dan Intan."Ya Allah, Dek. Kenapa bisa jatuh begini?" Kak Sarah membantuku pelan-pelan untuk duduk. Intan dibantu Yuni dan juga Irma."Pandanganku tiba-tiba gelap, Kak. Nggak kelihatan jalanannya."Ridwan membantu ambilkan motorku yang jatuh di pinggir jalan."Sekarang kita cari tempat berteduh dulu. Nggak mungkin dilanjutin jalannya, atau nggak. Mely dan Intan dibonceng," ucap Kak Sarah."Dilanjutin perjalanannya. Lu nggak liat apa, itu deket pohon!!" Hanif menunjuk-nunjuk ke arah pohon di sebrang jalan.Kami semua buru-buru menoleh ke arah yang Hanif tunjuk.Sesosok tubuh yang sedang membawa kepalanya sendiri berjalan terseok-seok ke arah kami."Innalillahi ....""Ayo sekarang kita lanjutin perjalanannya. Melly biar sama aku, Intan sama Hanif." Kak Sarah langsung menstater motornya dan membantuku untuk duduk di motor.Setelah itu kita semua bergegas pergi melajukan motor.Saatku lihat jam dipergelangan tangan ternyata sudah pukul 23.00 malam, pantas setan berkeliaran."Kak, jangan panik ya. Aku takut nanti Kakak bawa motornya nggak fokus dan membahayakan kita.""Iya, Dek, tenang aja. Aman, kamu berdoa saja. Agar setan itu tidak terus mengikuti kita."Kak Sarah sangat cepat melajukan motornya. Aku seperti terbang terbawa angin saking ngebutnya.Allah ... kenapa semuanya jadi seperti ini. Desa yang dulu indah kita menjadi sarang setan. Lalu kenapa tadi Mbak Anggun muncul dengan wajah pucat seperti itu, dan muntah darah bercampur belatung yang begitu sangat banyak. Ah, tak bisa dinalar dengan akal sehat.Semuanya membingungkan ku. Banyak teka taki yang harus dipecahkan, semuanya menjadi misteri untukku.Aku harus mencari tahu. Ada apa dibalik ini semua.Aku tidak bisa tenang dengan tinggal di desa seperti ini. Dan banyak warga yang meninggal dengan kondisi yang. Ah, sangat mengenaskan.Aku berjanji, secepatnya akan mencari tahu misteri di desa ini. Agar desa Neneku kembali tenang dan indah seperti dulu.Bersambung ....Setelah kurang lebih dua puluh menit perjalanan menuju rumah Kak Sarah. Akhirnya kami sampai juga, kami disambut oleh keluarga Kak Sarah. Keluarga Kak Sarah nampak sangat panik. Terutama ayahnya Kak Sarah."Ayo kalian masuk. Langsung mandi dan ganti baju, setelah selesai mandi kumpul di ruang tamu!" tegas ayahnya Kak Sarah.Kami semua masuk ke dalam rumah Kak Sarah dan bergantian untuk mandi.Kepalaku terasa nyeri akibat benturan tadi, sedangkan Intan terlihat masih syok atas kejadian yang menimpa kita semua.Benar-benar malam yang sangat menyeramkan. Ketika kita panik, otak tak mampu berpikir dengan jernih. Segala sesuatu pasti dilakukan terburu-buru dan gegabah."Gue, mau pulang aja ke Jakarta," ucap Intan tiba-tiba dengan terisak."Sabar, Tan. Kalau kita pulang, terus siapa yang bakal mengungkap misteri ini? Bukankah sebelumnya kita juga pernah seperti ini?" jawabku sambil memegangi kepala yang masih nyeri."Dulu kita pulang ke Jakarta. Terus apa? Arwah itu meneror kita juga kan sa
Setelah kejadian semalam. Akhirnya kami semua memutuskan untuk menginap di kediaman Kak Sarah. Ridwan dan Hanif tidur di ruang tamu, dan kami para wanita tidur di kamar Kak Sarah. Kamar Kak Sarah lumayan besar, sehingga bisa menampung kami semua. Untungnya Kak Sarah tidak menggunakan ranjang pada kasurnya. Kasur springbed ia letakan di lantai atau lesehan. Kak Sarah bilang, ia takut jika menggunakan ranjang kasur. Takut di bawahnya ada penampakan. Dan subuh ini kami para wanita salat jama'ah di rumah. Sedangkan para lelaki berjama'ah di musala desa."Mel ... ambil wudhunya barengan, gue takut!""Ya Allah, Tan. Udah subuh kali, setan juga kaga ada subuh-subuh mah," ucapku kesal pada Intan."Bodo amat! Pokoknya bareng. Kalau nggak bareng gue nggak jadi salat!" cetusnya."Hilih, semprul! Mau jadi titisan setan lu nggak salat? Ya udah ayo bareng."Kemudian aku dan Intan berbarengan ke kamar mandi untuk mengambil wudhu. Salat pun dipimpin oleh ibunya Kak Sarah."Assalamu'alaikum Warahmatul
Mataku masih menatap ke arah belakang rumah Pak Cipto. Siapakah wanita berbaju merah itu? Jalannya tertatih-tatih, seperti merasakan sakit yang luar biasa. Bukan, bukan Mbak Anggun. Aku tau bagaimana postur tubuh Mbak Anggun.Mbak Anggun tinggi semampai, dan yang aku lihat ini berperawakan kecil mungil. Mungkin tingginya hanya 155 centimeter saja.Teman-temanku yang lainnya pun ikut menengok ke belakang rumah Pak Cipto."Mm--Mba Wuri," ucap Hanif terbata.Hah, Mba Wuri? Bukankah katanya Mbak Wuri sudah meninggal. Aku memang jarang sekali melihat Mba Wuri jika liburan ke desa ini, satu atau dua kali aku pernah bertemu dengan Mba Wuri. Wajahnya cantik dengan kulit putih bersih."Nggak usah bercanda deh. Lu bilang Mbak Wuri udah meninggal kan? Bagaimana bisa orang itu adalah Mbak Wuri," ucap Intan panik."Tapi itu beneran Mbak Wuri, gue hafal banget sama postur tubuhnya." Hanif tetap pada pendiriannya kalau itu Mbak Wuri."Udah pada nggak usah ngaco! Nggak usah dilihatin. Pura-pura ngga
Setelah Nenek masuk ke dalam kamar. Kini di ruang tamu hanya ada aku, Intan dan teman-temanku saja."Masih mau diterusin, Mel?" tanya Intan."Masih, emang lu mau desa ini di teror terus tiap hari. Entar lama-lama nama desa ini bukannya desa Indah Permai lagi. Tapi desa sarang hantu," sahutku."Hiihhh ... serem amat itu omongan." Intan bergidik ngeri."Ya udah, lebih baik kita coba omongin lagi sama Kakek baik-baik. Semoga Kakek izinin, atau kalau nggak kita selidiki bareng-bareng sama Kakek dan Paklik Mulyono," ucap Ridwan memberi ide."Nah, ide yang bagus tuh, Mel," ujar Hanif menimpali dan disetujui oleh teman-teman lainnya.Aku masih diam tak merespon, tapi ide yang dibilang Ridwan boleh juga sih. Kenapa tidak kami selidiki saja bersama Kakek dan Paklik. Setelah nanti ketahuan siapa yang bersekutu dengan iblis, barulah kami akan panggil Ustaz Fiqih."Ya udah nanti gue pikirin dulu ide dari lu, Wan," ujarnya."Nah, gitu dong. Ya udah kita balik dulu ya, lu coba ngomongnya baik-baik
"Ora usah ngeganggu, wong mati iku ngegone wis udu neng dunyo maneh.Opo kowe mati digawe tumbal?" tanya Kakek.(Nggak usah mengganggu, orang mati tempatnya bukan di bumi lagi. Apa kamu mati karna dijadikan tumbal?)Aku, Intan, Irma saling merangkul karena ketakutan. Kakek, Paklik, menjagaku dari depan sedangkan Hanif dan Ridwan menjaga di belakang. "Kowe podo weruh sirahku ora, hah?" Lagi suara lirih dari sosok tanpa wujud itu menanyakan di mana kepalanya.Grookk ....Bug!Seperti suara orang yang digorok lehernya sampai kepalanya putus. Allah ... kenapa banyak sekali gangguannya ketika kami ingin tahu siapa orang yang ke sungai itu.Kami semua langsung berdoa membaca ayat kursi dan surah-surah lainnya. Intan membaca ayat kursi dengan suara yang bergetar dan menahan tangis.Arrggghh ....Teriak-teriakan itu menggema di kebun tebu ini, teriakan kesakitan serta rintihan yang menyayat hati."Sepertinya kita tidak bisa meneruskan untuk memata-matai sekarang. Apalagi turun hujan rintik-
Setelah Ustaz mengusapkan air ke wajahku, aku jadi sedikit lebih tenang. Nenek langsung mendekapku dan mengusap rambut hitamku yang dikuncir kuda.Hoeeekk ....Hoeeekk ....Tuti kembali memuntahkan darah segarnya, kali ini ia muntah lebih banyak. Matanya kini sendu setengah terpejam.Grookkk!Grookkk!Tuti menggelepar seperti ikan yang kehabisan air, serta menyuarkan seperti lehernya tengah di gorok seseorang."Aarrrghh ... sakit, Bu," teriak Tuti. Matanya masih mendelik ke atas, napasnya mulai sesak. Tuti menghembuskan napas terakhirnya dengan mulut menganga, serta mata yang melotot menatap ke atas langi-langit rumah."Innalillahi wainnalilahirojiun ...," lirih suara Pak Ustaz sambil mengusap mata Tuti yang mendelik ke atas."Maksud Pak Ustaz apa ngomong kaya gitu?" ucap Pak Guntur dengan suara bergetar."Tuti sudah pergi, Pak Guntur. Mohon untuk di ikhlaskan kepergiannya." Pak Ustaz berkata sambil mengusap bahu Pak Guntur."Nggak mungkin anakku mati." Pak Guntur langsung mendekap tu
Seminggu sudah kematian Tuti, kini desa kembali sepi. Jika malam-malam kemarin ramai. Itu karena warga mengadakan tahlilan selama seminggu untuk tuti.Suara burung Gagak terdengar jelas di luar rumah. Bau kembali melati menguar kembali.Kakek dan Paklik sedang berada di ruang tamu. Mereka sedang asyik menyesap masing-masing kopinya."Pertanda apa lagi ini, Pak?" tanya Paklik pada Kakek."Semoga aja nggak terjadi apa-apa lagi," jawab Kakek sambil menyesap kopinya."Burung Gagak rupanya daritadi selalu bolak-balik, perasaanku jadi nggak tenang.""Berdoa saja semoga hal yang buruk tidak terjadi!"Aku dan Intan mendengarkan pembicaraan mereka di ruang tv. Ruang tamu dan tv itu jaraknya sangat dekat. Jadi aku bisa mendengarkan semuanya pembicaraan Kakek dan Paklik."Mel, tinggal di sini kaya uji nyali ya kita?" kata Intan."Hemm ... begitulah,""Aku gregetan lho siapa dalang dibalik semua ini!" sungut Intan."Lho, aku pun sama!""Kepalaku rasanya mau meledak ini, aku banyak yang aku curiga
Suara sirine ambulance datang ke TKP serta beberapa mobil polisi pun datang.Orang tua Yuni tak hentinya menangis, apalagi ibunya Yuni yang jatuh pingsan berkali-kali.Saat tubuh Yuni diangkat dan ditaruh di pembungkus mayat berwarna orange, ada bagian anggota tubuh yang jatuh. Ternyata mata Yuni yang jatuh.Astagfirullah ... begitu tragis sekali kematianmu, Yun. Aku masih nggak nyangka kalau kamu bakalan pergi secepat ini."Ayo kita pulang!" ajak Kakek.Kakek membantuku untuk berdiri, rupanya Kakek dan Paklik datang mengendarai mobil temannya tempo hari."Kok pakai mobil, Kek?" tanya Intan."Ada teman Paklik mu datang, jadi kami pinjam."Kami pun langsung masuk ke dalam mobil, aku dan Intan duduk di belakang. Lalu Paklik pun mengendarai mobilnya. Motorku dititipkan di rumah ibu-ibu yang kutumpangi, nanti akan diambil lagi sama Paklik."Kok bisa Yuni tertabrak?" Paklik membuka pembicaraan."Nggak ngerti aku. Tau-tau dari arah belakang bunyi dentuman dan Yuni langsung terkapar di dekat