Share

Mengintai Keluarga Pak Cipto

Setelah kurang lebih dua puluh menit perjalanan menuju rumah Kak Sarah. Akhirnya kami sampai juga, kami disambut oleh keluarga Kak Sarah. Keluarga Kak Sarah nampak sangat panik. Terutama ayahnya Kak Sarah.

"Ayo kalian masuk. Langsung mandi dan ganti baju, setelah selesai mandi kumpul di ruang tamu!" tegas ayahnya Kak Sarah.

Kami semua masuk ke dalam rumah Kak Sarah dan bergantian untuk mandi.

Kepalaku terasa nyeri akibat benturan tadi, sedangkan Intan terlihat masih syok atas kejadian yang menimpa kita semua.

Benar-benar malam yang sangat menyeramkan. Ketika kita panik, otak tak mampu berpikir dengan jernih. Segala sesuatu pasti dilakukan terburu-buru dan gegabah.

"Gue, mau pulang aja ke Jakarta," ucap Intan tiba-tiba dengan terisak.

"Sabar, Tan. Kalau kita pulang, terus siapa yang bakal mengungkap misteri ini? Bukankah sebelumnya kita juga pernah seperti ini?" jawabku sambil memegangi kepala yang masih nyeri.

"Dulu kita pulang ke Jakarta. Terus apa? Arwah itu meneror kita juga kan sampai Jakarta, mungkin memang ada suatu hal yang perlu kita cari tahu kebenarannya. Dengan begitu, kita juga bisa tenang balik ke Jakarta."

Intan tak lagi menjawab pertanyaanku. Mungkin juga dia membenarkan apa yang aku ucapkan.

Saat semua teman-temanku sudah selesai bergantian untuk mandi. Kini giliran aku dan Intan.

"Mel ... mandi bareng ya, gue takut."

Intan bergelayut di lenganku seperti bocah.

"Hiihh ... ogah! Mandi sendiri-sendiri lah, ya kali gue mandi berdua sama lu terus main tatap-tatapan badan. Hih serem lu."

Aku langsung menuju kamar mandi rumah Kak Sarah. Intan cemberut karena aku menolak permintaanya. Kalau dulu waktu masih kecil kami sering mandi bareng. Sekarang sudah dewasa begini mandi bareng lagi? Tak sudih aku.

Aku pun melakukan ritual mandi. Semoga setelah mandi aku bisa berpikir jernih bagaimana cara mengungkap misteri ini.

Lima belas menit aku mandi, badan kembali segar. Setelah itu aku mengganti baju di kamar Kak Sarah dan kembali berkumpul ke ruang tamu.

"Sana mandi, buruan tuh baju lu pada basah dan kotor!" ucapku menyuruh Intan untuk mandi.

"Takut, temenin dong di depan kamar mandi!"

"Ayo Kak Sarah tungguin di depan kamar mandi. Sekalian Kakak mau bikin teh hangat dan pisang goreng."

*****

Setelah Intan sudah selesai mandi, dan Kak Sarah pun sudah selesai membuat teh hangat dan pisang goreng. Kami semua berkumpul di ruang tamu. Di sini juga sudah ada keluarga Kak Sarah.

"Melly, Intan. Apa Nenek dan Kakek-mu sudah bercerita?" tanya Pak Teguh ayahnya Kak Sarah.

"Belum, cerita apa memangnya, Pak?" jawabku. Nenek dan Kakek memang tidak bercerita apa-apa padaku ataupun Intan.

Pak Teguh kemudian memandang langit-langit rumah. Dan menghembuskan napas perlahan.

"Selama kamu tidak berkunjung ke sini. Banyak kejadian aneh yang menimpa desa tempat nenekmu tinggal," ucap Pak Teguh menjelaskan.

"Kejadian aneh bagaimana, Pak?" jawabku sambil menatap serius.

"Banyak warga mati secara tak wajar dan mengenaskan. Aku dan kakekmu curiga dengan keluarga si Cipto itu."

Pak Teguh berbicara sangat serius, yang lainnya pun mendengarkan dengan raut wajah yang tak kalah serius.

Prrraaang!

Gubrag!

Kami semua terkejut saat mendengarkan suara di dapur, seperti ada yang membanting dan memporak porandakan barang-barang.

"Apa setannya ngikutin sampe sini?" tanya Intan gemetar.

"Memang kalian diikutin setan?" tanya Pak Teguh.

"Iya ...," jawab kami.

"Sebentar, saya lihat dulu ke belakang."

Pak Teguh kemudian beranjak ke dapur, dan disusul oleh Ridwan dan Hanif.

Suasana kembali mencekam seperti di rumah Nenek tadi.

Semua yang melihat ke arah Pak Teguh pun nampak pucat, dapat kulihat dari wajah mereka. Kalau mereka semua gemetar dan sudah mengambil ancang-ancang untuk kabur, jikalau nanti tiba-tiba setan itu muncul lagi.

Meeeoooongg!

Gubrak!

Praangg!

"Walaah, jan-jan ... kucing ternyata dasar kampreeet!" umpat Pak Teguh sambil menepuk-nepuk dadanya. Mungkin beliau terkejut.

"Kucing apa kampret, Pak?" kekeh Hanif setelah tau kalau itu kucing.

"Ya ... Kucing toh,"

"Tadi bilangnya kampret," ucap Hanif ngeyel sambil terus terkikih.

"Terserahmu, ora urus!" cetus Pak Teguh.

Hanif ini memang orangnya rada jahil. Suka sekali meledek orang.

Setelah mengetahui hanya seekor kucing, Pak Teguh kembali duduk bersama kami.

"Belum lama ini. Aku, kakekmu dan juga Pak Muklis. Melihat si Cipto membawa plastik hitam besar, sepertinya berat sekali isi didalamnya. Sampai-sampai si Cipto kesusahan dan berkeringat membawanya. Bungkusan hitam itu ia bawa ke gubuk di kebun yang dekat dengan sungai kecil.

Kami mendengarkan dengan seksama cerita Pak Teguh.

"Kira-kira isinya apa, ya, Yah?" tanya Kak Sarah dengan wajah penasaran.

"Entah, apa isinya. Tapi, Pak Muklis bilang isinya seperti orang."

"Apa Pak Cipto membunuh orang? Atau jangan-jangan Pak Cipto melakukan pesugihan hingga menumbalkan beberapa warga desa?" tanya Kak Sarah lagi.

"Kita belum punya buktinya. Jadi tidak bisa asal menuduh. Yang sekarang kita butuhkan adalah bukti benar atau tidaknya. Cipto sangat dingin dan misterius, juga jarang berbaur pada tetangga,"

Aku pun menceritakan apa yang aku alami beberapa hari ini kepada ayahnya Kak Sara. Mulai dari jerit dan rintihan Mbak Anggun di malam pertamanya, serta rintihan di kebun milik Kakek, Nenek. Serta kejadian tadi, saat sosok Mbak Anggun muncul dengan wajah pucatnya serta memuntahkan darah yang bercampur belatung, pun dengan sosok hantu tanpa kepala yang mengendarai motor. Aku menceritakannya sangat detail.

Mereka semua yang mendengarkan pun ikut bergidik ngeri atas apa yang aku dan Intan alami. 

"Ayah saat melihat Pak Cipto membawa bungkusan besar itu kira-kira kapan?" tanya Kak Sarah lagi.

"Seminggu sebelum resepsi Arif,"

Aku jadi penasaran. Kira-kira Pak Cipto membawa bungkusan apa didalam plastik hitam besar? Apakah sampah. Entahlah aku sendiri pun bingung.

"Apa perlu kita ke tempat Pak Cipto membuang bungkusan itu?" ucapku memberi saran.

"Untuk apa?" sahut Pak Teguh.

"Untuk memastikan isi didalam plastik tersebut," jawabku lagi.

"Jangan gegabah. Takutnya Cipto curiga dan macam-macam pada kalian. Saya tidak ingin kaliam celaka!" tegas Pak Teguh.

Aku ini sebenarnya tipe orang yang jika dilarang akan semakin penasaran dan ingin mencaritahu.

"Tapi desa kita terancam, jika memang Pak Cipto melakukan pesugihan dengan banyak menumbalkan warga desa. Desa ini seperti desa mati tak berpenghuni," jawabku lagi.

"Apa kamu mau jadi korban selanjutnya?" ucap Pak Teguh menatapku tajam.

Deg!

Ada raut marah pada wajahnya, serta senyuman yang aneh.

"Tidak! Tidak akan ada korban lagi jika kita semua mencaritahu kebenerannya soal Pak Cipto. Jika memang terbukti Pak Cipto melakukan pesugihan dan berteman dengan Iblis. Maka kita panggil Ustaz dan Kiyai yang mampu melumphkan mereka dengan ayat-ayat suci Allah," tegasku.

"Lakukan jika kalian memang penasaran dan ingin mencaritahu. Anak seperti kalian memang ngeyel kalau dinasehati sama orang tua?"

"Tapi benar, Pak, apa yang dibilang Melly. Kita harus mencaritahu dulu tentang kebenarannya. Tidak mungkin kan, asal maim tuduh saja. Itu namanya memfitnah," ucap Ridwan seakan membelaku.

"Iya, benar. Lebih baik kita caritahu dulu. Kita diam-diam menyelidiki kegiatan Pak Cipto dan keluarganya," sahut yang lainnya, mereka semua setuju dengan ideku.

"Oke, baik. Tapi kalian harus hati-hati. Tidak boleh sampai si Cipto itu merasakan curiga." Akhirnya Pak Teguh mengizinkan kami untuk memata-matai Pak Cipto.

Kami semua meminum dan memakan yang disuguhkan oleh Kak Sarah. Mungkin aku dan Intan akan menginap di rumah Kak Sarah. Jujur, aku juga sangat syok atas kejadian tadi. Kalau mengingat Mbak Anggun muntah, perutku langsung mual. Mie instan yang aku masak tak jadi aku makan. Mungkin sekarang mie itu sudah membengkak seperti cacing tanah.

Aku juga penasaran dengan sosok tubuh tanpa kepala itu. Dari postur tubuhnya seperti pria. Lagi-lagi aku mual dan bercampur ngeri membayangkan kejadian tadi. Aku belum mampu jika melihat hantu yang bentuknya hancur seperti itu. Bau amis darah yang menyeruak dipenciumku, seakan tak mau pergi.

Hoekkk!

Tiba-tiba saja perutku kembali mual karena membayangkan kejadian tadi.

"Kenapa?" tanya Kak Sarah sambil mengurut-ngurut tengkuk leherku.

"Mual, Kak, ngebayangin kejadian tadi."

"Ya sudah jangan dibayangin terus,"

Kak Sarah mengoleskan minyak kayu putih ke tengkuk leherku serta di keningku. Lumayan berkurang rasa mualku.

"Jadi kapan kita mau memata-matai Pak Cipto?" tanya Ridwan sambil menyeruput teh.

"Besok!" jawabku singkat.

"Besok? Kita harus izin juga sama Nenek, Kakek dan Paklik, Mel!" seru Intan.

"Ya sudah minta izin mereka dulu. Semoga diperbolehkan," sahutku pelan.

"Oke gengs, kita akan kembali jadi detektif lagi. Sebelum memulai minta perlindungan dulu sama Allah, biar kita dilindungi dari segala marabahaya," ucap Hanif.

Bersambung ....

 Jangan lupa like, komen dan subscribenya, Kak, biar kalian dapet notif jika up bab baru❤️❤️

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Neny Triana
seru cerita nya bikin penasaran siapa yg nganut ilmu hitam ny
goodnovel comment avatar
sugito700
jancok bener
goodnovel comment avatar
Wawan Setyawan
misteri nya mantaps
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status