Share

Chapter 06

Udara terasa dingin, dingin sekali, begitu juga dengan tetesan embun yang menyejukkan jatuh dari ranting-ranting pohon tua, agaknya curah hujan yang amat lebat telah jatuh sebelum Kelvin menapakan kakinya di atas permukaan rumput yang tumbuh berjenjang luas bagai permadani, gerombolan awan menggulung berarak-arak sepanjang ujung cakrawala. Indah, memang! Akan tetapi Kelvin tidak peduli, ia hanya memilih tetap melanjutkan perjalanannya untuk terus berjalan dan berjalan lalu menyebrang, menurun, mendaki sambil menyusuri seperti seekor semut yang merayap pada sisi tepian sungai. Maka tampak pula airnya begitu amat jernih seperti cermin dua dimensi yang memantulkan keindahan langit tenda dari atas awan, semetara bumi ini sebagai tempatnya bernaung bagi seluruh makhluk hidup yang singgah didalamnya.

Tiada mampu ia bayangkan mengenai dunia luar itu sangat lah luas, terlebih dengan negeri perbukitan ini yang sama sekali belum pernah Kelvin temui melalu surat kabar ataupun koran. Dari sini Kelvin bisa melihat air itu mengalir dan mengalir maka semakin jauh semakin tersamarkan pula bagai dilahap oleh awan kelabu biru yang tampak membentang menyelimuti ujung lereng-lereng perbukitan sana. Kelvin tidak mengetahui banyak mengenai ada atau tidaknya sekumpulan orang banyak yang tinggal didaerah sini, lantaran tujuannya kini hanya satu, yakni ingin mengenal peradaban ajaran-ajaran Islam sebelum datangnya keterasingan dari negeri orang.

Satu jam berlalu, Kelvin berhenti kala menemukan sebuah pohon yang amat lebat, tumbuh berbaris hingga ia juga menemukan satu buah apel merah yang masih menggantung pada rantingnya, tampak begitu segar seakan ingin sekali memakannya, terlebih mengingat pagi ini Kelvin belum juga memakan apapun. Namun setelah ia akan memetiknya tiba-tiba pandangannya malah tertuju pada sekumpulan rumah-rumah terpencil yang hidup ditengah-tengah hutan tanpa ada siapapun mengenal jalur perkotaan, tapi hebatnya tampak semua orang hidup rukun didalamnya, sebuah kubah mushola terlihat meski dari kejauhan begitu pula dengan suara bedug lohor yang kadang bersahutan dengan bunyi kokokkan ayam kala siang. Selintas Kelvin berpikir tidak ada yang istimewa dari tempat ini, bahkan listrik belum juga ditemukan sebagai penerang dikala malam, bagaimana orang-orang bisa bertahan kalau tidak ada listrik? Batinnya berusaha menerka-nerka serta bilamana jika saja dia sendiri yang tinggal disini. Mungkin kejadiannya tidak akan berlangsung begitu lama dan yang pasti lebih baik pergi melanjutkan pengembaraannya ke negeri yang lain pula.

Hawa penasaran seolah membuat kakinya terhipnotis untuk menaiki puluhan anak tangga, wajahnya terperangah berdiri mematung depan gapura tiada seorang penjaga, matanya seakan nanar kala melihat ada ratusan rumah rumah panggung yang berjejer kokoh serta merasa aneh pula didalam pemukiman terpencil seperti ini juga terdapat sekumpulan para penjual yang tengah menjajakan barang dagangannya di p***r. Hei tempatnya tidak terlalu buruk bagi Kelvin, bahkan orang-orang disini juga begitu amat ramah saat menyambut kehadiran seseorang, lihatlah mereka saling menyapa, bersanda gurau, tampak dari pakaiannya pun hampir sama seperti kebanyakan orang-orang milenial pada umumnya, dan lagi yang paling merasa nyaman bagi Kelvin ialah dikala melihat seluruh muara gadis itu begitu bersih. Lantas bagaimana ia bisa berkerumun serta bersahabat dengan mereka?

Ia tapakkan kakinya di atas permukaan ubin-ubin mushola, tampak riuh suara seorang pemuda membaca, terdengar begitu indah, setiap alunan kata yang tidak bisa ia mengerti namun membuatnya sedikit terbuai hingga ingin mendengarkannya langsung dari dalam, dilihatnya orang tengah sujud lalu terduduk, sujud lagi dan terduduk hingga mengucapkan kata salam sambil menengok ke arah Kelvin, selintas satu dua dari mereka tersenyum ramah dan langsung dibalasnya juga oleh Kelvin, sesaat ia ikut terduduk mendengarkan orang-orang tengah membaca namun tidak tahu apa yang mereka baca, yang pasti Kelvin hanya ikut duduk-duduk saja, dilihatnya arloji miliknya itu sudah menunjukan pukul 13:00.54, Maka usai sudah orang-orang itupun keluar dari dalam ruangan mushola.

"Kau dari mana tuan, agaknya saya seperti belum pernah mengenal mu dan tidak pernah merasa kau bukan lah orang asli sini," tanya seorang pemuda yang tadi membacakan alunan kata setiap per ayat-ayat nya yang tidak bisa Kelvin mengerti mengenai terjemahannya. Entah apa maksud dari pemuda itu kala hendak bertanya pada Kelvin, hingga membuat seorang Kelvin agak terperangah dan tersadar menerima pertanyaan itu, lantaran ia pun tak tahu apa sebenarnya yang tengah ia lakukan masuk kedalam sini?

"A, anu... Saya seorang pengembara yang sengaja datang dari negeri hujan, dan saya sengaja datang kesini untuk memperdalam ilmu mengenai ajaran-ajaran Islam." katanya agak sedikit tergagap saat berusaha menjawab.

"Ooh..." balas pemuda itu dengan enteng. "Tinggallah disini, jaga mushola ini tetap aman, maka kau juga nanti akan mengerti." Lanjutnya membuat seorang Kelvin agak sedikit tercengang-cengang saat sudah menerima kata jawaban. Jelas pula mana ada orang yang hanya bisa belajar jika pekerjaannya hanya menunggu dan menunggu mushola tetap aman saja? Ah peduli setan...

Gapura tanpa penjaga itu masih saja terbuka, tampak jalan pada anak-anak tangga itu menurun saat hendak orang keluar, begitupula dengan Kelvin yang sudah muak tinggal berada disini, lagian mana bisa toh, orang-orang hidup tanpa adanya penerang ditengah-tengah gelapnya malam! Batinnya tak henti-hentinya bergelut dengan pikiran.

Seorang gadis yang amat tak asing Kelvin lihat kini tengah duduk di atas kursi pada tepian jalan, helaan nafasnya pelan seakan merobek kabut, tampak gadis itu tengah melemparkan beberapa potong roti kearah burung-burung yang hendak makan lalu beterbangan diatasnya. Indah meski dalam sekejap mata membuat seorang Kelvin merasa nyaman untuk melihatnya. Satu detik setelahnya, gadis itu menoleh dan melemparkan senyum pada Kelvin. Betapa berharganya senyuman itu hingga dibalasnya kembali oleh Kelvin, tiada mampu untuk ia menyapu pandangannya kembali, lantaran tidak ingin gadis yang kini kian hadir didepan mata harus menghilang untuk kesekian kalinya lagi, dan lagi.

"Kelvin..." katanya terdengar halus sambil menampakan senyuman pada muara yang tidak bisa Kelvin lupakan lagi. Namun ada satu hal yang membuat Kelvin bertanya-tanya, bagaimana gadis itu bisa tahu nama orang yang baru saja bertemu langsung mengenal siapa namanya begitu saja? Apakah dia seorang penguntit, mata-mata. Ah mungkin saja tidak, lagi pula orang bodoh mana yang ingin tahu tentang kehidupan dari seorang preman yang kesepian?

"Siapa nama mu? Dan bagaimana kau tahu nama ku padahal kita belum juga pernah bertemu sebelumnya?" tanya Kelvin heran. Namun gadis itu hanya menggeleng pelan saja, lalu dijawabnya kembali pertanyaan itu.

"Kau salah, ingatkah saat kejadian 20 tahun silam, dan sepotong roti yang sengaja dibagi menjadi tiga. Hari itu maaf aku sudah meninggalkan mu, lantaran aku sendiri yang sudah terlanjur dilarang untuk berbelas kasih pada orang yang ada sangkut pautannya dengan anak dari keluarga yang sudah membunuh ayah ku sendiri!" terangnya, namun jawaban itu masih saja membuat Kelvin agak kebingungan, sejujurnya ia tidak mengerti, sedangkan orang-orang bilang kau adalah anak yang tidak di inginkan? Lantas siapa sebenarnya orang tua yang telah tega meninggalkan anaknya sendiri, lebih baik Kelvin sama sekali tidak ingin mengenalnya ketimbang harus memikirkan masalah itu yang membuat ia semakin membenci!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status