Bab 5
Saling Membuka Hati
Tanpa terasa, pernikahan mereka sudah berjalan 3 bulan. Selama ini, mereka rutin setiap Minggu mengunjungi orang tua mereka. Mereka tidak pernah mengizinkan orang tua mereka mengunjungi apartemen. Takut ketahuan tidur terpisah. He……
Ting... tong….
Bel rumah berbunyi.
Begitu pintu terbuka," Kejutan…."
Naura hanya bisa melongo melihat siapa yang datang.
"Mama? Bunda?"
"Kenapa wajah kamu seperti itu? Sepertinya tidak senang melihat kami datang," tanya bunda Bagas.
"Bukan begitu, Bun. Naura hanya kaget saja. Ayo masuk, Bun, Ma!" ujar Naura.
"Bagas belum pulang?"
"Belum Bun. Katanya hari ini mau lembur. Tapi dia janji sudah pulang pas makan malam."
"Dia sering lembur gitu?"
"Gak kok, Ma. Hanya sesekali saja."
"Ya udah, ayo, Mama bantu siapkan makan malam. Tadi, kita udah masak banyak. Nanti kita makan sama-sama."
"Iya,ma. Ayo!"
"Ra, Bunda mau ke toilet dulu ya!"
"Iya, Bun. Sudah tahu letaknya kan?"
"Sudah. Tenang saja. Kamu masak sana sama mamamu."
*************
"Lama amat, Jeng, di toiletnya?" tanya Mama ketika melihat melihat bunda datang.
Bunda hanya tersenyum tanpa menjawab. Ada yang aneh dengan ekspresi wajahnya. Duh, kok aku jadi grogi ya.
"Ada apa, Jeng? Kok kelihatan tegang gitu?" tanya Mama.
Sepertinya, Mama juga menyadari ada yang tidak beres dengan bunda.
"Naura, Bunda mau bicara."
"Ada apa ini Jeng?" tanya Mama penasaran. Kami duduk bersama di ruang makan.
"Naura!"
"Iya, Bun! Ada apa ya?" jawab Naura grogi. Dia bingung, apa yang terjadi sebenarnya?
"Kamu jawab pertanyaan Bunda dengan jujur. Apa benar dugaan Bunda kalo selama ini kalian tidur terpisah? Kalian tidak tidur sekamar?"
"Apa? Jeng Salma serius? Naura, apa benar yang dikatakan Jeng Salma? Ayo, jawab!"
Naura menunduk terdiam. Dia bingung harus menjawab apa.
"Nura! Kenapa diam saja! Ayo, jawab!" ujar Mamanya emosi.
"Sabar, Jeng! jangan dibentak! Naura, jawablah dengn jujur!"
"I … iya, Bun," jawabku sambil menunduk.
"Kenapa?"
"Sebenarnya….." Belum sempat Naura memberikan alasan, tiba-tiba Bagas datang.
"Assalamualaikum…." Mereka serentak menoleh.
Alhamdulillah, kak Bagas sudah pulang. Batin Naura. Jadi, dia gak harus menghadapi ini sendiri.
"Bunda! Mama! Kok main ke sini gak bilang-bilang dulu sih?"
Kak Bagas menatap kami curiga.
"Ada apa ini, Bun?"
"Bagas, duduk!" perintah Bunda.
"Sekarang Bunda mau tanya. Dan jawab pertanyaan Bunda dengan jujur. Apa benar selama ini kalian tidak tidur sekamar?"
Bagas menatap Naura dengan tanda tanya. Yang ditatap hanya bisa menunduk. Tak tahu harus bagaimana.
"Siapa yang bilang seperti itu, Bun?"
"Tidak ada. Tadi Bunda ke toilet dan melihat-lihat apartemen kamu. Ternyata, barang-barang kalian ada di kamar yang terpisah. Dan Naura juga sudah mengakuinya. Kenapa, Bagas? Kalian ini sudah sah menjadi suami istri."
"Maafkan kami, Bun! Pernikahan kami terlalu mendadak. Kami belum siap. Kami juga tidak saling mencintai."
"Itu bukan alasan. Kalian ini sudah menikah. Harusnya kalian belajar saling terbuka. Bukan malah tidur sendiri-sendiri," omel Bunda.
"Bagas, sekarang kamu bantu Naura memindahkan semua barang-barangnya ke kamar kamu. Mulai sekarang kalian harus tidur sekamar. Apa perlu, Bunda tinggal disini untuk mengawasi kalian?"
"Gak usah, Bun. Gak perlu. Kami akan melakukannya. Ayo, Ra! Kita pindahkan barang-barangmu!" jawab Bagas dengan grogi. Dia segera menarik tangan Naura.
"Ayo, Kak!"
Mereka segera menuju ke kamar Naura dan memindahkan semua barang-barang. Mereka bekerja dalam diam. Pikiran mereka berkecamuk.
"Bagaimana ini, Jeng? Apa sebaiknya mereka kita ajak tinggal di rumah saja agar lebih mudah mengawasi?" tanya mama Naura.
"Saya rasa tidak perlu, Jeng. Kita lihat dulu perkembangannya. Mereka jangan terlalu ditekan. Takutnya malah tidak nyaman. Untuk sementara ini sudah cukup."
"Baiklah, Jeng. Saya ikut kata Jeng Salma saja. Ya udah, ayo, lanjut menyiapkan makan malam. Ini kurang sedikit lagi. Mereka pasti lapar setelah kerja keras."
"Iya, Jeng. Mari saya bantu."
Tepat pukul 19.00 WIB, Naura dan Bagas sudah selesai. Mereka sangat kelelahan dan terduduk lemas di sofa.
"Duh, Ra! Barang lo banyak banget! Gila, gue capek banget!" ujar Bagas.
"Emangnya gue gak capek? Itu aja masih berantakan semua."
"Udah, beresinnya ntar aja sambil jalan. Yang penting, semua sudah dipindahkan ke sini."
"Waduh … capek banget kayaknya! Ayo, makan dulu! Ntar dilanjut lagi beberesnya!"
Mereka makan sambil berbincang ringan. Suasana seperti inilah, yang dirindukan Naura. Setelah selesai makan malam, Mama Naura dan Bunda Bagas pamit.
"Bagas, Bunda pulang dulu. Kunci kamar satunya Bunda bawa. Awas, kalo sampai ketahuan kalian tidur terpisah lagi, apartemen ini Bunda pasang cctv!"
"Iya, Bun! Kami akan tidur sekamar. Ya kan, Ra?"
"Kok masih Ra panggilnya? Pake panggilan sayang dong!" perintah sang Bunda.
Bagas hanya bisa menghela nafas menanggapi permintaan sang bunda.
"Iya, Bun! Kami akan tidur sekamar. Ya kan, Sayang?" ucap Bagas akhirnya.
"I … iya, Sayang. Bunda gak usah kuatir," jawab Naura gugup.
"Ya sudah, Bunda pamit dulu. Titip mantu Bunda. Jangan dibikin nangis! Naura sayang, Bunda pulang dulu ya."
"Iya, Bun. Hati-hati di jalan!"
"Naura, Mama pulang dulu. Bagas, Mama pulang ya!"
"Iya, Ma. Hati-hati! Salam buat Papa!"
Setelah melepas kepergian Mama dan Bunda, mereka masuk ke kamar. Bagas langsung menuju kamar mandi untuk membersihkan diri, setelah itu ganti Naura. Sambil menunggu Naura, Bagas bermain ponsel sambil duduk bersandar di tempat tidur.
"Naura, Kakak mau bicara sebentar! Ayo, duduk sini!" ujar Bagas saat melihat Naura keluar.
"Iya, Kak. Ada ada?"
"Kamu tahu kan, maksud permintaan Bunda tadi? Bunda bukan hanya minta kita tidur satu kamar, tapi beliau juga ingin kita menjalani pernikahan yang sesungguhnya. Kakak tahu kamu tidak nyaman, begitu juga Kakak. Tapi, seperti yang Bunda bilang tadi. Kita sudah sah menikah."
"Maksud Kakak apa? Apa Kakak mau minta kita melakukan itu?" tanya Naura sambil tergidik ngeri.
Bagas tersenyum simpul.
"Tidak. Kakak tahu kamu belum siap. Kita mulai dari yang sederhana saja. Pertama, hilangkan kata lo gue. Kedua, Kakak minta mulai sekarang kita mulai saling membuka hati. Bagaimana menurutmu?"
Naura mengangguk tanda setuju.
"Iya, Kak, saya setuju. Tapi……"
"Tapi apa, Ra?"
"Tapi ... apa kakak sudah bisa melupakan kak Kirana?" tanya Naura hati-hati.
"Jujur, kakak belum 100% move on. Tapi, dia sudah meninggalkan Kakak. Jadi, dia sudah Kakak anggap sebagai masa lalu. Dan, kamu adalah masa depan Kakak."
Naura yang mendengar perkataan Bagas tersipu malu.
"Bagaimana kalau suatu saat kak Kirana kembali dan ngajak kakak balikan?" tanya Naura sendu. Sebenarnya, ini yang dia takutkan. Itulah kenapa, selama ini,dia berusaha menjaga hatinya agar tidak jatuh cinta kepada Bagas.
Kebersamaan merek selama tiga bulan, memberikan warna tersendiri kepada Naura. Dia sudah mulai merasakan kenyamanan saat bersama Bagas.
"Gak usah mikir yang gak-gak. Pikirin aja yang sekarang. Bagaimana hubunganmu dengan Nico?" lanjut Bagas.
Bab 6Tidur Sekamar"Bagaimana hubunganmu dengan Nico?" lanjut Bagas."Hubungan apaan? Gue sama Nico gak ada hubungan apa-apa.""Beneran? Sepertinya, dia suka sama lo.""Iya sih, memang benar dia suka sama gue, malah dia pernah nembak gue. Hanya saja, gue nganggap dia teman doang.""Kenapa?""Ya … gak papa. Kan, emang perasaan gak bisa dipaksain.""Dia ganteng, lho! Pasti banyak yang suka. Meskipun, masih gantengan gue jauh sih!"Naura tertawa terpingkal mendengar kepedean Bagas."Ha … ha … ha…. Ih … Kak Bagas! Orang lagi serius juga, bisa aja bercanda
Bab 7Naura Cemburu" Kak Bagas …!" panggil wanita itu seraya mencium pipi kanan dan kiri Bagas.Bagas yang tak siap, tak sempat menghindar."Kamu …." ucapan Bagas terputus saking terkejutnya."Iya … ini aku. Kakak apa kabar?" ujar wanita itu."Aku … baik. Sama siapa?" tanya Bagas."Sendiri aja. Kak Ronald masih di Aussie, ngurusin bisnisnya. Kakak sama siapa?"Bagas ingin menjawab, tapi didahului oleh Naura."Sayang … dia siapa?" tanya Naura sambil bergelayut manja di lengan Bagas."Ow … iya, Sayang! Kenalin! Ini Alice, adiknya Ronald, sahabat aku pas kuliah."Naura
Bab 8Bagas Sakit"Kalo cewek gak mau, ya jangan dipaksa!" sela Bagas yang tiba-tiba sudah muncul."Emangnya lo siapa? Gak usah ikut campur!" ujar Nico ngegas."Lo belum tahu siapa gue? Dengarkan baik-baik. Gue suaminya Naura. Jadi, jangan pernah lo coba ganggu dia lagi! Ngerti lo!" ujar Bagas."Apa benar yang dia katakan, Ra?" tanya Nico kepada Naura."Udah dibilangin, masih saja ngeyel!" ejek Bagas."Gue tanya sama Naura, bukan sama lo!" ujar Nico sambil menunjuk muka Bagas."Apa lo pake nunjuk-nunjuk?" Bagas tersulut emosinya."Kur*ng aj*r!" teriak Nico.Bugh …. Nico menghantam wajah Bagas.Bagas yang tak siap, tak sempat meng
Bab 9Bulan MaduPukul 08.00 WIB Naura terbangun. Dia berjalan perlahan ke kamar mandi. Rasanya nyeri sekali. Tapi dia bahagia. Hari ini, dia sudah menjadi istri Bagas seutuhnya.Dia sadar, selama ini dia sudah mulai jatuh cinta pada sang suami. Cinta yang dia pendam sendiri, karena menunggu sang pujaan hati benar-benar siap membuka hati. Wajahnya merona saat ingat kejadian tadi."Masih sakit?" tanya Bagas lembut saat mendapati Naura keluar perlahan dari kamar mandi."Gak kok! Udah mendingan."Bagas menghampiri Naura, lalu membopongnya menuju tempat tidur."Istirahatlah! Kamu pasti capek!""Aku mau masak, Kak! Ini sudah siang!""Gak usah masak! Kita order saja! Satu lagi! Jangan panggil aku kak la
Bab 10Tamu Tak DiundangMereka tiba di Jakarta pukul 19.00 WIB. Mereka sepakat untuk pulang ke apartemen dahulu untuk berisitirahat. Besok mereka baru akan ke rumah orang tua mereka untuk mengantar oleh-oleh.Pagi ini, saat bangun tidur, Naura merasa mual hebat. Dia langsung berlari menuju kamar mandi.Bagas yang terkejut, langsung menyusulnya. Dia memijit lembut tengkuk Naura."Bagaimana, Sayang? Sudah enakan?" tanya Bagas.Naura hanya melambaikan tangannya dengan lemas. Setelah selesai, Bagas segera membopong tubuh istrinya ke tempat tidur. Setelah menidurkan istrinya, dia bergegas menuju dapur untuk membuat teh hangat."Diminum dulu, tehnya! Biar enakan! Habis ini kita ke dokter, ya! Wajah kamu pucat banget, gitu!" ucap Bagas.
Bab 11Kirana KembaliTing … tong….Bel rumah berbunyi.Naura bergegas membuka pintu. Saat pintu terbuka, Naura tertegun melihat siapa yang datang."Siapa, Sayang?" tanya Bagas sembari berjalan ke depan. Dia pun tertegun. Suasana pun sesaat menjadi canggung. "Selamat pagi! Maaf mengganggu waktunya! Boleh saya masuk?" tanya Kirana.Ya, tamu mereka pagi ini adalah Kirana. Naura hanya mampu menatap wanita itu dengan pandangan yang entah. Sulit untuk diterjemahkan."Pergilah!" ujar Bagas."Kak, ijinkan aku menjelaskan semuanya! Setelah selesai, terserah bagaimana penilaianmu! Aku hanya ingin menjelaskan semuanya!" mohon Kirana."Tidak ada yang perlu dijelaskan! Pergilah! Aku tidak ingin melihat mukamu lagi!""Tolong, beri aku waktu sebentar saja! Aku mohon!""Pergi, kataku!" Bagas berteriak keras. Naura terkaget. Baru kali ini, dia melihat Bagas semarah itu. Selama ini, Bagas terlihat tenang, bahkan saat mereka terpaksa menikah, dia terlihat pasrah. "Baiklah, aku akan pergi! Aku harap
Bab 12Dalang Gagalnya Pernikahan Bagas-Kirana"Iya. Terpaksa. Aku tidak akan tenang kalau belum jelasin semua!"Bagas menghela napas. Melihat situasinya, Anita segera meminta izin untuk kembali ke kantor terlebih dahulu."Sepuluh menit! Aku beri kamu waktu sepuluh menit!""Sayang, maafkan aku! Aku ta—.""Jangan panggil sayang. Kau bukan siapa-siapa ku!" ujar Bagas dingin.Kirana menunduk. Matanya sudah mulai berkaca-kaca."Em … Kak … aku … minta maaf. Maaf … karena aku sudah melakukan kesalahan besar sama kamu. Aku melakukannya karena aku disuruh.""Siapa yang menyuruhmu?" tanya Bagas dingin.Kirana diam dan menunduk. Dia tidak berani mengangkat kepalanya."Kenapa diam saja? Siapa yang menyuruhmu?" bentak Bagas. "Kak Ronald," jawab Kirana lirih.Bagas mencelos. Semua ini, diluar perkiraannya. "Kenapa?" tanya Bags lirih."Dia ingin membalas sakit hatinya. Dulu, saat kamu menolak Alice, dia sempat depresi dan mencoba bunuh diri. Perlu waktu cukup lama untuk menyembuhkan adiknya. Bahk
Bab 13Penyesalan Kirana"Kamu tidak mau menjadi kekasihku?" tanya Ronald."Tentu saja aku mau, Kak. Itu adalah impianku sejak lama. Tapi … kenapa?" tanya Kirana bingung."Kenapa? Tentu saja karena aku menginginkan kamu," jawab Ronald santai."Tapi … ini seperti mustahil. Bagaimana bisa?" Kirana masih kebingungan."Tentu saja bisa. Bahkan, aku akan menikahimu," ujar Ronald."Kakak serius?" tanya Kirana memastikan."Tentu saja. Aku akan menikahi kamu, asalkan kamu mau membantuku.""Membantu apa?" tanya Kirana."Membalas dendam kepada Bagas," sahut Ronald mantap."Apa? Tidak. Aku tidak bisa menyakiti dia. Dia terlalu baik.""Terserah kamu. Itu berarti, kamu lebih memilih menyakiti diri kamu sendiri. Apakah kamu benar-benar akan melewatkan kesempatan menikah denganku?""Kak, aku memang mencintai kamu. Tapi, tidak seperti ini.""Kirana, hidup itu pilihan. Dan sekarang, saatnya kamu memilih. Tetap bersama dia atau menikah denganku."Kirana terdiam. "Aku akan menemui kamu seminggu lagi. Pi