"Naf__nafkah ba__tin?" Ucapanku terbata.
Kapan aku bilang menginginkannya?
"Abang sedang mabuk, ya?" protesku, sambil bangkit dari tempat tidur. Tentu saja masih dengan tangan yang masih setia melindungi kerah piyama.
"Bu_bukankah kau sudah setuju? Kau bahkan terdengar begitu yakin." Suara bang Haikal tampak gugup.
"Tapi... itu...."
Ah, ya. Ini pasti salah paham. Dia membahas apa, aku menjawab apa.
Aku menarik napas. Jadi yang dari tadi dia maksud adalah tentang nina ninu malam pengantin? Pantas saja hanya aku sendiri yang dia bilang akan merasa sakit. Kudengar memang seperti itulah rasanya pertama kali seorang wanita menanggalkan status perawannya.
"Jadi, kau mau atau tidak?" Bang Haikal kembali bertanya.
Namun lagi-lagi pertanyaan itu terasa begitu ambigu. Aku takut kembali terjadi kesalah pahaman.
"TIDAK MAU!" Aku setengah berteriak sambil menggeleng. Mengusap sisa air mata yang tadi mengalir deras.
Apa pun itu, aku tidak mau. Baik bercerai atau nafkah batin, aku tetap tidak mau.
Aku berjalan mendekati bang Haikal. Bermaksud menolongnya untuk bangkit. Namun belum sempat aku sampai, tangannya sudah terjulur dengan lima jari ke hadapanku, mengisyaratkan bahwa jangan sampai aku mendekat.
"Aku hanya ingin menolong Abang. Maaf, aku tak sengaja." Merasa menyesal telah mendorongnya hingga terjatuh.
"Sudahlah. Aku bisa bangun sendiri."
Tak lama dia bangkit dan menepuk-nepuk telapak tangan layaknya membersihkan debu. Padahal lantai kamar ini selalu aku bersihkan hingga mengkilap.
"Kenapa pipi Abang memerah? Sakit, ya?" Aku sedikit khawatir dengan pipi mulus suamiku itu. Dia itu menahan rasa sakit atau sedang marah?
"Aku panaskan air untuk mengompres, ya?" Aku kembali mendekatinya.
"Tidak, tidak." Dia kembali melarangku untuk mendekat. "Aku kembali ke kamar saja."
Dengan cepat dia melangkahkan kaki, keluar dari kamarku tanpa menoleh lagi. Masih kulihat gerakan tangannya menepuk-nepuk pipinya sendiri. Apa tiba-tiba dia terserang demam?
Aku kembali terduduk lemas di tepi ranjang saat tubuh bang Haikal menghilang dari balik pintu. Kupegangi dadaku untuk meredakan suara jantung yang sedari tadi sudah jedag jedug layaknya video tiktok.
Aku menarik sudut bibir. Merasa lega karena apa yang aku takutkan tidak jadi dia lakukan. Setidaknya malam ini aku selamat. Aku benar-benar tidak jadi bercerai dan masih tetap menjadi istrinya.
Terima kasih, Tuhan. Kejaiban itu nyata dan telah Engkau berikan malam ini.
*
Keesokan paginya aku menyiapkan sarapan seperti biasa. Bang Haikal langsung duduk di meja makan tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Aneh saja. Biasanya dia masih mau berbasa-basi menanyakan sarapan apa yang aku buat. Atau rencana apa yang akan aku lakukan hari ini.
"Abang sakit, ya? Setelah salat isya, Abang tak keluar kamar." Aku membuka percakapan.
"Tidak!" jawabnya singkat.
"Abang kecewa karena aku membatalkan__."
Tiba-tiba suara batuk terdengar dari mulutnya. Sepertinya dia tersedak hingga memukul-mukul dadanya sendiri. Aku langsung menyodorkan air minum padanya.
"Jangan lagi membahasnya. Tidak jadi, ya tidak jadi. Aku juga tidak mau menjadi duda. Malu!" ucapnya, sambil terbatuk-batuk.
"Maksudku soal naf__."
"Kubilang tidak usah dibahas!" Dia kembali menyela ucapanku. Kali ini dengan sedikit tegas.
Aku mengulum senyum. Dia pasti manahan malu karena tidak jadi melakukan ritual malam pengantin denganku. Apa lagi sampai salah pemikiran tentang permintaanku.
Dasar laki-laki. Mau saja melakukannya meski dengan orang yang tidak dicintai. Memangnya dengan begitu aku bahagia? Memikirkan bahwa dia sedang membayangkan Kania saat bersentuhan denganku?
Itu menyakitkan, Bang!
Kalau soal nafkah batin aku juga masih sabar menunggu. Aku tidak serakus wanita-wanita di luar sana. Yang aku mau dia mencintaiku dan melupakan bayang-bayang Kania dari ingatannya. Aku lelah selalu dibanding-bandingkan dengan wanita sempurna versi suamiku itu.
Usai sarapan bang Haikal pamit. Pipinya yang tadi sudah kembali ke warna asli, kini terlihat kembali memerah. Entah apa yang sedang terjadi padanya.
*
Malam hari usai salat isya, bang Haikal tetap berada di dalam kamar seperti biasa. Kami benar-benar seperti anak kost yang tidak saling peduli satu sama lain. Sibuk dengan urusan masing-masing. Terkadang aku menguping dari pintu kamarnya, siapa tahu dia sedang mengobrol bersama Kania melalui video call. Sikap bang Haikal berubah seratus delapan puluh derajat saat aku memintanya menikah. Dia tak mau lagi dekat denganku seperti sebelum-sebelumnya.Seumur hidup aku dan dia bertetangga dan akrab layaknya kakak dan adik. Namun perasaannya lenyap begitu saja begitu aku bilang mencintainya dan memaksa ingin menikah dengannya.Memangnya aku sehina itu? Tak pantas jatuh cinta dengan pria istimewa yang selalu aku puja. "Jangan main-main, Dwi," ucapnya kala itu. "Sekolah yang benar." Dia lalu mengacak-acak rambutku saat pertama kali mengungkapkan perasaan.Saat itu aku masih kelas dua SMP. Sedang usia kami yang hampir terpaut enam tahun membuat dia sudah berada di fase usia hampir dewasa. Saa
"Kenapa Abang jadi galak? Kalau tidak mau kan tidak harus marah-marah." Aku mulai menangis.Hatiku terasa begitu sakit. Entah karena merasa dia terlalu kasar hanya karena masalah sepele seperti ini, ataukah saat dia kembali membawa-bawa nama Kania.Obsesi katanya? Dia bilang aku iri? Ya. Aku memang iri. Gadis bernama Kania telah mencuri perhatian dan semua waktu yang dulu bang Haikal berikan untukku. Lebih memilih mengantar Kania yang berlawanan arah ketimbang menjemputku dari pulang les meski tempat tinggal kami berdekatan."Minta Eka atau Pak Ali menjemputmu, ya. Kasihan kalau Kania pulang sendirian."Alasan ke sekian yang membuatku begitu membenci Kania.*Aku dan suamiku akhirnya memakai mobil ayah. Dia akhirnya mengalah setelah melihatku menangis, lalu meminta maaf karena terlalu kasar dan berjanji tidak akan mengungkit soal Kania lagi. Ya. Sebesar itu cara dia menghargai perasaanku. Tapi, jika perasaannya sendiri juga belum berubah untuk mencintaiku, aku bisa apa?Kami sampai
"Eh, sudah, ya? Suamiku pasti sudah menunggu." Aku bergegas pergi tanpa berniat menjawab pertanyaannya.Kuliah? Bahkan berangkat sekolah dulu pun aku sudah malas. Tak ada pelajaran yang aku sukai. Juga tak ada guru tampan atau kakak kelas yang membuatku bersemangat menuju ke sana. Yang kupikirkan hanyalah bagaimana caranya agar cepat pulang dan melintasi rumah kontrakan yang ditempati bang Haikal dan keluarganya."Ini saladnya, Bang." Aku meletakkan mangkuk kecil di atas meja. Dia hanya mengangguk."Abang lama menunggu, ya? Tadi aku berbicara sebentar dengan teman. Sudah lama tidak bertemu. Dulu dia itu__.""Tidak apa-apa," selanya sebelum aku menyelesaikan ucapan. "Kau temui saja dulu teman-temanmu. Aku tunggu di sini." "Abang bosan, ya?""Kubilang tidak apa-apa. Ini pesta temanmu. Berbaurlah."Aku tak menggubris ucapannya. Aku lebih memilih menemaninya meski tahu tak akan ada pembicaraan berarti di antara kami. Ingin sekali aku mengajaknya pulang. Kasihan karena kelihatannya dia t
Aku langsung mendongak karena tak mengenali sepatu itu. Lalu Kulihat sesosok pria yang tadi kutemui sedang berdiri menatapku. Aku langsung bangkit dan berdiri. Mengusap air mata dengan menekuk jari telunjuk. Menyelipkan rambutku ke belakang telinga yang kurasa tadi sedikit acak-acakan. Bima tak boleh melihat keadaanku yang kacau seperti ini."Sedang apa kau di sini?" Aku balik bertanya."Pulang. Itu mobilku." Dia menunjuk dengan dagu ke samping mobil yang kami bawa tadi.Aku hanya ber oh ria saja. Tak ingin bertanya lebih jauh."Kau sendiri? Kenapa menangis?""Aku? Siapa yang menangis? Aku baik-baik saja." Aku berdusta agar dia tak bertanya lagi. Dia menatapku heran. Raut wajahnya jelas tak percaya pada pengakuanku."Kenapa sendirian? Mana suamimu?""Oh, itu... dia....""Aku di sini. Ada perlu apa mencariku?" Suara bariton itu tiba-tiba muncul dari balik punggungnya. Aku langsung menekuk wajah begitu melihatnya. Meski di depan orang lain aku baik-baik saja, tetap saja tak bisa kuse
"Kenapa? Curiga lagi? Ganti bajumu, ikut denganku."Aku menatap wajahnya. Lalu memandang dress selutut yang aku kenakan saat ini. Ada apa dengan gaun ini? Kenapa dia menyuruhku untuk menggantinya. Jika terlalu pendek, kenapa tadi dia membiarkanku bertemu teman-temanku? Lagipula baju ini sudah pernah aku pakai ke rumah orang tuaku. Bang Eka pun sama sekali tak keberatan. Kenapa malah tak mau aku memakainya malam ini."Pulangnya naik motor. Kau pasti merasa tidak nyaman. Itu kan alasanmu menyuruh pak Ali datang?" Ucapannya seolah tahu apa yang sedang aku pikirkan.Aku sedikit bernapas lega. Sepertinya dia begitu mengerti apa saja yang ada di dalam pikiranku.*Aku dan bang Haikal pamit usai mengambil motor yang dibawa oleh pak Ali sore tadi. Ayah menyuruh kami menginap, namun bang Haikal menolak. Kami hanya akan menginap saat akhir pekan saja. Agar dia tak perlu buru-buru bangun untuk berangkat ke kantor lebih cepat."Kau masih marah?" Dia bertanya saat berhenti di lampu merah. Aku yan
Dahinya mengernyit mendengar nama itu. Alis tipisnya bahkan terlihat hampir menyatu."Kania? Kenapa tiba-tiba kau membicarakannya?" Wajahnya tampak bingung. Entah itu sungguhan atau hanya sekedar sandiwara. Aku memundurkan punggung ke sandaran kursi sambil menyilangkan kedua tangan di dada. Mencoba mengintimidasi dengan menatap tajam ke arahnya. Bersikap seolah aku sudah tahu semua perbuatannya."Pestamu. Kenapa mengundangnya? Kau jelas tahu kalau aku begitu cemburu dan membenci wanita itu.""Kau salah paham, Dwi. Aku tak pernah mengundangnya. Aku juga tak tahu kalau dia hadir malam tadi. Kau lihat sendiri aku begitu sibuk dengan teman-teman kampusku, bukan?""Jadi kenapa dia bisa berada di sana? Dia bahkan menatap suamiku. Dia berusaha menggodanya, De." Aku mulai tersulut emosi. Membayangkan bagaimana mereka saling memandang penuh cinta."Aku benar-benar tidak tahu," ucapnya lirih, seperti ikut merasakan kesakitanku.Aku mengalihkan pandangan. Mataku perih menahan air yang kini suda
Aku menyiapkan bekal untuk makan siang. Hari ini aku bermaksud membuat kejutan dengan mengantarkan nasi dan lauk pauk yang aku buat ke kantor bang Haikal. Hari ini aku bangun kesiangan karena tidak salat subuh. Hanya sempat mendadar telur saja untuk sarapan suamiku. Biasanya jika seperti itu dia akan makan siang di luar saja. Ini sudah tanggal tua. Dia pasti kehabisan uang untuk melakukan itu. Aku takut dia hanya akan makan pop mie di pantry saja karena merasa segan meminta uang padaku.Padahal aku tak pernah menuntut semua gaji yang dia hasilkan. Gaji yang masih secara manual dimasukkan ke dalam amplop dia serahkan padaku. Dia hanya meminta sebagian untuk uang bensin dan juga pegangan selama di perjalanan.Aku bilang tak butuh itu. Uang saku dari ayah dan juga bang Eka berkali-kali lipat dari gajinya saat ini. Namun lagi-lagi dia tersinggung."Memang seperti inilah berumah tangga. Istri harus mampu mengelola penghasilan suami meski tak seberapa. Kalau kau masih belum paham, kenapa
Hati ini begitu hancur. Mati-matian aku berusaha bertahan untuk merebut perhatiannya. Bahkan membatalkan permintaan cerai karena suamiku juga tak mau aku menyandang status janda di usia muda.Lalu ini apa? Dia lebih memilih menanggung dosa perselingkuhan dibanding menceraikan aku yang sudah jelas-jelas ingin membebaskannya.Aku tak mau lagi. Aku menyerah dan ingin segera membebaskan rasa sakit ini.Tiba-tiba dering ponsel terdengar. Aku yang tengah bersembunyi di balik sebuah mobil tak mau menghiraukan dan memilih mengabaikannya. Aku mundur perlahan untuk segera pulang. Sampai akhirnya punggungku menabrak tubuh seseorang."Kau di sini rupanya." Bang Haikal menegur, masih dengan ponsel yang menempel di telinga.Aku langsung mengusap air mata dengan kasar. Namun dadaku masih naik turun karena menahan sesak. "Kau kenapa? Apa seseorang menganggumu?" Dia tampak begitu khawatir. Aku tak peduli dan enggan menjawab.Bukankah harusnya dia berpikir bahwa aku menangis karena perbuatannya. Belum