Malam itu hujan deras melanda Kerajaan Crator. Kilat dan petir saling bersahutan membuat siapapun enggan untuk keluar rumah. Ditengah derasnya hujan seorang wanita tampak berlari dari kejaran beberapa pria di sebuah hutan yang gelap. Gaun putihnya telah basah kuyup karena hujan. Ujung gaunnya telah robek karena beberapa tanaman berduri yang ia lalui. Bahkan kaki telanjangnya juga telah mengeluarkan darah. Namun semua itu tak menghentikannya untuk terus berlari dari mereka.
Dengan cekatan wanita itu melompati akar pohon tinggi dan melewati semak berduri. Wanita itu terus berlari hingga akhirnya dia mencapai tepi hutan. Kilat masih menyambar diatas sana seakan tidak menunjukkan keinginan untuk berhenti barang sejenak. Gadis itu menoleh ke belakang melihat para pengejarnya telah tiba. Dia mencoba berpikir apa yang harus ia lakukan sekarang. Saat lelah mulai menghampiri dirinya. Jurang tak berujung ada dihadapannya dan pasukan pengejarnya berdiri tak jauh dibelakangnya. Gadis itu menarik nafas dalam mencoba menenangkan detak jantungnya yang kian cepat. Perlahan ia berbalik menatap mereka.
"Menyerahlah! Kau tidak memiliki pilihan lain selain ikut bersama kami." Ucap seorang pria yang berada paling depan, sepertinya dia pemimpin mereka.
Gadis itu tersenyum memandang mereka. Sebuah senyuman tipis nan tulus. Entah apa yang dipikirkan gadis itu namun perlahan ia melangkah mundur mendekati bibir jurang. Kerikil tajam di bawah kakinya membuat luka yang ia miliki semakin perih. Namun dia tak mengindahkannya. Dia hanya terus melangkah dan melangkah.
"Bahkan jika aku harus mati, tidak akan aku biarkan kalia membawa tubuh ini," ucap gadis itu dan tepat setelahnya dia melompat ke dalam jurang gelap itu.
***
Kabut tebal menyelimuti desa Fleure, setelah badai semalaman yang tak kunjung berhenti akhirnya sinar matahari perlahan muncul. Para penduduk mulai beraktivitas dengan kesibukan mereka masing-masing. Diantara kerumunan orang yang berlalu lalang di jalanan, seorang gadis kecil tampak berlari sambil membawa keranjang kecil di tangannya. Tubuh mungilnya melintas di antara kerumunan orang dewasa membuat mereka tersenyum saat gadis itu tak sengaja menyenggol mereka.
"Rachel, apa yang kau cari hari ini sayang?" sapa seorang wanita paruh baya ramah pada gadis itu. Merasa namanya dipanggil gadis itu berhenti sejenak dan melihat pemilik suara.
"Memetik beberapa tanaman obat untuk kakek." Wajah mungil dengan mata coklat terang dan rambut hitam panjang yang semakin cantik kala kedua matanya menyipit karena tersenyum. Dia segera berlari meninggalkan beberapa penduduk yang ikut tersenyum melihatnya.
"Aku penasaran kenapa ada gadis kecil secantik itu."
"Gadis itu sangat manis, sayang sekali kedua orang tuanya telah tiada."
Gadis kecil itu adalah Rachel Chevalier, anak yatim piatu yang tinggal bersama dengan kakek neneknya di salah satu sudut desa Fleure. Setiap pagi Rachel akan pergi ke hutan untuk mencari tanaman obat, kemudian kembali ke desa untuk membantu kakek dan neneknya mengolah obat-obatan untuk mereka jual.
Kaki kecil Rachel membawanya menyusuri jalan setapak yang telah ia hafal. Melewati setiap sudut jalan sambil kedua matanya melihat sekitar berharap menemukan sepucuk tanaman obat atau jamur kecil yang bisa dibawa pulang. Sesekali kaki kecilnya akan melompat menghindari genangan air yang masih tersisa dari hujan semalam.
Rachel berjalan semakin masuk ke dalam hutan. Sesekali dia akan bersenandung pelan untuk mengusir kesunyian. Rachel berhenti di tempat yang telah dia tuju. Sebidang lahan luas tak jauh dari sungai. Ada banyak tanaman obat disana karena tanah di tempat itu sangat subur dan memiliki kelembaban yang bagus. Neneknya mengatakan bahwa hal itu akan membuat tanaman obat tumbuh subur di sana. Rachel mulai menelusuri lahan itu sambil sesekali memetik tanaman yang dia butuhkan. Rachel kecil terus bekerja dalam diam namun tak sengaja pandangan matanya terarah pada sebuah kain putih didepannya. Rachel mendongakkan wajahnya dan menemukan seorang wanita terbaring tak sadarkan diri.
Rachel mendekat dan mengamati wanita itu. Rambut berwarna karamel yang terlihat berantakan dan gaun putih yang telah robek di beberapa ujungnya. Rachel melirik kaki wanita itu dan melihat darah disana. Secara naluriah Rachel memeriksa kaki wanita itu. Dia segera menggunakan tanaman yang telah dia ambil tadi untuk mengobati luka wanita itu. Namun saat tangan Rachel hendak membubuhkan obat di kakinya wanita itu sadar.
"Ramuan ini sedikit perih, jadi bertahanlah. Saat nenek mengoleskannya padaku aku hampir menangis."
Wanita itu tak menjawab melainkan hanya menatap Rachel. Rachel mengoleskan ramuan yang baru saja dia buat pada kaki wanita itu, lalu ia memgambil kain pengikat rambutnya dan dia gunakam untuk membalut luka wanita itu.
"Sudah selesai." ucap Rachel tersenyum melihat betapa rapi balutan yang baru dia buat.
"Siapa namamu?" tanya wanita itu.
"Rachel. Rachel Chevalier." Jawab Rachel sederhana.
"Chevalier?” Rachel mengangguk saat wanita itu mengulang nama belakangnya.
“Benar. Lalu kau, siapa namamu?"
"Kailani Shore, Kau bisa memanggilku Kai."
Wanita itu tersenyum memandang Rachel. Dia mengulurkan satu tangannya dan membelai rambut Rachel yang terurai. Sekilas ada perasaan hangat yang muncul di benar gadis kecil itu sehingga dia menyunggingkan senyum manisnya.
"Kai, kenapa kau bisa terluka disini?"
Wanita itu tak menjawab pertanyaan Rachel melainkan menarik tangan gadis itu. Rachel terkesiap dan bermaksud menarik tangannya. Namun tiba-tiba cengkeraman tangan Kai semakin erat menggenggam tangannya. Dengan tubuh kecilnya dia tidak akan bisa melawan tenaga Kailani.
"Rachel, maafkan aku. Tapi hanya ini satu-satunya hal yang bisa aku lakukan."
Rachel tak memahami maksud Kai dan tetap meronta berusaha melepaskan tangannya. Gadis itu mulai ketakutan terhadap wanita yang baru di tolongnya. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya saat dia merasakan sebuah rasa hangat di pergelangan tangannya. Namun semakin lama pergelangan tangannya terasa semakin panas.
"A-apa yang kau lakukan?" Tanya Rachel dengan ketakutan. Kailani menatap Rachel dan tiba-tiba mata wanita itu berubah menjadi kuning kehijauan.
"Akan ada badai di tengah Crator. Badai yang tak akan bisa dicegah atau dihindari. Jiwa-jiwa yang telah mati akan kembali. Keruntuhan dan kehancuran akan terjadi. Dan darah akan memenuhi Gwlad Enaid."
Rasa panas di pergelangan tangan Rachel semakin menjalar dan merambat ke seluruh tubuhnya.
"Jade tak akan mampu berdiri. Topaz akan hancur. Emerald akan jatuh. Alexandrite akan sirna dan Aquamarine akan tenggelam. Tanpa Amethyst semuanya akan sia-sia. Tanpa pelindungnya Jade tak akan berguna."
Gadis kecil itu meronta kesakitan dan ambruk diatas tanah lembab. Tubuh Rachel terasa sangat lemah dan kesakitan. Kailani telah melepaskan cengkeraman tangannya lalu bangkit dan membelai kepala Rachel pelan. Tak ada ekspresi yang terpancar di wajahnya. Kailani mendekatkan dirinya pada Rachel dan berbisik pelan, "Tapi aku harap kau bisa melaluinya."
Rasa panas kembali membakar tubuh kecil Rachel. Air mata telah membasahi kedua pipinya. Rachel memandang Kailani yang bangkit dan berjalan mundur. Wanita itu mengangkat kedua tangannya dan mengayunkannya pelan. Seketika langit berubah mendung, kilat mulai memyambar dan angin berhembus kencang.
Tubuh Rachel semakin melemah karena kesakitan. Pandangan matanya mulai mengabur. Dia tak tahu apalagi yang dilakukan wanita itu. Hal terakhir yang dapat Rachel lihat hanyalah sekumpulan bunga kuning terbang di sekitarnya disertai bayangan Kailani yang mulai menghilang dari hadapannya bersama kesadarannya.
"Aku harap kau bisa melaluinya."
***
Ahhh....
"Rachel... kau baik-baik saja? Apa kau mimpi buruk lagi?"
Gadis itu menunduk diam tak menjawab pertanyaan temannya. Keringat dingin mengalir di dahinya disertai nafasnya yang terengah-engah. Dia melihat sekitarnya dan menemukan dirinya masih berada ditempat yang sama, kamar sederhana di panti asuhan tempatnya tinggal. Gadis itu menghembuskan nafasnya pelan dan mencoba menenangkan irama detak jantungnya yang terus berpacu tak karuan. Disamping, Nerissa yang telah duduk sambil menyerahkan segelas air padanya. Rachel menerima gelas itu lalu meneguknya dengan cepat.
"Rae .. mungkin ada baiknya jika sesekali kau berbagi dengan kami,” ucap Nerissa sambil meletakkan gelas tadi di atas nakas di samping ranjang Rachel. Raut khawatir terlihat jelas di wajah gadis itu. Namun gadis yang dimaksud masih diam enggan berucap. Hanya sesekali menarik nafas dalam sambil memejamkan matanya.
Tapi Nerissa tidak menyerah. Baginya diabaikan oleh Rachel adalah hal yang biasa. “Apapun yang kau hadapi kami akan menemanimu. Kau tahu, kami akan-.."
"Aku baik-baik saja. Rissa. Aku baik." Sela Rachel cepat.
Rachel enggan mendengarkan ucapan Nerissa dan keluar meninggalkan kamar mereka. Nerissa yang melihat kepergian Rachel hanya bisa diam sambil menghela nafas. Sama seperti biasanya, gadis itu akan memilih pergi daripada menceritakan masalah yang dia miliki. Selalu seperti itu, selama sepuluh tahun terakhir atau tepatnya sejak Rachel tiba disana.
***
Rachel berjalan meninggalkan kamarnya untuk menenangkan diri atau lebih tepatnya melarikan diri. Dia tidak ingin membicarakan hal apapun terkait dengan masa lalunya. Karena baginya semua sudah berakhir dan semua hal yang berhubungan dengan masa lalunya harus dia lupakan. Rachel terus berjalan dengan lunglai tanpa arah. Dia melangkah menuju halaman belakang panti asuhan melompati pagar kecil dam masuk ke dalam hutan.Malam itu hutan terasa sangat sunyi tanpa suara binatang malam sama sekali. Rachel melangkahkan kakinya dengan pelan menuju tengah hutan sambil berusaha memeluk tubuhnya. Dalam hatinya dia sedang merutuki dirinya sendiri karena lupa membawa jubah miliknya dan berakhir kedinginan. Rachel terus berjalan hingga dia tiba di tempat tujuannya, sebuah sungai kecil ditengah hutan yang sering dia kunjungi. Sungai ini memiliki air yang sangat jernih sehingga siapapun bisa melihat dasarnya yang dipenuhi batuan dan ikan-ikan mungil. Namun meskipun hanya sebuah sungai kecil, a
Pagi masih dingin seperti sebelumnya, tapi Rachel telah bergegas bangun dan berangkat ke tempat kerjanya. Dengan sebuah mantel tipis dan syal rajut sederhana serta memakai sarung tangan. Berlari menerjang salju tipis yang turun pagi itu. Salju pertama di musim dingin turun semalam. Tak ada satupun kereta kuda atau penduduk yang lalu lalang karena memang hari ini cuaca akan cukup buruk, namun Rachel tetap harus bekerja atau ia dan saudara-saudaranya tidak akan memiliki uang untuk membeli makan malam.Sepatu boot Rachel berdecit saat menginjak jalanan yang licin. Ia harus mengerahkan tenaga ekstra dan konsentrasi agar tidak jatuh tergelincir di jalanan yang sepi. Tinggal dua blok lagi dan Rachel akan tiba di tempat kerjanya. Rachel mengeratkan tangannya untuk menjaga suhu tubuhnya karena mantel yang ia kenakan tak cukup membantu. Matahari mulai terlihat namun tak cukup hangat untuk membantu Rachel.Sebuah toko kecil di sudut jalan, dengan warna cokelat terang yang mulai
Rachel kembali dengan tanda tanya di kepalanya tentang Jade. Otaknya terus berkata bahwa dia mengenal kata itu, namun setiap kali dia berusaha mengingat rasa sakit akan mendera kepalanya hingga membuat Rachel menyerah. Rachel memilih mengabaikan pikirannya itu dan bergegas kembali ke rumah.Jalanan masih cukup ramai meski salju tipis kembali turun. Dari ujung jalan, Rachel bisa melihat Sophie, Lily, dan Peter sedang bermain di teras mereka di temani Nerissa. Mereka berlarian mengejar satu sama lain. Rachel melihat tawa dan kebahagiaan yang terpancar di mata mereka hingga tanpa sadar membuat kedua sudut bibir Rachel ikut terangkat membentuk senyuman. Keluarga kecilnya yang telah menemaninya sejak sepuluh tahun lalu. Rachel mempercepat langkahnya agar segera tiba disana, namun belum sempat Rachel sampai ia mendengar sebuah ledakan keras di belakangnya.BOOM...Ledakan yang amat keras itu membuat semua orang terkejut dan ketakutan. Beberap
"NERISSA!" teriak gadis itu.Hanya ada tanah lapang dengan puing-puing bertebaran. Perlahan Rachel berjalan menuju reruntuhan itu. Mencoba memastikan bahwa itu bukan rumahnya. Berharap salah mengenali reruntuhan di depannya. Namun Rachel justru jatuh terduduk saat tak mendengar jawaban apapun melainkan melihat salah satu lukisan Nerissa yang diletakkan di beranda belakang jatuh di depannya. Reruntuhan itu adalah rumahnya.Air mata Rachel menetes perlahan saat tahu ia terlambat. Rachel mencari disisi puing reruntuhan yang lain berharap mereka semua selamat dan berlindung di ruang bawah tanah. Namun hal yang ditemukannya justru menghancurkan hatinya. Dia menemukan adik-adiknya tertimpa reruntuhan itu. Merida yang memeluk adik-adiknya dan Nerissa yang masih memegang tangan Lily dan Sophie."Oh lihat, ada yang terlewat." Sebuah suara terdengar tak jauh di belakang Rachel.Rachel berbalik dan memandang seorang wanita yang berdiri tak jauh dari tempatnya. Dia b
Sekali lagi semuanya kembali terulang. Peristiwa sepuluh tahun lalu kembali terjadi. Pembantaian sebuah wilayah, jika dulu hanya sebuah desa kecil kini seluruh kota dibantai habis. Namun apa yang terjadi sepuluh tahun yang lalu masih menyisakan tanda tanya karena tidak ada yang tahu siapakah pelakunya sedangkan kini, pembataian itu dilakukan salah satu klan terbesar di Crator, Klan Redrock. Dulu Rachel tak tahu apa yang terjadi dan hanya bisa menangis saat menemukan tubuh kakek dan neneknya tak bernyawa tapi kini dia melihat sendiri bagaimana Nerissa dibunuh di hadapannya. Ingatan saat wanita bernama Lucinda itu menghempaskan tubuh Nerissa dan membuat gadis itu terluka parah kembali muncul di kepala Rachel. “Kau baik-baik saja?” Seorang gadis menyapa Rachel yang terus diam menundukkan kepalanya. Rachel enggan berbicara pada siapapun jadi dia hanya menggeleng pada gadis itu lalu beranjak pergi. Tak satupun dari penduduk Delvish yang selamat, kecuali dirinya. H
Rachel melihat apa yang tersisa dari rumah lamanya. Puing-puing yang berserakan dan debu tebal di sekitarnya. Dengan cekatan Rachel membersihkan tempat itu. Gadis mengeluarkan belatinya dan mulai memotong rumput dihalaman itu. Membersihkan tanaman liar dan membuang dedaunan kering yang ada di dalam rumah. Rachel juga mencari beberapa kain bekas untuk selimutnya nanti malam. Saat Rachel keluar, pemuda itu telah duduk dihalaman rumah. Dia tersenyum lebar melihat Rachel sambil menenteng beberapa ikan.“Aku menangkap beberapa ikan.”Rachel menghela nafas dan membiarkan pemuda itu membuat api unggun dihalaman rumahnya. Dapur milik neneknya sudah hancur tak bersisa. Dia tak mungkin membersihkan semua puing-puing ini dalam sehari tapi hari sudah mulai gelap.“Kau bisa memanggilku Ethan, Ethan Bedwyn.” Sekarang Rachel tahu nama pemuda yang selalu menganggunya itu, “dan aku seorang anggota Redrock.”Gerakan tangan Rache
Ethan membawa Rachel pergi ke Redrock, tanah para Wizard. Setelah mereka berhasil kabur dari para Vinetree Rachel memilih mencoba percaya pada Ethan meski sebagian dari dirinya masih merasa ragu karena identitas Ethan. Ethan membawa Rachel menuju kediamannya secara diam-diam. Ethan mengatakan bahwa mereka tidak di ijinkan membawa orang luar masuk ke dalam wilayah mereka.“Mengapa kau pergi kesana?”Pertanyaan itu sudah ditahan oleh Rachel sejak pertama kali dia tiba di Redrock tapi dia ingin tahu alasan kenapa Ethan membantunya. Ethan tak langsung menjawab pertanyaan Rachel tapi menghindar dengan memberikan beberapa pakaian bersih pada Rachel.“Sebaiknya ganti pakaianmu dulu.”Rachel menerima pakaian itu lalu pergi untuk mengganti pakaiannya. Setelah selesai berganti pakaian Rachel keluar dan tak menemukan Ethan disana. Rachel mengelilingi rumah Ethan yang jauh lebih sederhana dari panti asuhannya dulu. Sebuah ruang tamu, ruang mak
Rachel membawa Ethan menuju tempat dia menyimpan Jade Amora setelah dia melihat sendiri tubuh Nerissa yang masih bernafas di istana Redrock. Gadis itu ada disana meski nafasnya sangat lemah. Tapi setidaknya ada harapan bahwa dia akan selamat. Rachel membawa Ethan dan beberapa anggota Redrock kembali ke hutan Fleure karena disanalah dia menyembunyikannya. Rachel mengatakan bahwa mereka harus melewati air terjun yang ada disana. Namun dengan sekali ayunan tangan aliran air terjun itu terbelah dan memperlihatkan sebuah gua kecil disana. Rachel bermaksud masuk ke dalam tapi Ethan menghentikannya. “Aku tidak tahu jebakan apa yang kau siapkan disana. Sebaiknya kau diam disini bersamaku.” Ethan menatap pengawalnya dan dua orang di belakangnya masuk ke dalam gua itu. Sesuai perkiraan Ethan tak berapa lama terdengar teriakan dari dalam gua disertai suara geraman keras di dalam sana. Rachel bergidik ngeri mendengar suara geraman itu tapi Ethan biasa saja. Setelah menun