Share

Bab 6

Penulis: Syaard86
last update Terakhir Diperbarui: 2025-12-05 19:26:31

Kampus pagi itu tetap ramai seperti biasanya, matahari sudah meninggi, dan hawa panas membuat keringat Akira mulai menetes di pelipis. Sekelompok mahasiswa terlihat sibuk dengan ponsel di tangan, tapi Akira tahu mereka cuma cari-cari colokan untuk nge-charge baterai. Namun, begitu langkahnya melewati gerbang, sesuatu menusuk di tengkuknya bisik-bisik pelan tapi jelas, tatapan yang berat mengarah padanya, dan senyum-senyum tipis yang terasa menusuk.

Akira melangkah pelan, jantungnya berdegup cepat.

“Eh itu... itu dia!” suara setengah berbisik datang dari belakang tiang listrik.

"Yang dibonceng Pak Arka kemarin!”

“Istri muda katanya! Mahasiswi, lho! Gila, keren banget hidupnya,” suara-suara itu makin lantang, bikin pipi Akira panas.

“Aku lihat videonya di grup WA orang tua murid, katanya anaknya nempel banget sama dia.”

Dada Akira sesak, tubuhnya membeku.

VIDEO?!

GOSIP?!

WA ORANG TUA MURID?!

“Astaga…” pikirnya, rahasianya sudah tersebar luas di komunitas emak-emak TK itu. Dia menoleh perlahan, matanya menangkap sekelompok mahasiswa yang menatap tajam, seolah menunggu reaksi.

“Ci... ci... itu... Bu Akira ya?” suara ragu-ragu datang, membuat Akira hampir kehilangan kendali.

“JANGAN BU!” Dia mendesak, suaranya hampir pecah. “AKU MASIH MAHASISWI!” Wajahnya memerah, tangan gemetar mencoba menutupi malu yang meluap.

Namun, bisik-bisik itu terus mengalir, meninggalkan getaran malu yang sulit dihapus.

Mahasiswa itu mengangguk polos, lalu berkata, “Tapi di video kemarin Azka panggilnya mama…”

Tiba-tiba, dari seberang, seorang mahasiswa menirukan suara Azka dengan penuh semangat, “MAMA KIRAAAAAAAAA!”

Akira buru-buru menutup wajah dengan kedua tangan, jantungnya seakan mau lompat keluar. Rasanya ingin hilang dan pindah ke planet lain saja. Belum sempat dia mundur, suara berat itu menggema dari ujung koridor.

“Akira.” Dingin dan menusuk seperti AC yang disetel di angka nol derajat.

Tubuh Akira langsung merinding. Arka melangkah pelan, kemejanya rapi, wajahnya datar seperti biasanya namun ada sesuatu hari ini yang membuat tatapan semua orang ke arah mereka terasa seperti jarum menusuk kulit.

“Pak…” Akira berbisik dengan suara bergetar, pipinya memerah.

“Tolong jelaskan sama mereka, saya bukan...”

“Bukan apa?” Arka membalas dengan tatapan lurus ke mata Akira.

“Bukan… istri bapak,” suaranya nyaris tersendat.

Suasana di sekitar mendadak hening, mahasiswa-mahasiswa itu menegakkan telinga.

Arka justru menyunggingkan senyum tipis yang sangat langka, seolah mengejek, “Memangnya kamu keberatan?”

Akira terpaku, tubuhnya membeku di tempat. Teriakan kecil terdengar dari sudut kelas, beberapa mahasiswa buru-buru menutup mulut mereka dengan buku, ada pula yang diam-diam mengeluarkan ponsel, merekam momen yang membuat suasana mendadak tegang.

“P-Pak…” suara Akira nyaris tercekat, tangannya terangkat ingin meninju, tapi rasa takut akan nilai buruk menahannya.

Arka dengan tenang merapikan lengan kemeja, santainya seperti tidak ada apa-apa. “Saya cuma nggak mau disalahpahamin orang.”

Akira menarik napas panjang, dadanya berdebar sedikit mereda. “Sekarang, Pak?” tanyanya harap-harap cemas.

“Tidak. Setelah saya selesai melihat reaksi orang-orang,” jawab Arka tanpa ekspresi.

“REAKSI? PAK ARKA MAU LIHAT REAKSI APA?!” suara Akira mendadak meninggi, menggema di ruangan.

Arka hanya mengangkat bahu santai, seolah membuat satu kampus heboh itu bukan urusannya.

Gila.

Dosen killer satu ini memang jago bikin jantung deg-degan.

Saat Akira melangkah masuk kelas, suara melengking terdengar dari ujung lorong. “MAMA KIRAAAA!”

Semua mata langsung menoleh, pandangan mereka berputar ke arah sumber suara.

Akira menoleh perlahan, wajahnya memerah malu. Di sana, Azka kecil berlari sambil menggandeng seorang guru TK yang tampak panik, tas biru kecil masih tergenggam erat di tangan Azka.

“Maaf, maaf! Ini Azka maksa ikut ke kampus. Katanya mau cari mama Kira.”

Akira hanya bisa menunduk, wajahnya sulit menyembunyikan rasa malu yang campur aduk dengan kelegaan kecil.

Akira terpaku, dadanya sesak seperti mau meledak. Mata beningnya mulai berkaca-kaca, suara serak tak bisa ditahan, “Azkaaaa, kamu kok bisa sampai sini?”

Tiba-tiba, bocah kecil itu melompat, memeluk kaki Akira erat sekali, seperti koala yang tak mau lepas. “Azka kangen mama Kiraaa…”

Dari kerumunan mahasiswa, terdengar riuh tawa dan sorakan, “AAAAAAAA GEMES!”

“CEPET NIKAH PAK ARKA!”

“YES YES, SHIP INI KUAT!”

Arka melangkah maju, wajahnya sulit ditebak, tatapannya tajam dan suara beratnya memotong, “Azka.”

“Pa...” Azka mengerutkan dahi, ragu tapi ngotot, “…tapi Azka mau mama Kira!” Tangan mungilnya meraba-raba mencari kehangatan Akira lagi.

Akira menghela napas, tersenyum canggung sembari mengangkat Azka ke pelukan, “Gini ya… kalau kamu kabur, papa kamu bisa kena marah lho…”

Azka menggoyangkan kepala sekuat tenaga, “Enggak. Papa nggak marah. Papa sayang mama Kira!”

Tiba-tiba, kampus gemuruh dengan sorakan mahasiswa yang berteriak histeris, “PAK ARKA!!! KETAHUAN!!!”

“KAMI MINTA WAWANCARA!!”

“PAK, KAPAN LAMAR?!”

“ADUH AKU PENGSAN!” Arka menutup wajah dengan satu tangan, wajahnya untuk pertama kali terlihat bingung dan kewalahan.

Guru TK buru-buru datang mendekat, tergopoh-gopoh, “Pak Arka, maaf sekali… Azka memaksa ikut. Kami sudah coba tahan...”

Arka mengusap pelipisnya perlahan, napasnya menghela berat. “Baik. Saya antarkan kembali.”

Namun, Azka malah kembali merangkul leher Akira dengan erat. “MAU SAMA MAMA KIRAAAA!” suaranya nyaring penuh tekad.

Arka menatap Akira, tatapannya jauh lebih lembut dari biasanya, seakan mencoba mengerti situasi. “Bisa kamu bantu?” tanyanya hati-hati.

Akira seketika merasa dagunya bergetar, hati kecilnya hampir meledak. Pak dosen killer… minta tolong? Dengan nada lembut pula?

“B-baik…” jawabnya gugup. Dia duduk di kursi depan mobil, sementara Azka duduk di pangkuannya meski sudah ditegur oleh Arka.

“Azka, duduk sendiri, ya.”

“Enggak mau,” jawab Azka sambil mencengkeram lebih kuat.

“Azka.”

“Enggak mau! Mau mama Kira!” Suaranya menggema dengan kepala menyandar ke bahu Akira.

Arka mendesah panjang, pandangannya mengarah ke Akira. “Akira…”

“Aku sudah coba, Pak! Dia nempel kayak isolasi bening kualitas premium!” keluh Akira frustrasi, tangan mencoba melepaskan pelukan si kecil.

Azka malah memeluknya semakin erat. Akira menyerah, pasrah dalam senyuman lelah. Begitu mobil mulai berjalan, terdengar suara kecil Azka bersenandung lirih, “Mama Kiraaa wangi…” Akira terkejut dan melotot.

“Wangi apaan?” tanyanya cemas.

“Wangi bunga…” Akira semakin gugup, wajahnya berubah canggung.

Arka melemparkan pandangan singkat, alis terangkat menandakan keheranan. “Bilang ke papa kamu,” Akira buru-buru mengalihkan pembicaraan dengan suara panik, “Bilang papa wangi juga!”

Azka langsung menggeleng.

“Papa wangi… wangi kerjaaa...”

"""

Arka hampir batuk.

Setelah Azka dijemput guru lagi dan dibawa pulang ke TK, Arka dan Akira berdiri berdua di depan gerbang.

“Aku… aku minta maaf, Pak…” Akira menunduk.

“Azka bukan salah kamu.”

Akira terkejut.

Biasanya Arka sinis.

Killer.

Pelit nilai.

Tapi kali ini…

Suaranya lebih pelan.

Lebih manusiawi.

“Dia… memang mudah dekat dengan seseorang yang dia suka,” sambung Arka.

“Dia suka … kamu.”

Kalimat itu membuat dada Akira menghangat.

“Tapi…” Arka menambahkan, “kamu harus ingat, jangan terlalu terlibat.”

Akira mengangkat kepala.

“Kenapa?”

“Karena nanti akan sulit untuk… keluar.”

Suara itu pelan.

Nyaris ragu.

Tidak seperti Arka biasanya.

Akira berdiri diam.

Jantungnya berdetak cepat.

Ada sesuatu di mata Arka yang berbeda… seperti ada sesuatu yang ia tahan.

“Kamu pergi kelas. Saya ada rapat.”

Tanpa menunggu jawaban, Arka berbalik dan pergi.

Tapi sebelum masuk mobil, ia berkata tanpa menoleh,

“Kalau Azka mencari kamu lagi… beritahu saya.”

Kalimat sederhana, tapi berat.

Dan entah kenapa… membuat pipi Akira memanas.

Saat Akira berjalan kembali ke kelas, teman-temannya langsung menyerbu.

“AKIRA! JELASIN! BETULAN JADI ISTRI MUDA?!”

“PAK ARKA BAPER YA KAYANYA!”

“LU NGGAK NGAKU, TAPI AURA-AURA ISTRI LEGI METIU KELIATAN!”

Akira menjerit dalam hati.

Tapi…

Sambil memeluk tas di dadanya, Akira tersenyum kecil.

Entah kenapa, suara Arka yang tadi menggema di pikirannya:

“Dia suka kamu."

“Jangan terlalu terlibat… nanti sulit untuk keluar.”

Duh.

Jangan-jangan… bukan cuma Azka yang nempel.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Jadi Mama Bohongan? Siapa Takut!   Bab 24

    Akira tidak pernah membayangkan akan duduk di ruang tamu sebesar ini. Ia menatap sekeliling ruang tamu yang megah itu dengan mata membelalak. Langit-langit yang tinggi menjulang, dinding yang dipenuhi foto keluarga berbingkai emas, semuanya terasa berat dan tak bersahabat. Udara di ruangan itu begitu kaku, seperti menuntut kesopanan setiap kali dia menarik napas. Dia duduk di ujung sofa, punggungnya lurus namun tegang, telapak tangan dingin meremas-remas kain celana. Di hadapannya, sepasang orang tua Arka duduk tenang. Ibunya terlihat anggun dengan sanggul rapi, matanya tajam namun menenangkan. Ayahnya berdiri diam, wajahnya dingin seperti patung yang terlatih menutupi rasa. Di samping Akira, Arka duduk diam tanpa sepatah kata pun, membuat jantung Akira berdetak makin kencang. “Tapi kamu Akira, kan?” suara ibu Arka pecah dari keheningan, suara lembut tapi penuh arti. Akira menelan ludah, lidahnya terasa kaku. “Iya, Bu.” “Kami sering dengar nama kamu akhir-akhir ini.” Seny

  • Jadi Mama Bohongan? Siapa Takut!   Bab 23

    Azka pagi itu diam tak bergerak di kursinya, tangan kecilnya memeluk tas bergambar robot dengan erat. Ruang makan rumah Arka terasa sunyi, jauh dari riuh tawa dan obrolan tentang dinosaurus kesukaan Azka. Arka memandang putranya dengan hati yang mulai mengganjal, suaranya lembut memecah keheningan, "Azka, ayo kita berangkat." Namun, gelengan kepala Azka begitu pelan di awal lalu berubah makin tegas. "Papa telat ngajar," katanya dengan suara kecil. "Azka nggak mau sekolah." Arka menunduk, menyesuaikan tinggi badan supaya sejajar mata Azka. "Kenapa, Nak?" tanyanya penuh harap. Hidung Azka mengerut, bibirnya gemetar, seolah berjuang menahan air mata. "Karena Mama Akira nggak datang." Jantung Arka seperti tercekat. Ia mencoba menenangkan, "Kita sudah bicara soal ini. Mama Akira memang lagi sibuk." "Nggak! Bohong!" suara Azka pelan tapi penuh penolakan. "Papa juga bohong." Diam mencekam menyelimuti ruangan. Tanpa aba-aba, Azka bangkit dari kursi, menggenggam tasnya seku

  • Jadi Mama Bohongan? Siapa Takut!   Bab 22

    Ruang rapat fakultas pagi itu terasa dingin. Bukan dari hembusan AC, melainkan dari ketegangan yang menggantung di udara. Akira duduk kaku di ujung meja panjang, punggungnya lurus dan tangan saling menggenggam di pangkuan, berusaha menahan gejolak di dadanya. Di seberangnya, beberapa dosen senior, dekan, dan staf akademik membuka map tebal berisi laporan, mata mereka tajam meneliti setiap lembar. Dua kursi di dekatnya, Arka duduk diam, wajahnya membatu seperti patung. Tenang di luar, tapi Akira tahu badai emosi mengamuk di balik tatapan itu. “Setelah kami telaah,” suara Pak Dekan pecah di keheningan, “tidak ditemukan pelanggaran etik.” Akira mengembuskan napas panjang, berharap itu sudah akhir semuanya. “Tapi,” lanjut Pak Dekan, suaranya menurunkan harapan itu seketika, “demi menjaga nama baik institusi, kami perlu mengambil sikap resmi.” Arka mengangkat wajah, matanya penuh tantangan. “Silakan, Pak.” “Kalian akan dijauhkan sementara,” ujar Pak Dekan tegas. “

  • Jadi Mama Bohongan? Siapa Takut!   Bab 21

    Pagi itu kampus terasa lebih gaduh dari biasanya. Bukan karena keramaian mahasiswa baru, bukan pula karena demo UKM yang biasa. Semua pandangan tertuju pada sosok Akira yang melangkah pelan melewati koridor. Tangannya menggenggam erat tali tas ransel, jari-jari menekan hingga terasa nyeri. Setiap langkah terasa berat bagai menahan beban dunia. Bisikan-bisikan kecil mengikuti di belakangnya, seperti bayangan yang tak bisa ia usir. “Itu dia…” “Yang sama Pak Arka.” “Yang anak kecil itu manggil mama.” “Beneran ya rumor kemarin?” Akira menunduk, dada sesak, napasnya pendek dan terburu-buru. Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. “Tenang, Kira... Mereka cuma pegang skripsi lo, bukan hidup lo.” Tapi suara-suara itu tetap menghantui, merayap ke dalam pikirannya, menggerogoti mental yang mulai retak. *** “KIRA!” suara Lintang tiba-tiba membelah keramaian, berisik seperti sirene evakuasi. Akira seketika berhenti, jantungnya berdegup kencang. Salah besar.

  • Jadi Mama Bohongan? Siapa Takut!   Bab 20

    Akira sudah tahu hari itu pasti akan datang, tapi detak jantungnya seolah menolak diajak kompromi. Mobil Arka melambat, berhenti tepat di depan rumah besar bergaya klasik tenang, rapi, dan terasa terlalu sempurna, seperti melukai tiap denyut jantung yang berdegup keras dalam dada Akira. “Ini rumah orang tua saya,” kata Arka singkat, tanpa menoleh. Akira menatap pagar tinggi di depannya, tangan perlahan menggenggam pegangan pintu mobil. “Pak... kalau saya pingsan di sini, tolong jangan tinggalkan saya.” Suaranya sedikit bergetar. Arka menoleh, matanya menatapnya dalam sekejap. “Kamu tidak akan pingsan.” “Tapi saya pernah pingsan di depan minimarket, lho,” balas Akira dengan nada setengah memelas. Sebentar, sudut bibir Arka bergetar. Hampir tersenyum, tapi cepat-cepat ditahan. Dari kursi belakang, Azka sudah melonjak dengan semangat membuncah. “OMA! OPA!” teriaknya begitu pintu mobil dibuka lebar. Akira menghela napas panjang, mencoba meredam kecemasannya yang masih b

  • Jadi Mama Bohongan? Siapa Takut!   Bab 19

    Akira duduk terpaku di tepi kasur, matanya menatap layar ponsel yang sunyi tanpa suara notifikasi. Jari-jarinya menggenggam lemah, sesekali mengusap wajah yang tampak letih. Pagi itu, keheningan yang biasa ia anggap biasa berubah menjadi beban berat. Tak ada pesan dari Azka, dan sepi itu menusuk lebih dalam daripada biasanya. "Gue kira menjauh itu tanda dewasa," gumamnya pelan sambil menarik napas panjang, "Ternyata gue cuma pengecut." Tiba-tiba ponselnya bergetar, sebuah pesan masuk dari grup Naya, "Lo kenapa nggak masuk kampus?" Akira menutup matanya, mengetik dengan berat, "Gue salah." Lalu ia membiarkan diri tenggelam dalam hening, seolah beban di dadanya semakin menyesakkan. ** Akira melangkah keluar dari kos dengan langkah yang berat dan ragu, seolah beban tak terlihat menekan pundaknya. Bukan ke kampus yang seharusnya, tapi menuju TK Azka. Otaknya berputar cepat, penuh pertanyaan yang beriak dalam dada. “Kalau dia marah? Kalau dia kecewa? Kalau gue malah bikin se

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status