Share

Bukan Orang Biasa

"Yang mana yang mukul kau, Cok?" tanya Pak Ali Akhir lagi.

Aku melihat juper tersebut, dia menunduk, polisi tetangga Karen itu  pun sepertinya ketakutan. 

"Kenapa kau dipukul, Cok?" tanya Pak Ali Akhir lagi.

"Dia melawan petugas, Pak," Kapolsek itu yang menjawab.

"Bukan, Pak, aku dipaksa tanda-tangani BAP yang isinya tidak sesuai kenyataan," kataku kemudian.

Pak Ali Akhir marah-marah di kantor polisi tersebut. Aku akhirnya dibawa Pak Ali Akhir keluar dari Polsek itu. Di luar, sudah menunggu beberapa jama'ah masjid. Aku menyalami mereka satu persatu. 

"Cok, entah kenapa denganmu, masalah seperti selalu datang mengikutimu, belum satu tahun kamu di sini, sudah berapa kali berurusan dengan polisi," kata Pak Ali Akhir saat kami sudah di mobil.

"Maaf, Pak, saya sudah merepotkan Bapak?" jawabku.

"Bukan itu  masalahnya, Cok, saya senang bisa membantu, tapi ini terlalu sering, bagaimana nanti jika saya sudah pensiun? tak ada yang membantumu?"

"Iya, Pak, aku juga heran, kenapa masalah selalu datang," kataku kemudian.

"Pertama kamu terlalu peduli, hidup di kota itu perlu juga bersikap masa bodoh, jangan sok pahlawan, terus yang kedua kamu terlalu jujur, kadang perlu juga berbohong untuk menghindari masalah," kata Pak Ali Akhir.

"Terima kasih, Pak," jawabku.

Aku diantar sampai depan rumah, ketika sampai di rumah, sudah ramai orang berkumpul di depan rumahku. Begitu aku turun dari mobil langsung dielu-elukan bagaikan pahlawan pulang dari Medan perang saja.

Saat menjelang magrib aku ke mesjid, aku terkejut melihat tiga toa sudah mengarah ke komplek perumahan tersebut. Biasanya hanya satu toa yang mengarah ke sana. 

"Itu kok ke sana semua?" tanyaku pada Ahmad. Salah satu dari dua marbot masjid.

"Itu saran dari jama'ah, Ucok, kata mereka biar setan makin kepanasan," jawab Ahmad.

"Astaghfirullah, mana boleh begitu," kataku seraya mengambil tangga, terus naik ke menara masjid, mengubah arah toa itu lagi.

"Cok, kita pantang cari musuh, ketemu musuh pantang ditolak," kata Ahmad.

"Bukan begitu, Bang, dengan mengarahkan toa semuanya ke sana, Kita sudah cari musuh. Mulai hari ini hanya azan yang pake pengeras suara," kataku kemudian.

"Kita jangan mau mengalah, Cok, kita mayoritas," 

"Orang komplek itu juga muslim, jangan sampai ibadah kita mengganggu ketenangan orang," kataku lagi.

Aku yang ditunjuk sebagai ketua badan kenaziran masjid itu akhirnya mengambil keputusan, hanya azan yang pakai pengeras suara, tahrim dan lainnya tidak lagi. Ada juga beberapa jamaah yang protes akan tetapi aku tetap pada pendirian. Rasanya memang tidak adil jika kita mengganggu tidur orang.

Sore itu aku duduk di depan rumah, rumah kos-kosan milikku belum terisi penuh. Kamar yang diatas belum ada yang menempati. 

"Selamat sore, Mas," sapa seorang cewek sambil berdiri di depan pagar rumah.

"Sore juga," jawabku kemudian.

"Apa masih ada kamar kosong, Mas?" tanyanya lagi.

"Masih, masih," jawabku.

"Berapa sebulan, Mas?"

"Per kamar satu juta, tapi maaf, khusus untuk laki-laki Muslim," kataku kemudian.

"Mas, tolonglah untuk saya pengecualian, saya sudah tiga hari mencari kos-kosan, belum ada dapat," katanya lagi.

Kata "tolong" ini lagi-lagi keluar dari mulut gadis, hal seperti ini selalu membuat aku luluh.

"Tolong, Mas, saya  wanita baik-baik lo," katanya lagi. 

"Maaf, tidak bisa, ini khusus laki-laki," kataku kemudian. Ada rasa lega, akhirnya aku bisa menolak.

Memang saya sudah bertekad, kos-kosan ini hanya untuk laki-laki Muslim. Bukan karena apa, hanya untuk menjaga.

"Mas rasis," kata perempuan itu seraya pergi.

Rasis? wah, aku sampai dituduh rasis hanya karena tak menerima anak kos wanita, aku masih ingin menjelaskan, akan tetapi wanita itu sudah pergi.

"Ucok, gawat, Cok," tiba-tiba Bang Bambang datang sambil memegang HP.

"Gawat bagaimana, Bang?"

"Lihatlah ini?" katanya seraya menunjukkan video di HP-nya.

Dalam video itu, terlibat aku menarik tangan perempuan sampai ke depan rumah. Sepertinya video dari cctv di kompleks tersebut. Untung juga wajahku tidak terlihat jelas, akan tetapi narasinya membuat emosi.

"Imam masjid menyeret paksa seorang perempuan, hanya karena perempuan Itu protes suara toa masjid." begitu narasinya. 

Komentar nitizen jadi terbelah, ada yang mendukung iman masjid, adalah untuk mendukung wanita tersebut. Yang kutakutkan justru video itu dilihat orang tuaku. Coba kuinbok yang punya akun.

"Mohon dihapus, Pak, Bu," begitu pesan yang kukirim. 

Akan tetapi dia tak membalasnya, justru men-screnshoot inbok tersebut, kali memostingnya lagi dengan caption.

"Pelaku sudah ketar-ketir," aku jadi makin ramai dihujat nitizen.

Yang kutakutkan akhirnya terjadi juga, orang tuaku melihat video tersebut. Mereka langsung video call.

"Ucok, kau berulah lagi, kau apain itu cewek?" begitu kata mamak.

"Itu, Mak, bukan begitu kejadian yang sebenarnya,"

"Jadi bagaimana?"

Aku pun menceritakan semuanya, mulai dari awal sampai akhir. 

"Ucok, kau sekarang bukan orang biasa lagi, kau anak Wakil Bupati, setiap tindakanmu bisa mencoreng nama baik kabupaten kita," kata mamak.

"Mak, aku tidak bersalah," kataku kemudian.

"Tidak bersalah katamu, mamak kenal kamu, Cok, wanita cantik itu kelemahanmu, pasti karena dia cantik kau sok pahlawan," kata mamak.

"Tapi, dia mau dimassa orang, Mak,"

"Cok, mamak Cantik gak,"

"Ya, cantik lah, Mak,"

"Anggap mamak cewek cantik, mamak minta tolong, tolonglah jaga sikap, jangan cari masalah mulu, tolonglah, Nak, kau itu bukan orang biasa lagi,"

"Aku masih orang biasa, Mak, udah, assalamualaikum," aku menutup telepon karena kesal.

Mga Comments (12)
goodnovel comment avatar
carsun18106
iya nih knp jd gini nia???
goodnovel comment avatar
carsun18106
klo perang sosmed bisa dibantu butet dan sandy ni
goodnovel comment avatar
carsun18106
klo soal cowok cewek istilahnya seksis
Tignan lahat ng Komento

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status