Beranda / Romansa / Jadul Tapi Mantul / Bukan Orang Biasa

Share

Bukan Orang Biasa

Penulis: Bintang Kejora
last update Terakhir Diperbarui: 2023-06-01 13:22:33

"Yang mana yang mukul kau, Cok?" tanya Pak Ali Akhir lagi.

Aku melihat juper tersebut, dia menunduk, polisi tetangga Karen itu  pun sepertinya ketakutan. 

"Kenapa kau dipukul, Cok?" tanya Pak Ali Akhir lagi.

"Dia melawan petugas, Pak," Kapolsek itu yang menjawab.

"Bukan, Pak, aku dipaksa tanda-tangani BAP yang isinya tidak sesuai kenyataan," kataku kemudian.

Pak Ali Akhir marah-marah di kantor polisi tersebut. Aku akhirnya dibawa Pak Ali Akhir keluar dari Polsek itu. Di luar, sudah menunggu beberapa jama'ah masjid. Aku menyalami mereka satu persatu. 

"Cok, entah kenapa denganmu, masalah seperti selalu datang mengikutimu, belum satu tahun kamu di sini, sudah berapa kali berurusan dengan polisi," kata Pak Ali Akhir saat kami sudah di mobil.

"Maaf, Pak, saya sudah merepotkan Bapak?" jawabku.

"Bukan itu  masalahnya, Cok, saya senang bisa membantu, tapi ini terlalu sering, bagaimana nanti jika saya sudah pensiun? tak ada yang membantumu?"

"Iya, Pak, aku juga heran, kenapa masalah selalu datang," kataku kemudian.

"Pertama kamu terlalu peduli, hidup di kota itu perlu juga bersikap masa bodoh, jangan sok pahlawan, terus yang kedua kamu terlalu jujur, kadang perlu juga berbohong untuk menghindari masalah," kata Pak Ali Akhir.

"Terima kasih, Pak," jawabku.

Aku diantar sampai depan rumah, ketika sampai di rumah, sudah ramai orang berkumpul di depan rumahku. Begitu aku turun dari mobil langsung dielu-elukan bagaikan pahlawan pulang dari Medan perang saja.

Saat menjelang magrib aku ke mesjid, aku terkejut melihat tiga toa sudah mengarah ke komplek perumahan tersebut. Biasanya hanya satu toa yang mengarah ke sana. 

"Itu kok ke sana semua?" tanyaku pada Ahmad. Salah satu dari dua marbot masjid.

"Itu saran dari jama'ah, Ucok, kata mereka biar setan makin kepanasan," jawab Ahmad.

"Astaghfirullah, mana boleh begitu," kataku seraya mengambil tangga, terus naik ke menara masjid, mengubah arah toa itu lagi.

"Cok, kita pantang cari musuh, ketemu musuh pantang ditolak," kata Ahmad.

"Bukan begitu, Bang, dengan mengarahkan toa semuanya ke sana, Kita sudah cari musuh. Mulai hari ini hanya azan yang pake pengeras suara," kataku kemudian.

"Kita jangan mau mengalah, Cok, kita mayoritas," 

"Orang komplek itu juga muslim, jangan sampai ibadah kita mengganggu ketenangan orang," kataku lagi.

Aku yang ditunjuk sebagai ketua badan kenaziran masjid itu akhirnya mengambil keputusan, hanya azan yang pakai pengeras suara, tahrim dan lainnya tidak lagi. Ada juga beberapa jamaah yang protes akan tetapi aku tetap pada pendirian. Rasanya memang tidak adil jika kita mengganggu tidur orang.

Sore itu aku duduk di depan rumah, rumah kos-kosan milikku belum terisi penuh. Kamar yang diatas belum ada yang menempati. 

"Selamat sore, Mas," sapa seorang cewek sambil berdiri di depan pagar rumah.

"Sore juga," jawabku kemudian.

"Apa masih ada kamar kosong, Mas?" tanyanya lagi.

"Masih, masih," jawabku.

"Berapa sebulan, Mas?"

"Per kamar satu juta, tapi maaf, khusus untuk laki-laki Muslim," kataku kemudian.

"Mas, tolonglah untuk saya pengecualian, saya sudah tiga hari mencari kos-kosan, belum ada dapat," katanya lagi.

Kata "tolong" ini lagi-lagi keluar dari mulut gadis, hal seperti ini selalu membuat aku luluh.

"Tolong, Mas, saya  wanita baik-baik lo," katanya lagi. 

"Maaf, tidak bisa, ini khusus laki-laki," kataku kemudian. Ada rasa lega, akhirnya aku bisa menolak.

Memang saya sudah bertekad, kos-kosan ini hanya untuk laki-laki Muslim. Bukan karena apa, hanya untuk menjaga.

"Mas rasis," kata perempuan itu seraya pergi.

Rasis? wah, aku sampai dituduh rasis hanya karena tak menerima anak kos wanita, aku masih ingin menjelaskan, akan tetapi wanita itu sudah pergi.

"Ucok, gawat, Cok," tiba-tiba Bang Bambang datang sambil memegang HP.

"Gawat bagaimana, Bang?"

"Lihatlah ini?" katanya seraya menunjukkan video di HP-nya.

Dalam video itu, terlibat aku menarik tangan perempuan sampai ke depan rumah. Sepertinya video dari cctv di kompleks tersebut. Untung juga wajahku tidak terlihat jelas, akan tetapi narasinya membuat emosi.

"Imam masjid menyeret paksa seorang perempuan, hanya karena perempuan Itu protes suara toa masjid." begitu narasinya. 

Komentar nitizen jadi terbelah, ada yang mendukung iman masjid, adalah untuk mendukung wanita tersebut. Yang kutakutkan justru video itu dilihat orang tuaku. Coba kuinbok yang punya akun.

"Mohon dihapus, Pak, Bu," begitu pesan yang kukirim. 

Akan tetapi dia tak membalasnya, justru men-screnshoot inbok tersebut, kali memostingnya lagi dengan caption.

"Pelaku sudah ketar-ketir," aku jadi makin ramai dihujat nitizen.

Yang kutakutkan akhirnya terjadi juga, orang tuaku melihat video tersebut. Mereka langsung video call.

"Ucok, kau berulah lagi, kau apain itu cewek?" begitu kata mamak.

"Itu, Mak, bukan begitu kejadian yang sebenarnya,"

"Jadi bagaimana?"

Aku pun menceritakan semuanya, mulai dari awal sampai akhir. 

"Ucok, kau sekarang bukan orang biasa lagi, kau anak Wakil Bupati, setiap tindakanmu bisa mencoreng nama baik kabupaten kita," kata mamak.

"Mak, aku tidak bersalah," kataku kemudian.

"Tidak bersalah katamu, mamak kenal kamu, Cok, wanita cantik itu kelemahanmu, pasti karena dia cantik kau sok pahlawan," kata mamak.

"Tapi, dia mau dimassa orang, Mak,"

"Cok, mamak Cantik gak,"

"Ya, cantik lah, Mak,"

"Anggap mamak cewek cantik, mamak minta tolong, tolonglah jaga sikap, jangan cari masalah mulu, tolonglah, Nak, kau itu bukan orang biasa lagi,"

"Aku masih orang biasa, Mak, udah, assalamualaikum," aku menutup telepon karena kesal.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (12)
goodnovel comment avatar
carsun18106
iya nih knp jd gini nia???
goodnovel comment avatar
carsun18106
klo perang sosmed bisa dibantu butet dan sandy ni
goodnovel comment avatar
carsun18106
klo soal cowok cewek istilahnya seksis
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Jadul Tapi Mantul    The End

    PoV Nia Sangat sedih melepas Butet untuk mengarungi rumah tangga barunya. Rasanya baru kemarin dia kugendong. Dia teman diskusi yang sangat asyik. Selama ini dia memang sudah tinggal jauh dari kami, akan tetapi tetap berat juga untuk melepasnya. Bang Parlin juga terlihat sangat sedih, pesta ini justru jadi ajang tangis bagi suamiku. Dia justru sering menangis. Tamu yang datang sangat beragam, mulai dari pekerja kami, sampai toke sawit, sampai bupati pun datang. Akan tetapi aku sedikit kecewa, menantuku tidak datang dengan alasan tak bisa meninggalkan warungnya. Karena Menantu tidak datang, otomatis cucu kamI juga tidak datang. Padahal ini hari bersejarah. Aku ingin berfoto seluruh keluarga. Akan tetapi menantu dan satu-satunya cucu tidak datang. Aku sudah coba hubungi menantu, akan tetapi jawaban dia adalah tidak bisa meninggalkan warungnya. Katanya jika ditinggalkan, terpaksa ditutup dan pelanggan akan lari. Sementara warung itu belum bisa diserahkan kepada karyawan. Resep

  • Jadul Tapi Mantul    Selamat Menempuh Hidup Baru, Butet

    Aku bangun pagi seiring azan subuh berkumandang dari mesjid desa. Lalu mandi dan pergi ke mesjid untuk salat subuh berjamaah, kami sekeluarga pergi ke mesjid. Cantik juga ikut, kami mau sekalian membicarakan proses akad nikah di masjid tersebut. Penghulunya juga masih Abang angkatku, yang dulu pernah jadi guru mengaji di rumah kami. Setelah membicarakan semua, kami pulang ke rumah. Mulai ada kesibukan di rumah. Para Bapak-bapak memasak rendang, para ibu-ibu memasak nasi. Jam delapan pagi sudah bisa makan. Satu kampung makan di rumah kami. Kebanyakan bawa baskom masing-masing. Ibunya Bang Sandi datang, begitu datang dia langsung salaman. "Kok lama kali datangnya?" tanya mamak."Itu tadi, Bu, ngantar Sandy mau pulang," jawab Ibu tersebut."Kok cepat kali dia pulang?" tanya mamak lagi."Katanya mau tugas,"Ternyata Bang Sandy memang di sini, ingin aku bertanya pada ibunya, akan tetapi aku tahan, tak ingin merusak suasana hati yang beberapa jam lagi akan menikah. Bang Sandy bohong soal

  • Jadul Tapi Mantul    Sedihnya Melepas Butet

    Pertanyaan Bang Sandy ini sepertinya tidak masuk akal, mengajak tinggal di Brunei, pekerjaan membobol bank. "Bagaimana, Tet, kita akan bahagia bersama," kaya Bang Sandy lagi."Hei, Bang Sandy, kamu masih waras gak? masa ajak aku jadi penjahat, kerja membobol bank, emangnya kamu pikir aku penjahat ya," kataku kemudian."Itu hanya perumpamaan, Tet, intinya aku bisa lebih baik dari si Cina itu," "Hei, Bang, kamu sudah rasis, gak boleh manggil orang dengan sukunya,""Bukan maksud rasis ya, Tet, hanya kesal, ayolah, Tet, kita akan hidup makmur di Brunei, Kamu tahu gak, pemerintah Brunei pernah mengajak aku pindah ke sana, sebagai tenaga ahli bidang IT," kata Bang Sandy lagi."Wah,""Iya, Butet, aku bisa lebih baik dari si sipit itu, percayalah," Lama-lama omongan Bang Sandy makin melantur saja, padahal biasanya dia orang yang santun, jarang bicara, ini sudah rasis segala. "Kok kamu jadi rasis sih, ini bukan Bang Sandy yang kukenal,""Cinta, Tet," Oh, seperti kata ayah, cinta bisa mem

  • Jadul Tapi Mantul    Gadis Mahal

    Sekitar jam 10.00 malam, Ayah akhirnya pulang ke rumah. Ini kesempatanku untuk bertanya apakah Ayah setuju. Bang Ucok, mamak dan bahkan Cantik tidak setuju aku pergi kuliah di Amerika. Tinggal Ayah yang belum kutanyakan."Papa, Kak Butet mau pergi ke Amerika," belum sempat aku bertanya Cantik sudah mengadu duluan. "Amerika," Ayah melihatku."Iya, jauhhh,""Hahaha," ayah malah tertawa, mungkin ayah mengira ini lelucon."Ayah, Cantik benar, aku mau pergi ke Amerika," kataku kemudian."Waw, mau ngapain?""Kuliah pascasarjana, Yah," "Jauh sekali ke Amerika?""Aku dapat beasiswa, Yah," Ayah' terdiam, dia melihat mamak, lalu kembali melihatku."Boleh, Yah?" tanyaku lagi."Kamu sudah dewasa, Butet sudah tahu mana yang baik dan mana yang buruk," kata Ayah."Ayah dukung apapun keputusanmu, tapi Ayah berikan sedikit gambaran, Amerika itu jauh, jika sekiranya ayah meninggal kamu gak akan bisa kejar, terus adikmu suka' kangen kakaknya, kamu satu bulan tidak pulang saja Cantik sudah sering be

  • Jadul Tapi Mantul    Amerika?

    Aku justru makin bingung, Ini kesempatan langka, beasiswa di Amerika. Akan tetapi aku dan Pak Johan sudah membuat semacam kesepakatan. Tiga tahun lagi kami akan menikah, itu 2 tahun yang lalu. Apakah kesepakatan itu sudah janji? "Bagaimana, Butet? kok malah bengong?" kata Pak Dosen."Saya berpikir dulu, Pak," jawabku akhirnya."Butet, ini kesempatan langka, Jangan disia-siakan, aku yakin kamu bisa berkarir di luar negeri," kata Pak Dosen."Cita-cita saya bukan seperti itu, Pak, cita-cita saya buka kantor pengacara publik, yang memberikan layanan hukum' gratis untuk masyarakat miskin," kataku kemudian."Jika memang itu cita-citamu, cocok juga, tapi ambil S-2 ini juga, paling dua tahun," kata Pak Dosen."Saya pikirkan dulu, Pak," kataku kemudian."Kupikir tadi kamu akan sujud sukur sambil menamgis karena dapat beasiswa penuh," kata seorang pengacara yang lain."Iya, gak nyangka kamu masih berpikir, padahal ini kesempatan emas, dari propinsi ini hanya dua orang, kamu salah' satunya," ka

  • Jadul Tapi Mantul    Butet Bingung

    Bertanya ke Bang Ucok ternyata jawabannya sangat logika, ini sesuatu yang berubah pada diri Bang Ucok. Setelah dia menikah bicaranya sekarang sudah banyak yang secara logika. Atau karena dia sekarang sudah sarjana psikologi. "Memangnya siapa yang orang Cina siapa yang orang Padang?" Tanya Bang Ucok lagi."Adalah,""Biar kutebak, kalau Cina itu yang pemilik hotel itu ya?" "Iya, Bang,""Yang orang Padang siapa?" "Coba tebak?" tanyaku kemudian.Heran juga Bang Ucok tidak ingat kepada Bang Sandy, Padahal kami dulu sering memecahkan kasus bersama. Bahkan kudengar Bang Sandi setelah jadi polisi pernah pergi ke tempat Bang Ucok. Kenapa dia tidak ingat?"Umar ya?" "Bukan?""Jadi siapa?""Ah, payah Bang Ucok."Aku memutuskan panggilan telepon karena Bang Ucok tidak ingat kepada Sandy. Aku makin bingung entah memilih siapa. Cari jawaban Bang Ucok juga mengambang, masalah umur dia pilih pada Sandy, di masalah profesi dia pilih Pak Johan. Sedangkan masalah suku dia tidak memberikan pilihan.

  • Jadul Tapi Mantul    Di Antara Dua Cinta

    PoV ButetSidang meja hijau berjalan lancar, cerita orang tentang seramnya sidang itu tak berlaku padaku. Bahkan dosen memujiku. Semua berjalan mulus, aku akan jadi wisudawan termuda di perguruan tinggi tersebut. Setelah selesai sidang, kegiatanku kini lebih lapang, aku bisa pulang ke desa setiap Minggu. Tinggal menunggu jadwal wisuda, tidak lama lagi aku akan jadi seorang sarjana hukum, seperti cita-citaku selama ini.Hari itu aku terkejut dengan kedatangan Pak Johan, dia datang bersama Ibunya ke tempat kos-ku. Ini tidak biasa, biarpun kami sudah berjanji akan menikah nanti, kami tidak pacaran, tidak bertemu rutin selayaknya pasangan kekasih."Ada apa ya, Pak?" tanyaku seraya mempersilahkan duduk.Ibunya Johan sudah jauh berubah penampilannya, dulu beliau selalu memakai pakaian ketat, kini beliau memakai pakaian Muslim, jilbabnya juga panjang."Butet, kamu datang mau menanyakan sesuatu," kata Ibunya Johan."Iya, Bu,""Jadi begini, kamu sebentar lagi kan akan diwisuda, jadi kamu akan

  • Jadul Tapi Mantul    Makin Tua Makin Tampan

    Keesokan harinya Pak Dullah datang lagi, kali ini dia minta Bang Parlin yang jadi saksi pernikahan anaknya dan Agus. Mereka gerak cepat, katanya akad nikah akan dilaksanakan jam sepuluh pagi. Nikah duluan dan suratnya diurus belakangan. Karena kebetulan Butet masih di rumah, aku ikut Bang Parlin ke rumah Pak Dullah. Agus sudah datang, anak Pak Dullah juga sudah didandani ala kadarnya. Petugas pencatat nikah yang juga guru di pesantren kami yang menikahkan. Acara berjalan lancar, diakhiri doa bersama yang dipinpin Bang Parlin. Lalu makan bersama.Agus lalu salim ke semua orang, saat salim ke Bang Parlin dia menangis. "Terimakasih kasih, Pak, aku ada permintaan satu lagi," kata Agus."Apa lagi, Gus?""Aku ingin pekerjaan tetap, Pak, aku sudah punya istri sekarang," katanya.Selama ini dia kami pekerjakan memang tidak tetap, hanya jika panen saja. "Baiklah, ngurusi sapi bisa?" tanya Bang Parlin."Bisa, Pak, bisa," jawabnya kemudian.Padahal mertuanya juga punya kebun sawit, biarpun ti

  • Jadul Tapi Mantul    Romeo dan Juliet

    Aku dan Bang Parlin langsung saja ke rumah Pak Dollah. Ketika kami tiba sudah ramai orang di situ. Kami segera masuk, di dalam rumah ada putrinya Pak Dollah dipegangi oleh dua orang. "Dia mau gantung diri, untung cepat' ketahuan," kata seorang ibu-ibu sambil menunjuk tali yang sudah terikat di kamar gadis tersebut."Mungkin sudah saatnya gunakan ilmu, Bang, luluhkan dia," kataku pada Bang Parlin. Yang sebenarnya adalah aku lelah, ingin istirahat selalu saja ada masalah. Mungkin jika Bang Parlin menggunakan ilmunya meluluhkan gadis itu, masalah akan selesai.Gadis itu terus meronta-ronta, dia dipegangi dua orang perempuan. Ayahnya tampak sudah gelisah. "Aku harus bagaimana lagi, Pak Kades?" kata Pak Dollah. "Bagaimana lagi mau kubilang, sudah ada penyelesaian mudah, nikahkan mereka, tapi bapak tidak mau, sekarang mau bagaimana lagi, satu di penjara, satu bunuh diri, begitu lah kisah cinta mereka," kata Bang Parlin."Aku lakukan ini demi anakku juga""Mirip Romeo dan Juliet, Agus j

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status