Home / Romansa / Jadul Tapi Mantul / Lompat Pagar

Share

Jadul Tapi Mantul
Jadul Tapi Mantul
Author: Bintang Kejora

Lompat Pagar

last update Last Updated: 2023-06-01 13:18:21

LOMPAT PAGAR

Namaku Pahlevi Siregar, akan tetapi biasa dipanggil Ucok. Kendaraanku sehari-hari adalah motor Supra tahun sembilan puluhan. Penampilan kuno. Sehari-hari jika di rumah aku justru lebih sering pakai sarung dan baju Koko. Jika pergi kuliah, aku memakai pakaian biasa saja, tanpa ikut-ikutan trend masa kini. 

Di kampus, berbagai macam gaya orang, banyak anak pejabat bergaya dengan mobil mewah. Padahal aku juga anak pejabat, ibuku adalah wakil bupati di daerah kami. 

Subuh itu seperti biasa aku ke mesjid sebelum dapat waktu subuh. Mulai mengaji menunggu waktu subuh, lima belas menit lagi sebelum waktunya, aku sudah mengaji, ini sudah kulakukan sejak pindah ke daerah ini.

"Selamat pagi?" tiba-tiba terdengar suara salam, akan tetapi aku lanjut terus mengaji, mungkin itu jama'ah yang baru datang. 

"Selamat pagi!" suara itu lebih keras.

"Assalamualaikum," salamnya sudah berganti, karena  salam itu wajib dijawab, aku berhenti mengaji. Aku menoleh ke belakang, seorang gadis berdiri di belakangku, dia masih memakai gaun tidur. 

"Waalaikum salam," jawabku kemudian.

"Bisa gak ngajinya gak usah  pake toa gitu, saya sangat terganggu, memangnya gak bisa pelan-pelan ?" kata wanita tersebut.

Aku melihat ke bawah, tak sanggup melihat wajah cantik tersebut. Astaghfirullah, dia masih memakai sandal.

"Maaf, tidak boleh memakai sandal ke dalam Masjid," kataku kemudian.

"Bikin aturan kalian pande, mentaati aturan tidak bisa, lihat itu jam, lagi enak-enak tidur justru kamu bising," kata wanita itu lagi.

"Astaghfirullah," lagi-lagi aku hanya bisa istighfar.

Beberapa jamaah datang, seorang Pria langsung menegur wanita tersebut.

"Heh, gak sopan kali kamu, masuk Masjid pakai sandal, pakai baju tidur lagi, sana keluar," kata pria tersebut.

"Yang tidak sopan itu kalian, jam segini sudah ribut," kata wanita tersebut.

"Pergi dari sini, jangan lompat pagar kamu?" kata seorang Pria yang lain.

"Suara kalian yang lompat pagar," wanita itu sepertinya tak mau kalah.

Jama'ah salat subuh makin ramai, wanita itu justru seperti tidak ada takutnya. Dia terus protes suara azan dan mengaji. Ternyata rumahnya tepat di belakang mesjid.

"Maaf, Bu, untuk ke depan saya tak akan pakai toa lagi, jika memang mengganggu tidur ibu." kataku kemudian.

"Jelas mengganggu, terima kasih, dan satu lagi gak usah panggil ibu," katanya seraya pergi. 

"Jangan mau diatur orang, Cok, justru suara ngajimu yang membuat kami rajin ke masjid ini," kata seorang pria setelah wanita itu pergi.

"Betul sekali, hanya setan yang keberatan mendengar suara orang mengaji," sambut yang lain.

"Kita harus saling menghargai," jawabku.

"Benar, kita memang harus saling menghargai, tapi jika orang menghargai kita, lihat itu dia masuk mesjid pakai baju tidur, sandal gak dibuka, mungkin dia non muslim," kata jama'ah yang lain.

"Sudah, sudah, sudah dapat waktu  subuh itu," kataku kemudian.

Ridho kemudian maju, dia mengumandangkan azan dan Iqamah, saya maju sebagai imam. 

Sebelum berangkat kuliah, aku menelepon orang tua, kedatangan wanita tadi sungguh mengganggu pikiranku. Apa iya selama ini suara ngajiku sudah mengganggu tidurnya. Di desa kami tak pernah ada yang protes dengan suara masjid. 

"Ayah, Mamak, aku mau minta pendapat," kataku kemudian. 

"Iya, Cok, silakan," jawab Ayah.

"Tadi waktu sebelum subuh, aku tarhim di mesjid, terus ada orang masuk mesjid, dia gak buka sandal, dia protes suara ngajiku, katanya mengganggu tidurnya. Aku jadi kepikiran, Yah, Mak, mungkin suaraku terlalu keras ya, atau jelek suaraku," kataku kemudian.

"Terus apa yang kau katakan?" tanya mamak.

"Aku bilang mulai besok, aku ngaji tak pakai pengeras suara, tapi jama'ah salat protes, kata mereka suaraku yang bangunkan mereka subuh, yang membuat mereka rajin ke masjid," kataku kemudian.

"Yang datang itu pasti cewek," kata Mamak.

"Iyar, Mak, mamak kok tahu?"

"Pasti cantik," 

"Mamak cenayang ya sekarang?" candaku kemudian.

"Bukan, Cok, tapi aku kenal anakku, jika sekiranya yang datang itu laki-laki  pasti kamu pukul, karena yang datang ceweknya cantik kamu mau mengalah," kata Mamak.

"Astaghfirullah, Mak,"

"Betul, kan?"

"Gak lah, Mak,"

"Itu kelemahanmu, Cok, cewek cantik, kamu harus bisa mengatasi kelemahanmu itu," kata Mamak.

"Ah, Mamak, pembahasan jadi melebar, yang dibahas sekarang bagaimana tindakanku, Mak, apakah memang menghentikan tarhim itu?" kataku sedikit kesal.

"Begini, Cok, di kota sama desa itu beda, jadi minta saran ke warga sanalah, Cok, " jawab Ayah.

"Iya, Cok, jangan karena cewek cantik yang melarang kamu nurut," kata Mamak lagi.

"Iya, Mak, assalamualaikum," 

"Waalaikum salam,"

Mamak selalu souzon padaku, atau memang iya. Akan tetapi dipikir-pikir jika laki-laki yang datang tidak buka sandal dan marah-marah memang bisa kupukul itu. Apa iya cewek cantik adalah kelemahanku? Ah, tidak, tiap hari aku digoda cewek, aku tetap bisa tahan. 

Pagi itu aku berangkat kuliah naik Supra. Saat tiba di persimpangan, aku lihat lampu kuning, aku berjalan pelan-pelan khawatir terjebak lampu merah. Tiba-tiba terdengar suara klakson panjang dari belakang. Ternyata mobil Honda jazz ada di belakangku. Aku tunjuk saja lampu yang sudah berubah merah. Mobil itu terus membunyikan klakson, aku coba meminggirkan motor. Mobil itu maju, saat sudah sejajar dengan motorku. Kaca di bagian sopir turun.

"Paham lalu lintas, Gak, dasar orang kampung!" teriak seorang pria di balik kemudi.

"Ya, paham,"

"Kok berhenti lampu hijau?"

"Lampu kuning," jawabku.

"Jangan-jangan kamu buta warna," katanya lagi.

Aku tak menjawab lagi, percuma diladeni. Akan tetapi kaca sebelah penumpang turun, terlihat wajah cantik, astaga, dia yang datang ke mesjid subuh tadi.

"Dasar orang Medan!" katanya.

"Heh, apa hubungannya dengan orang Medan?"

"Orang Medan gak paham lalu lintas," katanya lagi.

Ini sudah keterlaluan, saat aku mau bicara lagi, mobil itu sudah jalan karena lampu merah sudah berganti hijau. Aku lalu jalan juga. Di lampu merah berikut, lagi-lagi kami bersisian, entah apalah ini. Dari ribuan kendaraan kenapa harus bertemu orang sombong ini lagi.

Kaca bagian sopir turun, hanya untuk menunjukkan jari tengahnya. Aku diam saja, percuma juga dilayani.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (12)
goodnovel comment avatar
Yosefa Wahyu
akhirnya ucok dibikinkan kamar sendiri
goodnovel comment avatar
Raisya_J
ini sambungan bang Parlin ya
goodnovel comment avatar
Ansyahri Romadhon
Akhirnya penantian ku yg lama sudah terbayar,,, terimakasih infonya, dan untuk kak author semoga sukses dan tetap berkarya
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Jadul Tapi Mantul    The End

    PoV Nia Sangat sedih melepas Butet untuk mengarungi rumah tangga barunya. Rasanya baru kemarin dia kugendong. Dia teman diskusi yang sangat asyik. Selama ini dia memang sudah tinggal jauh dari kami, akan tetapi tetap berat juga untuk melepasnya. Bang Parlin juga terlihat sangat sedih, pesta ini justru jadi ajang tangis bagi suamiku. Dia justru sering menangis. Tamu yang datang sangat beragam, mulai dari pekerja kami, sampai toke sawit, sampai bupati pun datang. Akan tetapi aku sedikit kecewa, menantuku tidak datang dengan alasan tak bisa meninggalkan warungnya. Karena Menantu tidak datang, otomatis cucu kamI juga tidak datang. Padahal ini hari bersejarah. Aku ingin berfoto seluruh keluarga. Akan tetapi menantu dan satu-satunya cucu tidak datang. Aku sudah coba hubungi menantu, akan tetapi jawaban dia adalah tidak bisa meninggalkan warungnya. Katanya jika ditinggalkan, terpaksa ditutup dan pelanggan akan lari. Sementara warung itu belum bisa diserahkan kepada karyawan. Resep

  • Jadul Tapi Mantul    Selamat Menempuh Hidup Baru, Butet

    Aku bangun pagi seiring azan subuh berkumandang dari mesjid desa. Lalu mandi dan pergi ke mesjid untuk salat subuh berjamaah, kami sekeluarga pergi ke mesjid. Cantik juga ikut, kami mau sekalian membicarakan proses akad nikah di masjid tersebut. Penghulunya juga masih Abang angkatku, yang dulu pernah jadi guru mengaji di rumah kami. Setelah membicarakan semua, kami pulang ke rumah. Mulai ada kesibukan di rumah. Para Bapak-bapak memasak rendang, para ibu-ibu memasak nasi. Jam delapan pagi sudah bisa makan. Satu kampung makan di rumah kami. Kebanyakan bawa baskom masing-masing. Ibunya Bang Sandi datang, begitu datang dia langsung salaman. "Kok lama kali datangnya?" tanya mamak."Itu tadi, Bu, ngantar Sandy mau pulang," jawab Ibu tersebut."Kok cepat kali dia pulang?" tanya mamak lagi."Katanya mau tugas,"Ternyata Bang Sandy memang di sini, ingin aku bertanya pada ibunya, akan tetapi aku tahan, tak ingin merusak suasana hati yang beberapa jam lagi akan menikah. Bang Sandy bohong soal

  • Jadul Tapi Mantul    Sedihnya Melepas Butet

    Pertanyaan Bang Sandy ini sepertinya tidak masuk akal, mengajak tinggal di Brunei, pekerjaan membobol bank. "Bagaimana, Tet, kita akan bahagia bersama," kaya Bang Sandy lagi."Hei, Bang Sandy, kamu masih waras gak? masa ajak aku jadi penjahat, kerja membobol bank, emangnya kamu pikir aku penjahat ya," kataku kemudian."Itu hanya perumpamaan, Tet, intinya aku bisa lebih baik dari si Cina itu," "Hei, Bang, kamu sudah rasis, gak boleh manggil orang dengan sukunya,""Bukan maksud rasis ya, Tet, hanya kesal, ayolah, Tet, kita akan hidup makmur di Brunei, Kamu tahu gak, pemerintah Brunei pernah mengajak aku pindah ke sana, sebagai tenaga ahli bidang IT," kata Bang Sandy lagi."Wah,""Iya, Butet, aku bisa lebih baik dari si sipit itu, percayalah," Lama-lama omongan Bang Sandy makin melantur saja, padahal biasanya dia orang yang santun, jarang bicara, ini sudah rasis segala. "Kok kamu jadi rasis sih, ini bukan Bang Sandy yang kukenal,""Cinta, Tet," Oh, seperti kata ayah, cinta bisa mem

  • Jadul Tapi Mantul    Gadis Mahal

    Sekitar jam 10.00 malam, Ayah akhirnya pulang ke rumah. Ini kesempatanku untuk bertanya apakah Ayah setuju. Bang Ucok, mamak dan bahkan Cantik tidak setuju aku pergi kuliah di Amerika. Tinggal Ayah yang belum kutanyakan."Papa, Kak Butet mau pergi ke Amerika," belum sempat aku bertanya Cantik sudah mengadu duluan. "Amerika," Ayah melihatku."Iya, jauhhh,""Hahaha," ayah malah tertawa, mungkin ayah mengira ini lelucon."Ayah, Cantik benar, aku mau pergi ke Amerika," kataku kemudian."Waw, mau ngapain?""Kuliah pascasarjana, Yah," "Jauh sekali ke Amerika?""Aku dapat beasiswa, Yah," Ayah' terdiam, dia melihat mamak, lalu kembali melihatku."Boleh, Yah?" tanyaku lagi."Kamu sudah dewasa, Butet sudah tahu mana yang baik dan mana yang buruk," kata Ayah."Ayah dukung apapun keputusanmu, tapi Ayah berikan sedikit gambaran, Amerika itu jauh, jika sekiranya ayah meninggal kamu gak akan bisa kejar, terus adikmu suka' kangen kakaknya, kamu satu bulan tidak pulang saja Cantik sudah sering be

  • Jadul Tapi Mantul    Amerika?

    Aku justru makin bingung, Ini kesempatan langka, beasiswa di Amerika. Akan tetapi aku dan Pak Johan sudah membuat semacam kesepakatan. Tiga tahun lagi kami akan menikah, itu 2 tahun yang lalu. Apakah kesepakatan itu sudah janji? "Bagaimana, Butet? kok malah bengong?" kata Pak Dosen."Saya berpikir dulu, Pak," jawabku akhirnya."Butet, ini kesempatan langka, Jangan disia-siakan, aku yakin kamu bisa berkarir di luar negeri," kata Pak Dosen."Cita-cita saya bukan seperti itu, Pak, cita-cita saya buka kantor pengacara publik, yang memberikan layanan hukum' gratis untuk masyarakat miskin," kataku kemudian."Jika memang itu cita-citamu, cocok juga, tapi ambil S-2 ini juga, paling dua tahun," kata Pak Dosen."Saya pikirkan dulu, Pak," kataku kemudian."Kupikir tadi kamu akan sujud sukur sambil menamgis karena dapat beasiswa penuh," kata seorang pengacara yang lain."Iya, gak nyangka kamu masih berpikir, padahal ini kesempatan emas, dari propinsi ini hanya dua orang, kamu salah' satunya," ka

  • Jadul Tapi Mantul    Butet Bingung

    Bertanya ke Bang Ucok ternyata jawabannya sangat logika, ini sesuatu yang berubah pada diri Bang Ucok. Setelah dia menikah bicaranya sekarang sudah banyak yang secara logika. Atau karena dia sekarang sudah sarjana psikologi. "Memangnya siapa yang orang Cina siapa yang orang Padang?" Tanya Bang Ucok lagi."Adalah,""Biar kutebak, kalau Cina itu yang pemilik hotel itu ya?" "Iya, Bang,""Yang orang Padang siapa?" "Coba tebak?" tanyaku kemudian.Heran juga Bang Ucok tidak ingat kepada Bang Sandy, Padahal kami dulu sering memecahkan kasus bersama. Bahkan kudengar Bang Sandi setelah jadi polisi pernah pergi ke tempat Bang Ucok. Kenapa dia tidak ingat?"Umar ya?" "Bukan?""Jadi siapa?""Ah, payah Bang Ucok."Aku memutuskan panggilan telepon karena Bang Ucok tidak ingat kepada Sandy. Aku makin bingung entah memilih siapa. Cari jawaban Bang Ucok juga mengambang, masalah umur dia pilih pada Sandy, di masalah profesi dia pilih Pak Johan. Sedangkan masalah suku dia tidak memberikan pilihan.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status