Mendiang ayah Pak Hamzah adalah orang yang cukup disegani, meski hanya marbot mushola. Ia mengajar ngaji anak-anak di desa ini tanpa imbalan apa pun. Almarhum juga mengajar di pondok pesantren yang ada pinggiran kota juga tanpa dibayar. Untuk menyekolahkan anak-anaknya dan memenuhi kebutuhan sehari-hari pekerjaan apa pun beliau lakukan, dari ngarit sampai menjadi buruh pabrik.
Begitu juga dengan Bu Murti, beliau adalah salah satu warga yang disegani di kampung ini. Namun kini ada persoalan yang harus di selesaikan Bu Murti. Cucunya Nadhira hamil di luar nikah. Sebuah aib untuk keluarga besar yang terkenal alim di desa ini. Jika suaminya masih hidup tentulah Hamzah sudah habis dipukuli oleh bapaknya.
Karena Almarhum sebagai guru ngaji tentunya memegang prinsip agama yang sangat kuat. Bu Murti tak habis pikir dengan model pergaulan anak muda jaman sekarang yang sangat bebas tak terkendali.
Ia melihat sendiri anak-anak di d
“Saya mas?” bersamaan dengan Pak Hamzah, Hanif juga terkejut atas ide kakak iparnya itu.“Iya kamu Nif. Kamu nggak ada hubungan darah sama Nadhira. Jadi kamu bisa nikahin dia meskipun kamu pernah nikah sama adekku,” Pakde Agus memperbaiki duduknya dan dengan semangat memberi alasan pada Hanif.Bu Murti hanya menyimak apa yang dibicarakan anak-anak dan menantunya. Arya sendiri juga masih tidak percaya akan apa yang didengarnya. Nadhira dan Ana juga Ani, anak Hanif, adalah sepupu. Jika Nadhira dan Hanif menikah Nadhira akan menjadi ibu sambung mereka. Apa mereka akan menerimanya.Hanif hanya terdiam. Ia sudah menjadi duda selama lima tahun. Sampai detik itu ia sendiri belum terpikirkan untuk menikah lagi. Ia bisa merawat putri-putrinya meski harus dbantu oleh ibu mertuanya.Sebenarnya Bu Murti sudah mengijinkan jika Hanif mau kembali ke kampung halamannya dan menikah lagi dengan
Esok harinya Pak Hamzah dan Arya pamit pulang kembali ke kota. Pak Hamzah pamit kepada ibunya dan mengucapkan maaf berulang kali atas persoalan yang dibawanya pulang. Tak lupa ia menyerahkan amplop coklat yang berisi uang kepada ibunya. “Ini apa, Hamzah, kok banyak sekali. Ibu tidak kekurangan uang, Nak. Hasil selepan sudah cukup untuk makan sehari-hari,” tolak Bu Murti halus. Pasalnya uang yang diterimanya ini dua ikat uang lembaran biru masing-masing bernilai lima juta. “Maafkan Hamzah, Bu, yang belum bisa menjadi anak yang berbakti. Di usia yang sekarang ini Hamzah masih merepotkan ibu dengan permasalahan keluarga. Hamzah benar-benar minta maaf, Bu.” Pak Hamzah bersimpuh di sebelah dipan Bu Murti. Bu Murti yang masih belum pulih hanya bisa duduk bersandar di atas kasur. “Semoga Allaah berikan kemudahan pada keluarga kamu, keluarga kita, dalam me
Sudah dua hari ini Nadhira hanya berada di kamar. Ia tidak keluar kamar kecuali untuk makan atau ke kamar mandi. Sejak kemarin pagi Papa dan kakaknya belum kembali dari rumah Mbah Utinya di desa hingga hari ini.Rupanya Papa dan kakaknya menginap satu malam di sana. Nadhira hanya berbaring di kasur menghabiskan harinya. Tidak banyak yang bisa dilakukan di dalam kamar karena gawainya sudah disita.Sesekali Nadhira membuka-buka buku bersampul pink yang ia terima saat pemeriksaan ke klinik kandungan beberapa hari lalu. Pandangannya selalu berakhir pada foto usg rahimnya. Masih terngiang di telinganya suara detak jantung janin yang dikandungnya.Ia menahan tangis kala itu. Buah cintanya dengan Zaki yang sempat terpikir akan ia gugurkan. Tiba-tiba ia merindukan Zaki. jika sudah seperti ini Nadhira hanya bisa menangis.Jika papa dan mamanya memutuskan untuk pindah dari tempat ini, bagaimana n
Selepas isya keluarga Pak Hamzah berkumpul di ruang tengah setelah makan malam. Meski sudah berkumpul selama beberapa waktu, tapi tidak ada yang memulai pembicaraan. Semuanya larut dalam pikiran masing-masing. Mama Nur yang duduk di sebelah Pak Hamzah sudah terlihat tenang. Arya duduk di sofa sebelah Pak Hamzah dan Nadhira di seberangnya.“Mama sudah tenang sekarang?” tanya Pak Hamzah memecah kesunyian.“Iya, Pa,” jawab Mama Nur pendek.“Nadhira sudah enakan badannya?” tanya Pak Hamzah sambil melihat ke arah anaknya.“Sudah pa, Nad sudah nggak apa-apa,” jawab Nadhira sambil menunduk.“Alhamdulillah. Arya masih capek habis nyetir tadi?” pandangan Pak Hamzah beralih ke putranya.“Nggak pa, Arya nggak apa-apa,” jawab Arya sambil tersenyum.“Mbah titip
“Nadhira,” panggil Mama Nur. “Kamu akan menikah dengan Hanif!” Mama Nur berkata tegas, meski ada bulir yang siap jatuh di ujung matanya. “Jika kamu tidak menuruti apa yang kami katakan, silakan keluar dari rumah ini. Dan Mama tidak akan pernah mengakui kamu sebagai anak lagi!” kata Mama Nur sambil menggertakkan giginya. Mata Nadhira melebar mendengar perkataan mamanya. Mama yang begitu menyayanginya selama ini, apa mungkin tega mengusirnya begitu saja? “Mama, kenapa Mama bilang begitu?’ Nadhira memandang sedih pada Mamanya. Mama Nur mengalihkan pandangannya. “Mama tidak main-main, Nad. Jika kamu tidak mau menuruti kami, Mama akan mengusir kamu dari rumah ini. Dan Mama tidak akan memberikan sepeserpun untuk kamu.” “Apa mama tega dengan aku dan janin ini, Ma?” Nadhira memegang perutnya. “Kamu sendiri tega pada Mama dan Papa,”
Selama beberapa waktu berikutnya Arya mendapat tugas untuk mengontrol ke tempat usaha keluarganya. Arya hanya perlu bertemu dengan penanggung jawab masing-masing dan menerima laporan mereka. Jika ada persoalan dan Arya memiliki solusi maka ia diberi kewenangan untuk menyelesaikannya bersama penanggung jawab usaha. Namun jika Arya merasa tidak mampu ia bisa menampung persoalan yang disampaikan dan akan didiskusikan dengan Pak Hamzah nanti. Ini bukan pertama kalinya Arya mendapat tugas seperti ini. Sejak kuliah Arya sering mendapat tugas yang sama jika sedang berlibur. Sehingga Pak Hamzah bisa beristirahat di rumah tanpa harus keliling. Namun kali ini alasannya adalah agar Pak Hamzah lebih leluasa mengurus berkas dan segala urusan untuk pernikahan Nadhira. Jadi selama beberapa waktu Aryalah yang akan memegang kendali bisnis keluarga mereka. Mama Nur memilih berada di rumah agar dapat mengawasi Nadhira. Toko di
Nadhira bergegas mengganti pakaian rumahnya dengan baju gamis dan menyambar kerudung instan seadanya dari lemari pakaian. Ia segera turun ke bawah dan menuju teras. Dilihatnya Mamanya sedang dibantu naik ke mobil oleh kakaknya. Nadhira segera mengunci pintu dan berlari menuju mobil, kemudian mengambil tempat di sebelah Mamanya. Arya memastikan semua sudah memakai sabuk pengaman dan segera meluncur keluar dari area parkiran. Dia turun sebentar untuk menutup dan mengunci gerbang. Kemudian bergegas memacu kendaraannya menuju jalan raya. “Kak Arya, Papa kenapa?” Nadhira yang masih belum tahu apa yang terjadi sebenarnya mencoba mencari jawaban dari Arya. “Ma..?” Nadhira memegang tangan Mama Nur. Namun Mama Nur hanya menangis dan bersandar pada jendela. “Kak, Papa nggak apa-apa kaan?” Nadhira tidak juga mendapat jawaban, perasaan cemas dan khawatir merambati hatinya. Dia memilih diam sambil berdoa agar papanya baik-baik saja. Setibanya di rumah sakit. Mereka segera menuju IGD. Nadhira
Sudah tiga hari berlalu dan Pak Hamzah belum juga sadar. Tadi malam Pak Hamzah sudah dipindahkan ke ruang rawat inap khusus. Beragam peralatan medis masih menempel pada tubuhnya. Bermacam selang menghiasi tubuh orang yang amat disayangi Nadhira.Mama Nur masih setia merawat dan menemani suaminya. Tak beranjak sedikit pun dari sisinya kecuali untuk keperluan mendasar. Seperti makan, ke kamar mandi, dan sholat.Pagi dan sore hari Mama Nur membersihkan badan Pak Hamzah dengan handuk kecil yang dibilas air hangat. Telaten dan lembut menyeka setiap bagian tubuh suaminya. Berhati-hati di area dengan jarum infus atau alat medis lainnya yang menempel di tubuh suaminya.Mama Nur juga mengisi hari-hari di samping suaminya dengan dzikir, shalawat dan tilawah. Sengaja Mama Nur duduk dekat sisi kepala Pak Hamzah, agar Pak Hamzah bisa mendengar suara beliau saat mengaji, berharap dengan mendengarkan ayat suci AlQuran yang dibacakannya beliau bisa segera sadar dan pulih.Nadhira juga ikut menemani M