Share

BAB 5

Rizal, mantan suami Dita, yang tengah sibuk dengan ponselnya di ruang tamu, mengangkat kepala saat mendengar langkah-langkah ibunya. 

"Ada apa, Ma?"

Bu Salim menghela nafas dalam-dalam sebelum akhirnya memberanikan diri untuk berbicara.

"Dita sudah pindah ke kota besar."

Rizal hanya mengangguk sebentar, kembali fokus pada ponselnya. 

"Ya, aku tahu."

"Wanita itu mungkin sedang mencari target baru di sana," kata Bu Salim dengan nada sinis.

Rizal menoleh, wajahnya tak berubah. 

“Biarin saja.”

Nyonya Salim terdiam. Ia menyadari bahwa putranya telah dewasa dan mampu melihat hal-hal dari perspektif yang berbeda.

Keesokan harinya, suasana di warung-warung kecil di kampung semakin riuh dengan percakapan tentang Dita. Bu Salim tiba di salah satu warung. Wajahnya yang keras dan sinis menarik perhatian orang-orang di sekitarnya.

"Tau nggak, sebenernya Dita tuh selama di sini, nggak pernah bener-bener jadi istri yang baik," ucap Bu Salim dengan nada berbisik, sambil memegang gelas kopi hitamnya.

Mendengar omongan tersebut, beberapa orang di warung mengangguk setuju, mereka yang memang sudah tidak suka pada Dita sejak awal.

"Anakku pisah dengannya karena nggak tahan lagi, tau! Dita tuh kayaknya lebih mementingkan diri daripada keluarganya sendiri," tambah Bu Salim, mencoba menanamkan keyakinan bahwa Dita adalah sosok yang egois. 

Seorang ibu-ibu di sudut warung memberanikan diri untuk bertanya.  

"Memangnya kenapa, Bu?"

Bu Salim tersenyum licik, menikmati perhatian itu. 

"Dia nggak becus ngurus rumah tangga. Pekerjaan rumah aja nggak bisa dia tangani dengan baik. Anakku capek, akhirnya memutuskan untuk pisah ranjang."

Gosip itu menjadi makanan ringan bagi pendengarnya. Mereka mulai membayangkan betapa sulitnya hidup bersama Dita. 

Sementara itu, Rizal mengetahui hal itu. Dia juga sudah cukup lelah dengan semuanya. Sebenarnya sudah sangat malas untuk menanggapi, biar saja gosip gosip itu tersebar, asal bukan tentang dirinya. 

Rizal kembali pada saat-saat awal pernikahan mereka. Dita selalu berusaha menjadi istri yang baik. Namun, bayang-bayang fitnah yang dilemparkan oleh ibunya menempel seperti lem pada hati Rizal.

Ibunya dengan pandangan sinisnya, pernah berkata, "hati-hati dengan Dita. Wanita itu mungkin bukan apa-apa, dan dia hanya mencari kehidupan yang lebih baik dari kamu."

Rizal, terombang-ambing oleh kata-kata ibunya, mulai merasa ragu tentang Dita. Ketidakpercayaan itu mengakar dalam, merusak dasar kepercayaan yang mereka bangun bersama. Hingga suatu hari, ketika rasa frustrasi dan kekecewaan mencapai puncaknya, Rizal jatuh dalam godaan dan berselingkuh dengan wanita lain.

Pada saat itu, dia bahkan belum pernah menyentuh Dita. Dengan kata lain, Dita masih perawan bahkan setelah mereka bercerai.

Kini, di ruang tamu yang sunyi, Rizal merenung, merasakan amarah yang memuncak. Sudut ruangannya menjadi saksi bisu atas ledakan emosinya. Dengan langkah-langkah yang berat, ia berjalan ke seluruh penjuru rumah, mencari setiap barang yang terkait dengan Dita.

Di lemari pakaian, Rizal menemukan gamis cantik yang pernah Dita kenakan. Tangannya gemetar saat meraih kain itu. Gamis itu dibuangnya begitu saja.

Mata Rizal bergerak dari satu sudut ke sudut lain, menelusuri setiap laci dan rak. Foto pernikahan, cincin kawin, dan setiap memorabilia tentang Dita diambilnya dan dilemparkan ke dalam kotak itu. 

Rizal bergerak menuju lemari buku. Di sana, ia menemukan buku harian Dita, tempat di mana ia mencurahkan setiap perasaannya. Dengan tatapan dingin, Rizal membukanya, membaca beberapa halaman, dan kemudian mencabut satu per satu lembaran kertasnya. 

Namun, Rizal masih merasa belum puas. Dalam langkah-langkah berdebar, ia bergegas ke dapur dan membuka laci tempat Dita sering menyimpan resep-resep masakan favoritnya. Dengan kasar, ia menarik keluar setiap buku resep dan mengumpulkannya di atas meja. Api unggun kecil sudah menunggu di halaman belakang rumah.

Rizal merasakan kehangatan api saat ia melempar buku-buku resep ke dalamnya. Kertas-kertas halaman-halaman yang pernah menjadi panduan bagi Dita untuk memasak itu, kini terbakar dan berubah menjadi abu. Asap hitam membubung tinggi.

Namun, ada satu barang lagi yang masih menyisakan jejak Dita di rumahnya. Di pojok ruang tamu, sebuah lukisan cantik yang pernah Dita lukis. Dengan ekspresi acuh, Rizal melepaskan lukisan dari dinding dan membawanya ke halaman belakang.

Tiba di sana, Rizal meletakkan lukisan itu di antara bara api yang berkobar. Warna-warni cat minyak itu melarut, membaur dengan kepulan asap yang terus menjulang.

***

Dita duduk sendirian di taman kota yang sunyi, ponselnya menjadi sahabat setianya untuk mencari tempat tinggal baru. Dengan tangan gemetar, ia membuka aplikasi pencarian kontrakan di ponselnya.

Ia mencari kontrakan dengan harga yang terjangkau, namun kualitas yang layak. Melihat beberapa akun yang mempromosikan kontrakan, ia terus menelusuri, mencari yang sesuai dengan budget yang dimilikinya.

Namun, setiap kali melihat harga yang tertera, Dita tak bisa menyembunyikan raut wajah kecewa. Ternyata, harga kontrakan di kota besar ini jauh melampaui ekspektasinya. Harganya tiga kali lipat lebih mahal daripada kontrakan yang ditinggali di kampung halamannya. Seakan mimpi untuk memulai hidup baru di kota besar terhambat oleh keadaan finansial yang sulit diatasi.

Dita menghela nafas dalam-dalam, mencoba untuk tetap tenang. Ia masih mencoba mencari, memilah-milah opsi yang mungkin sesuai dengan anggaran yang dimilikinya.

"Seharusnya ini bukan menjadi alasan untuk menyerah," bisiknya pada dirinya sendiri. Dia melanjutkan pencarian, mempersempit kriteria, dan memfokuskan perhatiannya pada yang paling murah di antara opsi-opsi yang ada. Memang sangat sulit. Dia tidak mungkin terus berada di luar. Tubuhnya terasa lengket karena keringat. Dia harus segera istirahat kalau tidak mau pingsan karena kelelahan. Bisa-bisa dia dimanfaatkan orang-orang sekitar.

Setelah banyaknya kontrakan yang Dita hampiri, Dita berhenti d depan rumah kecil yang tertulis “Rumah Kontrakan 1 Kamar” Dita langsung menghubungi nomor yang tertera dan setuju dengan harga yang ditawari. Dita sejenak beristirahat dan membaca kartu nama yang ia simpan di dalam dompetnya. 

“Dika, mungkin aku bisa bekerja dengannya.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status