Share

BAB 4

Dita membuka pintu dengan ragu dan melihat sosok Dika yang tersenyum kecil. Dita pun membuka pintu lebih lebar lagi. 

“Saya mau tanya-tanya tentang rumah sewa di sekitar sini,” katanya. 

Dita tampak sedikit tidak nyaman. Matanya gelisah memandang sekitar. Ia takut hal ini akan menjadi bahan gunjingan tetangga lagi. 

“Maaf, saya juga tidak tahu banyak tentang wilayah di sini.” Dita menolak dengan halus.

“Mungkin saya memang datang di waktu yang tidak tepat. Maaf ya, Dita.” 

Tanpa menunggu waktu lebih lama, Dika pun berpamitan. Tapi sebelum itu, ia memberikan kartu namanya. 

Dita memandang kartu itu lamat-lamat. Di sana tertulis, Dika adalah manajer minimarket di kota.

‘Mungkin ini bisa menjadi jalan untukku keluar dari kampung ini…’ batinnya sambil menggenggam erat kartu nama itu.

Setelah berpikir semalaman, Dita pun bertekad untuk ke kota. 

"Sebentar lagi, aku akan meninggalkan tempat ini," gumam Dita sambil menatap lirikan matahari pagi yang menyapa melalui tirai tipis. Semakin hari, desir-desir angin di kampung ini semakin membuat hatinya terluka. Gunjingan murahan tetangga seolah menjadi teman setianya, dan itu menderanya seperti racun yang tak kunjung hilang.

Dita pun memutuskan untuk pindah ke kota besar. Dia tahu, di sana, mungkin saja ia bisa menemukan kehidupan baru yang tidak akan dipenuhi oleh omongan tajam dan tatapan sinis.

Saat merapikan, Dita tak bisa menyembunyikan senyum getir di bibirnya. Ketika lemari akhirnya benar-benar kosong, Dita menutup pintunya dengan lembut. Matanya berkaca-kaca. Koper kecil pun ditutup dengan hati-hati.

Dita berdiri, menatap sekeliling. Dita mengangkat koper kecilnya. Dia duduk di ujung ranjangnya, matanya terpaku pada layar ponselnya yang menerangi wajahnya yang pucat. Jarinya menari-nari di atas layar, mengetikkan pesan kepada pemilik kontrakannya.

"Bu, saya ingin memberitahu bahwa saya akan pindah hari ini," tulis Dita, mencoba menyembunyikan getir di balik kata-katanya.

Beberapa menit kemudian, pintu kontrakan itu terbuka perlahan. Pemilik kontrakan, seorang ibu-ibu berwajah tegas, melangkah masuk.

"Bayar tagihan kontrakanmu yang terakhir," ucap pemilik kontrakan dengan nada acuh.

Dita mengangguk, mencari dompetnya di dalam tas. Memberikan beberapa lembar uang merah dan pergi meninggalkan kontrakan itu. 

Setelah uang dibayarkan, Dita berdiri dan mulai membawa barang-barangnya. Pemilik kontrakan memperhatikannya dengan ekspresi sinis. Pemilik kontrakan itu tak menahan diri untuk menyebarkan kabar ke tetangga. 

**

Pada sisi lain, di kampung kecil itu, gerombolan ibu-ibu berkumpul di warung kopi, mengaitkan cerita-cerita mereka satu sama lain seperti benang merah. Sebuah meja kayu yang rapuh menjadi tempat favorit untuk bergosip.

Angin sepoi-sepoi menyusup dari celah-celah bambu, memberikan kesan sejuk pada pagi yang mulai terik. Di tengah-tengah warung, aroma kopi yang harum melayang di udara.

"Kamu dengar? Dita pindah ke kota besar," bisik salah satu ibu-ibu, tetapi cukup keras untuk didengar oleh yang lain.

"Iya, Dita yang itu, 'kan?" jawab ibu-ibu lainnya sambil menyedot habis kopinya, "aku dengar dia tinggalkan kontrakannya."

Mereka melanjutkan obrolan. Pikiran-pikiran negatif seakan mekar di antara mereka seperti bunga-bunga liar yang tumbuh tanpa kendali.

"Aku yakin dia pasti bakal jual diri di kota besar," celetuk salah seorang ibu-ibu sambil tertawa dengan nada meremehkan, "siapa tahu, dia berpikir bisa 'mengasah keterampilannya' di sana."

Gosip tidak pernah kekurangan bahan bakar di kampung kecil ini, dan cerita-cerita mereka tentang Dita menjadi semakin menyebar.

"Mungkin dia pikir hidup di kota besar itu glamor, tapi kita tahu bagaimana kenyataannya," kata ibu-ibu yang duduk di ujung meja, dengan nada setengah mendesak, "siapa yang tahu, mungkin dia berakhir menjadi 'artis jalanan' di sana."

Bu Salim, mantan mertua Dita, duduk karena mendengar bisikan-bisikan ibu-ibu di sekitarnya, memancing rasa penasarannya.  Bu Salim meraih cangkirnya dengan isyarat agar teman-temannya bercerita lebih lanjut. Mata mereka saling berpandangan.

"Siapa tahu, mungkin juga cari target baru, kan? Kota besar, banyak pilihan," Bu Ani tertawa nakal. Bibir Bu Salim menyeringai sinis. 

“Mana mungkin dia bisa bertahan..”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status