ログイン“Astaga, kamu semakin ganteng aja.” Arsi–mama Nara memuji ketampanan Giorgio ketika pria itu baru datang bersama Lita–mama Giorgio.
Nara berlagak seperti orang ingin muntah saat ibunya memujui ketampanan Giorgio. Dari segimanapun pria itu sama sekali tidak tampan, yang ada dia muak jika melihat pria playboy seperti Giorgio. “Mari masuk Jeng,” kata Arsi mempersilahkan Giorgio dan mamanya masuk. Nara yang memasang wajah datar saat menyambut kedatangan Giorgio dan Lita, dicubit pinggangnya oleh Arsi. Mata wanita berusia lima puluh tahunan itu melotot menatap putrinya. “Senyum, senyum!” ucap Arsi tanpa suara. Nara hanya memutar bola matanya. Tangannya mengusap pinggangnya yang terasa berdenyut nyeri. “Dia itu calon suamimu, bukan musuhmu. Jadi sambut dengan senyuman,” omel Arsi, suaranya berbisik karena Giorgio dan mamanya berjalan di depannya. “Masih calon, Ma, belum pasti,” sahut Nara seolah tak takut dengan tatapan tajam yang diberikan mamanya tadi. “Kamu!” Arsi sudah mengangkat tangannya bersiap untuk memukul putrinya, tapi dengan cepat Nara menghindar. Wanita itu langsung menggandeng tangan Lita. Kepalanya menoleh ke belakang, menatap mamanya dengan senyuman lebarnya. “Ayo duduk Tante,” kata Nara dengan wajah sumringah. Lita tersenyum ia duduk di tempat yang sudah disiapkan oleh Nara, bersama dengan mamanya. Sementara dia duduk di sisi Giorgio. “Ya ampun Jeng, aku senang sekali kita akan segera menjadi besan,” kata Lita sesaat setelah mereka duduk. “Sama, Jeng. Saya juga begitu. Saya aja udah ngga sabar nunggu hari pernikahan mereka,” sahut Arsi. Giorgio dan Nara hanya saling memandang. Keduanya tersenyum kaku mendengar percakapan dua orang tua di depannya ini. “Kira-kira nanti kita enaknya pakai adat apa ya untuk pernikahan mereka?” tanya Lita pada Arsi. Arsi memegang pipinya. “Aduh…adat apa yang Jeng, saya juga bingung,” balasnya. “Ini sungguh mendebarkan,” imbuh Arsi. “Bagaimana kalau kita pakai kebaya aja. Adat jawa, pasti menarik?” usul Lita. “Adat jawa? Tapi kita tidak ada yang berasal dari jawa kan,” balas Arsi menimpali. Lita menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Betul juga ya. Kalau begitu bagaimana kalau kita pakai gaun princes. Itu loh yang model sekarang, jadi gaun pengantinnya seperti princes-princes gitu.” “Tidak!” sahut Nara tiba-tiba dengan suara lantang. Arsi dan Lita yang tengah asik membicarakan konsep pernikahan seketika menoleh. Keduanya menatap Nara dengan tatapan penuh kebingungan. “Ha ha ha…maksudku, aku alergi memakai gaun yang banyak hiasanya,” ucap Nara seolah menjelaskan. Giorgio yang tahu alasan sebenarnya dibalik ketidak inginan Nara memakai gaun princes, tersenyum tipis. Namun, Nara langsung menatapnya dengan tatapan mendelik kesal. “Jangan tersenyum seolah tahu apa yang ada di pikiranku!” ketus Nara. “Kalau memang aku tahu bagaimana? Bukankah sudah jelas bahwa kamu tidak ingin memakai gaun itu karena tidak ingin sama dengan….” Nara langsung membungkam mulut Giorgio. Matanya mendelik semakin lebar menatap Giorgio. “Ya ampun Jeng, lihatlah bukankah mereka romantis sekali,” ujar Lita. “Benar,” sahut Arsi dengan senyum penuh kebanggaan. Nara menghela napas jengah. Kepalanya menggeleng mendengar komentar-komentar yang diucapkan oleh Lita Arsi. Mengabaikan LIta dan Arsi yang kembali asik berbicara, Nara melirik ke arah Giorgio. Kakinya menendang kaki pria itu, mencoba mengalihkan perhatian Giorgio dari ponsel yang ada di tangannya. “Siapa? Kekasihmu?” tanya Nara malas. Suaranya setengah berbisik agar kedua orang tua mereka tidak mendengar apa yang mereka bicarakan. Giorgio menyimpan ponselnya. Sudut bibirnya tertarik ke atas. “Kenapa? Apa kamu sangat peduli?” jawab Giorgio. “Cih…peduli? Jangan bermimpi!” sahut Nara menunjukkan wajah jengahnya. “Jadi kamu belum memberitahu kekasihmu itu kalau kamu akan menikah denganku?” tanya Nara. “Itu urusanku,” jawab Giorgio yang sukses memancing emosi Nara. Nara menganga, tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Giorgio. Dia memang tidak menyukai Giorgio, tapi setelah menikah jika Giorgio masih berhubungan dengan kekasihnya bukankah dia sendiri yang akan kesal dan dibuat pusing. “Ah…bisa buatkan aku kopi? Aku lelah karena harus lembur tadi,” pinta Giorgio pada Nara. Nara mengangguk. Ia segera bangun dari duduknya lalu menuju ke dapur. Tangannya bergerak lincah, memasak air dan meracik kopi untuk Giorgio. Namun, saat tangannya hendak mengambil gula, tiba-tiba saja tangannya berbelok mengambil garam. Dimasukkannya beberapa sendok garam ke dalam cangkir kopi lalu mengaduknya. Dengan wajah tanpa bersalah, Nora memberikan kopi itu kepada Giorgio. Hanya dengan satu tegukan, Giorgio langsung menyemburkan kopi buatan Nara. matanya menatap kesal pada Nara, namun tidak dengan Arsi dan Lita. kedua orang tua itu bingung dengan apa yang terjadi pada Giorgio. “Nara maheswara!” sungut Giorgio. Nara melemparkan senyum dua jarinya sambil membentuk jarinya dengan huruf V ke arah Giorgio. “Awas kamu Nara, kamu akan merasakan balasanku. Akan kubuat kamu benar-benar menyesali perbuatanmu!”“Ah…Sayang, perutku….”Nara mengulum senyum seiring dengan perginya Saras. Misinya benar-benar berhasil, padahal dia hanya memberikan dosis kecil pada makanan wanita itu.“Bisa tolong temani Saras?” pinta Giorgio pada teman Saras.Teman saras mengangguk. Ia segera pergi menyusul Saras yang berlari mencari toilet.“Kamu yang melakukannya?” tuduh Giorgio pada Nara saat tak ada siapapun di sekitar kita.“Melakukan? Melakukan apa?” sahut Nara bersikap seolah-olah tak tahu apa-apa.Giorgio menghela napas panjang. “Meletakkan obat pencahar itu, kamu yang melakukannya kan.”“Jangan asal menuduh. Siapa tahu kekasihmu itu memang tidak bisa makan makanan seperti ini,” sahut Nara masih tidak ingin mengaku. Biar saja. Salah sendiri siapa suruh mengajaknya makan padahal dia sudah memberikan kode yang jelas-jelas menolak.“Nara maheswara!”“Sayang, maaf ya perutku tiba-tiba saja sakit. Aku rasa sushinya bermasalah,” kata Saras yang tiba-tiba muncul bertepatan dengan Giorgio yang meninggikan suarany
Nara mengerutkan keningnya. Dari banyaknya orang, kenapa dia harus bertemu dengan Saras. Matanya melirik ke arah Giorgio, sementara kakinya melangkah lebih mendekat ke arah Giorgio. Dia ingin Saras tahu bahwa Giorgio akan menikah dengannya.“Kami sedang memilih cincin. Lihatlah. Apa cincin ini cantik?” jawab Nara menyahuti pertanyaan SarasGiorgio berdehem. “Ah…dia sepupuku. Dan aku sedang mengantarkannya memilih cincin untuk hadiah ulang tahun temannya,” jawab Giorgio dengan begitu santai.Nara mengangga, tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Giorio. Sepupu? Yang benar saja! Dari semua alasan kenapa Giorgio harus menjadikannya sebagai sepupu.Lalu kenapa juga dia tidak mengaku saja yang sejujurnya? Sebenarnya apa yang dia harapkan dengan berbohong terus seperti ini.“Sepupu? Benarkah?” sahut Saras seolah tak percaya. Saras berjalan mendekati Nara. matanya melihat dari ujung rambut hingga ujung kaki, seolah menilai wanita itu. Tatapannya sinis, tak ada senyum sedikitpun di sana.
“Bagaimana dengan acaranya tadi?” tanya Arsi terlihat penasaran. Hari ini Arsi tidak bisa menemani Nara untuk melihat pameran pernikahan karena toko kue miliknya sedang menerima pesanan kue dalam jumlah besar, jadi dia harus standbay di toko. “Bagus,” jawab Nara singkat. Ia mengaduk-aduk minuman di depannya. Saat ini dia dan mamanya sedang makan malam di restoran favorit mereka. Arsi tersnyum senang. Ia menggenggam tangan putrinya. “Mama senang kalau semuanya berjalan lancar.” “Andai papamu tahu, dia pasti senang,” imbuhnya. Matanya sudah berair hampir menangis. Namun, ditahannya. Mendengar apa yang dikatakan mamanya, Nara membisu. Pikirannya kalut, antara ingin berhenti atau melanjutkan pernikahan ini. Bukan apa-apa, pernikahan adalah sesuatu yang sakral. Dia hanya ingin menikah dengan orang yang tepat. Dia tidak ingin bercerai dan menjadi janda. Bukan berarti Giorgio bukan orang yang tepat, hanya saja mereka tidak memiliki ketertarikan. Lagipula Giorgio juga sudah memiliki kek
“Bagaimana menurutmu? Apa kamu sudah mendapatkan dekorasi atau tema pernikahan yang kamu inginkan?”Siang ini Lita mengajak Nara untuk melihat pameran pernikahan. Disana banyak vendor yang menyediakan berbagai jasa pernikahan, mulai dari dekorasi, gaun pengantin, katering, fotografer, hingga perencanaan pernikahan atau WO (Wedding Organizer).Tak hanya itu dekorasi di sana juga seperti berlomba-lomba menunjukkan desain dan tema yang mereka bawa. Selain itu calon pengantin juga bisa melakukan konsultasi langsung dan bertanya sepuasnya pada ahli pernikahan mengenai detail layanan yang mereka miliki. Banyak promo menarik yang juga mereka tawarkan untuk para calon pengantin yang akan menggunakan jasa mereka.“Ini terlalu banyak, Tante. Saya bingung harus memilih yang mana,” jawab Nara jujur.Terlalu banyak vendor yang dilihatnya dan semuanya bagus-bagus. Andai saja dia menikah dengan lelaki yang dicintainya, tentu ini akan menjadi mudah baginya. Masalahnya dia sama sekali tak memiliki ga
“Astaga, kamu semakin ganteng aja.” Arsi–mama Nara memuji ketampanan Giorgio ketika pria itu baru datang bersama Lita–mama Giorgio.Nara berlagak seperti orang ingin muntah saat ibunya memujui ketampanan Giorgio. Dari segimanapun pria itu sama sekali tidak tampan, yang ada dia muak jika melihat pria playboy seperti Giorgio.“Mari masuk Jeng,” kata Arsi mempersilahkan Giorgio dan mamanya masuk.Nara yang memasang wajah datar saat menyambut kedatangan Giorgio dan Lita, dicubit pinggangnya oleh Arsi. Mata wanita berusia lima puluh tahunan itu melotot menatap putrinya.“Senyum, senyum!” ucap Arsi tanpa suara.Nara hanya memutar bola matanya. Tangannya mengusap pinggangnya yang terasa berdenyut nyeri.“Dia itu calon suamimu, bukan musuhmu. Jadi sambut dengan senyuman,” omel Arsi, suaranya berbisik karena Giorgio dan mamanya berjalan di depannya.“Masih calon, Ma, belum pasti,” sahut Nara seolah tak takut dengan tatapan tajam yang diberikan mamanya tadi.“Kamu!” Arsi sudah mengangkat tangan
“Americano double shot.”Nara memutuskan untuk ke kafe selepas pulang bekerja. Perselisihannya dengan Giorgio tadi sukses membuat kepalanya pusing bukan main.Sambil menunggu pesanannya dibuatkan, Nara memilih duduk di kursi yang kosong. Ingatannya terlempar di mana ia masih kecil dulu. Masa dimana ia sering bermain dengan Giorgio dan pria itu akan menggodanya hingga membuatnya menangis. Pernah sekali waktu Giorgio mengatakan bahwa pria itu akan menikahinya nanti ketika mereka dewasa. Dan sekarang semua itu terjadi. Candaan tak berbobot itu kini seperti bom waktu yang terus mendesaknya.Kesal, marah dan jengkel, itulah yang terus dirasakannya sejak dia bertunangan dengan Giorgio. Musuh bebuyutannya itu justru harus menjadi suaminya. Pria yang akan dilayaninya seumur hidupnya, membayangkan saja sudah membuatnya bergidik ngeri.“Sayang, aku suka deh sama konsep prewedding yang tadi. Lucu banget,” ucap seseorang tiba-tiba tepat di arah kanannya.Seketika Nara menoleh, mendapati pria yang







