ログイン“Bagaimana dengan acaranya tadi?” tanya Arsi terlihat penasaran.
Hari ini Arsi tidak bisa menemani Nara untuk melihat pameran pernikahan karena toko kue miliknya sedang menerima pesanan kue dalam jumlah besar, jadi dia harus standbay di toko. “Bagus,” jawab Nara singkat. Ia mengaduk-aduk minuman di depannya. Saat ini dia dan mamanya sedang makan malam di restoran favorit mereka. Arsi tersnyum senang. Ia menggenggam tangan putrinya. “Mama senang kalau semuanya berjalan lancar.” “Andai papamu tahu, dia pasti senang,” imbuhnya. Matanya sudah berair hampir menangis. Namun, ditahannya. Mendengar apa yang dikatakan mamanya, Nara membisu. Pikirannya kalut, antara ingin berhenti atau melanjutkan pernikahan ini. Bukan apa-apa, pernikahan adalah sesuatu yang sakral. Dia hanya ingin menikah dengan orang yang tepat. Dia tidak ingin bercerai dan menjadi janda. Bukan berarti Giorgio bukan orang yang tepat, hanya saja mereka tidak memiliki ketertarikan. Lagipula Giorgio juga sudah memiliki kekasih yang dicintainya. Menghela napas panjang, hati Nara terenyuh saat melihat senyum dan mata sang mama yang terlihat berbinar terang. Ini adalah impiannya sejak dulu: melihat anaknya menikah dengan orang yang diinginkannya. Nara kembali menimang mungkinkah dia harus menerima semua ini. Dia adalah satu-satunya anak yang dimiliki mamanya. Kebahagian mamanya ada di dirinya, apalagi papanya sudah meninggal. Mungkin memang dia harus menerima semua ini, perjodohan yang telah dirancang sejak dulu. “Kenapa, apa kamu tidak senang menikah dengan Gio?” tanya Arsi saat melihat wajah datar Nara. Nara mengulum senyum. “Apa mama senang kalau aku menikah dengan Gio?” Bukan menjawab pertanyaan mamanya, Nara justru bertanya balik pada sang mama. “Tentu saja. Gio adalah orang baik, siapa yang tidak mau menikah dengannya,” jawab Arsi tanpa ragu. “Apa kamu tidak ingin menikah dengannya?” tanya Arsi lagi. “Tidak. Aku senang kok menikah dengannya. Kemarin kami juga sudah memilih konsep pernikahan,” jawab Nara berbohong. Tidak mungkin dia mengatakan yang sejujurya. Ya, kemarin mereka akhirnya memilih tema princes. Sebenarnya ia juga cukup terkejut dengan kehadiran Giorgio. Pria itu baru saja melihat-lihat pameran dengan kekasihnya, tapi beberapa saat kemudian sudah ada di belakangnya seolah tak terjadi apa-apa. “Jadi kalian sudah menentukan tema pernikahannya?” tanya Arsi bersemangat. “Lalu bagaimana dengan cincinnya? Apa kalian sudah membelinya?” Nara memutar bola matanya. Kepalanya menggeleng pelan melihat kehebohan yang ada pada wajah mamanya. “Satu-satu bisa? Aku pusing menjelaskannya jika mama bertanya seperti kereta api,” sahut Nara. Arsi tertawa renyah. “Maaf, Mama terlalu bersemangat,” jawabnya. “Jadi kalian sudah membeli cincin apa belum?” tanya Arsi kembali. “Belum. Mungkin itu akan kami lakukan jika hampir tanggalnya. Kami terlalu sibuk. Tadi saja aku harus ijin dari kantor,” jawab Nara. “Haist…tidak bisa seperti itu. Besok kan minggu jadi kamu bisa langsung pergi melihat-lihat cincin. Lebih cepat lebih baik,” kata Arsi menyarakan. Nara hanya tersenyum. Mulutnya tak menjawab apa-apa. Namun, tangannya mengetikkan pesan pada Giorgio, meminta bertemu untuk memilih cincin esok pagi. *** Seperti yang telah dijanjikan kemarin, pagi ini Giorgio datang ke rumah Nara untuk menjemput wanita itu. Rencananya mereka akan pergi melihat-lihat cincin pernikahan. “Masuklah, Nara masih dandan,” ucap Arsi saat Giorgio baru sampai di depan teras. “Di sini saja Ma. udaranya lebih segar di depan,” jawab Giorgio. “Baiklah kalau begitu. Tunggu sebentar ya.” Arsi menghilang beberapa menit lalu kembali dengan nampan berisi teh dan juga cemilan. “Dimakan,” ucap Arsi yang kini duduk di samping Giorgio. “Terima kasih, Ma,” balas Giorgio. Ia meminum teh yang dibuatkan oleh Arsi untuk menghargainnya. “Nara bilang kalian sudah memilih tema ya. Mama ikut senang, semoga semuanya berjalan dengan lancar ya sampai hari H,” ucap Arsi. Giorgio tersenyum lembut. “Iya Ma.” Setelah hampir menunggu lima belas menit dan mengobrol banyak hal dengan Arsi, Nara akhirnya keluar. Wanita itu tidak memoles wajahnya. Bahkan tidak ada gincu yang menempel di bibirnya. Memilih untuk diam dan tidak protes, Giorgio berdiri dari duduknya. Ia segera berpamitan dengan Arsi. “Ma, kami berangkat dulu ya,” ucap Giorgio. “Ma, aku pergi dulu ya,” pamit Nara. Usai berpamitan keduanya langsung masuk ke dalam mobil. Giorgio menyalakan mesin dan menginjak gas. Mobilnya melaju meninggalkan halaman rumah Nara, berhambur bersama mobil-mobil lainnya membelah jalanan ibukota siang ini. “Apa yang kamu lakukan di dalam? Lama sekali! Mana kamu keluar-keluar tidak mengenakan make-up sama sekali pula,” omel Giorgio. “Kamu tahu, kamu seperti mayat hidup kalau tidak memakai apapun,” tambahnya. Nara mendesis kesal, matanya melirik tak suka pada Giorgio. “Aku tidak dandan untuk pria yang tidak aku sukai,” ucapnya malas “Lagipula kamu juga sudah punya pacar, jadi jangan berharap lebih dariku!” Giorgio seketika diam. Mulutnya tak lagi bersuara menggoda Nara dan memilih fokus ke jalanan. Melihat itu, Nara tersenyum puas. Kali ini dia berhasil menang melawan Giorgio. Tidak lama, Giorgio hanya membutuhkan waktu tiga puluh lima menit untuk sampai ke pusat perbelanjaan yang mereka inginkan. Keduanya segera turun dan berjalan masuk ke dalam. Tujuan Giorgio dan Nara adalah lantai tiga. Disana banyak toko perhiasan, mereka bisa memilih tanpa harus lelah naik turun. Nara memilih melangkahkan kakinya masuk ke dalam toko perhiasan dengan lambang angsa. Di sana ia melihat-lihat dan mencari cincin yang menarik baginya. Satu cincin dengan motif sederhana dipilih oleh Nara—--. cincin dengan hiasan berlian kecil di tengahnya. “Mbak tolong ambilkan yang itu ya,” pinta Nara. “Baik,” jawab si penjaga toko dengan ramah. “Bagaimana?” Nara memakai cincin yang dipilihnya, menunjukkan pada Giorgio, meminta pendapatnya. Namun, di saat bersamaan Saras tiba-tiba muncul dengan temannya. Wajah wanita itu terlihat tak suka. “Sayang, apa yang kamu lakukan di sini dengan wanita itu?!”“Ah…Sayang, perutku….”Nara mengulum senyum seiring dengan perginya Saras. Misinya benar-benar berhasil, padahal dia hanya memberikan dosis kecil pada makanan wanita itu.“Bisa tolong temani Saras?” pinta Giorgio pada teman Saras.Teman saras mengangguk. Ia segera pergi menyusul Saras yang berlari mencari toilet.“Kamu yang melakukannya?” tuduh Giorgio pada Nara saat tak ada siapapun di sekitar kita.“Melakukan? Melakukan apa?” sahut Nara bersikap seolah-olah tak tahu apa-apa.Giorgio menghela napas panjang. “Meletakkan obat pencahar itu, kamu yang melakukannya kan.”“Jangan asal menuduh. Siapa tahu kekasihmu itu memang tidak bisa makan makanan seperti ini,” sahut Nara masih tidak ingin mengaku. Biar saja. Salah sendiri siapa suruh mengajaknya makan padahal dia sudah memberikan kode yang jelas-jelas menolak.“Nara maheswara!”“Sayang, maaf ya perutku tiba-tiba saja sakit. Aku rasa sushinya bermasalah,” kata Saras yang tiba-tiba muncul bertepatan dengan Giorgio yang meninggikan suarany
Nara mengerutkan keningnya. Dari banyaknya orang, kenapa dia harus bertemu dengan Saras. Matanya melirik ke arah Giorgio, sementara kakinya melangkah lebih mendekat ke arah Giorgio. Dia ingin Saras tahu bahwa Giorgio akan menikah dengannya.“Kami sedang memilih cincin. Lihatlah. Apa cincin ini cantik?” jawab Nara menyahuti pertanyaan SarasGiorgio berdehem. “Ah…dia sepupuku. Dan aku sedang mengantarkannya memilih cincin untuk hadiah ulang tahun temannya,” jawab Giorgio dengan begitu santai.Nara mengangga, tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Giorio. Sepupu? Yang benar saja! Dari semua alasan kenapa Giorgio harus menjadikannya sebagai sepupu.Lalu kenapa juga dia tidak mengaku saja yang sejujurnya? Sebenarnya apa yang dia harapkan dengan berbohong terus seperti ini.“Sepupu? Benarkah?” sahut Saras seolah tak percaya. Saras berjalan mendekati Nara. matanya melihat dari ujung rambut hingga ujung kaki, seolah menilai wanita itu. Tatapannya sinis, tak ada senyum sedikitpun di sana.
“Bagaimana dengan acaranya tadi?” tanya Arsi terlihat penasaran. Hari ini Arsi tidak bisa menemani Nara untuk melihat pameran pernikahan karena toko kue miliknya sedang menerima pesanan kue dalam jumlah besar, jadi dia harus standbay di toko. “Bagus,” jawab Nara singkat. Ia mengaduk-aduk minuman di depannya. Saat ini dia dan mamanya sedang makan malam di restoran favorit mereka. Arsi tersnyum senang. Ia menggenggam tangan putrinya. “Mama senang kalau semuanya berjalan lancar.” “Andai papamu tahu, dia pasti senang,” imbuhnya. Matanya sudah berair hampir menangis. Namun, ditahannya. Mendengar apa yang dikatakan mamanya, Nara membisu. Pikirannya kalut, antara ingin berhenti atau melanjutkan pernikahan ini. Bukan apa-apa, pernikahan adalah sesuatu yang sakral. Dia hanya ingin menikah dengan orang yang tepat. Dia tidak ingin bercerai dan menjadi janda. Bukan berarti Giorgio bukan orang yang tepat, hanya saja mereka tidak memiliki ketertarikan. Lagipula Giorgio juga sudah memiliki kek
“Bagaimana menurutmu? Apa kamu sudah mendapatkan dekorasi atau tema pernikahan yang kamu inginkan?”Siang ini Lita mengajak Nara untuk melihat pameran pernikahan. Disana banyak vendor yang menyediakan berbagai jasa pernikahan, mulai dari dekorasi, gaun pengantin, katering, fotografer, hingga perencanaan pernikahan atau WO (Wedding Organizer).Tak hanya itu dekorasi di sana juga seperti berlomba-lomba menunjukkan desain dan tema yang mereka bawa. Selain itu calon pengantin juga bisa melakukan konsultasi langsung dan bertanya sepuasnya pada ahli pernikahan mengenai detail layanan yang mereka miliki. Banyak promo menarik yang juga mereka tawarkan untuk para calon pengantin yang akan menggunakan jasa mereka.“Ini terlalu banyak, Tante. Saya bingung harus memilih yang mana,” jawab Nara jujur.Terlalu banyak vendor yang dilihatnya dan semuanya bagus-bagus. Andai saja dia menikah dengan lelaki yang dicintainya, tentu ini akan menjadi mudah baginya. Masalahnya dia sama sekali tak memiliki ga
“Astaga, kamu semakin ganteng aja.” Arsi–mama Nara memuji ketampanan Giorgio ketika pria itu baru datang bersama Lita–mama Giorgio.Nara berlagak seperti orang ingin muntah saat ibunya memujui ketampanan Giorgio. Dari segimanapun pria itu sama sekali tidak tampan, yang ada dia muak jika melihat pria playboy seperti Giorgio.“Mari masuk Jeng,” kata Arsi mempersilahkan Giorgio dan mamanya masuk.Nara yang memasang wajah datar saat menyambut kedatangan Giorgio dan Lita, dicubit pinggangnya oleh Arsi. Mata wanita berusia lima puluh tahunan itu melotot menatap putrinya.“Senyum, senyum!” ucap Arsi tanpa suara.Nara hanya memutar bola matanya. Tangannya mengusap pinggangnya yang terasa berdenyut nyeri.“Dia itu calon suamimu, bukan musuhmu. Jadi sambut dengan senyuman,” omel Arsi, suaranya berbisik karena Giorgio dan mamanya berjalan di depannya.“Masih calon, Ma, belum pasti,” sahut Nara seolah tak takut dengan tatapan tajam yang diberikan mamanya tadi.“Kamu!” Arsi sudah mengangkat tangan
“Americano double shot.”Nara memutuskan untuk ke kafe selepas pulang bekerja. Perselisihannya dengan Giorgio tadi sukses membuat kepalanya pusing bukan main.Sambil menunggu pesanannya dibuatkan, Nara memilih duduk di kursi yang kosong. Ingatannya terlempar di mana ia masih kecil dulu. Masa dimana ia sering bermain dengan Giorgio dan pria itu akan menggodanya hingga membuatnya menangis. Pernah sekali waktu Giorgio mengatakan bahwa pria itu akan menikahinya nanti ketika mereka dewasa. Dan sekarang semua itu terjadi. Candaan tak berbobot itu kini seperti bom waktu yang terus mendesaknya.Kesal, marah dan jengkel, itulah yang terus dirasakannya sejak dia bertunangan dengan Giorgio. Musuh bebuyutannya itu justru harus menjadi suaminya. Pria yang akan dilayaninya seumur hidupnya, membayangkan saja sudah membuatnya bergidik ngeri.“Sayang, aku suka deh sama konsep prewedding yang tadi. Lucu banget,” ucap seseorang tiba-tiba tepat di arah kanannya.Seketika Nara menoleh, mendapati pria yang







