Pagi itu harusnya tenang, tapi tidak di rumah Mey. Hari baru malah dibuka dengan adu mulut kecil bersama suaminya, yang makin kesini, makin terasa seperti orang asing di bawah satu atap.
Mey akhirnya menghindar ke kamar mandi. Bukan untuk bersih-bersih, tapi untuk menahan semua yang sudah di ambang tumpah. Marah, kecewa, lelah. Rasanya seperti ada banyak beban yang nyangkut di dada. Airmata pun akhirnya jatuh. Ia tutupi suara tangisnya sebisa mungkin. Bukan karena gengsi, tapi karena sudah terlalu sering disimpan, sampai jadi biasa.
Ia nggak tahu, suaminya masih ada di luar atau udah pergi begitu saja. Tapi Mey juga udah terlalu capek untuk peduli.
Seperti biasa, Mey pergi ke gym. Tempat satu-satunya yang belakangan ini terasa seperti ruang bernafas. Tempat aman di tengah kekacauan batin yang udah terlalu lama ditahan.
Langkah pelan waktu masuk ruangan alat berat. Kepalanya sedikit menunduk. Hari ini dia nggak ingin bicara banyak dengan siapapun.
Tapi suara itu muncul lagi, dari sudut ruangan yang sudah familiar.
"Hai?"
Mey cuma mengangguk, menjawab singkat. " Hai, " sambil pura-pura buka handphone, padahal nggak ada notif yang masuk. Dia cuma butuh alasan buat nggak keliatan terlalu terbuka.
"Latihan hari ini masih aman? " tanya Rafael.
Mey menarik nafas. "Aman. " jawabnya pelan.
Rafael memperhatikan wajah Mey. "You okay? "
Pertanyaan itu sebenarnya simpel. Tapi efeknya hampir membuat Mey mengiris bibir.
Namun ia mencoba fokus dengan hari ini. Latihan dimulai dengan stretching. Rafael nggak banyak bicara. Hanya memberi contoh gerakan, dan Mey mengikutinya dalam diam.
Tiap repetisi terasa dua kali lebih berat. Bukan karena bebannya, tapi karena pikiran Mey yang berantakan.
Waktu Mey harus jongkok sambil angkat barbell kecil, Rafael berdiri di depannya. Mengarahkan dengan tenang. " Turunin pelan. Tahan. Fokus di nafas. "
Mey coba ikuti. Tapi gerakannya goyah.
Tangan Rafael menyentuh pinggang Mey. Tapi cukup bikin jantung Mey berdegup lebih cepat. Bukan karena malu, tapi karena tubuhnya seolah tahu. Ini bukan sekedar koreksi postur.
"Jangan terlalu maju. Nanti lututmu kena, " katanya tetap fokus.
Mey cuma bisa mengangguk. Tapi pikirannya sudah melayang pada jemari Rafael yang merayap ke bagian belakang punggungnya. Ia menghempaskan pikiran itu jauh-jauh.
Setelah selesai, mereka duduk di lantai. Nafas masih belum stabil, baju basah oleh keringat.
"Udah cukup buat hari ini? " tanya Rafael.
Mey mengangguk. Ia duduk bersandar ke dinding, dan Rafael ikut duduk di sebelahnya. Sedikit terlalu dekat.
Sunyi. Hanya bunyi pendingin ruangan dan suara nafas mereka terdengar.
"Aku jarang liat klien yang se-fokus kamu." Rafael berkata tiba-tiba.
Mey menoleh.
"Aku juga.. jarang diperhatikan sejelas ini, " jawabnya pelan. Jujur. Tanpa sadar udah bilang begitu.
Rafael menatapnya.
"Kadang kita nggak sadar ya...udah nahan terlalu banyak hal sendirian, " ucapnya.
Mey nggak menjawab. Tapi matanya cukup jadi jawaban.
Tiba-tiba Rafael menyentuh pergelangan tangan Mey. Sentuhannya nggak kuat. Tapi seperti nyetrum pelan.
Mey refleks menatapnya. Rafael kayak mau ngomong sesuatu. Tapi bibirnya hanya terbuka sebentar, lalu tertutup lagi.
"Maaf, " katanya akhirnya. Tapi tangannya nggak langsung dilepas. Dan Mey...juga nggak menarik tangannya.
Hening.
Beberapa detik setelah itu, Rafael berdiri. Canggung. Seperti menimbang sesuatu yang nggak jadi dia katakan
Dan seperti biasa...Mey memutuskan mundur satu langkah sebelum semua ini terasa terlalu dekat.
Sore harinya, di kamar, Mey buka voice note yang ia rekam diam-diam saat sesi latihan tadi. Suara Rafael terdengar di situ. Memberi arahan. " Tahan..tarik nafas..lepaskan. "
Suaranya menenangkan.
Mey sendiri nggak tahu kenapa dia simpan rekaman itu. Tapi mungkin...itu caranya mengingat bahwa perasaan ini nyata. Bahwa ada suara yang bikin tenang, bahkan di tengah hidup yang belakangan terlalu berisik.
Ruangan gym itu seakan punya aroma yang sama setiap sore, bau keringat bercampur parfum maskulin, dengan musik beat pelan yang terus diputar dari speaker di sudut dinding. Tapi sore ini, rasanya semua lebih intens. Entah karena Mey datang lebih awal, atau karena ia sengaja ingin memastikan apakah Rafael benar-benar sibuk melatih orang lain, bukan sekadar alasan untuk menjauh. Mey berdiri di depan cermin besar, pura-pura merapikan tali sepatunya, padahal dari sudut matanya, ia mengamati Rafael yang sedang menjelaskan gerakan pada klien wanita di treadmill. Rasanya ada sesuatu yang mengganjal di dadanya. Bukan cemburu, tapi lebih pada perasaan aneh: perasaan memiliki, padahal mereka tidak pernah benar-benar mengikatkan apa pun. Seolah tahu sedang diperhatikan, Rafael menoleh. Tatapan mereka bertemu sebentar. Mey buru-buru menunduk, pura-pura sibuk memeriksa ponselnya. Ia bisa merasakan detak jantungnya berdetak sedikit lebih cepat dari biasanya. Tak lama kemudian, Rafael menghampi
Gym sore itu nyaris kosong. Musik dari speaker nyaris tenggelam oleh sunyi. Cahaya senja dari jendela kaca panjang menyorot ke lantai, meninggalkan bayangan alat-alat beban yang seolah mengintai dari kejauhan. Hanya ada Mey, dan Rafael.Peluh masih mengalir pelan di pelipis Mey, tubuhnya baru saja selesai latihan. Tapi bukan lelah yang kini menguasai tubuhnya—melainkan gugup, dan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar rasa penasaran. Rafael berdiri di hadapannya, masih mengenakan kaos training ketat dan celana pendek gym, tubuhnya tampak mengilat di bawah lampu.“Masih kuat?” suara Rafael rendah, serak, ada jeda aneh di ujung kalimatnya.Mey menelan ludah. “Enggak tahu... mungkin iya.”Dia mendekat. Gerakannya lambat, tapi jelas. Tidak ada lagi jarak formal antara mereka. Dan ketika Rafael menyentuh pinggang Mey—bukan untuk koreksi postur, bukan juga karena alasan latihan—semua peringatan dalam kepala Mey hilang seketika.Tangannya hangat. Mey
Hujan turun sejak sore. Udara di rumah dingin, tapi bukan dingin yang menyenangkan. Dingin ini terasa seperti jarak—tebal, dingin, dan menempel di dinding. Mey duduk di ujung ranjang, menatap pintu kamar yang setengah terbuka. Dari luar terdengar suara suaminya menelepon seseorang, nada suaranya datar tapi sesekali diselingi tawa kecil yang jarang ia dengar lagi jika berbicara dengan Mey. Rasanya seperti ada lubang di dadanya. Bukan karena cemburu, tapi karena menyadari ia sudah lama berhenti jadi alasan seseorang tersenyum. Beberapa menit kemudian, sebuah percakapan kecil meledak menjadi pertengkaran. Kata-kata kasar meluncur, tuduhan-tuduhan yang menusuk. Mey tidak membalas banyak, tapi setiap kalimat yang masuk seperti menampar sisi dirinya yang sudah rapuh. Ia akhirnya memilih mundur. Masuk ke kamar mandi, mengunci pintu. Duduk di lantai, punggungnya bersandar pada dinding dingin. Air mata mengalir, tapi tanpa suara.
Keesokan malamnya, rumah terasa terlalu sempit untuk Mey. Televisi menyala di ruang tengah, tapi suaranya cuma jadi latar kosong. Ponsel di meja tak berbunyi, tapi justru keheningan itu membuat pikirannya semakin bising. Sejak pelukan kemarin malam, ada sesuatu yang berbeda di tubuhnya. Bukan sekadar hangatnya pelukan itu, tapi sensasi yang menempel lama, seolah setiap inci kulitnya masih mengingat tekanan lengan Rafael di bahunya.Ia mencoba membaca, lalu menonton sesuatu, tapi pikirannya selalu melayang ke arah yang sama. Pada akhirnya, dia menyerah. Ditariknya jaket tipis dari gantungan, lalu keluar rumah tanpa tujuan jelas… atau mungkin tujuannya sudah jelas sejak awal.Jam di dasbor mobil menunjukkan pukul sembilan lewat sedikit saat Mey memarkir di depan gym. Tempat itu hampir kosong. Dari luar, hanya terlihat sedikit cahaya keluar dari sela tirai. Saat ia masuk, suara musik pelan menyambut, bercampur bau familiar—aroma campuran karet matras, besi, dan sedikit wangi keringat yan
Hujan deras mengguyur kota malam itu. Air memantul di aspal, lampu-lampu jalan buram tertutup butiran hujan yang jatuh tanpa jeda.Mey berdiri di depan jendela, memandang ke luar dengan pikiran yang penuh. Notifikasi transaksi hotel itu masih membekas di kepalanya. Nama hotelnya, jamnya, keterangan “couple only” yang menampar langsung ke ulu hati. Rasanya perih, tapi anehnya... matanya kering.Bukannya ingin menangis, yang Mey rasakan justru sesak. Kayak ada beban yang makin berat kalau ia tetap berada di rumah.Tanpa banyak pikir, ia ganti pakaian, pakai hoodie abu-abu, dan keluar rumah. Bukan untuk ke minimarket, bukan juga untuk sekadar jalan. Kakinya membawa ke satu-satunya tempat yang bisa membuatnya bernapas.Jam dinding gym sudah menunjukkan pukul hampir sepuluh malam saat Mey tiba. Biasanya jam segitu suasana sudah sepi. Tapi lampu di dalam masih menyala. Ia mendorong pintu, dan seperti sudah bisa ditebak, Rafael ada di sana.Dia sedang menyeka alat treadmill, earphone menggan
Sudah beberapa minggu sejak Mey dan Rafael mulai saling lempar candaan disela latihan. Awalnya, semua terasa biasa saja. Seperti hubungan pelatih dan klien pada umumnya. Tapi sejak Rafael mulai bawain handuk bersih sebelum sesi dimulai, atau mengingatkan Mey buat minum dari botol minum favoritnya, semuanya jadi terasa...beda. Hari itu gym agak sepi. Musik instrumental mengalun pelan, mengisi ruang di antara alat-alat berat dan bayangan mereka yang memantul samar di kaca besar. Rafael berdiri tak jauh dari Mey. Tapi cukup dekat untuk bikin jantung Mey berdetak sedikit lebih cepat."Udah minum? " tanya Rafael sambil menyodorkan botol air dinginnya."Udah sih..tapi makasih, " jawab Mey, tangannya menerima botol itu sambil, tanpa sadar, menahan nafas. Jari mereka sempat bersentuhan sebentar. Mey tertawa kecil. " Gila ya...dulu aku mikir gym tuh tempat bising, keringetan, dan capek banget. Tapi sekarang malah kerasa kayak...tempat buat nenangin diri. ""Karena kamu udah nemuin ritmemu se