Share

BEKERJA SAMA

Memandangi wajah Dion yang tampak gusar, Erick tersenyum dan berkata, "Dion, setelah sekian lama, ternyata kisah cintamu belum selesai juga."

"Erick, jangan kau tambahkan persoalanku dengan ocehanmu," sahut Dion tanpa memandang sahabatnya.

Erick meledek, "Bagaimana mungkin, seorang Dion bisa berubah seperti ini, patah hati?."

Dion melengos.

"Pesona siapa yang telah membuatmu berubah. Dari Dion yang dulu selalu bersemangat menjadi Dion yang dingin. Pesona Vivian kah? atau pesona Ella?," tanya Erick menggoda sahabatnya.

"Aku tidak ada waktu mendengar ocehanmu. Sebaiknya kau fokus pada Perusahaan New Strenght Holand . Bagaimana supaya perusahaan itu mau berinvestasi ke perusahaan kita."

"Jangan khawatir. Aku mengenal presiden New Strenght Holand, tuan Dalton dengan baik. Beliau tidak seseram yang di bicarakan orang. Hanya saja beliau terlalu di siplin. Jangan coba-coba membuat beliau menunggu. Perusahaanmu akan di gulung hanya sekali jentik,"

"Hmm.... ?" Dion berpikir seberapa kuatnya pengaruh New Strenght Holand dalam dunia bisnis.

Dia pernah mendengar, New Strenght Holand adalah perusahaan raksasa di negeri ini dengan jumlah karyawan mencapai ribuan orang.

Banyak perusahaan kecil dan menengah di bantu oleh perusahaan New Strenght Holand.

Selain itu, perusahaan ini juga mampu mengembangkan sebuah perusahaan kecil, atau menjungkir balik kan perusahaan yang tidak di sukainya.

Dion tidak dapat membayangkan bagaimana keberuntungan yang akan di dapatkan perusahaannya bila perusahaan New Strenght Holand ini mau mendanai perusahaannya.

Dan untung saja, Erick sahabatnya mau membantu. Karena saat ini, perusahaan Dion bernama Grand Beunovul sangat membutuhkan dana tambahan, karena ada beberapa proyek yang sudah terbengkalai karena kekurangan modal.

" Bagaimana?, Kita sudah siap bertemu dengan suhu pembisnis?,"

"Oke, siap!."

***

Kantor presiden New Strenght Holand berada di lantai atas dan menempati seluruh lantai gedung.

Ruangan ini sungguh menakjubkan, desaian interiornya sangatlah profesional. Setiap inci semua punya nilai seni yang tinggi.

Untuk beberapa detik Dion terpana berada di gedung yang mewah ini. Dia tidak menyangka bisa berada di sini, tempat impian hampir semua orang di luar sana. Bisa di pastikan tidak sembarangan orang bisa masuk ke ruangan ini.

Ini terlihat begitu ketatnya penjagaan di sekitarnya. Beberapa penjaga dan bodyguard terlihat berjaga-jaga dengan perlengkapannya yang lengkap.

Dan hari ini. dia termasuk salah satu orang yang beruntung itu, bisa menapaki kakinya ke ruangan ini.

Setelah menunggu beberapa menit......

"Erick Bolton, apa kabarmu." presiden New Strenght Holand, tuan Dalton hadir menyapa mereka dengan sangat ramah dan hangat.

"Baik, tuan Dalton," jawab Erick sopan sambil menyalami pria milyuner ini.

Pria ini sangat berwibawa, masih terlihat sangat gagah dan tampan walaupun usianya sudah mencapai angka 70.

Melihat keakraban ini, Dion menduga, hubungan keduanya pasti sudah lama terjalin dengan baik, untuk sedetik Dion merasa bangga memiliki sahabat seperti Erick.

Kemudian tuan Dalton melirik ke arah Dion.

"Dion Hutama Putra," kata Dion dengan sopan sambil menyalami pria wibawa ini. Kemudian mereka di persilahkan duduk di sofa yang di perkirakan bernilai ratusan juta ini. Sangat empuk dan nyaman.

"Tuan Dalton, ini dokumen dan surat-surat yang anda minta kemarin," Erick mengeluarkan beberapa dokumen dan folder penting lainnya serta meletakkanya ke depan tuan Dalton.

Tampak tuan Dalton memeriksa dokumen tersebut dengan seksama, kemudian beliau menekan sebuah tombol di hadapannya.

Tidak berapa lama, seorang wanita cantik masuk ke ruangan tersebut. Dion menduga ini pasti sekretaris tuan Dalton.

"Baiklah Erick dan Dion, untuk seterusnya silahkan menghubungi Aurelia saja," kata tuan Dalton perlahan. "Aurelia tolong ini di bantu ya, jangan lupa periksa kelengkapan suratnya."

Blam!, segampang itu, sepertinya Dion harus mentraktir secangkir kopi agar Erick mengajarinya cara menghadapi orang berpengaruh seperti tuan Dalton.

"Baik tuan," jawab Aurelia sambil mempersilahkan Erick dan Dion berpindah ke ruangannya saja.

Di dalam ruangan Aurelia pun interiornya pun sangat luar biasa. Walaupun tidak semewah di ruangan tuan Dalton, tetapi kenyamanannya luar biasa.

"Baiklah tuan Erick dan tuan Dion, surat-suratnya akan kami periksa dulu. Dan minggu depan silahkan kembali lagi," kata Aurelia dengan sopan dan elegant.

"Terima kasih," jawab Erick dan Dion hampir berbarengan membuat mereka berdua saling berpandangan. Aurelia tersenyum melihat tingkah kocak ke dua pria tampan ini.

Akhirnya mereka berdua bernapas lega, dan memutuskan merayakan hari kemenangan di sebuah cafe ternama.

"Gila kau ini, semudah itu mendapatkan sebongkah emas," canda Dion, tetapi dia tidak dapat memungkiri bahwa Erick pantas mendapat pujian darinya hari ini.

Erick terkekeh, "Siapa dulu dong, Erick Boston gitu?."

"Hmm.... kumat dek sombongnya", guman Dion mencibir.

Tiba-tiba ponsel Dion berdering, dan di sana tertulis nama "ibu", lalu Dion mengangkatnya,

"Iya, bu...?"

"Dion, dimana sekarang.?!, Mengapa belum pulang juga, bukankah ibu sudah menberitahu bahwa hari ini kita mengundang orang tua Vivian datang ke rumah!?," kata Ibu dengan nada tidak sabaran menghadapi putranya.

"Iya, bu. Tadi aku lupa," jawab Dion perlahan.

"Ya sudah, sekarang pulang terus!," sambung ibu lagi.

"Tapi bu, aku sekarang.....,"

"Tidak ada tapi~tapian, pulang sekarang!." perintah ibu dengan tegas.

klik...terdengar suara ponsel di matikan.

Erick tertawa melihat Dion yang terbengong menatapi ponselnya.

"Lihat lah, sampai saat sekarang pun aku masih seorang anak kecil yang tidak bisa mengambil keputusan. Padahal aku ini seorang direktur," keluh Dion meratapi nasibnya.

"Dion.... Dion, sampai kapan pun kita ini tetap anak kecil di mata orang tua kita," jawab Erick masih dengan sisa tawanya.

"Tapi sampai kapan kita ini di beri kebebasan tanpa ada aturan-aturan." keluh Dion lagi.

"Tidak akan pernah, karena setelah kita menikahpun istri kita yang mengatur kehidupan kita selanjutnya. Contohnya, bila kita telat pulang kerja, istri akan cemberut. Setelah mandi, kita lupa menaruh handuk ketempatnya kita di omelin, hadeeeh.... pokoknya terima saja nasib kita," kata Erick terkekeh lagi.

Dion terdiam, dia teringat Ella, entah mengapa bayangan Ella selalu hadir dengan manis di benaknya.

Ach, Dion menepis bayangan itu dengan kasar, dan Erick melihat tingkah sahabatnya ini, menduga bahwa Dion sedang memikirkan Vivian.

"Kalau kau tidak ada perasaan lagi pada Vivian, sebaiknya kau berterus terang pada Vivian dan orang tuamu," kata Erick.

"Itu yang selalu ingin aku lakukan, tapi aku tidak tega melihat mereka kecewa. Apa lagi aku sudah pernah mengecewakan mereka dengan pernikahanku yang gagal."

"Tapi kalau kau pun bertahan dengan wanita yang tidak kau cintai, apa kau akan bahagia?," tanya Erick.

"Entahlah, yang pastinya untuk saat ini aku belum siap untuk menikah lagi." kata Dion sambil bangun dan mengajak Erick untuk meninggalkan cafe ini.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status