Langit menoleh ke kanan dan kekiri. Dia masih berjalan melihat sekitar. Merasa tak mendengar suara Sang ayah dan selingkuhannya itu, Langit menoleh. Matanya melebar, kepalanya menoleh melihat ke segala penjuru. Namun tak ada seorangpun yang dia kenal. Bocah laki-laki itu mulai merasa takut dan sedih, hampir mau menangis. "Kamu..Sendirian?" Suara seorang pria dewasa dari belakang Langit membuat bocah itu menoleh."Om?"Robin tersenyum kecil dan berjongkok menyamakan tinggi dengan Langit."kamu kok bisa disini? Sendirian lagi? Ibu kemana?""Ibu di kota. Aku sama ayah dan kekasihnya liburan ke sini."Robin tertegun, dia mengedarkan pandangannya. Namun tak menemukan Aldi. "Lalu dimana mereka?""Enggak tau." Langit menggeleng dengan mata berair namun menahan air matanya. Robin menghela nafasnya. Ia mengambil hp nya untuk menghubungi Noah, yang saat itu juga sedang melakukan kunjungan ke lokasi wisata itu.("Robin! Apa-apaan kau ini? Kau dimana?")"Datanglah ke pusat informasi. Aku punya
Aldi yang sudah terlanjur panik berputar-putar kesana kemari. Ia merasa kesal, marah, benci pada dirinya sendiri. Bagaiaman dia bisa begitu ceroboh hingga Langit sampai lepas dari pengawasannya. Aldi membayangkan Langit yang ketakutan seorang diri ditempat asing dimana tak ada yang dia kenal. Aldi terus meruntuki dirinya sendiri."Langit... kamu dimana?" lirih Aldi menjambak rambutnya frustasi. Ia terus-menerus memaki dirinya sendiri."Mas...." panggil kekasihnya mendekat.Dengan marah Aldi menoleh pada Merlin. Menatap nyalang pada kekasihnya itu. Ia jadi marah pada Melin juga. Jika saja Melin bisa mengawasi Langit tentu hal ini tak akan terjadi."Kamu...." Aldi menggeram menatap Melin yang memasang wajah tanpa dosa dan datar."Ish, kok wajah Mas Aldi kek marah gitu sih? apa gara-gara si bocah tengik itu hilang, huh, jangan sampai dia malah menyalahkan ku atas hilangnya bocah itu. Mending aku acting aja." batin Melin yang sudah sedikit takut melihat Aldi yang marah dan siap akan menye
"Bagaimana bisa mas biarkan Langit berjalan sendirian? Dia itu masih bocah SD, harusnya mas gandeng tangan.""Apa maksudmu? kau menyalahkan ku?""Iya. Bagaimana bisa seorang ayah lalai dalam menjaga anaknya, itu pasti karena kau terlalu sibuk menggandeng pacarmu itu sampai melepaskan tangan Langit."Aldi tertawa mengejek, "kau cemburu, tak usah bawa-bawa Langit."Alin menyentak nafasnya, "Iya, kau tak usah bawa-bawa Langit lagi, kalau hanya untuk lalai demi wanita itu. Itu cukup mengisyaratkan seberapa kau tak perduli dengan anakmu dibanding wanita itu.""Aliiinn...." Aldi menggeram keras, mantan istrinya itu tak pernah berani mendebatnya selama ini. Karena kejadian hilangnya Langit membuat Alin bahkan berani berteriak padanya. "Persidangan perceraian kita belum selesai. Jika kau terus seperti ini, aku pastikan hak asuh Langit jatuh padaku." Aldi mendelik pada mantan istrinya dengan rahang yang makin mengeras, bahkan otot-otot mukanya timbul oleh amarahnya."Mas, kau sudah berjanji
"Ini enak, tapi lebih enak kue buatan mu.""Oh ya?""Heemmm...""Bukalah toko kue Alin. Aku akan memberimu modal."Alin tercengang, matanya melebar mendengar ucapan Noah."Maksudku, aku ingin berinvestasi padamu."Tawaran dari Noah tentu membuat Alin tergoda, ia menatap langit kamarnya. Malam ini setelah Noah pergi dan waktu baginya beristirahat, Alin kepikiran dengan apa yang Noah tawarkan tadi siang.Membuka toko kue memang sudah menjadi impiannya sejak dulu, namun kendala modal membuatnya tak pernah kesampaian. Dan kini dengan suka rela Noah menawarkan modal padanya. Alin mengganti udara di paru-paru nya. Menghirup dalam dan mengehembuskan. Alin baru beberapa hari masuk kerja sebagai CS. Ia ingin setidaknya mencoba bekerja disana dulu sampai uang yang dia kumpulkan cukup. Barulah Alin ingin membuka gerobak kue sebagai sampingan."Tidak apa Alin. Jangan berharap dan mengandalkan orang lain. Tetap fokus pada apa yang sudah kamu rencanakan. Satu tahun lagi pasti bisa. Semangat."Alin
Selepas kepergian Aldi dan Langit, Noah membawa Alin untuk kembali ke kosannya. Dalam perjalanan, Alin masih tenggelam dalam dunianya. Bahkan saat Noah meletakkan Tissu dipangkuan Alin pun, ia tak bergeming.Hingga mobil yang Noah kendarai sampai di depan kosan Alin. Wanita yang sedang patah hati itu masih diam ditempatnya. Noah menatap lama pada wanita berwajah sendu disampingnya."Kau mau aku membawamu ke tempat yang menyenangkan?"Alin menoleh pelan dengan tatapan tanya. Noah tersenyum tipis, ia melajukan lagi mobilnya membelah jalanan.Noah fokus menyetir. Menatap lurus kedepan. Hingga mobil itu berhenti di jalan beraspal di pinggiran pantai. Mereka terdiam di dalam mobil. Alin masih menangis walau lirih, dan Noah tetap setia menunggui pujaan hati disampingnya.Pria itu menyandarkan punggung dan kepalanya. Matanya masih lekat menatap wanita yang sedang menangis itu. Hingga tetesan airmata terakhir Alin usap dengan tissu.Alin menoleh melihat ke arah
"Aku hanya merasa sangat bodoh...Aku merasa sangat buruk...Aku merasa sangat kotor..." Alin menjeda sesaat,"Melihat wanita itu, berdiri didepanku, kaki jenjangnya yang indah, tubuhnya yang terbentuk sempurna, kulit putih dan mulus. Wajah yang cantik tanpa cacat.Membuatku bercermin pada pantulan diri yang hina ini. Benar kata mas Aldi....""Berhenti!"sela Noah mengeratkan pelukannya."Aku dekil, jelek." mata Alin mulai berembun lagi."Berhenti!" Noah dengan tak sabar menyela lagi. Ia menjadi sangat kesal dan mencoba menguasai emosinya."Berjerawat dimana-mana. Kusam.""Berhenti disana Alin!"Noah yang makin kesal mendengar rengekan Alin yang terus menghujat dirinya sendiri mulai mengepalkan tangan dengan kuat."Hitam, tidak menarik. Siapa laki-laki yang mau denganku, memang benar kata Mas Aldi...""Shut up Baby!" Noah menggeram, rahangnya sudah mengeras, bibirnya mengatup rapat menahan emosinya."Aku hanya membuat malu sa... uum
Bu Romlah, mendapati rumahnya berantakan saat ia baru saja pulang arisan. Hatinya geram dan diliputi kemarahan. Bagaimana tidak, semenjak Aldi dan keluarga nya tinggal dirumahnya, kediamannya itu selalu berantakan. "Aldi!""Aldi!"Bu Romlah terus berteriak memanggil anaknya. Melin yang sedang tiduran dikamar mendengar suara calon mertua-nya itu berteriak-teriak mengambil bantal dan menutup telinganya. Namun, teriakan Bu Romlah memang tiada duanya. Suaranya bahkan sampai tembus walau Melin sudah menyumpal dengan bantal. Dengan jengkel, Melin melempar bantalnya di kasur. Ia dengan terpaksa bangkit dan keluar kamar. Tak lupa dengan mulut yang cemberut."Aldi!""Aldi!""Apalah Mak lampir ini, siang-siang mau istirahat juga, malah ngganggu." gerutu Melin melihat Bu Romlah yang berdiri dengan tak tenang di ruang depan. Melin merubah mimik mukanya, di buat seramah mungkin. Padahal aslinya ogah juga."Ada apa sih Ma?" tanya Melin lembut dengan langkah
Noah berjalan keluar dari ruangannya denga terburu-buru. Di kejauhan, Robin yang melihat Noah kelaur dari ruang nya dengan terburu, langsung menahan bosnya itu."kau mau kemana?""Langit....""kau masih ada meeting,Noah.""Tapi...""Kau tak bisa meninggalkan begitu saja. Ingatlah, ini klien kita yang paling penting. apa kau mau kehilangan bermiliar-miliar demi Bocah itu?"Noah menatap Robin dengan memohon. Ia tak bisa membiarkan Langit yang sudah penuh luka itu menunggunya lebih lama. Tapi, jika kesepakatan dengan klien ini sampai gagal, mungkin Noah akan mengalami kerugian yang sangat besar. Ia sangat dilema."Aku harus menjemput Langit.""Katakan itu pada ibunya. Dia bukan tanggung jawabmu."kedua pria itu saling menatap dengan mata yang sama tegas dan tajam."Kau benar-benar akan melepaskan kesempatan ini? Apa kau siap dengan konsekuensi nya?"Tanpa menjawab Noah hanya menatap tajam Robin. Bisa Robin lihat seberapa tekat didalam di