Di lorong depan pintu apartemen Alin, tampak tiga orang preman tengah berkelahi dengan seorang pria dan wanita. ketiganya tampak kuwalahan meskipun memiliki badan lebih besar karna kelincahan sepasang pria dan wanita yang tiba-tiba mengganggu pekerjaan mereka. kedua orang itu adalah bodyguard Alin itu. Tasya dan Ricky."Siapa kalian? kenapa mengganggu pekerjaan kami?!"Ricky tertawa mencemooh,"Pekerjaan kalian, mengganggu pekerjaan kami!" cetusnya memasang kuda-kuda, saling melindungi punggung dengan membelakangi rekan kerjanya."Siapa yang menyuruh kalian?""Bukan urusan mu!" sentak salah satu preman itu menyerang. Dengan gesit, Ricky dan Tasya membalas.Ketiga preman itu memang hanya badannya saja yang besar. Namun, kalah oleh kegesitan dan teknik yang Ricki dan Tasya punya. Tiba-tiba saja, dari ujung lorong, Noah muncul. terkejut melihat kedua bodyguard Alin sedang bertarung melawan tiga preman. Ia ikut menerjang, memanjangkan kaki mengenai bagian vital salah satu preman tersebut. H
"Tolong siapkan untuk meja nomor lima. Yang ini sedikit spesial ya, pesanan khusus." Alin memberi instruksi pada koki di dapur restonya. "Baik, Bu.""Dan untuk ruang VIP satu. Sudah dibooking oleh Mr. Marvin untuk meting nanti malam.""Baik."Setelah memberi beberapa arahan dan mengecek laporan, Alin melangkah keluar dari restonya. Di belakangnya beberapa orang tampak mengikuti. Merasa diikuti, Alin menoleh. Terkejut karena orang-orang itu mendorong tubuhnya kedepan. "A-apa yang kalian lakukan!?" Serunya. "Ikut kami," ujar seorang berbadan besar yang paling dekat dengannya dan menahan lengan wanita cantik itu."Le-lepas!" Dengan gemetar Alin mencoba berontak dan meloloskan diri."Si-siapa kalian? Lepaskan aku!" lontarnya dengan terbata.Lelaki itu tersenyum tipis, semakin menarik tubuh Alin."Ikut saja jika tak ingin kami bertindak lebih kasar di sini."Mata Alin bergerak liar, mencari siapa saja yang bisa dimintai bantuan. Namun, sekitar serasa sepi dan tak banyak orang melintas
"Kenapa kamu tinggalkan Alin sama Tasya aja?" Noah berteriak penuh emosi karena orangnya malah sangat teledor meninggalkan dua wanita saat Alin jelas dalam incaran."Maaf, saya sudah meninggalkan beberapa orang juga di sana."Ricky menjawab penuh sesal, di wajahnya sudah membekas lebam oleh pukulan Noah tadi."Lalu bagaimana bisa Alin sampai diculik!? Bagaimana kalian bekerja? Hah?""Maaf, Tuan." "Haahh!" Noah menendang jog belakang di depannya. Marah, marah, dan amarah itu terus menjilati dirinya. "Jika sampai terjadi hal buruk padanya, habis kalian semua!""Tenanglah!" ucap Robin yang menyetir di depan melihat Noah sedari tadi hanya marah-marah dan mengamuk."Kita sudah dapat lokasinya. Jangan habiskan tenagamu untuk mengamuk di sini."Noah berdecak kesal, tangan itu terus mengepal dan wajah yang semakin mengeras. Dalam pikirannya Alin kini sedang ketakutan. Pikiran buruk terus berkelebat mencemaskan wanitanya."Aku bersumpah, ta
Mata Noah tajam terarah. Bahkan bola mata yang kini di selimuti amarah itu hampir keluar dari rongganya. "Serahkan padaku.""Aku harus menyelesaikannya sendiri, Bin."Robin menggeleng, "tidak, serahkan padaku.""Kau mau aku diam saja saat istriku mendapat pelecehan seperti ini?"Robin diam, memilih kata yang tepat agar sedikit mengurangi amarah di dada Noah saat ini."Tidak, tentu saja tidak. Kamu harus lebih bisa menenangkan Alin. Saat ini ia membutuhkan dirimu. Masalah yang lain, serahkan padaku. Aku percaya padaku, kan?" Robin menatap Noah bersungguh-sungguh.Sedangkan Noah menatap dengan amarah yang berkobar di matanya."Bagaimana jika dia bangun dan mendapati dirimu tak ada di sisi. Saat ini, dia membutuhkanmu, bukan aku. Atau kamu memang lebih rela aku yang menenangkannya dalam pelukan ini?"Noah mencengkram kerah depan baju Robin. Dan itu berhasil membuat Robin tersenyum."Jadi, biarkan kami yang selesaikan. Kamu cukup terima laporan dari kami saja. Akan kami selesaikan dengan
"Mas,kapan kamu akan bercerai dari istri Jelekmu itu?" tanya Melinda sambil melingkarkan tangan nya di perut Aldi."Sabar Mel, beri mas waktu. Aku nggak bisa asal cerai darinya." jawab Aldi pada Melinda yang di dalam dekapannya."Jadi, kita bakal begini terus? Sampai kapan Mas Al?" Raut wajah Mel terlihat sangat kesal dan kecewa."Sabar, sayang, sabar. kami pasti bercerai kok, semua itu butuh proses yang tidak sebentar. Apalagi kami sudah punya Langit."Ucap Aldi mengecup punca kepala Melinda.Melinda menyentak kuat nafasnya. Menyingkirkan tangan Aldi dari tubuh polosnya."Aahh, sudahlah, Mas." Kesal Melinda membalikkan badannya membelakangi Aldi."Walau bagaimanapun aku ini hanya selingkuhan mu. Tak berarti apa-apa, tentu saja kau lebih mencintai istri dan anakmu." Sambungnya ngambek."Makanya nggak mau cere."Aldi menatap frustasi wanita yang kini memunggungi nya itu."Tidak begitu Mel, tidak.""Huuuhh... Pasti begitu."Aldi menjambak rambutnya frustasi. "Langit anak ku Melinda. Tak m
Alin mencoba mengikuti sosok itu, sekedar memastikan. Benar atau tidak. Namun dia kehilangan jejak. Noah yang melihat Alin berjalan dengan wajah gelisah tak tenangnya, berjalan mengikutinya."Pak Wid, nitip Langit ya.""Eh, pak Noah mau kemana?""Sebentar." Noah berlari kecil mengikuti kemana Alin melangkah. Wanita itu terus berjalan tak tentu dengan mata yang sibuk mengedar mencari sosok yang mirip suaminya itu. Noah yang sudah tak tahan menarik lengan Alin."Ada apa?" Tanyanya, "kenapa berjalan seperti kesetanan seperti ini?" "Aku..... seperti melihat Mas Aldi tadi." Mata Alin masih berkeliling mencoba mencari sosok yang tadi dia ikuti."Ini hari sabtu. Bukankah seharusnya dia bekerja?" Tanya Noah menahan lengan Alin."Aahh.. Benar. Apa yang ku pikirkan?" Alin bergumam, tersenyum dengan sedikit dipaksakan."Ayo kembali."ajak Noah melepaskan tangan Alin,"Langit dan pak Wid pasti menunggu kita dengan gelisah."Alin berjalan mengikuti Noah kembali ke tempat dimana Langit dan pak Wid s
"Mas? Nggak pulang?"("Tidak Alin. Mas ambil long shift. Nanti sore baru pulang.")"Sekarang hari minggu kan, Mas?"("Mas lembur.") balas Aldi gelagapan.("Sudah ya.")"Mas..."Telpon di tutup. Alin menghela nafasnya."Bu?" panggil Langit menatap harap pada ibunya.Alin berjongkok menjajarkan tinggi tubuhnya dengan Langit putranya. Alin tersenyum."Lang, Ayah nggak bisa pergi. Ayah lembur." ucap Alin lembut memberi pengertian."Tapi kan Ayah sudah janji mau pergi kepantai." Langit merajuk."Ayah kan harus cari uang Lang. Biar Langit bisa sekolah terus. Biar kita bisa makan setiap harinya. Bisa beli baju baru. Kalau piknik pun, kamu bisa jajan." Alin mencoba memberi pengertian pada putranya yang duduk di bangku sekolah SD itu."Tapi, Bu...""Lang, mau tetap pergi atau dirumah saja?" tawar Alin. Langit cemberut,"Aku ingin pergi sama Ayah.""Ayah kerja sayang.""Ayah udah janji. Aku cuma pingin seperti teman-teman yang lain. Pergi dengan Ayah dan bunda mereka. Tapi kenapa Ayah selalu tak
Aldi dan Melinda bersiap untuk jalan-jalan."Mas, Kita ke Wonderland saja yuk. Udah lama aku nggak kesana." Meli memoles bibirnya dengan lipstik didepan meja rias."Iya. Asal nggak kepantai saja. Disana ada Langit, nggak enak kalau nanti dia lihat." Aldi menyisir rambut Melinda yang lembab."Iya." Meli sedikit merajuk memonyongkan mulutnya. Aldi tersenyum menyelesaikan menyisirnya."Ya sudah. Ayo berangkat."Meli berdiri dan berbalik."Coba Mas lihat. Sudah cantik belum?"goda Aldi melihat wajah kekasihnya. Meli tersenyum manis."Cantik."Aldi mengecup pelan bibir Meli."Mas, nanti rusak lipstiknya." Meli bersuara manja."Hehe... Iya sayang."ujar Aldi tersenyum lebar."Ayo." Aldi menggandeng mesra kekasihnya itu.Setelah membeli tiket Aldi dan Meli membeli makanan ringan di foodcourt dulu. Popcorn dan segelas besar minuman dingin sud