Suara sirene mobil polisi terdengar nyaring memecah kesunyian malam. Lampu dari mobil-mobil yang merangkak bergantian melewati jalan setapak di tengah perkebunan teh itu terlihat berkilauan. Cahayanya bergerak-gerak mengikuti gerakan mobil yang mesinnya semakin menderu karena tanjakan.
Dipta membuka pintu dan keluar mobil. Saat lampu depan mobil Yudi menyorotnya, dia segera melambaikan tangan.
"Di mana, Bro?" Yudi bertanya setelah turun dari mobil dan mendekat ke arah Dipta.
Dipta menunjuk satu-satunya bangunan yang ada di tempat itu. "Pasti di sana. Aku yakin."
"Oke. Kita ke sana."
Mereka kemudian kembali masuk ke mobil masing-masing lalu mengendarainya menuju rumah besar di tengah perkebunan teh itu.
Salah satu mobil polisi bergerak lebih dulu. Mereka akan memastikan berapa banyak lawan mereka dan apa senjata yang digunakannya. Jika memang mereka memiliki s
Aina terbaring di brankar rumah sakit dalam ruang rawat inap bernuansa putih cokelat. Ruangan empat kali empat meter itu terasa begitu mencekam untuk Dipta. Hawa dingin menjalar ke sekujur tubuh dari pendingin ruangan yang terpasang di dinding.Suasana kamar itu begitu hening dan tenang. Hanya ada suara AC yang menderu pelan, suara pengharum ruangan yang per satu menit sekali berbunyi, juga sesekali terdengar langkah kaki para perawat yang mondar-mandir di koridor rumah sakit.Hal yang membuat ruangan ini terasa mencekam untuk Dipta adalah karena wanita yang dia cintai tengah terbaring tak sadarkan diri di atas brankar kamar itu. Selang infus terpasang di tangan kanannya, sementara selang oksigen membelit hidung. Matanya terpejam dengan bibir biru dan wajah pucat. Rambut hitam panjangnya tergerai berantakan di atas bantal putih yang menjadi penyangga kepala.Dipta membelai rambut Aina dengan lembut, lalu tang
Sudah lima hari Aina dirawat di rumah sakit. Selama lima hari itu, dia tidak hanya mendapatkan perawatan fisik, tetapi juga perawatan secara psikis oleh psikiater untuk mengobati trauma yang kembali muncul akibat perbuatan Rizal. Aina bahkan harus meminum obat anti-depresan untuk membantunya tenang supaya bisa tidur nyenyak tanpa mimpi buruk lagi.Selama lima hari itu pula, Dipta selalu menjaga Aina. Dia bisa memantau kondisi Aina setiap hari karena wanita itu telah dipindahkan ke rumah sakit tempatnya bekerja. Sesekali Sarah menggantikan Dipta menjaga Aina saat lelaki itu sedang bekerja, dan Sarah sedang tidak bekerja. Begitu pula Yudi yang sesekali menjenguk ke kamar rawat Aina, hanya untuk memastikan bahwa istri sahabatnya itu baik-baik saja.Hari ini Aina sudah boleh pulang. Namun, mungkin setelah ini dia harus menjalani beberapa konsultasi dengan psikiaternya demi memastikan bahwa trauma yang dideritanya tidak memburuk. Dipta juga akan
"Kamu yakin mau mulai masuk kerja lagi hari ini?" tanya Dipta sambil memandangi istrinya yang sedang duduk di meja rias.Pagi-pagi sekali Aina sudah bangun. Setelah sholat subuh bersamanya, dia pikir Aina akan tidur lagi atau paling tidak membuat teh seperti biasa. Namun, wanita itu justru merapikan kamar dan menyetrika baju. Bukan hanya bajunya, tetapi juga baju kerja milik wanita itu sendiri. Dia akan berangkat kerja lagi.Padahal Dipta pikir, kondisi Aina masih belum stabil. Terkadang emosinya masih naik-turun dengan drastis. Sesaat tertawa, detik selanjutnya terlihat murung. Dipta takut saat Aina harus bertemu dengan banyak orang di luar sana, kondisinya akan memburuk.Aina mengoleskan lipstik nude ke bibirnya terlebih dahulu sebelum menjawab, "Ya."Dia mengatupkan bibirnya beberapa kali untuk meratakan lipstik yang dipakainya."Kamu kan harus istirahat dulu."
Bangku panjang di sudut kafetaria menjadi tempat ternyaman untuk Dipta menikmati kopi hitamnya. Uap yang mengepul dari cangkir yang tengah dipegangnya mengantarkan aroma nikmat dari minuman kesukaannya itu. Dihirupnya pelan aroma menenangkan dari kopi panas itu sebelum disesapnya perlahan.Suasana kafetaria siang ini begitu ramai. Lalu lalang orang terlihat begitu padat. Ada yang sibuk mencari tempat duduk, ada yang berdiri lama di depan etalase makanan karena bingung memilih menu, ada pula yang mondar-mandir entah untuk mencari apa.Yudi mengedarkan pandangan ke sekeliling dan menemukan sahabatnya tengah duduk di pojok ruangan sembari menyeruput kopinya pelan dengan pandangan yang menerawang. Dia segera melangkah menuju meja tempat Dipta sedang melamun lalu duduk di hadapannya."Ngelamun mulu, Bro!" Yudi bertanya sembari meletakkan piring dan gelas yang dibawanya.Dipta hanya melirik dari sudut mata, tanpa mengalihkan pandangan dari kaca jendela ya
Waktu masih menunjukkan pukul dua siang, tetapi entah mengapa Dipta merasa dia harus pulang. Hatinya tidak tenang membiarkan Aina berangkat bekerja. Dia tidak tau apa yang akan terjadi di luar sana, bagaimana penilaian orang-orang terhadap Aina setelah kejadian itu, bagaimana sikap mereka kepadanya. Dipta tidak tau. Maka dari itu dia merasa begitu cemas sekarang.Syukurlah, dua pasien yang dijadwalkan akan terapi sore nanti mengalihkan jadwalnya ke hari lain, jadi sekarang pekerjaannya sudah selesai. Dia bisa pulang cepat. Dengan cekatan tangannya memasukkan beberapa berkas yang perlu dibawa pulang ke dalam tas kerjanya, kemudian berlalu meninggalkan ruangan bernuansa serba putih itu. Tangannya merogoh saku jas untuk mengambil ponsel karena benda itu tiba-tiba berdering.Dahinya mengernyit melihat nama di layar. Sarah. Ada apa dia menelepon jam segini? Apakah terjadi sesuatu dengan Aina?"Assalamualaikum, Mbak Sarah," sapanya ramah."Waalaikumussalaam, Do
Seorang dokter paruh baya berkacamata tebal keluar dari ruang IGD tempat Aina terbaring lemah. Dia berjalan dengan tenang sambil melepas sarung tangan latex yang dia gunakan dari kedua tangan. Dia berhenti di depan tempat sampah khusus sampah medis, kemudian membuang sarung tangannya ke sana sebelum melanjutkan langkah menghampiri Dipta yang sudah berdiri menunggunya.Setibanya di hadapan Dipta, dia menurunkan masker medis yang digunakannya hingga ke dagu sebelum membuka suara."Kondisi istrimu sudah stabil. Pendarahannya sudah berhasil dihentikan dan sekarang dia sedang menerima transfusi."Dipta mengembuskan napas lega. "Terima kasih, Dok."Dokter Irsyad menarik tangan Dipta untuk duduk di bangku panjang depan IGD. "Memangnya istrimu itu kenapa? Kok sampai masuk rumah sakit lagi? Bukannya baru kemarin dia keluar?"Dipta menunduk. "Dia punya masalah dengan kesehatan mentalnya, Dok.""Benarkah?" Dokter Irsyad terlihat berpikir. "Lalu,
Hujan turun dengan derasnya membasahi pelataran rumah sakit beserta segala yang tak ternaungi apa pun di luar sana. Aina menatap sendu ke luar kaca jendela yang mulai memburam. Bayangan tetes air yang semakin menderas bak tirai yang menutupinya. Udara terasa semakin dingin, Aina mendekap tubuhnya sendiri dengan kedua tangan.Dipta yang baru saja selesai memeriksa pasien masuk ke kamar Aina, masih dengan mengenakan jas dokternya. Dia masuk, lalu duduk di kursi samping tempat tidur Aina. Wanita itu sontak tersentak kaget karena dia masih terlena dalam lamunan saat lelaki yang tengah tersenyum ke arahnya itu memasuki kamar."Kamu pasti sedang melamun." Dipta membelai lembut kepala Aina yang tertutup jilbab."Kamu yang masuk tidak mengucapkan salam," sanggah Aina, membuang muka.Dipta terkekeh. "Iya, maafkan aku. Assalamualaikum.""Waalaikumussalaam," ketusnya. Membuat tawa Dipta semakin keras.Aina mengalihkan pandang ke arah suaminya. Mengamat
Malam semakin larut. Hawa dingin dari sisa hujan kemarin semakin terasa menggigit. Dalam keremangan kamarnya, Aina menatap Dipta yang baru saja masuk. Lelaki itu baru pulang sebentar untuk mandi dan berganti baju, setelah itu, dia mencari makan sebentar karena sejak pagi perutnya hanya diisi roti lapis dan segelas kopi."Kamu belum tidur?" tanyanya sembari mendekat, setelah menutup pintu di belakangnya."Aku menunggumu."Dipta memicing. "Benarkah?" Dia duduk di samping tempat tidur Aina. Mengusap rambut hitam wanitanya yang tergerai panjang."Kamu sudah makan?" Aina balik bertanya.Dipta mengangguk. "Baru saja." Dia menarik selimut untuk Aina hingga menutupi dada. "Tidurlah. Sudah jam sepuluh."Dia bangkit dan berniat melangkah ke sofa untuk merebahkan diri di sana, tetapi tangannya dengan cepat dicekal Aina."Mas mau ke mana?" Aina mendongak, menatap wajah Dipta yang sedang berdiri."Ke sofa. Kamu tidurlah."Tanpa melep