Share

Bab 2

Author: Luis Joseph
Saat melihatku, wajahnya sempat menunjukkan ekspresi canggung, tapi dia tetap pura-pura tenang dan berkata,

“Masuk bersama?”

Aku tak menolak, langsung mengangguk dan berjalan masuk.

Makan malam terasa canggung, sepertinya orang tuaku masih menyimpan rasa kesal soal kejadian di hari pernikahan. Jadi, sikap mereka terhadap Steve juga tidak ramah.

Jika ini terjadi dulu, mungkin aku akan mencoba mencairkan suasana, tapi sekarang aku biarkan saja dia duduk di sana dengan canggung.

Setelah makan malam selesai, aku baru mau pesan taksi untuk pulang, Steve sudah lebih dulu menghentikan mobilnya di depanku. Begitu masuk, mataku langsung tetuju pada stiker yang menempel di kursi penumpang depan [Kursi khusus Cindy].

Steve berdeham pelan, lalu agak canggung menjelaskan,

“Cindy yang maksa pasang di sana, lagipula kamu juga menyetir sendiri biasanya.”

Aku mengangguk dan menjawab datar,

“Iya, semuanya berawal seperti ini.”

Steve mengernyit, seperti masih ingin bicara, tapi ponselku berbunyi.

Aku tidak menanggapi Steve lagi, langsung menunduk dan fokus membalas pesan.

Begitu urusanku selesai, Steve sudah menghentikan mobil di depan sebuah rumah mewah.

Begitu aku turun, Cindy langsung berlari ke arah Steve dan memeluknya.

“Steve, aku kangen sekali denganmu, kamu kangen aku nggak?”

Mungkin karena ada aku di sana, ekspresi Steve jadi agak canggung. Dia buru-buru menahan gerakan Cindy yang mau mencium pipinya.

“Sudahlah, sudah dewasa, masih saja seperti dulu.”

Cindy sempat melirikku dengan tatapan kemenangan, lalu dengan manja berkata,

“Emangnya kenapa? Meskipun sudah dewasa, aku tetap adikmu, ‘kan?”

Aku malas menanggapi drama mereka, langsung masuk ke dalam rumah.

Begitu sampai di depan pintu, mataku langsung tertuju pada layar elektronik yang sedang memutar beberapa foto. Semuanya adalah foto Steve dan Cindy.

Ada yang sedang duduk bersama menikmati senja, ada yang makan malam romantis dan foto terakhir adalah foto mereka sedang berciuman mesra.

Baru sempat kulihat, Steve langsung buru-buru lari ke arahku untuk menjelaskan,

“Luna, semua foto itu palsu, percayalah padaku. Jangan marah, ya.”

Aku menoleh menatap Cindy, jelas kulihat rasa bersalah di matanya walau hanya sekilas.

Aku mengangguk pelan.

“Iya, fotonya bagus kok.”

Cindy langsung mengernyitkan dahi.

“Luna, kamu nggak marah?”

Aku menjawab dengan tenang,

“Nggak kok.”

Baru saja menjawab, ponselku kembali berdering.

Kali ini dari dokter, mau membahas soal rawat inap besok.

Ternyata, hasil pemeriksaan kesehatanku beberapa waktu lalu menunjukkan ada masalah di paru-paru. Hasilnya baru keluar sekarang.

Aku menjauh sebentar untuk menerima telepon, tak menghiraukan ekspresi Steve.

Begitu selesai, aku kembali ke ruang pesta, kulihat Steve sedang melindungi Cindy sambil membentak seseorang.

Dari percakapan mereka, aku bisa menangkap bahwa pria itu hanya tak sengaja menumpahkan sedikit minuman ke ujung gaun Cindy, tapi Steve bersikeras menyuruh dia meminta maaf.

Melihat itu, pikiranku langsung terlempar ke beberapa tahun lalu. Beberapa tahun lalu, aku dan Steve pernah menghadiri acara serupa. Di tengah keramaian dekat menara sampanye, aku sengaja didorong Cindy hingga terjatuh ke arah menara.

Aku kehilangan keseimbangan dan langsung jatuh menimpa menara sampanye.

Suara gelas pecah terdengar nyaring, cairan sampanye bercampur darah mengalir di tubuhku.

Aku menoleh ke arah Steve, berharap bantuannya. Tapi, dia malah memarahiku dengan lantang di depan semua orang.

“Kamu buta?! Menara sampanye sebesar itu saja nggak kelihatan?”

“Malah sengaja menabrak, kamu tahu nggak seberapa pentingnya acara ini? Aku benar-benar nggak habis pikir, orang nggak berguna sepertimu hidup untuk apa, sih?!”

“Kalau aku jadi kamu, mending langsung menabrak tembok dan mati sekarang juga!”

Pikiranku perlahan kembali fokus. Melihat semua ini, aku hanya merasa konyol dan menyedihkan. Aku pun langsung berbalik dan pergi.

Steve tidak pulang semalaman. Aku tidak kaget, karena ini bukan pertama kalinya.

Namun, saat aku sedang mencuci wajah, aku melihat Steve pulang membawa sarapan dan dibelakangnya ada Cindy.

Melihatku keluar, dia menaruh sarapan di atas meja dan agak tidak biasa, dia langsung memberi penjelasan,

“Kami bermain terlalu malam kemarin, aku takut sendirian, jadi menginap di rumah Cindy semalam.”

“Kamu nggak marah, ‘kan?”

Cindy langsung merangkul bahunya dan bicara dengan nada menantang,

“Iya, Kak Luna, kamu nggak marah, ‘kan?”

Aku hanya mengangguk dan tak menjawab.

Sepertinya Steve juga menyadari sikap dinginku. Dia meletakkan sarapan di atas meja, lalu berbicara dengan nada lembut,

“Kemarin kamu pengin sekali menonton film bioskop yang baru tayang itu, ‘kan?”

“Kebetulan aku ada waktu hari ini, ayo kita pergi.”

Film itu memang langsung banjir pujian sejak tayang perdana. Aku sudah pernah beberapa kali mengajaknya nonton, tapi selalu ditolak oleh Steve.

Steve bilang sibuk kerja dan banyak urusan. Tapi beberapa hari kemudian, aku melihat postingan dari instagramnya Cindy.

[Film terbaik tentu pantas ditonton dengan orang terbaik.]

Memang fotonya tidak menunjukkan wajah, tapi dari tangan mereka yang saling menggenggam, aku tahu betul itu Steve.

Saat mencium samar-samar aroma parfum wanita dari tubuh Steve, aku langsung menolak.

“Nggak perlu, aku ada urusan hari ini.”

Melihat sikapku, wajah Steve sempat tampak canggung, tapi dia masih mencoba membujuk lagi.

Cindy yang sudah duduk di sofa, mencoba menantangku,

“Kak Luna, kamu bilang ada urusan? Jangan-jangan mau bertemu teman SMA?”

Aku memandangnya dengan bingung.

Tidak ada yang tahu soal rencana perceraianku, selain aku dan pengacara. Apalagi soal pengacaraku yang ternyata adalah teman SMAku.

Melihat ekspresi bingungku, Cindy kembali memasang ekspresi seolah khawatir Steve tersakiti.

“Steve, kamu jangan marah dulu. Beberapa hari lalu aku dengar dari temanku, katanya dia melihat Kak Luna lagi bersama teman SMAnya di kafe, kelihatannya….”

Cindy sengaja berhenti sebentar, lalu pura-pura menghela napas khawatir.

“Mesra….”

“Tapi mungkin temanku salah lihat, soalnya Kak Luna begitu sayang denganmu, mana mungkin selingkuh?”

Begitu dia selesai bicara, ekspresi Steve langsung berubah muram. Dia mengangkat tangannya dan melempar vas bunga di meja. Wajahnya penuh amarah saat menatapku.

“Luna! Kamu menoleh pergi menonton bioskop karena mau bertemu laki-laki lain di belakangku?!”

“Kamu nggak malu seperti itu?”

Aku menunduk melihat pecahan vas di lantai, belum sempat bicara, Cindy sudah sok bijak dan melanjutkan,

“Steve, jangan marah dulu, semua ini bisa dibicarakan baik-baik.”

“Nggak bisa salahkan Kak Luna juga, bagaimanapun juga, ibunya dulu juga pernah selingkuh….”

Belum sempat dia selesai bicara, aku langsung mengambil kotak tisu di samping dan melempar ke arahnya.

Fitnah aku tak masalah, tapi jangan pernah menghina ibuku.

Bagian yang tadi terkena kotak tisu langsung memerah. Steve buru-buru mengangkat lengannya dan memeriksa dengan penuh kekhawatiran.

Melihat wajah Cindy yang seolah demi kebaikan dirinya, Steve langsung menunjuk ke arahku dan memarahiku,

“Luna, kamu benar-benar mengecewakanku!”

“Meski yang dikatakan Cindy itu bohong, kamu tetap nggak seharusnya main tangan!”

“Kamu nggak tahu kalau….”

Steve masih terus menuduhku, tapi aku langsung memotong ucapannya,

“Jadi, kamu juga tahu kalau dia sedang berbohong!”

Wajah Steve langsung berubah canggung, tapi dia langsung bersikap sok benar dan menunjukku sambil berkata lantang,

“Iya, aku juga lihat sendiri hari itu.”

“Tapi kamu tetap salah karena main kekerasan.”

“Cepat minta maaf sama Cindy! Kalau nggak, kita langsung cerai sekarang juga!”

Rasa dingin langsung menjalar ke seluruh tubuhku. Aku menatapnya dengan tak percaya dan dengan ragu berkata,

“Steve, kamu sadar apa yang sedang kamu ucapkan?”

Steve malah menertawakanku seolah aku sedang bercanda.

“Luna, tentu saja aku tahu apa yang sedang kuucapkan.”

“Tapi, apapun alasannya, kamu nggak boleh main tangan. Cepat minta maaf ke Cindy!”

“Kalau nggak, kita langsung cerai sekarang juga!”

Aku langsung tertawa sinis sangking kesalnya, lalu mengambil surat perceraian yang sudah lama kusiapkan dan melempar ke depannya.

“Ayo, kita bisa langsung cerai sekarang juga.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Janji Selamanya   Bab 7

    Demi membalikkan reputasi produk perusahaan seperti dulu, aku terpaksa mempublikasikan semua video provokatif yang dulu pernah dikirimkan Cindy padaku.Baru saja kuunggah, hujatan dari netizen langsung membanjiri akun Cindy.Banyak orang meninggalkan komentar di video-video lamanya yang memamerkan kemesraan, menyebutnya sebagai pelakor dan tak tahu malu.Sedangkan Steve, si biang keroknya juga tak luput dari amukan netizen.Nomor ponselnya tersebar dan data pribadinya tersebar ke publik.Dia terpaksa mematikan ponsel dan menjauhkan diri dari dunia sosial media.Namun, lama-kelamaan kondisi mentalnya mulai terganggu.Awalnya dia hanya tak berani keluar rumah, lalu berkembang jadi takut bertemu siapa pun.Meskipun ayah dan ibunya sudah berusaha sekuat tenaga untuk meredam berita itu, tetap saja netizen berhasil membongkar identitas lengkap mereka.Bahkan kasus suap yang pernah dilakukan ibu Steve pun berhasil dibongkar netizen dan banyak orang ramai-ramai meninggalkan komentar di akun re

  • Janji Selamanya   Bab 6

    “Sudah nggak mungkin, Steve. Kamu sudah menandatangani surat cerai sebelumnya dan di sana tertulis jelas bahwa kamu akan keluar tanpa membawa sepeser pun. Tapi, kalau besok kamu datang tepat waktu ke kantor catatan sipil bersamaku, kita masih bisa pertimbangkan kembali pembagian asetnya.”“Perusahaan pun masih bisa tetap menjadi milikmu.”“Tapi, kalau kamu nggak datang, aku bakal bawa surat cerai itu ke pengadilan dan saat itu, jangan harap bisa dapat sepeser pun.”Steve menatapku dengan ekspresi tak percaya, seolah tak yakin semua kata-kata barusan keluar dari mulutku.“Luna, kamu seriusan mau seperti ini?”Aku menatap botol alkohol di atas meja, tak ada sedikit pun kelembutan dalam mataku.“Semua hal yang sudah kuputuskan, tak pernah kusesali.”Steve langsung menatapku sambil tertawa getir, lalu merebahkan dirinya ke lantai begitu saja. “Luna, kamu nggak tahu, ‘kan?”“Waktu kecil, orang tuaku sangat keras padaku. Mereka melarangku untuk berteman.”“Hanya Cindy satu-satunya yang mau

  • Janji Selamanya   Bab 5

    Dalam beberapa hari setelah itu, Steve memang benar-benar tidak lagi berhubungan dengan Cindy.Dia bahkan menghapus dan memblokir semua kontak Cindy di hadapanku.Setiap hari dia mulai bersikap sangat perhatian padaku, seolah-olah takut aku akan kenapa-kenapa.Sampai akhirnya, aku keluar rumah sakit dan ikut pulang dengannya ke rumah kami.Selama masa itu, beberapa kali Cindy datang mencarinya, tapi semuanya ditolak mentah-mentah oleh Steve.Namun, aku tahu dia tak akan bisa bertahan lama.Tak lama kemudian, tibalah waktunya aku harus kontrol ulang ke rumah sakit.Satu hari sebelum hari pemeriksaan, aku melihat tatapan Steve yang agak gugup. Aku pura-pura tidak tahu dan bertanya dengan nada lembut,“Steve, aku harus kontrol ulang besok, kamu bakal temani aku?”Steve langsung mengiyakan.“Tenang saja, Luna. Aku bakal menemanimu besok.”Aku mengangguk puas dan diam-diam memanfaatkan kesempatan saat dia keluar membeli sesuatu untuk mengirim pesan ke Cindy.[Kelihatannya kamu juga nggak se

  • Janji Selamanya   Bab 4

    Belum sempat dia selesai bicara, ayahku sudah kembali sambil membawa air. Begitu melihat apa yang terjadi, dia langsung menarikku ke samping.“Sudah, pergi sana! Kami nggak butuh!”Steve menatapku dengan ekspresi tak percaya, jari-jarinya gemetar, menunjukku dan masih ingin mengatakan sesuatu.Namun, Cindy yang berdiri di belakangnya tiba-tiba jatuh ke lantai. Dengan lemah, dia memanggil, “Steve, aku nggak enak badan….”Namun kali ini, Steve tidak menoleh ke arahnya. Dia hanya menatapku dengan mata memerah penuh emosi.Ayahku tak mau memperpanjang masalah. Takut sesuatu terjadi padaku lagi, dia segera memapahku kembali ke kamar rawat.Saat makan malam, ibu baru saja menata makanan yang dia bawa di meja, langsung terdengar ketukan di pintu.Detik berikutnya, Steve sudah muncul di depan pintu.“Ayah, ibu, aku datang menjenguk Luna.”Wajah ayah langsung berubah dan dengan nada dingin dia menanggapi, “Pak Steve bercanda saja, orang tua seperti kami nggak pantas dipanggil ayah ibu oleh or

  • Janji Selamanya   Bab 3

    Steve melirik surat perjanjian cerai di atas meja dan ekspresi wajahnya langsung berubah.Dengan wajah muram, dia menatapku.“Luna, aku tahu kamu lagi emosi.”“Tapi kita baru saja menikah. Aku bisa memaafkanmu karena emosi belaka.”Aku hanya menatapnya dengan tatapan dingin. Butuh waktu cukup lama, akhirnya aku membuka mulut,“Steve, kamu yang paling tahu aku hanya emosi belaka atau tidak.”Wajah Steve langsung menegang. Sementara itu, Cindy yang ada di sampingnya baru mau bicara, tapi langsung dihentikan olehnya,“Cindy, kami masih ada urusan yang harus dibicarakan, kamu pulang dulu, ya.”Cindy masih ingin bicara, tapi saat melihat pembagian harta dalam surat cerai itu, matanya langsung membelalak. Baru saja ingin memarahiku, Steve sudah mendorongnya keluar.Begitu pintu tertutup, nada suara Steve langsung berubah menjadi lembut.“Luna, aku tahu kamu nggak suka aku terlalu dekat dengan Cindy.”“Tapi percayalah, aku benar-benar hanya menganggapnya adik. Kamulah istriku satu-satunya.”“

  • Janji Selamanya   Bab 2

    Saat melihatku, wajahnya sempat menunjukkan ekspresi canggung, tapi dia tetap pura-pura tenang dan berkata, “Masuk bersama?”Aku tak menolak, langsung mengangguk dan berjalan masuk.Makan malam terasa canggung, sepertinya orang tuaku masih menyimpan rasa kesal soal kejadian di hari pernikahan. Jadi, sikap mereka terhadap Steve juga tidak ramah.Jika ini terjadi dulu, mungkin aku akan mencoba mencairkan suasana, tapi sekarang aku biarkan saja dia duduk di sana dengan canggung.Setelah makan malam selesai, aku baru mau pesan taksi untuk pulang, Steve sudah lebih dulu menghentikan mobilnya di depanku. Begitu masuk, mataku langsung tetuju pada stiker yang menempel di kursi penumpang depan [Kursi khusus Cindy].Steve berdeham pelan, lalu agak canggung menjelaskan,“Cindy yang maksa pasang di sana, lagipula kamu juga menyetir sendiri biasanya.”Aku mengangguk dan menjawab datar,“Iya, semuanya berawal seperti ini.”Steve mengernyit, seperti masih ingin bicara, tapi ponselku berbunyi.Aku ti

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status