Hatiku penuh dengan berbagai rasa. Semua bergumul dan memaksa menyeruak ke luar. Kata-kata Rum sangat membekas, dan membuatku seketika seperti dihempas ke lubang penuh kotoran.
Seolah tak punya harga diri.
Hampir dua bulan aku menjadi nyonya di rumah ini, tapi seseorang yang bahkan mendapatkan sesuap nasi dari suamiku berani menghina.
Aku marah. Ya, marah pada Bapak yang membuatku berada di posisi ini. Marah pada Mas Bayu yang mengacuhkan aku. Marah pada mertua yang memintaku pindah ke rumah Mas Bayu.
Jika saja Mas Bayu bisa sedikit lebih tegas untuk menolak pernikahan kami, tentu jalan cerita hidupku akan berbeda. Aku bisa hidup bebas, dan tak akan mendapatkan hinaan di rumah suamiku.
Aku mungkin masih bebas, berteman dan pergi kemana saja aku mau.
Mungkin hidupku akan kekurangan materi, tapi aku yakin tidak akan kehilangan harga diri.
Rum bilang aku pelakor? Bagaimana aku bisa merebut suami orang jika bertemu saja hanya saat lamaran dan ijab kabul? Aku menikah dan sah dimata hukum dan agama. Sedangkan Inara, dia istri siri Mas Bayu.
Aku mendengar nama Inara sesaat setelah pemakaman Bapak usai. Bisa dibayangkan bagaimana aku saat itu?
Nyaris seperti orang gila. Kepergian bapak yang tiba-tiba sudah mengambil sebagian kewarasanku. Saat aku berharap bahu suamiku untuk bersandar, dia malah menghilang.
Ya, Mas Bayu pergi menemui Inara saat acara pemakaman Bapak sedang berlangsung. Ayah mertua mengerahkan beberapa orang kepercayaannya untuk menemukan Mas Bayu.
Dan ketika mereka berhasil membawa pulang, Mas Bayu di hajar habis-habisan oleh ayah mertua. Dari mulutnya yang mengeluarkan darah segar terucap nama Inara. Pertama kali telingaku mendengar nama perempuan itu.
Aku melewati malam pertamaku untuk duduk bersama ibu Mas Bayu. Dan beliau pelan-pelan berkisah tentang hubungan suamiku dan perempuan cantik bernama Inara.
Kisah mereka tak pernah direstui. Entah kenapa, aku tak berani banyak bertanya. Suasana berkabung membuatku semakin diam. Nyaris membeku.
Kondisi Mas Bayu pun cukup memprihatinkan. Dia harus dilarikan ke rumah sakit karena Ayah menghajarnya seperti kerasukan. Nama Inara semakin membuat Ayah menggila, nyaris menghabisi nyawa Mas Bayu.
Jika Ibu tidak menangis sambil memeluk anak lelakinya, mungkin Ayah tidak akan berhenti menghujamkan pukulan dan tendangan.
Semakin hari rasa penasaranku semakin menjadi. Bahkan nama Inara seolah tabu dibicarakan oleh penghuni rumah mertuaku.
Inara, entah dosa dan noda apa yang tertoreh pada perempuan cantik itu.
***
Jam tujuh malam, suara mobil Mas Bayu terdengar memasuki halaman. Aku yang biasanya datang menyambut, kini memilih diam di kamar. Aku terbiasa di acuhkan, dan mulai hari ini akan mulai acuh.
Aku akan menjadi seperti yang Mas Bayu inginkan. Menjauh dari dirinya. Diam dan tak akan melakukan apapun tanpa keinginannya. Mulai sekarang aku hanya akan peduli pada diriku sendiri. Kecuali dia meminta aku melakukan sesuatu untuknya.
"Kok sepi Bik?" Kudengar Mas Bayu bertanya pada Bibik. Mungkin Bibik yang membukakan pintu untuknya.
"Iya, Pak. Mbak Gendhis tidak keluar kamar dari tadi siang." Suara Bibik menjawab pertanyaan suamiku.
Aku masih tak bergerak dari posisi semula, duduk di atas ranjang sambil membaca novel. Perlahan ku dengar langkah kaki menuju kamar.
Pintu yang dibuka pelan memunculkan sosok tinggi kekar milik suamiku. Tak sedikit pun aku mengalihkan pandangan.
Dari ekor mata terlihat Mas Bayu menatapku sekilas sebelum masuk ke kamar mandi. Suara guyuran air mulai terdengar. Jika tadi pagi aku masih menyiapkan baju saat dia mandi, sekarang tidak.
Toh menyiapkan baju ganti hadir dari inisiatifku sendiri. Dan ku pikir itu tak perlu ku lakukan lagi.
Mas Bayu keluar kamar dengan handuk melilit di pinggangnya. Tak terdengar gerakan apapun. Mungkin dia sedang mencari baju bersih yang biasanya ku siapkan di atas kasur.
Aku bergeming, bahkan saat suamiku itu kemudian melangkahkan kaki menuju lemari. Jika biasanya aku keluar kamar saat dia hendak mengganti baju, sekarang tidak. Toh aku lebih dulu ada di kamar kan? Dan juga bagaimanapun aku istrinya. Tidak ada alasan bagiku untuk keluar saat dia hendak mengenakan pakaian.
"Aku mau berpakaian," kata Mas Bayu.
"Silahkan." Aku menjawab setelah menatapnya sebentar. Paling tidak aku tidak mengacuhkan orang yang tengah berbicara denganku.
Aku kembali membaca, kudengar dia menghela nafas dan melangkah kembali ke kamar mandi. Beberapa saat kemudian dia keluar dengan pakaian lengkap.
"Permisi, Pak. Makan malam sudah siap." Suara Bibik terdengar dari balik pintu.
"Ya," sahut Mas Bayu.
Jika biasanya aku mengiringinya ke meja makan, sekarang tidak. Toh Bibik hanya menyebut 'Pak'. Jadi aku tidak harus makan hidangan yang Bibik buat.
Aku bisa masak untuk diriku sendiri. Bahkan dulu teman-temanku menyukai apapun yang ku masak.
Laki-laki yang bergelar suamiku itu menatapku. Mungkin heran pada sikapku.
Tanpa berkata apapun dia melangkah keluar.
Kebiasaan Mas Bayu setelah makan malam adalah masuk ke ruang kerja. Sebuah ruangan yang sama sekali belum pernah ku masuki.
Entah apa yang dia lakukan, biasanya dia akan keluar menjelang jam sembilan.
Tiba-tiba aku merasa lapar. Ku lihat jam dinding menunjukkan pukul delapan. Pantas saja perutku meronta, tadi siang aku melewatkan makan siang.
Tanpa suara aku meletakkan novel di atas nakas, dan beringsut turun. Sambil mengikat rambut aku berjalan menuju pintu.
Saat pintu terbuka, aku terperanjat. Sebuah kejutan …!
Tanpa suara aku meletakkan novel di atas nakas, dan beringsut turun. Sambil mengikat rambut aku berjalan menuju pintu.Saat pintu terbuka, aku terperanjat. Sebuah kejutan …!Mas Bayu yang semula bersandar di samping pintu pun sepertinya ikut terkejut. Mungkin tak menyangka aku akan keluar.Sesaat mata kami bertemu, gerakan tanganku yang sedang merapikan rambut pun terhenti. Beberapa anak rambut masih terburai."Sedang apa disini?" tanyaku sesaat setelah rasa kagetku hilang.
Pagi ini aku menikmati segelas teh. Tanpa menghidangkan kopi. Bibik yang sedang memasak untuk sarapan memandangku heran. Tapi dia sama sekali tidak bicara apapun.Ya, aku asing di sini. Bahkan asisten rumah tangga pun tidak menganggapku ada. Atau mungkin terganggu oleh kehadiranku?Ku lihat Mas Bayu seperti mencari sesuatu, atau mungkin memastikan sesuatu. Dia menatapku sesaat, dan aku memilih tidak berkomentar apapun."Bik …, tolong buatkan kopi." Suamiku meminta Bibik membuatkannya kopi.Lihat! Sebenarnya mudah saja dia memintaku untuk membuatkan secangkir k
Rizal mengangguk dan sedikit menjauh, namun aku yakin tangannya akan sigap menangkap jika aku jatuh lagi.Tak tahu kenapa aku merasa ada yang mengawasiku. Dan benar, saat aku melihat ke arah pintu masuk, sosok Mas Bayu ada di sana.Kenapa dia disana? Oh tidak, apakah dia melihatku hampir jatuh tadi?Aku berjalan pelan mendekatinya. Kakiku benar-benar terasa nyeri."Mas Bayu," sapaku canggung. Mas Bayu menatapku dengan pandangan tajam."Selamat siang, Pak, maaf saya tidak
"Gendhis, tunggu …!"Sepertinya Inara berusaha mengejarku."Gen … ahhh!"Aku menoleh dan terkejut saat melihat Inara, perempuan itu tersungkur dan bagian bawah bajunya basah!Terlihat pecahan beling bertebaran di sekitarnya. Seorang pelayan laki-laki berdiri kaku dengan nampan kosong."Gimana sih, resto sebagus ini kenapa punya pelayan ceroboh kayak kamu!" Inara menuding pelayan malang itu. Si pelayan tidak menjawab, tapi terlihat sekali dia menahan diri untuk tidak membalas tudingan Inara."Kamu tahu, bajuku ini mahal, kena tumpahan juice mana bisa hilang," keluhnya. Tangannya sibuk
Seketika ruangan hening, bahkan setelah Mas Bayu menjauhkan wajahnya dariku.Tatap matanya yang tajam memaksaku untuk mengangguk. Pria dingin itu kemudian kembali menggenggam tanganku dan memaksa mengikuti langkahnya.Kami berdua menaiki tangga. Di sudut yang tersembunyi aku berhenti dan melepaskan genggaman tangannya.Mas Bayu menyerngit tak suka. Namun aku tak perduli. Aku tak ingin terus terbuai oleh sikap manisnya di kantor. Dan akan terasa sakit saat menemukan realita berbeda sesampainya di rumah nanti.Dengusan kasar terdengar, dan hentakan kakinya kembali terdengar menaiki tangga.Tuhan, tolong hentikan debaran kurang ajar yang lancang datang tanpa k
Aku tergagap, bodoh … bodoh! Aku bahkan tak tahu alamat tempat tinggalku saat ini …!Sopir taksi menepikan mobilnya, dan menoleh ke arahku, "maaf, Mbak … tujuan kita kemana ya?" Dia bertanya sekali lagi.Aku yang dari tadi menahan kesal tanpa sadar mengalirkan air mata. Sopir tadi menghembuskan nafas, mungkin dia sedang berusaha bersabar. Apa dia tidak tahu, aku lebih kesal darinya.Pagi tadi dengan rasa bahagia aku keluar dari rumah, membeli tanaman, sampai akhirnya dijemput paksa oleh laki-laki yang bergelar suami. Di situ kebahagiaanku mulai terkikis, semakin habis ketika harus menjemput Inara.Ditambah ucapan kasar Mas Bayu tadi di kantor! Ah …!
Mas Bayu mencekal tanganku dan menarik masuk ke kamar. Sesampainya di kamar, tubuhku didorongnya ke tempat tidur. Aku yang tidak menduga mendapat perlakuan seperti itu tentu saja hilang keseimbangan. Apalagi Mas Bayu yang berbadan tinggi kekar seolah mengerahkan seluruh tenaganya."Jangan banyak tingkah dan mempermalukan dirimu sendiri. Apalagi di depan asisten rumah tangga," sentaknya kasar. Dia berdiri tegak, kakinya berada di kanan kiri lututku, dengan telunjuk mengarah lurus kepadaku.Aku cepat berdiri dan mendorong tubuhnya, "Aku tidak peduli. Toh posisiku dan mereka tak ada bedanya. Hanya sebagai pelengkap rumah mewahmu ini kan?"Mas Bayu sepe
"Jangan pergi, Nara …," ucap Mas Bayu di tengah tidurnya.Bahkan dalam keadaan tidur pun Inara masih selalu bergentayangan di pikirannya!Inara, perempuan jelita yang memiliki kedudukan istimewa di hati suamiku. Jika mereka memang saling mencintai, kenapa Ayah dan Ibu sangat menentang?Aku yakin ini bukan karena harta. Karena perempuan itu bahkan memiliki toko kue dan toko pakaian peninggalan orang tuanya. Lalu kenapa?Bahkan nama Inara seolah tabu terucap di depan mertuaku. Apa yang tidak ku ketahui?