Share

Remeh

Penulis: Tri Nur
last update Terakhir Diperbarui: 2021-05-26 16:59:21

Mas Bayu menatapku. Sepertinya ada yang ingin dia sampaikan. Aku yang tengah menyesap teh mencoba tidak peduli.

Jika memang ada hal penting, tentu dia akan segera menyampaikannya bukan?

Nyatanya sampai saat kopi di cangkir miliknya tinggal separuh dia tetap diam.

Mas Bayu berangkat kerja bahkan tanpa menyentuh sarapan yang disajikan Bibik. Setelah dia pergi, aku memilih masuk kembali ke kamar. Rumah ini masih saja asing bagiku.

Setiap sudutnya seolah memandangku remeh. Apalah aku yang hanya anak seorang pekerja kebun. Bisa tinggal di rumah ini pun tak pernah terpikirkan olehku.

Aku masih belum tahu, kenapa Bapak memintaku menerima pinangan keluarga Mas Bayu. Belum sempat aku bertanya, Bapak sudah sibuk mempersiapkan pernikahan kami.

Bahkan saat ijab kabul, itu kali kedua ku bertatap muka dengan suamiku. Dan setelah ijab kabul terlaksana, acara pesta pernikahan meriah yang Bapak gadang-gadang nyatanya berubah.

Ya, pesta pernikahanku yang seharusnya penuh canda tawa berubah jadi lautan tangis. Bapak telah merubahnya. 

Seharusnya aku dan Mas Bayu duduk di kursi pelaminan. Tapi Bapak telah merubah pelaminanku menjadi meja panjang tempat jenazahnya.

Ya, Bapak meninggal setelah menyerahkanku pada keluarga Mas Bayu.

Bapak, lelaki cinta pertamaku, meninggalkan aku dengan status baru.

***

Menjelang siang aku memutuskan untuk membaca novel di teras samping. Di sana terdapat sebuah sofa dan rak buku. Di depan sofa ada sebuah kolam kecil berisi ikan-ikan kecil berwarna kuning, entah apa namanya. Yang jelas ikan-ikan itu berenang dengan lincah.

Dan aku senang menghabiskan waktu sambil menikmati gerakan mereka. Mereka sama sepertiku. Bebas, namun berada dalam kurungan. Semua gerakku seolah diawasi. Layaknya aku ini gembel yang tiba-tiba dipungut oleh orang kaya.

Bahkan asisten rumah tangga di sini pun seolah menganggap aku hanya hama pengganggu. Mereka hanya menunduk saat berpapasan denganku. Dan saat aku bertanya, mereka menjawab dengan enggan.

Aku sudah duduk di sofa, ketika sayup kudengar bisik-bisik ruang sebelah. Teras samping dan ruang laundry hanya terpisah oleh tembok. Dan suara dari balik tembok sering kali terdengar cukup jelas.

Mencoba tidak peduli dan melanjutkan bacaanku. Baru kemarin aku membeli novel secara online.

"Enak ya, tapi aku kasihan sama Mbak Inara."

Deg, mendengar nama Inara disebut, konsentrasiku buyar.

"Iya …, Mbak Inara kurang apa coba, sudah cantik, kaya, ramah lagi …,"

Aku memejamkan mata. Jelas itu suara Bibik dan Rum, wanita yang bertugas membersihkan rumah. Sementara Bibik bertugas untuk memasak dan mencuci.

"Kalau aku jadi Mbak Inara, sudah pasti Gendhis sudah tak heh …," suara Rum kembali ku dengar. Suara kekehan terdengar.

Mungkin mereka tidak tahu aku berada di samping mereka dan hanya terhalang oleh tembok.

"Hahaha, kamu ini."

"Iyalah Bik, Gendhis itu kan pelakor!"

"Pelakor ki apa to Rum?"

"Perebut laki orang Bik."

Rum, kenapa mulutmu tajam sekali? Bahkan kamu tak tahu apa-apa tentangku. Kutahan air mata yang ingin mengalir.

Hatiku kemudian memanas. Segera ku langkahkan kaki menuju ruang laundry.

"Ngomong apa kamu Rum?" Aku yang muncul tiba-tiba membuat Bibik dan Rum terperanjat.

"Ti--tidak Bu," jawab Rum terbata. Tangannya yang sedang memegang kain lap terlihat sedikit bergetar. Sementara Bibik masih tetap menyetrika setelah menatapku.

"Aku dengar ucapanmu tadi. Tahu apa kamu tentang pelakor, hah?" Aku menatapnya tajam.

Rum menatapku. Berani sekali wanita itu.

"Aku istri sah Mas Bayu kalau kamu belum tahu. Dan aku Nyonya di rumah ini. Paham!"

Rum membuang wajah. Tingkahnya sungguh tak memiliki sopan santun.

"Iya, saya tahu Ibu istri sah Pak Bayu, tapi kan Ibu hanya istri kedua. Apa sebutan yang pas untuk wanita yang mau menikah dengan suami orang?"ucapnya tajam.

Astaga, berani sekali dia. Tanganku mengepal. Ingin ku layangkan segala caci untuk Rum.

"Dan sebelum Ibu menikah, bukankah derajat kita sama? Bahkan mungkin lebih rendah daripada saya."

"Rum …, kamu--"

"Sudah-sudah. Tolong jangan ribut. Bapak tidak suka ada keributan di rumah ini." Bibik memotong ucapanku.

Rum menghentakkan kaki dan keluar dari ruangan. Bibik menatapku sekilas, sebelum akhirnya melanjutkan kegiatannya.

Akupun segera keluar dari ruangan yang tiba-tiba terasa sangat panas ini.

Rum, sepertinya aku harus menunjukkan siapa aku. Tunggu saja, kamu belum mengenal Gendhis itu perempuan seperti apa!

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Jarak (tamu di hati suamiku)   Luluh

    Rasa tak percaya diri muncul. Apa bentuk tubuhku berubah mengerikan? Apa lemak yang mengiringi kehamilanku membuat hasratnya lebur?Lagi-lagi aku patah.Kuputuskan untuk mengunci pintu, dan menangis diam-diam. Berusaha meredam amarah agar tak salah arah.Duduk diam dan membiarkan air mata mengalir begitu saja.Hampir tengah malam seseorang mencoba membuka pintu. Aku tetap diam. Tak berusaha bangun untuk membukanya.Saat ini aku ingin sendiri. Berdamai dengan rasa yang menyakitiku.***"Kenapa p

  • Jarak (tamu di hati suamiku)   Kecewa

    Hari-hari selanjutnya kulalui dengan normal. Tidak ada yang mengusikku, selain Mas Bayu.Lelaki itu nyaris setiap saat memintaku kembali ke rumah. Sayangnya aku masih merasa nyaman disini. Rumah Diana yang sudah dibeli suamiku dengan harga fantastis.Diana bahkan mampu membeli rumah lain yang lebih besar dan juga liburan ke luar kota. Aku tidak akan melupakan saat Mas Bayu juga menjanjikan sebuah toko kue lengkap dengan karyawan untuknya.Entahlah, aku tak tahu apa yang ada di dalam pikiran suamiku itu. Terlalu mudah menghamburkan uang.Sepertinya setelah kepergianku, dia berubah bekerja keras hingga lupa waktu. Mungkin itu caranya untuk melupakan aku. Menurut Inara, harta Mas Bayu tak akan

  • Jarak (tamu di hati suamiku)   Cemburu

    "Kamu mau makan apa?" tanya Mas Bayu. Tatapannya tak beralih dari jalan raya yang padat ileh kendaraan."Tidak," jawabku pelan."Anakku, apa dia tidak lapar?" Kali ini Mas Bayu menatapku sebentar.Rasa hangat kembali memenuhi dadaku. Aku tersenyum. Semudah itu membuatku bahagia."Kenapa?""Hmm? Kenapa apanya?" Aku menoleh. Mengamati tangan kekarnya yang memegang setir."Kamu, senyum-senyum begitu.""Nggak boleh?" rajukku.Mas Ba

  • Jarak (tamu di hati suamiku)   Ratu di Hati Suamiku

    Tidak apa?" Aku masih mencoba mencari kepastian.Mas Bayu masih berdiri tegak. Tak menoleh, juga tak menyahut. Dengan cepat kulempar bantal ke arahnya.Hanya terdengar helaan nafas darinya. Aku hampir putus asa. Sikapnya semakin mambuatku yakin pada apa yang kupikirkan. Pak Mahmud telah meninggal."Aku ikut," putusku cepat.Ternyata ucapanku kali ini menimbulkan reaksi. Dia berbalik dan memandangku. Aku berdiri dan segera meraih jaket untuk menutupi piyama yang kukenakan. Selanjutnya aku menabrak lengannya untuk keluar menuju kamar mandi."Ndhis!"Seruannya tak kuhiraukan. Dengan cepat aku mencuci muka dan menggosok gigi. Tak lupa kuikat rambut menyerupai gaya ekor kuda."Ayo," ajakku."Kamu di rumah saja." Dia masih berusaha membujuk."Tidak. Aku ikut atau kamu tidak akan pernah bisa menemukanku lagi. Aku akan pergi," ancamku."Bagaimana bisa kamu pergi, sedangkan dun

  • Jarak (tamu di hati suamiku)   Kontraksi

    "Katakan, di mana Pak Mahmud?" Aku mencecar Mas Bayu. Lelaki itu menghela nafas kasar."Entahlah. Terakhir yang kutahu, dia mengantar ayah melakukan perjalanan bisnis. Beberapa malam yang lalu, dia menghubungiku. Memberi tahu tentang kamu. Semua begitu cepat. Seperti sesuatu mengejarnya.""Kamu tidak melacak ponselnya?" tanyaku khawatir. Hal mudah bagi Mas Bayu untuk mengetahui keberadaan seseorang melalui ponsel. Apalagi ada beberapa karyawannya yang dibidang itu."Sudah. Dan hanya ponsel yang kutemukan." Mas Bayu membuang muka. Terlihat sekali dia tengah menyembunyikan sesuatu."Lalu, siapa laki-laki yang tadi berkelahi denganmu?""Mereka suruhan ibu.""Suruhan? Untuk apa?" Heranku."Kamu mengandung pewaris mereka," ucapnya pelan."Apa hubungannya?""Jika anak kita lahir, mereka akan membawanya, dan tidak mustahil mengakhiri hidup kita."Gila! Aku tidak habis pikir, ini ha

  • Jarak (tamu di hati suamiku)   Hilang

    Aku berpura tidak peduli dengan raut wajahnya yang terlihat kesal. Dengan gerakan santai kubereskan peralatan untuk membersihkan luka Mas Bayu tadi.Selain obat pereda nyeri, orang-orang itu juga membeli kain kasa dan beberapa lembar plester.Cangkir kopi kubawa ke dalam. Sebagai gantinya aku membuatkan teh manis untuknya dan empat orang yang berdiri siaga di teras. Sebenarnya aku sudah mempersilahkan mereka untuk duduk, tapi aura Mas Bayu yang kehilangan secangkir kopi begitu kelam. Mungkin itu membuat mereka memilih berdiri.Hari sudah malam, dan aku menyiapkan makanan untuk lima lelaki dewasa. Mudah saja bagiku yang memang senang bergelut di dapur. Apalagi si kecil yang biasanya aktif, entah kenapa kurasa tenang. Apa mungkin dia senang, bisa merasakan kehadiran ayahnya?Senyum muncul saat menyentuh perutku sendiri. Ah, bagaimana rasanya jika Mas Bayu mengelusnya?Aku menggigit bibir. Tiba-tiba dorongan untuk merasakan tangan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status