Tanpa suara aku meletakkan novel di atas nakas, dan beringsut turun. Sambil mengikat rambut aku berjalan menuju pintu.
Saat pintu terbuka, aku terperanjat. Sebuah kejutan …!
Mas Bayu yang semula bersandar di samping pintu pun sepertinya ikut terkejut. Mungkin tak menyangka aku akan keluar.
Sesaat mata kami bertemu, gerakan tanganku yang sedang merapikan rambut pun terhenti. Beberapa anak rambut masih terburai.
"Sedang apa disini?" tanyaku sesaat setelah rasa kagetku hilang.
"Hm, kata Bibik kamu tidak keluar sejak siang." Jawaban Mas Bayu cukup panjang kali ini.
"Kenapa berdiri di situ?" tanyaku lagi. Kali ini tidak ada jawaban yang ku terima. Hanya tatapan tajam Mas Bayu seolah mengatakan dia tidak suka mendengar pertanyaan dariku.
Ah, aku lupa. Bukankah ini rumahnya? Jadi dia bebas berdiri dan melakukan apapun yang dia mau di mana saja. Bahkan dia bebas menganggapku tak ada, bahkan saat aku berada tepat di hadapannya.
Tak mau ambil pusing, aku segera berlalu ke dapur. Aku sudah gatal ingin memegang pisau dan menghirup bau bawang.
Ku buka tempat penyimpanan bumbu dan mengambil beberapa butir bawang merah, bawang putih, kemiri, sedikit lada dan beberapa buah cabai rawit merah. Aku sangat menyukai pedas. Dan selama di sini, Bibik sangat jarang memasak menggunakan banyak cabai. Sepertinya cabai hanya dia gunakan untuk mempercantik masakannya saja.
Dengan cekatan aku mengupas dan mencuci bawang. Aku mencari cobek dan ulekan, kemudian siap menggerus bermacam bumbu yang sudah kusiapkan. Hmm, sepertinya ada yang kurang. Sayur, ya …, aku butuh sayur sebagai pelengkap masakanku nanti.
Saat membuka kulkas, aku melihat dari sudut mata seseorang tengah mengawasiku. Biar saja. Aku rindu bergelut dengan dapur. Meskipun dapur ini sangat berbeda dengan dapurku di kampung.
Aku mengambil beberapa lembar daun sawi, dan juga daun bawang. Tak lupa aku menyiapkan sepiring nasi.
Suara spatula beradu dengan wajan terdengar riuh. Tanpa sadar aku bersenandung. Sudah hampir dua bulan aku tidak memainkan peralatan masak, ada kebahagiaan tersendiri saat bisa menguasai dapur.
Tak butuh waktu lama, aroma nasi goreng menguar memenuhi dapur.
Aku mencuci peralatan masak setelah memindahkan nasi goreng ke dalam piring.
"Mbak, biar saya yang cuci." Suara Bibik terdengar di belakangku.
"Aku bisa melakukannya sendiri, Bik." Aku tak mengalihkan pandanganku dari busa yang melumuri permukaan wajan.
"Nanti Bapak marah, Mbak …," ujarnya.
"Marah kenapa, Bik? Toh Bapak tidak akan tahu," kataku sambil mengeringkan tangan. Sudah selesai mencuci, saatnya menikmati nasi gorengku.
Tangan kanan membawa piring nasi goreng, dan segelas air putih kubawa dengan tangan kiri. Saat sampai di ruang makan aku kembali dikejutkan oleh keberadaan Mas Bayu. Suamiku itu tampak duduk di kursi, tatapan matanya tajam mengarah padaku.
"Kamu bisa minta Bibik membuatkan nasi goreng," ucapnya ketus.
"Aku hanya ingin memasak sendiri." Ku jawab ucapannya dan segera duduk. Aku tak sabar ingin segera memasukkan nasi goreng ke dalam mulut.
Dengan sepenuh hati ku nikmati makanan di depanku.
Ku abaikan keberadaan Mas Bayu. Seperti dia juga biasa mengabaikan aku. Bukan balas dendam, hanya saja aku ingin terbiasa melakukan apa yang dia lakukan. Mungkin dengan begini Mas Bayu tidak akan merasa terganggu dengan sikapku selama ini.
Aku tak mengenal suamiku sebelumnya. Jadi wajar jika aku tak tahu apapun tentang dia. Caranya memperlakukanku, seperti itu juga mungkin dia ingin diperlakukan.
Selesai makan aku menghabiskan air putih yang ku bawa dari dapur. Kemudian beranjak untuk mencuci gelas dan piring. Tak lupa aku mengisi botol minum untuk ku bawa ke kamar.
Sejak dulu aku terbiasa bangun dan merasa haus di malam hari. Sebelum menikah aku juga selalu membawa minum ke kamarku. Dua bulan di sini, aku sedikit tersiksa, rasa segan pada Mas Bayu membuatku tidak berani membawa minum ke kamar.
Saat ingin kembali ke dalam kamar, kulihat Mas Bayu masih duduk di tempat yang sama.
Baru ku sadari jika piring dan sendok masih tertata rapi. Bahkan nila goreng dan tumis kangkung kesukaan Mas Bayu masih utuh. Hanya gelas berisi air putihnya yang sudah berkurang separuh.
"Belum makan?" Pertanyaan bodoh yang ku lontarkan.
"Menurutmu? Apakah aku bisa makan, saat menantu pilihan orang tuaku tidak makan apapun sejak siang. Entah apa yang akan mereka lakukan padaku, jika mereka tahu kamu kelaparan di rumahku."
Sebuah kalimat terpanjang yang ku dengar darinya cukup membuatku terhenyak. Menantu pilihan orang tua? Jadi hanya sebatas itu aku di matanya?
"Aku sudah makan, jadi Mas Bayu bisa makan dengan tenang," balasku tanpa melihat ke arahnya.
Sedikit perih mendengar ucapan dari mulut suamiku. Menantu pilihan orang tua.
Dalam satu hari aku mendapat dua ucapan manis yang tak akan pernah bisa ku lupakan. Pertama dari Rum, dan yang kedua dari Mas Bayu.
Aku melangkah dengan tenang. Senyum tipis melengkung di bibirku.
Baiklah, mari kita lihat. Apa yang bisa ku lakukan sebagai 'menantu pilihan orang tua'.
Pagi ini aku menikmati segelas teh. Tanpa menghidangkan kopi. Bibik yang sedang memasak untuk sarapan memandangku heran. Tapi dia sama sekali tidak bicara apapun.Ya, aku asing di sini. Bahkan asisten rumah tangga pun tidak menganggapku ada. Atau mungkin terganggu oleh kehadiranku?Ku lihat Mas Bayu seperti mencari sesuatu, atau mungkin memastikan sesuatu. Dia menatapku sesaat, dan aku memilih tidak berkomentar apapun."Bik …, tolong buatkan kopi." Suamiku meminta Bibik membuatkannya kopi.Lihat! Sebenarnya mudah saja dia memintaku untuk membuatkan secangkir k
Rizal mengangguk dan sedikit menjauh, namun aku yakin tangannya akan sigap menangkap jika aku jatuh lagi.Tak tahu kenapa aku merasa ada yang mengawasiku. Dan benar, saat aku melihat ke arah pintu masuk, sosok Mas Bayu ada di sana.Kenapa dia disana? Oh tidak, apakah dia melihatku hampir jatuh tadi?Aku berjalan pelan mendekatinya. Kakiku benar-benar terasa nyeri."Mas Bayu," sapaku canggung. Mas Bayu menatapku dengan pandangan tajam."Selamat siang, Pak, maaf saya tidak
"Gendhis, tunggu …!"Sepertinya Inara berusaha mengejarku."Gen … ahhh!"Aku menoleh dan terkejut saat melihat Inara, perempuan itu tersungkur dan bagian bawah bajunya basah!Terlihat pecahan beling bertebaran di sekitarnya. Seorang pelayan laki-laki berdiri kaku dengan nampan kosong."Gimana sih, resto sebagus ini kenapa punya pelayan ceroboh kayak kamu!" Inara menuding pelayan malang itu. Si pelayan tidak menjawab, tapi terlihat sekali dia menahan diri untuk tidak membalas tudingan Inara."Kamu tahu, bajuku ini mahal, kena tumpahan juice mana bisa hilang," keluhnya. Tangannya sibuk
Seketika ruangan hening, bahkan setelah Mas Bayu menjauhkan wajahnya dariku.Tatap matanya yang tajam memaksaku untuk mengangguk. Pria dingin itu kemudian kembali menggenggam tanganku dan memaksa mengikuti langkahnya.Kami berdua menaiki tangga. Di sudut yang tersembunyi aku berhenti dan melepaskan genggaman tangannya.Mas Bayu menyerngit tak suka. Namun aku tak perduli. Aku tak ingin terus terbuai oleh sikap manisnya di kantor. Dan akan terasa sakit saat menemukan realita berbeda sesampainya di rumah nanti.Dengusan kasar terdengar, dan hentakan kakinya kembali terdengar menaiki tangga.Tuhan, tolong hentikan debaran kurang ajar yang lancang datang tanpa k
Aku tergagap, bodoh … bodoh! Aku bahkan tak tahu alamat tempat tinggalku saat ini …!Sopir taksi menepikan mobilnya, dan menoleh ke arahku, "maaf, Mbak … tujuan kita kemana ya?" Dia bertanya sekali lagi.Aku yang dari tadi menahan kesal tanpa sadar mengalirkan air mata. Sopir tadi menghembuskan nafas, mungkin dia sedang berusaha bersabar. Apa dia tidak tahu, aku lebih kesal darinya.Pagi tadi dengan rasa bahagia aku keluar dari rumah, membeli tanaman, sampai akhirnya dijemput paksa oleh laki-laki yang bergelar suami. Di situ kebahagiaanku mulai terkikis, semakin habis ketika harus menjemput Inara.Ditambah ucapan kasar Mas Bayu tadi di kantor! Ah …!
Mas Bayu mencekal tanganku dan menarik masuk ke kamar. Sesampainya di kamar, tubuhku didorongnya ke tempat tidur. Aku yang tidak menduga mendapat perlakuan seperti itu tentu saja hilang keseimbangan. Apalagi Mas Bayu yang berbadan tinggi kekar seolah mengerahkan seluruh tenaganya."Jangan banyak tingkah dan mempermalukan dirimu sendiri. Apalagi di depan asisten rumah tangga," sentaknya kasar. Dia berdiri tegak, kakinya berada di kanan kiri lututku, dengan telunjuk mengarah lurus kepadaku.Aku cepat berdiri dan mendorong tubuhnya, "Aku tidak peduli. Toh posisiku dan mereka tak ada bedanya. Hanya sebagai pelengkap rumah mewahmu ini kan?"Mas Bayu sepe
"Jangan pergi, Nara …," ucap Mas Bayu di tengah tidurnya.Bahkan dalam keadaan tidur pun Inara masih selalu bergentayangan di pikirannya!Inara, perempuan jelita yang memiliki kedudukan istimewa di hati suamiku. Jika mereka memang saling mencintai, kenapa Ayah dan Ibu sangat menentang?Aku yakin ini bukan karena harta. Karena perempuan itu bahkan memiliki toko kue dan toko pakaian peninggalan orang tuanya. Lalu kenapa?Bahkan nama Inara seolah tabu terucap di depan mertuaku. Apa yang tidak ku ketahui?
"Aku kenapa? Aku dari tadi makan, iya kan Bik?"Raut wajah Bibik memucat. Begitu juga dengan Rum.Aku berusaha keras menyembunyikan tawa kemenangan. Sudah kubilang kan, aku tak akan tinggal diam. Benar?"Ta--di Gendhis kesurupan, Pak," ucap Rum terbata.Mas Bayu mendekat, dia memperhatikan wajahku seolah aku akan menghilang jika sebentar saja pandangannya beralih. Bibik dan Rum berdiri sejajar tepat di depan pintu menuju dapur."Kamu kesurupan?" Pertanyaan tajam dari sua