Beranda / Romansa / Jatuh Cinta Dahulu, Magang Kemudian / Bab 1: Tabrakan di Koridor Kampus

Share

Jatuh Cinta Dahulu, Magang Kemudian
Jatuh Cinta Dahulu, Magang Kemudian
Penulis: Noyalizn

Bab 1: Tabrakan di Koridor Kampus

Penulis: Noyalizn
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-09 22:08:04

Pagi itu, kampus Universitas Kencana terlihat lebih hidup dari biasanya. Bukan karena ujian akhir, melainkan karena peringatan Dies Natalis ke-50 yang akan mencapai puncaknya hari ini. Spanduk-spanduk warna-warni berkibar di sepanjang koridor utama, mengumumkan berbagai seminar, pameran, dan acara temu alumni. Bagi Alea Kirana, mahasiswi tingkat akhir jurusan Desain Komunikasi Visual, hiruk pikuk ini berarti satu hal: deadline ganda.

"Alea! Lo sudah lihat desain brosur acara alumni? Kata Pak Seno, ada revisi minor di bagian foto ketua batch 2005 itu," suara Lia Sari, sahabat karib Alea, melengking dari balik tumpukan mockup poster yang hampir menutupi kepala Lia.

Alea, dengan rambut panjang kecokelatan yang diikat kuda dua seperti ciri khasnya, menghela napas. Kacamata bulat bertengger di hidung mancungnya, sedikit melorot karena ia sibuk menatap layar laptop yang menampilkan desain pamflet. "Sudah, Li. Ini aku lagi export ulang. Siap-siap upload ke cloud ya. Jangan sampai telat, nanti Pak Seno berubah jadi Godzilla."

Lia terkikik. "Tenang, bos! Semuanya di bawah kendali superwoman Lia Sari!"

Mereka berdua memang sibuk luar biasa. Sebagai tim inti panitia dokumentasi dan publikasi Dies Natalis, Alea dan Lia harus memastikan semua materi promosi dan display visual sempurna. Hari ini adalah puncak acara, yang akan dihadiri oleh para alumni sukses, pejabat kampus, dan tentu saja, CEO-CEO ternama yang merupakan lulusan universitas ini. Termasuk salah satu yang paling ditunggu: Alden Dirgantara, CEO dari Dirgantara Group, raksasa teknologi yang kini merajai pasar.

Alden Dirgantara. Nama itu sudah bukan rahasia umum lagi di kalangan mahasiswa Kencana. Lulusan terbaik dengan cum laude, mendirikan perusahaan startup di usia muda yang kini menjadi salah satu unicorn tersukses di Asia. Tampan, karismatik, dan katanya, sedikit dingin. Bagi sebagian mahasiswi, ia adalah role model yang nyaris tak terjangkau. Bagi Alea, ia hanyalah salah satu nama yang tertera di daftar tamu VIP. Ia terlalu sibuk dengan deadline untuk memikirkan wajah tampan seorang CEO.

"Eh, Alea, jangan lupa flashdisk presentasi proposal event kampus selanjutnya! Jangan sampai hilang lagi kayak waktu itu!" suara Faris Ramadhan, teman sekelas sekaligus secret admirer Alea, menyapa dari ambang pintu studio DKV. Faris adalah tipe cowok baik-baik, rapi, dan selalu siap sedia membantu. Sebuah jaket denim yang selalu ia kenakan membuatnya terlihat kasual namun tetap menarik.

Alea menoleh, tersenyum kecil. "Aman, Faris. Sudah aku taruh di tas kecil ini kok. Nanti jam dua belas kita langsung ke Aula Utama, kan?"

"Betul sekali. Jangan sampai telat ya. Aku sudah booking tempat paling strategis di depan supaya proposal kita stand out!" Faris menyeringai, menunjukkan lesung pipit samar di pipinya.

Lia, yang sedang menyemprotkan hairspray pada rambutnya, menyahut, "Ciyee... Faris perhatian banget sama Alea. Jangan-jangan nanti kalau proposalnya sukses, langsung diresmikan jadi pacar nih!"

Wajah Faris sedikit memerah, dan Alea hanya menggelengkan kepala geli. Ia tahu Faris memiliki perasaan padanya, tetapi ia terlalu nyaman dengan status persahabatan mereka. Lagipula, hatinya belum terbuka untuk urusan asmara. Fokusnya saat ini adalah lulus dengan nilai terbaik dan memulai karir impiannya.

"Sudah, jangan godain Faris terus, Li. Ayo cepat, aku mau print beberapa banner lagi ini," ujar Alea, mengalihkan perhatian.

Setelah semua file terkirim dan banner tercetak, Alea dan Lia bergegas menuju Aula Utama. Mereka berdua berjalan menyusuri koridor yang semakin ramai. Aroma bunga, parfum mewah, dan kopi espresso berbaur menjadi satu, menciptakan suasana yang meriah namun juga sedikit menyesakkan. Para alumni berseliweran, tertawa lepas, dan bernostalgia.

Alea berjalan sedikit terburu-buru, matanya fokus pada jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Pukul 11.45. Tinggal 15 menit lagi sebelum presentasi proposal mereka dimulai. Di tangannya, ia memegang flashdisk yang berisi proposal, dan sebuah tumbler kopi dingin yang ia raih dari dispenser di studio.

"Alea, tunggu! Aku mau ambil power bank ketinggalan di loker!" seru Lia tiba-tiba, suaranya sedikit panik. Lia memang selalu ceroboh, dan Alea sudah terbiasa dengan itu.

"Ya ampun, Lia! Jangan lama-lama ya!" Alea menoleh ke belakang, tetapi Lia sudah melesat pergi, menerobos keramaian menuju arah berlawanan. Alea menghela napas. Ia tidak bisa menunggu, presentasi mereka sangat penting.

Ia mempercepat langkahnya, melewati kerumunan orang yang sedang berbincang. Tiba-tiba, dari tikungan koridor, sebuah bayangan tinggi melintas dengan cepat.

BUGH!

Alea menabrak sesuatu, atau lebih tepatnya, seseorang. Tubuhnya yang mungil terhuyung ke belakang. Flashdisk yang ia pegang terlepas dari genggamannya dan meluncur jatuh ke lantai, disusul tumbler kopi yang sukses menumpahkan isinya ke jas hitam pria yang baru saja menabraknya.

"Astaga!" pekik Alea, matanya terbelalak melihat noda cokelat pekat di jas mahal itu. "Maafkan saya! Saya benar-benar tidak melihat Anda!"

Pria itu mendengus kecil. Sebuah hembusan napas yang dingin namun tidak terdengar marah. Ia menatap Alea dengan tatapan tajam, sepasang mata gelap yang memancarkan aura dominan. Wajahnya yang tampan, dengan pahatan rahang yang tegas dan hidung mancung, kini terlihat sedikit terganggu. Rambutnya yang hitam ditata rapi, dan ia mengenakan setelan jas hitam yang sempurna, kecuali noda kopi di bagian dada kiri.

Jantung Alea berdegup kencang. Aura pria ini sangat kuat, memancarkan wibawa dan kekuasaan yang tak bisa diabaikan. Ia merasa sangat kecil di hadapan pria itu.

"Lain kali, perhatikan jalan Anda, Nona," suara bariton itu terdengar dingin, namun masih terdengar profesional. Ia tidak terdengar marah, hanya... kecewa dengan jasnya. Tangannya yang elegan meraih sebuah sapu tangan dari saku jasnya, dan dengan gerakan tenang, ia mulai membersihkan noda kopi.

Alea merasa pipinya memerah karena malu. "Sekali lagi saya minta maaf! Saya benar-benar terburu-buru tadi. Biar saya bantu bersihkan." Ia hendak mengulurkan tangan, tetapi pria itu sedikit menghindar.

"Tidak perlu," katanya datar. "Ini hanya kecelakaan kecil."

"Alden, ada apa ini?" Sebuah suara tenang dan familiar menyapa. Faris.

Faris muncul dari balik kerumunan, matanya terbelalak melihat Alea yang berantakan dan pria berjas yang ternodai kopi. "Alea! Lo kenapa? Dan, Pak Alden?"

Alea menoleh ke Faris dengan panik. "Faris, ini... aku menumpahkan kopi ke jasnya Pak Alden."

Alden Dirgantara. Nama itu bagai lonceng yang berbunyi nyaring di telinga Alea. Jadi, pria di depannya ini adalah... Alden Dirgantara, CEO dari Dirgantara Group? Matilah aku.

Alden menatap Faris sekilas, lalu kembali pada Alea. "Anda kenal Nona ini, Faris?" tanyanya, suaranya sedikit melunak saat berbicara dengan Faris, mungkin karena ia mengenali nama itu dari daftar alumni.

"Iya, Pak. Dia Alea, teman sekelas saya," jawab Faris, menatap Alea dengan prihatin. "Pak Alden, maafkan Alea. Dia memang kadang agak ceroboh kalau sudah panik."

Alden menghela napas. Matanya kembali menatap Alea, kali ini dengan ekspresi yang sedikit lebih lunak, namun masih penuh dominasi. "Tidak apa-apa. Kebetulan saya juga sedikit terburu-buru."

Ia melirik jam tangannya yang mewah. "Presentasi saya sebentar lagi."

Tiba-tiba, mata Alea membelalak. Flashdisk! Ia baru teringat flashdisk berisi proposal mereka! Ia menunduk mencari-cari, dan melihatnya tergeletak di bawah kaki Alden.

"Astaga! Flashdisk saya!" Alea berjongkok dengan cepat, tangannya meraih benda kecil itu. Ia menghela napas lega saat berhasil menemukannya. "Untung tidak rusak," gumamnya pelan.

Alden memperhatikan gerakannya. "Apa itu flashdisk presentasi?"

Alea mengangguk cepat. "Iya, Pak. Presentasi proposal kami. Jam dua belas ini."

Alden hanya mengangguk kecil, tatapannya sulit diartikan. "Semoga sukses," katanya singkat, lalu berbalik dan melanjutkan langkahnya, dengan jaket yang masih ternodai kopi.

Alea hanya bisa menatap punggungnya yang menjauh, merasa campur aduk antara malu, panik, dan sedikit... terkesima. Pria itu memang memancarkan aura yang berbeda. Jauh berbeda dari deskripsi "dingin" yang ia dengar. Ada sesuatu yang lebih dari itu, sesuatu yang membuat jantungnya berdebar tidak karuan.

"Alea! Lo nggak apa-apa? Aduh, kenapa bisa sampai nubruk Pak Alden segala sih?" Faris menghampiri Alea, raut wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang tulus.

"Aku juga nggak tahu, Faris. Tadi dia jalan cepat banget dari tikungan. Mana flashdisk hampir hilang lagi. Aduh, untung nggak apa-apa," Alea menghela napas lega, memegang flashdisk erat.

"Sudah, jangan dipikirin. Yang penting flashdisk aman. Ayo, kita ke aula. Lia juga pasti sudah sampai," kata Faris, menarik lengan Alea dengan lembut.

Mereka berdua bergegas menuju Aula Utama. Di perjalanan, Alea tak henti-hentinya memikirkan insiden tadi. Noda kopi di jas Alden Dirgantara. Tatapan matanya yang tajam namun entah mengapa terasa ada sedikit percikan di sana. Aroma parfum maskulin yang samar namun sangat berkesan.

"Alea! Astaga! Kamu kenapa sih? Kok telat banget? Mana muka kamu merah gitu?" Lia menyambut mereka di depan pintu aula, dengan napas terengah-engah. Power bank sudah di tangannya.

Alea hanya bisa tersenyum kecut. "Nanti aku ceritain. Sekarang kita harus fokus presentasi."

Mereka masuk ke aula yang sudah dipenuhi orang. Faris berhasil menemukan tiga kursi kosong di barisan depan. Saat Alea duduk, matanya tanpa sengaja menyapu panggung. Di sana, di barisan terdepan para tamu VIP, duduklah Alden Dirgantara. Ia sudah tidak mengenakan jas yang ternodai, melainkan sebuah blazer biru gelap yang pas di tubuhnya. Rambutnya tetap tertata rapi, dan wajahnya datar, menatap lurus ke depan.

Alea merasa ada sensasi aneh di perutnya. Seperti kupu-kupu yang bertebangan. Ia berusaha mengabaikannya, tetapi entah mengapa, matanya terus-menerus mencuri pandang ke arah Alden. Pria itu benar-benar memancarkan daya tarik yang tak bisa ia jelaskan. Sebuah daya tarik yang berbahaya, namun juga sangat memikat.

Acara dibuka dengan sambutan-sambutan resmi, kemudian dilanjutkan dengan sesi presentasi dari berbagai project mahasiswa. Giliran Alea dan tim tiba. Jantungnya berdebar kencang saat ia melangkah ke atas panggung bersama Lia dan Faris. Mata Alea sempat bertemu dengan mata Alden lagi. Kali ini, ada senyum tipis di bibir pria itu. Senyum yang sangat samar, hampir tak terlihat, namun cukup untuk membuat Alea merasa... sesuatu.

Presentasi mereka berjalan lancar. Proposal event kampus selanjutnya, yang fokus pada keberlanjutan dan inovasi, disambut baik oleh para hadirin. Lia dengan gayanya yang ceria dan penuh semangat berhasil memukau penonton, sementara Faris memberikan detail-detail teknis yang meyakinkan. Alea, dengan desain visual yang apik dan penjelasan yang terstruktur, berhasil menyampaikan visi mereka dengan jelas.

Setelah presentasi, tepuk tangan riuh terdengar di seluruh aula. Alea menghela napas lega. Tugas pertama hari ini sukses. Ia melirik Alden Dirgantara. Pria itu menatapnya, dan kali ini, senyum tipisnya terlihat lebih jelas. Ada anggukan kecil, seolah memberikan apresiasi.

Sebuah percikan kecil. Sebuah awal yang canggung dan tidak terduga. Alea tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi ia merasa bahwa tabrakan pagi ini bukan hanya sekadar insiden. Ini adalah awal dari sesuatu. Sesuatu yang akan mengubah segalanya.

────୨ৎ────────୨ৎ────────୨ৎ────────୨ৎ───────

Malam itu, setelah hari yang penuh kekacauan dan kupu-kupu aneh di perutnya, Alea tidak bisa tidur. Bayangan noda kopi di jas hitam, tatapan tajam Alden Dirgantara, dan senyum samar yang ia tangkap di Aula Utama, terus berkelebat di benaknya. Ia membolak-balik tubuhnya di kasur, mencoba mengusir sosok CEO misterius itu dari kepalanya. Rasanya aneh, bagaimana sebuah insiden kecil bisa begitu menguasai pikirannya. Ia tahu ini tidak sehat, tetapi rasa penasaran itu terlalu kuat.

"Dia itu siapa sebenarnya sih?" gumam Alea, menyerah pada rasa kantuk yang tak kunjung datang.

Ia akhirnya mengambil laptopnya, membuka browser, dan mengetik nama yang terus-menerus terngiang di benaknya, Alden Dirgantara.

Hasil pencarian langsung membanjiri layar. Foto-foto Alden dari berbagai acara penghargaan, wawancara majalah bisnis, dan artikel-artikel tentang inovasi teknologi. Ia membaca semua itu dengan saksama, menelusuri setiap tautan yang muncul.

CEO Termuda yang Sukses di Asia.

Alden Dirgantara : Si Jenius di Balik Dirgantara Group, dari Startup Kampus Hingga Unicorn Raksasa.

Perjalanan Karir Alden Dari Nol Hingga Miliarder di Usia 28 Tahun.

Semua artikel itu melukiskan sosok yang sama, pria ambisius, brilian, visioner, dan nyaris sempurna di mata publik. Media memujinya setinggi langit, menggambarkan dirinya sebagai self-made man yang berhasil mengubah dunia teknologi. Namun, tidak ada satu pun yang menyinggung tentang kehidupan pribadinya. Semua yang ia baca hanyalah tentang kesuksesan, strategi bisnis, investasi, dan proyek-proyek inovatif. Alden tampak seperti robot yang diprogram untuk bekerja, tanpa sisi lain yang humanis.

"Ini orang beneran hidup kan? Bukan robot?" Alea menggelengkan kepala, geli dengan pemikirannya sendiri.

Ia lalu mencoba mencari nama Alden di media sosial. Hasilnya nihil. Akun-akun yang muncul hanyalah fanpage atau akun-akun palsu yang mengatasnamakannya. Pria ini seperti hantu di dunia digital, meninggalkan jejak profesionalnya yang gemilang, tetapi menyembunyikan sisi pribadinya dengan rapat, nyaris tanpa cela.

Saat Alea sedang asyik "menguntit" sang CEO, sebuah notifikasi chat dari Lia muncul.

Lia: Alea, kenapa belum tidur? Tugas sudah selesai? Jangan sampai lo teler pas presentasi besok.

Alea: Tugas sudah, Li. Cuma... aku lagi kepo aja.

Lia: Kepo? Kepo siapa? Pacar baru? Ciyee… cerita dong!

Alea ragu sejenak. Ia tahu Lia pasti akan menggodanya habis-habisan, tapi rasa penasarannya lebih besar.

Alea: Bukan. Kepo tentang si bos...

Lia: Si bos? Siapa? Pak Seno? Jangan bilang lo baper sama Pak Seno, Al! Hahahaha!

Alea: Bukan, Lia! Astaga! Pak Alden Dirgantara. Tadi aku nabrak dia.

Lia: APA?! LO NABRAK PAK ALDEN?! OMG! Cerita sekarang, detail! Jangan sampai ada yang kelewat! Aku nggak percaya lo bisa seberani itu, Alea!

Alea pun menceritakan insiden tabrakan di koridor, noda kopi di jas Alden, hingga pertemuan singkat mereka di Aula Utama. Lia menyimak dengan deretan emoji kaget dan tawa.

Lia: Ya ampun, Alea! Hidup lo kayak di drama Korea! Tapi serius, lo baru tahu kalau Pak Alden itu misterius? Itu mah bukan rahasia umum di kampus kita.

Alea: Maksudnya? Aku cari di internet, nggak ada info pribadi sama sekali. Nggak ada medsos.

Lia: Oh, itu mah memang dia sengaja nutupin. Katanya sih, dia itu workaholic garis keras. Nggak punya waktu buat hal-hal personal kayak medsos. Semua yang dia lakukan itu cuma tentang bisnis. Makanya, dia dijuluki The Invisible CEO di kalangan tertentu. Jarang banget muncul di publik kecuali untuk urusan penting.

Alea: Jadi dia memang misterius from head to toe ya?

Lia: Kurang lebih gitu. Tapi, ada satu info penting nih yang mungkin bikin lo nggak stalking dia lagi.

Alea: Apa?

Lia: Dia sudah punya tunangan, bestie. Sarah Wijaya. Anak konglomerat juga. Cantiknya minta ampun, socialite hits yang sering muncul di majalah. Dulu sempat heboh kok kabar tunangannya.

Alea terdiam sejenak. Hati kecilnya terasa sedikit mencelos. Perasaan aneh itu kembali muncul, dan kali ini terasa lebih menusuk. Ia tidak tahu mengapa ia harus merasa seperti ini. Ia bahkan tidak mengenal Alden secara pribadi. Mungkin ia hanya terkesima dengan aura kuat pria itu, sama seperti semua orang yang mengagumi kesuksesannya.

Alea: Oh, iya ya. Aku lupa. Oke deh, aku tidur sekarang. Makasih infonya, Lia.

Lia: Sama-sama, bestie! Jangan baper ya! Mimpi indah sama Pak Alden yang workaholic! Hahahaha!

Alea hanya bisa tersenyum kecut membaca balasan Lia. Ia menutup laptop, dan mencoba memejamkan mata. Namun, sosok Alden yang menatapnya dengan senyum tipis, yang tiba-tiba terlintas, terus terngiang. Ia masih penasaran. Ada sesuatu yang lebih dari sosok dingin dan profesional yang digambarkan di media. Sesuatu yang ia rasakan saat mata mereka bertemu. Sesuatu yang ia rasakan saat ia memegang flashdisk yang tergeletak di bawah kaki pria itu.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Jatuh Cinta Dahulu, Magang Kemudian   Bab 7 Keputusan

    Setelah badai berlalu, keheningan di kantor terasa begitu berat. Bima dan Rina tidak lagi terlihat, seolah menghilang ditelan bumi. Sarah pun tidak lagi mengganggu. Namun, Alea dan Alden tidak bisa kembali ke hubungan profesional mereka yang dulu. Ciuman di lift, pengakuan Alden, dan janji untuk melindunginya telah meruntuhkan semua batasan. Suatu sore, Alden memanggil Alea ke ruangannya. Alea masuk, jantungnya berdebar. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Apakah mereka akan melanjutkan hubungan mereka? Apakah mereka akan kembali ke hubungan profesional mereka? Alden menatap Alea dengan tatapan yang sulit diartikan. "Alea, saya sudah memikirkan ini. Saya rasa kita butuh jeda." Hati Alea serasa hancur. Ia tidak tahu apa maksud Alden. Apakah ia akan memecatnya? Apakah ia akan mengakhiri hubungan mereka? "Maksud Anda?" tanya Alea, suaranya serak. "Saya rasa kita berdua butuh waktu untuk merenung. Ki

  • Jatuh Cinta Dahulu, Magang Kemudian   Bab 6 Kenyataan

    Ciuman itu... mengubah segalanya. Itu adalah pengakuan yang tidak terucap, sebuah janji yang mengikat, dan sebuah kenyataan yang memabukkan. Alea tidak bisa lagi lari dari perasaannya, begitu pun Alden. Batasan profesionalisme yang selama ini mereka jaga, runtuh dalam sekejap. Pagi itu, Alden mengantarnya pulang. Di dalam mobil, keheningan yang nyaman menyelimuti mereka. Tangan Alden menggenggam tangan Alea, kehangatan itu mengalir hingga ke jantungnya. "Aku akan melindungimu, Alea," bisik Alden, suaranya dalam dan meyakinkan. "Aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakitimu." Alea hanya bisa tersenyum. Ia merasa bahwa ia tidak sendirian. Ia merasa bahwa ia memiliki Alden. Namun, dunia tidak hanya berputar di antara mereka berdua. Keesokan harinya, saat Alea tiba di kantor, ia disambut dengan tatapan sinis dan bisik-bisik yang semakin keras. Gosip tentang kedekatannya dengan Alden semakin me

  • Jatuh Cinta Dahulu, Magang Kemudian   Bab 5 Cemburu

    Pagi hari setelah malam lembur yang mengubah segalanya, Alea datang ke kantor dengan senyum yang tidak bisa ia sembunyikan. Di lehernya, liontin kaca pembesar pemberian Alden melingkar indah. Ia merasa bahwa ia tidak lagi hanya seorang mahasiswi magang, melainkan seseorang yang spesial di mata Alden. Kehangatan dan perhatian yang Alden tunjukkan tadi malam membuatnya merasa seperti ia adalah satu-satunya orang di dunia. Ia masuk ke ruangannya, hatinya berdebar-debar. Dita Permata sudah ada di mejanya, tatapannya datar seperti biasa. Dita menyerahkan sebuah file tebal pada Alea. "Ini proyek yang harus Anda selesaikan, Alea," katanya. "Pak Alden ingin ini selesai sebelum makan siang." Alea terkejut. "Tapi, Bu Dita, ini terlalu banyak untuk diselesaikan dalam waktu sesingkat itu." "Itu urusan Anda," jawab Dita. "Pak Alden tidak suka orang yang suka mengeluh. Dia suka orang yang bisa menyelesaikan masalah." Alea menatap Dita, l

  • Jatuh Cinta Dahulu, Magang Kemudian   Bab 4 Munculnya Desas Desus

    Enam minggu berlalu sejak Alea resmi magang di Dirgantara Group. Kehidupannya kini terbagi menjadi dua dunia yang sangat berbeda, dunia kampus yang penuh tawa dan kebebasan, serta dunia korporat yang serba cepat dan penuh tekanan. Ia mulai terbiasa dengan jadwal yang padat, meeting yang panjang, dan jargon-jargon bisnis yang sebelumnya terasa asing. Namun, yang paling mengejutkan adalah interaksinya dengan Alden. Jarak antara mereka, secara fisik maupun profesional, seolah menguap. Alden bukan lagi sosok CEO yang dingin dan tak terjamah. Ia adalah mentor yang sabar, membimbing Alea dengan teliti, dan bahkan terkadang terlibat dalam diskusi santai tentang hal-hal di luar pekerjaan. Kopi pagi di mejanya selalu diikuti oleh obrolan ringan, dan di sela-sela proyek, Alden sering melontarkan pertanyaan pribadi tentang kuliah, hobi, dan impian Alea. Suatu sore, saat Alea sedang menyelesaikan revisi desain, Alden memanggilnya ke ruangan. "Saya sudah

  • Jatuh Cinta Dahulu, Magang Kemudian   Bab 3 Perjanjian Rahasia

    Pagi itu, Alea tiba di kantor dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, ia merasa lega karena Alden menyukai desainnya yang dianggap "kekanak-kanakan" oleh Rina. Di sisi lain, ia semakin penasaran. Mengapa Alden begitu terkesan dengan sesuatu yang begitu sederhana? Ia merasa ada sesuatu yang tersembunyi di balik semua ini. Ketika ia masuk ke ruangannya, sebuah amplop putih tebal sudah tergeletak di mejanya. Di atasnya, tertera nama Alea Kirana dengan tulisan tangan yang rapi dan elegan. Amplop itu terasa berat. Alea mengambilnya dengan hati-hati dan membukanya. Di dalamnya, ada sebuah dokumen dengan logo Dirgantara Group di bagian atas. Ini adalah kontrak magangnya. Alea mulai membaca. Gaji yang ditawarkan jauh di atas rata-rata magang lainnya. Selain itu, ada asuransi kesehatan, tunjangan makan, dan beberapa tunjangan lainnya yang membuat Alea tercengang. Ia merasa bahwa ini adalah tawaran yang terlalu bagus untuk menjadi kenyataan. Namun, ketika ia membaca lebih lanjut, matanya b

  • Jatuh Cinta Dahulu, Magang Kemudian   Bab 2 Tawaran Magang

    Hari-hari setelah insiden di Aula Utama berlalu bagai angin. Alea kembali disibukkan dengan kuliah, proyek akhir, dan persiapan skripsi. Namun, ada satu hal yang berbeda. Di sela-sela kesibukannya, pikirannya sering kali melayang ke sosok Alden Dirgantara dan percikan aneh yang ia rasakan. Ia berusaha keras untuk mengabaikannya, meyakinkan diri bahwa semua itu hanyalah bagian dari kegugupan dan kekaguman sesaat. Lagipula, apa mungkin seorang CEO sukses akan mengingat seorang mahasiswi yang menumpahkan kopi padanya? Suatu sore, saat Alea sedang asyik mengerjakan desain di kafe kampus, ponselnya berdering. Nomor tak dikenal. Ia mengangkatnya dengan ragu. "Halo, dengan Alea Kirana?" suara tegas seorang wanita menyapa. "Iya, saya sendiri. Maaf, ini dengan siapa?" "Saya Dita Permata, sekretaris pribadi Bapak Alden Dirgantara dari Dirgantara Group," jawabnya. "Bapak Alden mengundang Anda untuk wawancara magang di kantor kami, besok pukul sembilan pagi." Jantung Alea serasa berhent

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status