Share

Bab 8

Reza menyapukan pandangannya ke wajah Sonia yang mulus dan polos. Kulit putih perempuan itu terlihat sedikit merah dan membuat perempuan itu terlihat sangat bocah sekali, tidak seperti seorang mahasiswi melainkan anak SMA.

Mungkin karena sifatnya sebagai seseorang yang lebih tua, Reza berusaha menahan emosinya dan mengusir Max. Setelah itu dia berkata dengan nada datar, “Sekarang sudah boleh turun.”

Sonia menoleh ke belakang sejenak dan setelah memastikan tidak ada Max lagi di sana, dia melompat turun dengan ekspresi pura-pura datar. Perempuan itu langsung berdiri di belakang tubuh Reza dan berusaha menghindari mata anjing tersebut yang sedari tadi melihat ke arahnya. Lelaki itu tertawa kecil kemudian melangkah mendekati Max.

Dia memandangi punggung lelaki itu dan baru menyadari jaraknya tadi sangat dekat sekali dengan Reza. Saking dekatnya bahkan dia bisa menghirup aroma lelaki itu yang seperti rintikan hujan yang membentuk genangan air di pegunungan bercampur dengan aroma kayu. Begitu dingin dan juga menyegarkan di waktu yang bersamaan.

Lelaki itu berjalan dan berjongkok di samping Max sambil menepuk leher anjing tersebut. Dengan suara pelan dia berkata, “Max biasanya nggak pernah menyerang orang lain.”

Ucapan lelaki itu terdengar seperti mengandung sebuah arti yang berbeda bagi Sonia. Apa maksud Reza? Maksudnya dia tidak seperti orang baik?

Sonia menatap anjing itu dan menyadari ternyata Max adalah anjing Herder yang terlihat begitu besar dan mengerikan sekali. Kepalanya menunduk dan mengikuti sikap datar lelaki itu sambil berkata, “Ucapan yang begitu familiar. Di berita ada banyak yang memberitakan bahwa di jalanan banyak yang terluka karena digigit anjing.”

Reza terdiam dan melayangkan tatapannya ke arah perempuan itu sambil berkata, “Umur kecil tapi lidah tajam.”

Baru saja Sonia hendak membalasnya, tetapi wajah cerah Tasya terlihat muncul dari arah tangga dan langsung berlari ke arahnya sambil berseru, “Sonia, kamu sudah datang!”

Perempuan dengan dandanan tipis itu menyapa Sonia dengan semangat. “Papa mama aku nggak ada di rumah dan biasanya di sini juga nggak banyak orang. Ini om aku, kamu sudah ketemu kemarin. Kamu ikut aku panggil Om Reza saja.”

Sonia melirik Reza yang terlihat membelalakkan matanya mendengar ucapan Tasya, tetapi dia tidak berkata apa pun. Lelaki itu seperti masih belum bisa melupakan masalah yang tadi dan berkata dengan suara datar, "Ketemu orang tua nggak sapa? Hal dasar seperti ini saja nggak ngerti, aku curiga kamu bisa jadi guru les atau nggak.”

Tasya sendiri tidak tahu kenapa pamannya bersikap seperti ini pada Sonia. Dia melayangkan delikan tajam pada lelaki itu tetapi diabaikan oleh Reza. Sonia menarik napas dalam-dalam dan berkata dengan penuh penekanan, “Om Reza!”

Reza mengangguk puas kemudian membawa Max untuk duduk di sofa. Melihat ekspresi angkuh Reza membuat Sonia percaya kalau lelaki itu pernah menjadi seorang pengganggu di Kota Jembara.

“Tandy ada di lantai atas, aku bawa kamu buat ketemu dia,” ujar Tasya dengan senyum lebar sambil membawa Sonia naik ke lantai dua.

Sonia menaiki tangga dengan mata yang masih mengarah ke lantai bawah. Lelaki itu terlihat sedang mengelus kepala anjing tersebut dengan lembut dan keduanya terlihat sangat akur. Mendadak rasa sesak menyerang hatinya karena iba dengan Bibo yang tidak pernah melupakan sosok Reza.

Anjing tersebut sering sekali merangkak di depan ruang baca milik lelaki itu dan mendengar suara yang berasal dari dalam sana. Dia mengira majikannya berada di dalam ruang baca tersebut. Sedangkan Reza justru sudah melupakannya dan memiliki peliharaan yang baru lagi.

“Sonia, maaf ya. Pertama kali datang saja sudah membuatmu begitu sulit. Kamu nggak mengerti dengan sikap Om aku, dia sangat defensif sekali. Hari ini kamu sudah memanggilnya ‘Om’, lain kali kalau kamu butuh bantuan dia, dia pasti akan membantumu,” kata Tasya tiba-tiba.

Sonia berkata dalam hati bahwa dia bersumpah tidak akan pernah meminta bantuan lelaki itu. Meski begitu, dia tetap menyunggingkan seulas senyum dan berkata, “Terima kasih, Tasya.”

“Jangan sungkan. Meski kita di kampus nggak saling kenal, aku selalu kagum sama kamu dan selalu ingin menjadi teman kamu.”

“Kita memang temenan,” ujar Sonia sambil tersenyum kecil.

Senyum Tasya terlihat sangat manis, dia mengulurkan tangannya dan menggenggam tangan Sonia. Tubuhnya menegang sesaat, tetapi dia tidak menghindar sama sekali. Mereka berjalan ke depan pintu kamar Tandy dan mengetuk pintu tersebut.

“Tandy, Kakak masuk!”

Tidak ada jawaban dari dalam sana. Tasya membuka pintu dan masuk ke dalam tanpa menunggu persetujuan dari sang pemilik kamar. Kamar tersebut terdapat tempat sofa, dengan sebelah kanan merupakan kamar mandi dan sebelah kiri adalah tempat tidur.

Semua dekorasi yang ada di dalam kamar tersebut merupakan hal-hal yang disukai oleh anak lelaki. Terdapat komik, ruang angkasa, senjata mainan dan yang lainnya. Akan tetapi kamar tersebut sangat rapi dan tidak berantakan.

Seorang anak lelaki berusia sepuluh tahun tengah duduk di sofa sambil bermain permainan di tab miliknya. Kepalanya tidak terangkat sama sekali ketika mendengar ada orang yang masuk ke dalam kamar.

“Tandy, ini guru les yang baru. Dia teman kampusku, jadi kamu nggak boleh ganggu dia!” ancam Tasya dengan raut wajah yang galak.

Bocah itu baru mengangkat wajahnya dan melihatnya sebentar sambil membulatkan mulutnya merespons dan lanjut bermain lagi. Tasya menghela napas menahan emosi karena takut Sonia akan mundur sebelum memulai.

Dengan cepat perempuan itu berkata, “Adikku sedikit susah dihadapi, kamu jangan menyerah dulu ya.”

“Tenang saja,” ujar Sonia memberikan tatapan menenangkan pada Tasya.

Karena dia sudah menyetujuinya, maka dia akan melakukannya dengan sungguh-sungguh. Meski Reza sangat menyebalkan, setidaknya Tasya sangat baik pada dirinya. Mereka berdua keluar dari dalam kamar Tandy dan menyimpan nomor ponsel Reza di ponsel Sonia sambil berbisik,

“Aku ada janji sama orang dan harus pergi sekarang juga. Kamu coba mendekatkan diri dengan Tandy dulu. Kalau dia ganggu kamu, kamu langsung cari Om aku!”

Menurut Sonia, meski nantinya Tandy memukul dan mengusirnya keluar dari rumah ini, Reza juga tidak akan memedulikannya. Setelah Tasya pergi, Reza mengelilingi kamar dan berhenti di depan sebuah meja belajar.

Buku tugas milik bocah itu masih terbuka dan belum ada satu huruf pun yang tertera di sana. Dia berjalan kembali ke sofa dan duduk di samping Tandy sambil bertanya, “Kamu nggak buat tugas dan berusaha keras buat keributan. Tujuannya untuk menarik perhatian papa mama kamu, ya?”

Papa mamanya baru saja pergi, guru les bocah ini langsung mengajukan berhenti kerja. Tandy sengaja membuat guru les sebelumnya marah.

Gerakan tangan Tandy yang tengah bermain di atas tab tiba-tiba berhenti. Matanya melirik ke arah Sonia dengan sorot mata kesal sambil berkata, “Nggak usah ikut campur! Kalau nggak, aku akan membuatmu nggak beta!”

Sonia tidak gentar dan tetap melanjutkan ucapannya, “Kamu ingin menarik perhatian orang tua kamu dengan cara bersikap berontak. Sikap kamu ini benar-benar kekanak-kanakan sekali.”

Tandy menggenggam tab nya dengan erat, wajah bocah tersebut tampak kaku tanpa ada satu kata pun yang terucap.

Kepala perempuan itu melongok ke arah layar dan berkata lagi, “Lagi main? Kamu kerjakan tugasmu dengan baik, setelah itu aku temani kamu bermain.”

Bocah itu tertawa miring dan berceletuk, “Tadi kamu baru menertawakan aku dan bilang aku kekanak-kanakan. Sekarang kamu membujukku seperti seorang anak kecil. Orang dewasa seperti kalian ini semuanya bermuka dua, ya?”

Kening Sonia berkerut dan berkata, “Siapa yang dewasa? Aku juga anak kecil!”

Tandy melihat wajah serius di depannya ini dan langsung menyemburkan tawanya. Melihat itu, Sonia hanya bisa tersenyum paksa dan mengeluarkan ponselnya sambil berkata, “Sudahlah, aku nggak ada waktu. Berhubung aku sudah datang, aku akan pergi setelah main denganmu.”

Bocah lelaki itu memandangnya dengan penuh curiga sedangkan Sonia sudah sibuk membuka aplikasi permainan di ponselnya. Wajahnya menunduk ke arah layar ponsel sambil berkata, “Aku jujur! Aku memang nggak mau mengajarmu. Karena kakakmu mengasihaniku, makanya dia memintaku datang.”

“Kasihan kenapa?” tanya Tandy.

Perempuan itu menahan tawa dalam hati dan dengan suara lirih dia berkata, “Sejak kecil aku sudah nggak punya orang tua. Kakek yang merawatku dan menyekolahkanku dengan susah payah. Beberapa hari yang lalu dia sakit, aku mau cari uang buat membawanya ke dokter.”

Dia sengaja mengeluarkan isakan kecil dan membuat lipatan di kening Tandy semakin dalam. Sesaat kemudian, bocah kecil itu meletakkan tab nya dan berkata, “Kamu jadi guru les aku demi mencari uang untuk mengobati kakekmu?”

Sonia melonjak girang dalam hati. Ternyata tebakannya benar! Kedua orang tua Tandy jarang menemaninya sehingga hubungan bocah ini jauh lebih dekat dengan kakek dan neneknya. Mendengar kakek orang lain sedang sakit membuat anak itu ikut merasa iba.

Kedua bola matanya berkaca-kaca dan dengan sengaja dia membuang wajahnya seolah-olah ingin menutupi kesedihannya. Sonia dengan jujur berkata, “Benar, jadi guru les di rumah kamu jauh lebih banyak mendapatkan uang dibandingkan di tempat orang lain. Dengan begitu aku bisa membawa kakek ke dokter secepatnya.”

Bola mata Tandy memutar dan dengan wajah terpaksa dia berkata, “Ok, aku biarkan kamu di sini. Tapi ini semua karena kakek kamu!”

Sonia ingin sekali terbahak saat ini juga. Bahkan bocah ini tidak tahu kakeknya itu siapa, atas dasar apa dia berkata seperti itu? Akan tetapi perempuan itu berusaha tidak mengubah ekspresinya dan dengan berat hati berkata,

“Nggak ada gunanya aku di sini, kamu juga harus kerja sama denganku dengan menyelesaikan tugasmu secepatnya. Kalau aku nggak ada gunanya sama sekali menjadi guru les, Om kamu juga bakalan mengusirku.”

“Ribet sekali!” gumam Tandy sambil meletakkan tab-nya di meja.

“Cepat selesaikan! Jangan lupa juga dengan ucapanmu tadi! Setelah selesai, temani aku main dulu!”

“Yes, Sir!” sahut Sonia sambil tertawa dan bangkit berdiri.

Setelah satu jam berada di lantai satu, Reza naik dan melewati kamar milik Tandy. Tiba-tiba dia ingin melihat apakah Sonia sanggup mengatur bocah lelaki itu. Pintu kamar tersebut sedikit terbuka sehingga Reza bisa mendengar suara Sonia yang tengah berteriak di dalam sana.

“Aku sudah mau mati!”

“Kamu di mana? Cepat tolong aku!”

Suara marah Tandy juga ikut terdengar, “Dasar cupu! Kenapa ditembak?! Itu aku!”

“Hah?”

Reza mendorong pintu bertepatan dengan Sonia yang baru saja mengangkat kepalanya. Ekspresi perempuan itu tampak tercengang ketika melihat lelaki yang ada di depan pintu.

“Kalian lagi ngapain?!” Wajah lelaki itu tampak menggelap. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status