"Jadi, kau belum memutuskan untuk menetap di sini?" tanya Elise pada Nathan yang saat itu duduk berhadapan dengannya.
Jonathan Nilsson mengangguk sambil membenarkan posisi kacamatanya. "Aku masih memikirkannya."
Elise mengangguk pelan sambil menyesap kopinya.
Pria yang kerap disapanya Nathan itu bersedia untuk langsung bekerja. Nathan yang juga merupakan seorang dokter hewan sangat terampil dan ahli dalam menangani pasien yang datang hari itu. Kalau diingat-ingat kembali saat mereka masih kuliah, Nathan memang jauh lebih pandai daripada Elise. Tapi saat ini, pria itu justru tidak keberatan untuk menjadi asistennya.
"Jadi..." Nathan memecah keheningan. "Kau sudah menikah?" tanyanya sambil melirik cincin di jari manis Elise.
Tanpa sadar Elise mengikuti arah pandangan Nathan, ke arah cincin berlian yang tersemat di jarinya. Bagi Elise, cincin pernikahannya adalah benda paling indah yang pernah diberikan Theo untuknya. Berliannya tampak bersinar gemerlapan saat terpantul cahaya lampu ruangan, sungguh mencuri perhatian.
Elise mengangguk sambil tersenyum. "Ya, tiga tahun lalu."
"Oh," gumam Nathan dengan seulas senyum kecil. "Selamat atas pernikahanmu."
"Terima kasih." sahut Elise lembut.
Suasana berubah hening selama beberapa saat. Sejak tadi Elise belum sempat menanyakan apa pun tentang keberadaan Nathan selama ini. Jika dihitung kembali, waktu sudah berlalu tujuh tahun sejak terakhir kali mereka bertemu.
Nathan dan Elise sudah berteman sejak kecil. Rumah keluarga mereka berdekatan, hanya terpisah oleh beberapa blok rumah. Mereka juga bersekolah dan kuliah di tempat yang sama. Nathan yang terkenal sangat pintar menjadi tempat bagi Elise untuk belajar. Elise punya prestasi yang baik dulu. Namun prestasi Nathan ada di atasnya lagi.
Sayangnya setelah mereka lulus kuliah, pria itu menghilang begitu saja seperti ditelan bumi. Tidak ada yang bisa menghubunginya, termasuk teman-teman mereka yang lain.
Entah apa yang telah terjadi padanya selama ini. Elise tentu sangat penasaran. Tapi sebaiknya ia mencari waktu yang tepat untuk menanyakan hal itu pada Nathan.
"Lalu di mana suamimu sekarang?" Tiba-tiba suara Nathan menembus masuk dan membuyarkan pikirannya.
"Di rumah sakit. Dia juga seorang dokter." sahut Elise. "Dokter jantung."
"Wah," Alis Nathan terangkat. "Pasangan dokter." tambahnya sambil tergelak ringan.
Elise tersenyum. Sebelum Elise sempat menanyakan tentang kehidupan pria itu, tiba-tiba matanya terhenti pada layar CCTV yang mengarah ke pekarangan. Theo sudah pulang.
"Oh, itu dia." ujar Elise.
Nathan menoleh ke arah yang sama dengan Elise. "Suamimu?"
Elise mengangguk. "Aku akan memperkenalkan..." Ucapan Elise langsung terhenti saat melihat seorang wanita turun dari mobil Theo. Ia berhenti bernafas selama beberapa detik.
"Dan wanita itu?" tanya Nathan polos.
Elise tidak menjawab. Ia memperhatikan kedua sosok itu berjalan masuk ke dalam rumah dengan nafas sesak. Siapa wanita itu?
Tak lama kemudian, pintu ruangan Elise terbuka dan sosok Theo muncul di ambang pintu. Elise dan Nathan berdiri bersamaan. Tatapan mata Theo yang tajam langsung tertuju ke arah Nathan.
"Siapa dia?" tanya Theo blak-blakan dengan suara beratnya.
Sebelum Elise menjawab, Nathan sudah lebih dulu mengulurkan tangannya ke arah Theo. "Perkenalkan, aku Jonathan Nilsson."
"Asisten baruku di klinik." tambah Elise buru-buru. Ia tidak memperjelas bahwa Nathan adalah temannya. Lebih tepatnya, teman masa kecilnya.
Theo menatap Nathan sejenak dengan tatapan menyelidik, sebelum akhirnya ia mengulurkan tangannya. "Theodore Blake." gumamnya.
Elise baru saja akan bertanya tentang wanita yang dilihatnya bersama Theo ketika suara seorang wanita yang terdengar sayup-sayup menyela di antara mereka.
"Wah, kliniknya sangat bagus! Seharusnya aku membawa kucingku kemari." Suara ceria wanita itu mengisi sepanjang lorong klinik. Ketukan sepatunya terdengar semakin jelas. "Dia pasti akan..."
Jantungnya berdegup keras. Tenggorokannya sakit, seolah ada sesuatu yang mencekatnya. Sosok wanita yang berdiri di belakang Theo nyaris membuat tubuhnya bergetar. Elise berusaha menahan diri. Entah kenapa tiba-tiba perasaannya berubah tak enak.
Theo memiringkan badan dan membiarkan wanita di belakangnya itu untuk masuk. Sekarang, Elise bisa melihat dengan jelas sosok yang dilihatnya turun dari mobil suaminya dari layar CCTV tadi.
Wanita itu berparas cantik. Rambut pirang panjang bergelombang yang dimilikinya membuatnya terlihat memukau. Ditambah dengan tubuhnya yang ramping dan penampilan modisnya yang membuatnya terlihat bak seorang model. Wanita itu begitu berbeda dengan Elise yang tubuhnya sedikit lebih pendek dan lebih senang berpenampilan kasual dengan riasan tipis.
Elise beralih menatap Theo. "W-wanita ini..." gumam Elise dengan suara pelan dan bergetar.
Sebelum Theo sempat menjawab, wanita itu sudah lebih dulu menyela. Ia mengulurkan tangannya ke arah Elise dengan seulas senyum lebar. "Hai, perkenalkan. Aku Cellina Rose."
Elise tak langsung menyambut uluran tangan wanita itu. Ia menatap wanita itu sejenak, lalu kembali menatap Theo. "Siapa wanita ini?" ulang Elise dengan suara yang lebih jelas.
Dan lagi-lagi wanita itu menggantikan Theo untuk menjawab pertanyaan Elise. Ia tidak terlihat terganggu dengan tatapan Elise yang mulai risih.
"Aku cinta pertamanya."
malam sebelumnya..."Mertuanya menghajarnya habis-habisan." ujar Kelly sambil tertawa penuh kemenangan, lalu meneguk wine-nya.Nathan yang mendengar cerita Kelly mendengus. "Jujur saja aku benci mendengar ceritamu. Kau menjebak Elise!"Malam itu, sebelum pukul sembilan, Kelly tiba-tiba menelepon dan mengundang Nathan ke apartemennya. Sebenarnya Nathan tak berniat datang. Namun kata-kata yang diucapkan Kelly membuatnya penasaran dan berakhir di apartemen mewah milik wanita itu."Aku punya rencana bagus agar kau bisa mendekati Elise."Dan sekarang, Nathan berada di apartemen Kelly, menikmati wine sambil mendengarkan wanita itu menceritakan apa yang sudah dilakukannya tadi di pesta ulang tahun kakek Theo."Kau mungkin benci mendengarnya. Tapi apa tak terpikir olehmu? Aku baru saja membantumu. Hubungan Elise dan Theo akan merenggang malam ini. Mereka akan bertengkar hebat!"Nathan meletakkan sebelah tangan di lengan sofa. "Katakan padaku, apa yang bisa kulakukan setelah ini.""Tentu saja
Raut heran terlihat jelas di mata Bibi Bernadeth saat melihat Theo pagi-pagi sekali sudah berada di meja makan. Tapi ia tak mengutarakannya. Dan Theo yang juga menyadari hal ini pun berpura-pura seolah tak menyadari apa pun.Theo sengaja bangun lebih awal pagi ini. Ia tahu betul kebiasaan Elise yang selalu bangun lebih awal untuk menghindari bertemu dengannya. Pagi ini, Theo tak akan membiarkan hal itu terjadi. Jadi, ia bisa menyelesaikan apa yang perlu diselesaikannya dengan Elise sebelum istrinya itu pergi ke klinik."Nyonya Elise sepertinya kelelahan setelah pesta semalam," ujar Bibi Bernadeth memancing.Theo hanya mengangguk. Tak ada yang tahu bahwa semalam ia tidur di kamar tamu. "Buatkan aku kopi." perintahnya, dan Bibi Bernadeth dengan sigap langsung beringsut ke dapur. Kurang dari lima menit wanita tua itu kembali dan membawakannya secangkir kopi.Sebenarnya Theo bukan orang yang suka dengan kopi. Jarang sekali ia minum cairan hitam itu. Tapi karena malam ini ia kurang tidur,
Tepat lima menit sebelum jam tangannya menunjukkan pukul satu malam, Theo tiba di rumahnya. Dua buah mobil yang berdiri di pekarangan rumahnya membuatnya keningnya berkerut. Ia tidak pernah melihat kedua mobil ini sebelumnya.Theo segera turun dari mobil, dengan langkah lebar langsung berjalan masuk ke dalam rumah. Nafasnya yang semula menderu perlahan mereda saat melihat 'para tamu' yang ada sedang duduk di sofa, meskipun tidak di waktu yang seharusnya. Kedatangannya disambut oleh empat pasang mata yang berada di ruang tamunya."Apa yang kalian lakukan di sini?" tanya Theo tanpa berbasa-basi—yang memang bukan keahliannya. Ia menatap kedua lelaki tak dikenal yang ada di sana, lalu beralih menatap kedua perempuan yang dikenalinya. Mia dan Cellina. "Di mana Elise?" tanyanya lagi."Theo," Mia-lah yang pertama kali membuka suara di tengah keheningan malam itu. "Kau tak pernah cerita apa pun tentang cinta pertamamu."Alis Theo langsung terangkat mendengar ucapan adiknya yang tak kalah cepla
"Sial! Kenapa aku harus bertemu dengannya di sini?" gerutu Cellina dengan wajah memberengut.Setelah pertemuannya dengan Kelly Dempsey, ia dan Liam akhirnya memutuskan untuk keluar mencari udara segar. Mereka berjalan-jalan di taman dan berakhir duduk di sebuah bangku kayu. Taman itu dulunya adalah tempat di mana ia dan kedua sepupunya, Theo dan Mia, bermain bersama-sama. Malam itu, suasana taman di belakang mansion sepi, berbeda dengan suasana di dalam mansion yang begitu meriah. Rasanya mereka tak salah memilih tempat itu untuk mencari ketenangan sejenak.Liam yang duduk di sampingnya menepuk-nepuk punggung tangannya dengan lembut. "Jadi kalian memang bukan teman baik?" tanyanya polos."Jelas tidak!" sahut Cellina cepat. Ia benar-benar tak sudi disebut sebagai teman baik Kelly Dempsey.Liam terkekeh pelan. Sikap Cellina barusan sangat lucu baginya. Ia belum pernah melihat sisi Cellina yang seperti ini.Cellina yang melihat Liam tertawa, seketika memberengut. "Kenapa kau malah tertaw
Cellina Rose sesekali melirik ponselnya, berharap jika Mia atau Elise akan segera membalas pesannya. Ia datang terlambat ke acara ulang tahun kakeknya karena harus menemui seorang klien sore ini. Dan saat tiba di mansion, ia sama sekali tidak melihat Mia, maupun Elise. Ia sudah mencoba menghubungi keduanya. Namun tak satu pun dari mereka yang menjawab."Kau menunggu seseorang?" tanya lelaki yang saat itu bersamanya.Cellina tersenyum kecil. "Ya, aku sedang mencari sepupuku. Dia belum membalas pesanku," sahutnya. "Maaf kalau ini membuatmu terganggu, Liam."Liam Milner, putra salah seorang rekan bisnis ayah Cellina yang cukup akrab dengannya. Kedua orang itu saling menyukai. Namun mereka belum meresmikan hubungan mereka."Oh," Liam tersenyum. "Tidak masalah. Aku sama sekali tidak merasa terganggu." Lelaki itu kemudian mengangkat gelas champagne-nya ke arah Cellina, mengajaknya untuk bersulang. Kemudian terdengar suara dentingan gelas yang beradu pelan.Cellina dan Liam mengobrol ringan,
Theo menghentikan gerakannya ketika ponsel dalam saku jasnya bergetar untuk kesekian kalinya. Suasana nyaman yang dirasakannya bersama Elise saat itu membuatnya lupa bahwa dirinya adalah seorang dokter, yang itu berarti ia harus selalu siap-sedia ketika ponselnya berdering di luar jam kerja.Ia mengajak Elise menepi. "Maaf, ada telepon dari rumah sakit." gumamnya pada Elise.Elise mengangguk, menunjukkan bahwa dirinya tak keberatan jika Theo menjawab teleponnya sekarang.Sementara Theo berbicara di telepon, Elise mengedarkan pandangan ke sekitar. Ia belum melihat Mia, juga Cellina, sejak tadi. Ia berharap bisa bertemu dengan kedua wanita itu malam ini, di tengah lautan manusia yang ada di sana.Namun pandangannya justru berhasil menemukan sosok ibu mertuanya, Jessica Blake. Jessica berada di lantai dua, terlihat sedang mengobrol dengan seorang perempuan muda yang tak menunjukkan seluruh wajahnya. Sejenak Elise tertegun. Perempuan berambut blonde bergelombang itu terasa tak asing bagin