Claire menyenggol bahunya dengan ringan. “Oke, sebelum aku menangis dan mengacaukan makeup sendiri, kenapa kalian nggak ambil satu foto terakhir sebelum ganti baju?”Valerie tertawa, lalu mengangguk. Claire mengeluarkan ponsel, dan mereka pun berdiri di depan cermin besar. Valerie dengan gaun dan veil, Aldrich dengan jas gelap yang tadi dicoba untuk fitting. Keduanya berdiri cukup dekat, tapi tidak bersentuhan. “C'mon. Lebih dekat, Aldrich. Ini bukan sesi foto KTP.” Claire berkata gemas. Aldrich tersenyum dan menaruh satu tangan di punggung Valerie dengan hati-hati. Sementara Valerie sendiri tersipu, tapi tidak menghindar.Klik.Claire menatap hasil fotonya, lalu menunjukkan pada mereka. “Satu kata. Majalah wedding akan rebutan buat pasang foto ini di cover.”Valerie memelototi Claire dengan tatapan geli. “Berhenti. Kau membuatku ingin kabur dari altar.”“Terlambat, Princess. Kamu sudah dicintai orang ini sampai ke ujung dunia,” Claire menjawab sambil menepuk lengan Valerie.Aldrich
Setelah sesi fitting selesai, Valerie duduk bersandar di sofa butik sembari menghela napas panjang. Gaun telah dicoba, jas sudah pas. Hanya satu hal yang tersisa.“Aku tahu kau kelelahan, tapi ini bagian favoritku,” ucap Claire sambil menghampiri mereka dengan sebuah nampan berisi kotak-kotak kecil berwarna krem dan emas. “Aksesoris.”Valerie menegakkan punggungnya secara perlahan. “Bagian favoritmu, bukan aku,” sahutnya dengan senyum kecil.Claire tak menggubris. Ia meletakkan kotak-kotak itu di meja rendah di depan mereka, lalu membuka satu demi satu. Kalung berhiaskan mutiara, anting berlian mungil, dan bahkan tiara halus dari kristal yang memantulkan cahaya seperti bintang.“Tidak semua pengantin cocok pakai tiara, tapi kau seperti lahir untuk memakainya,” kata Claire sambil menyodorkan benda itu ke arah Valerie.Valerie memutar matanya, tapi tidak menolak saat Claire menyelipkannya ke rambutnya. Ia menatap bayangannya di cermin besar di sisi ruangan.“Lucu juga,” gumamnya sambil
“Aku tahu ini telat,” ucap Aldrich perlahan, suaranya rendah dan penuh makna. Jemarinya menggenggam tangan Valerie semakin erat. “Tapi aku ingin memberikanmu sesuatu yang spesial setiap saat.”Valerie sempat mengerutkan dahi, namun tak lama kemudian ia membeku saat Aldrich menunduk dan mengeluarkan sesuatu dari saku dalam jasnya. Sebuah kotak beludru berwarna abu-abu muda, dengan detail jahitan halus di tepinya. Tangannya yang biasanya begitu tenang kini sedikit bergetar saat membuka kotak itu di depan Valerie.Di dalamnya, bersemayam sebuah cincin berlian yang tampak begitu memukau. Cincin itu terbuat dari platinum murni yang ramping namun kokoh, memeluk sebuah batu berlian berbentuk cushion cut sebesar dua karat. Berlian itu bening seperti tetesan embun pagi, dengan kilauan yang tampak menari-nari di bawah cahaya lampu gantung butik. Di sekeliling berlian utama, terhampar barisan pavé diamond kecil yang mengelilinginya seperti bintang-bintang yang menjaga pusat semesta. Setiap de
Sementara itu, di luar ruang ganti, Aldrich duduk menunggu di kursi panjang berlapis velvet. Tangan kirinya menggenggam cangkir teh camomile yang perlahan mendingin. Matanya menatap pintu ruang ganti tanpa berkedip. Dan ketika pintu itu perlahan terbuka, waktu terasa melambat.Valerie melangkah keluar dengan perlahan dan gugup, kepalanya sedikit tertunduk sebelum akhirnya mengangkat wajah dan menatap Aldrich.Melihat pemandangan itu, langkah Aldrich pun terhenti. Ia reflek berdiri dari duduknya.“Cantik sekali,” gumamnya. Matanya menatap Valerie seolah tak percaya. Napasnya tercekat, lalu terhembus pelan. “Sayang…”Valerie memegangi sisi gaunnya dengan gugup. Tatapan Aldrich benar-benar seperti menelanjanginya. “Ini terlalu berlebihan ya? Aku kelihatan—”“Kau luar biasa!” potong Aldrich cepat, nyaris seperti kilat. “Seolah semua hal indah yang pernah kubayangkan tak ada artinya dibandingkan saat melihatmu sekarang.”Valerie menunduk, pipinya merona. “Kau selalu saja berkata manis sa
Cuaca siang itu cerah, langit biru bersih tanpa awan, dan semilir angin menyusup dari sela jendela mobil yang sedikit dibuka. Valerie duduk di kursi penumpang depan, mengenakan gaun midi berwarna gading dan cardigan tipis, sementara Aldrich menyetir dengan satu tangan di kemudi, satu tangan lain menggenggam tangan Valerie di pangkuannya.Setelah sarapan hangat bersama orang tua Valerie tadi, keduanya pun berangkat menuju butik langganan yang dimaksud oleh Bunda Valerie.“Aku masih belum percaya semua ini nyata,” gumam Valerie, menatap jendela sambil menyaksikan pepohonan pinggir jalan melesat perlahan.Aldrich menoleh sekilas, senyumnya lembut. “Kalau ini mimpi, aku harap kita tidak pernah bangun.”Valerie menahan tawa kecil. “Berhenti bersikap seperti tokoh pria di drama Korea, Aldrich.”Aldrich memasang wajah pura-pura tersinggung. “Tapi aku lebih tampan dari mereka, kan?”Valerie menjawab dengan tatapan malas yang penuh cinta. “Hmmm. Kau lumayan.”Aldrich mencibir, detik berikutny
“Tumben nih.” Suara berat Bastian terdengar di ambang pintu pantry, langkahnya santai namun penuh rasa ingin tahu. Hidungnya langsung diserbu aroma manis dari pie susu yang masih hangat, bercampur wangi pahit kopi yang baru diseduh.Bunda Valerie yang sejak tadi berdiri di samping putrinya itu pun langsung menoleh sambil tersenyum. Ia mengusap lengan Valerie sebentar, lalu menghampiri suaminya. Dengan gerakan lembut dan penuh kebiasaan lama, ia mengecup singkat bibir Bastian sebelum pria itu duduk di meja makan.“Selamat pagi, sayang.”“Selamat pagi matahariku, cintaku, sayangku, belahan jiwaku.” Bastian membalas. Membuat Valerie mencibir. Sementara dua pasangan itu hanya mengabaikan Valerie. “Princess kecil kita sudah dewasa, sayang. Dia membuatkan kopi dan kudapan untuk Aldrich.” goda sang Bunda penuh arti.Valerie yang sedang membawa nampan berisi dua cangkir kopi dan dua teh chamomile itu pun, menoleh sambil mencibir ringan. “Bunda…” rengeknya.Bastian mengerutkan dahi, mengam