Share

Bukan Anak Kecil

Ia benar-benar terkejut saat Raven mengusap bibirnya yang tentu saja sedang belepotan dengan makanan. ‘Kenapa dia tidak marah,’ geram Vivian di dalam hati.

Rasa kesal Vivian pun semakin bertambah, ingin rasanya ia melempar makanan yang ada di piringnya ke wajah mantan suaminya itu. Namun, ia masih cukup sadar karena ia pasti tak akan bisa menganggung kemarahan Raven, jika ia melakukan hal seperti itu.

“Kamu mendengar aku atau tidak?” tanya Vivian sekali lagi. “Di mana motorku, aku ingin pergi.”

“Aku akan menyuruh orang untuk menyiapkan motormu,” jawab Raven dengan tenang.

“Hiss,” desis Vivian sambil melengos karena semakin kesal melihat ketenangan yang terpancar dari wajah Raven.

‘Dia pasti melakukan semuanya karena ingin membalasku,’ pikir Raven sembari terus bersikap santai. ‘Tapi kamu harus tahu Vi, aku bukanlah orang yang sama. Tidak akan ada sedikit pun kesempatanmu untuk kabur kali ini,’ imbuhnya di dalam hati sembari menyesap teh di cangkirnya.

Lebih dari sepuluh menit, akhirnya Vivian pun selesai menghabiskan seluruh makanan yang ada di atas meja. Tak lupa dia pun bersendawa dengan keras dengan sengaja. Namun masih seperti sebelumnya, Raven tetap bersikap tenang saat melihat hal itu.

‘Cih, kenapa dia tidak marah, apa kebiasaannya sudah berubah lima tahun ini,’ batin Vivian sembari menatap Raven dengan sebelah matanya.

“Aku mau pulang,” ucap Vivian sambil melipat tangannya di depan dada.

“Baik,” sahut Raven dengan santai, lalu menyesap teh yang ada di tangannya.

‘Dia mengizinkanku begitu saja, sangat mencurigakan,’ batin Vivian yang terdiam selama beberapa saat.

“Kenapa, atau kamu ingin menginap di sini sampai pagi?” Raven bertanya sembari meletakkan cangkir teh di atas meja di depannya.

Langsung saja Vivian berdiri. “Tidak akan pernah,” ujarnya sembari melangkah ke arah pintu keluar ruangan itu. Hingga, tiba-tiba saja Raven mengatakan sesuatu yang membuatnya berhenti bergerak.

“Apa kamu benar-benar tidak ingin menerima tawaranku?” tanya Raven.

“Tawaran,” gumam Vivian sembari berbalik menatap ke arah Raven. “Tawaran yang mana?” tanyanya sembari menatap Raven dengan kening yang mengernyit.

“Aku ingin kamu mencoba mencuri black swan, supaya aku tahu sistem keamanan perusahaan berjalan dengan maksimal atau tidak,” tawar Raven yang saat ini berdiri dari kursi yang didudukinya.

‘Dari mana dia tahu kalau aku sedang mengincar black swan,’ batin Vivian yang merasa cukup penasaran karena hanya dirinya dan Jessilah yang tahu masalah ini.

Vivian pun langsung melipat tangannya di depan dada dan menyahut, “Lalu apa untungnya untuk aku?” tanyanya.

“Aku tahu kamu tidak akan mau rugi,” sahut Raven. “Kamu bisa memiliki black swan jika kamu bisa mendapatkannya,” imbuhnya.

“Jangan terlalu meninggikan diri sendiri Tuan Raven, apa kamu lupa pertemuan kita terakhir kali? Aku bisa saja mempermalukanmu lebih dari waktu itu,” seloroh Vivian sembari tersenyum sinis.

“Kamu bisa mencobanya jika kamu memang yakin dengan kemampuanmu,” sahut Raven yang masih saja bersikap sok santai.

Ia tahu betul kalau wanita yang diajaknya bicara itu sangat menyukai tantangan dan tidak akan mau diremehkan begitu saja.

Benar saja, Vivian pun langsung menerima tantangan tersebut. “Baik, tapi jangan sampai kamu putus asa seperti saat aku mati dulu,” ejeknya lalu terkekeh.

Ia tahu dengan jelas bagaimana depresinya Raven setelah pemakamannya karena saat itu ia menyamar menjadi pelayan. Ia bahkan menyaksikan sendiri bagaimana marahnya Raven ketika menemukan kalau dirinya sudah keluar dari peti mati tersebut dan menjadi lelucon seisi Nothern City kala itu.

“Tenang saja, hal seperti itu tidak akan pernah terjadi lagi,” sahut Raven sembari tersenyum meremehkan.

“Baik, kalau begitu jangan salahkan aku jika aku bisa mendapatkan lebih dari sekedar black swan.”

“Silahkan saja, itu tidak masalah untukku, jika kamu mampu melakukannya,” sahut Raven sembari kembali mengangkat cangkirnya.

Vivian yang merasa kemampuannya sangat direndahkan pun langsung mengepalkan tangannya. “Baik, aku terima kerja sama ini. Aku harap kamu tidak akan berlutut di depanku saat aku membuatmu bangkrut,” ujarnya sembari berbalik dan dengan cepat meninggalkan tempat itu.

“Tuan, kenapa Anda membiarkan Nyonya pergi?” tanya Gustafo yang sedari tadi berdiri tak jauh dari Raven.

“Biarkan saja dia bersenang-senang sebelum aku menangkapnya kembali,” jawab Raven dengan santai.

“Anda sangat memanjakan Nyonya, Tuan,” komentar Gustafo, pelayan tua yang merupakan tangan kanan ayahnya ketika orang tuanya masih hidup beberapa tahun lalu.

“Ya, aku memang selalu memanjakan dia,” sahut Raven sambil menatap pintu yang beberapa saat lalu baru saja dilewati oleh wanita yang mereka bicarakan itu.

*

Keesokan paginya.

Vivian yang baru saja bangun pun langsung meregangkan tubuhnya seperti yang selalu ia lakukan. Namun sesaat kemudian ia langsung berjingkat, ketika ia membuka kelopak matanya.

“Apa yang kamu lakukan?” tanyanya pada pemilik sepasang iris berwarna keabu-abuan yang kini sedang duduk di hadapannya dan menatap tajam dirinya.

“Kamu bermain dengan laki-laki mana semalam?” tanya Shine yang memiliki iris mata berwarna keabu-abuan persis seperti milik Raven.

Vivian pun langsung tersenyum canggung saat mendengar pertanyaan anak kandungnya itu. “Jangan bicara sembarang pria kecil, aku semalam bekerja lembur,” jawabnya sembari mengacak-acak rambut Shine dengan gemas.

Langsung saja anak laki-lakinya itu mencebik ke arahnya.

“Kamu tidak percaya?” Vivian menahan kesal karena sikap Shine yang sering kali menjengkelkan.

“Tidak,” jawab pria kecil kesayangan Vivian itu sembari turun dari ranjang. “Siapa yang akan percaya pada kamu, itu bodoh namanya,” selorohnya.

“Hai pria kecil, aku ini mamamu!” seru Vivian yang benar-benar kesal.

“Aku tahu itu, tidak perlu diingatkan,” sahut Shine sembari menutup pintu kamar tersebut dengan tenang.

“Ini semua gara-gara kamu Raven, kenapa kamu harus menurunkan sifat seperti itu pada anak kamu,” geram Vivian sembari mengacak-acak rambutnya karena kesal.

Beberapa saat berlalu, saat ini Vivian yang sudah selesai berdandan rapi pun segera keluar dari dalam kamarnya.

“Di mana dia Jes?” tanya Vivian pada Jessi yang saat ini baru saja selesai meletakkan menu sarapan pagi mereka semua di atas meja makan.

“Dia sedang berada di dalam kamarnya, baru saja selesai mandi,” jawabnya dengan tenang.

Kemudian Vivian pun melangkah ke kamar Shine. “Shine, apa kamu perlu bantuan?” tanyanya sembari mengetuk pintu kamar anak laki-lakinya itu.

Sesaat kemudian pintu tersebut terbuka.

“Aku bukan anak kecil lagi,” sahut Shine yang kemudian keluar, lalu menutup pintu kamarnya lagi.

“Hai, kamu itu belum genap lima tahun, kamu bisa minta bantuan pada Mama jika kamu tidak bisa melakukan sesuatu,” ucap Vivian sembari tersenyum canggung.

“Apa yang kamu inginkan?” tanya Shine sembari menyipitkan matanya, seolah sedang mencurigai sesuatu.

“Hei, aku ini Mamamu,” tandas Vivian.

“Aku tahu itu, tidak perlu mengingatkan hal itu lagi,” sahut Shine sembari melangkah ke arah meja makan. “Antarkan saja aku kesekolahan hari ini, itu sudah cukup,” lanjutnya.

“Iya-iya, Mama ingat kok kalau hari ini pendaftaran sekolah kamu.”

“Bagus kalau begitu,” sahut Shine sembari mengambil sepiring nasi goreng buatan Jessi.

“Anak ini ...,” geram Vivian.

Tak lama kemudian, terdengar dering nyaring bel pintu utama rumah tersebut.

“Iya, tunggu,” sahut Vivian sambil melangkah melewati beberapa ruangan Hingga sampai di pintu utama.

Betapa terkejutnya Vivian ketika ia membuka pintu rumah itu, terlihat beberapa orang laki-laki beseragam berdiri di sana.

“Ada apa ini?” tanya Vivian yang kini berpura-pura tetap tenang.

“Nyonya, kami di sini untuk ....

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Si Mendhut
Kurang banyak bagaimana?
goodnovel comment avatar
Subor Subor
bonus kurang banyak
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status