Empat jam lebih berlalu, akhirnya Vivian pun bangun. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya karena merasa pandangannya sedikit buram.
‘Di mana ini?’ batin Vivian sembari memijat keningnya yang terasa masih sedikit pusing akibat hantaman di kepalanya tadi.Setelah pandangannya terasa lebih baik, akhirnya Vivian pun menatap sekitar dan melihat dekorasi mewah yang terasa tak asing baginya, hingga ....“Dia!” pekiknya yang terkejut ketika melihat seorang laki-laki tampan yang kini berbaring di sampingnya.“Kenapa berisik sekali?” tanya laki-laki yang ada di sampingnya itu sembari bangun dan mengusap-ngusap wajahnya.“Kamu, kamu kenapa di sini?” tanya Vivian.“Aku? Ini rumahku,” jawab laki-laki tersebut dengan santai.Tiba-tiba Vivian tersadar akan sikapnya yang salah. ‘Kamu harus berpura-pura Vi, siapa tahu dia masih bisa ditipu,’ pikirnya.“Tuan sa—““Apa kamu masih mencoba untuk menipuku?” tanya Raven yang saat ini menatap Vivian dengan ekspresi malas yang tercetak jelas di wajahnya.“Menipu apa Tuan? Saya tidak menipu apa pun, tolong jangan memfitnah saya,” jawab Vivian sembari menundukkan wajahnya dan mulai terisak untuk melengkapi tipuannya.Mendengar hal itu, kemudian Raven memutuskan untuk turun dari ranjangnya dan menuang air minum yang ada di atas nakas, lalu memberikan benda tersebut pada Vivian.“Terima kasih,” ujar Vivian lalu menenggak air putih tersebut begitu saja.‘Masih ingin mengatakan kalau dia bukan Vivian, dasar konyol,’ pikir Raven yang kemudian tersenyum tipis.Vivian yang melihat senyum tersebut pun langsung menghentikan minumnya. “Apa ada sesuatu, Tuan?” tanyanya yang tentu saja merasa ada yang salah.“Apa kamu masih ingin berpura-pura di depanku?” Raven kembali duduk di ranjang.“Sungguh Tuan, saya ini bukan wanita bernama Vivian,” jawab Vivian dengan akting yang dibuat semeyakinkan mungkin.“Apa kamu lupa dengan tanda lahir di pantat kamu?” tanya Raven sembari mengangkat kakinya untuk berbaring di ranjang itu lagi.‘Pantat,’ pikir Vivian yang langsung menundukkan kepalanya dan menatap ke arah pakaiannya yang sudah berubah menggunakan kimono tidur berwarna hitam.Langsung saja Vivian menyilangkan tangannya di depan dada. Ia bisa merasakan dengan jelas kalau saat ini ia tak menggunakan apa pun di balik baju tidur tersebut. “Kamu dasar cabul!” teriaknya.Raven dengan santai menarik garis bibirnya. “Kenapa, apa kamu lupa untuk berpura-pura?”‘Sial, dia sengaja menjebakku,’ pikir Vivian sembari mengepalkan tangannya dan menatap tajam ke arah Raven.“Sudah merasa marah?” tanya Raven dengan tenang. “Lagi pula kamu itu tetap saja ceroboh seperti dulu,” komentarnya.“Apa maksud kamu?” Vivian mulai bangun dan ingin meninggalkan ranjang tersebut.Secepat kilat Raven langsung menarik kimono Vivian dan membuatnya kembali ke atas ranjang.“Apa kamu lupa bagaimana kamu melukai para anak buahku?” tanya Raven sembari menatap wajah wanita di dekatnya itu dengan intens.‘Benar, aku sudah tidak bisa menghindar lagi,’ pikir Vivian sambil kembali duduk di atas ranjang tersebut dengan tenang.“Baik, sekarang kamu sudah tahu semuanya, lalu kamu mau apa?” tanyanya seolah tak acuh pada mantan suaminya itu.“Kamu sedang bermain keras atau bermain aman?” tanya Raven sembari tersenyum tipis.Vivian pun kembali bangun dari ranjang dengan gaya yang lebih santai. “Aku tidak bermain apa pun karena aku bukan anak kecil,” jawabnya tanpa ragu dan masih menunjukkan ekspresi tak begitu perduli di wajahnya. “Di mana pakaianku?” tanyanya dengan tenang.“Di dalam lemari,” jawab Raven dengan santai sembari terus memperhatikan setiap langkah Vivian.Vivian pun segera membuka lemari besar yang berada tak jauh dari ranjang tersebut. Dan saat membukanya, seketika kelopak matanya terbuka lebih lebar dari sebelumnya. ‘Kenapa masih sama?’ batin Vivian sambil menatap semua pakaiannya yang tersusun rapi di dalam lemari tersebut.‘Kamu harus tetap tenang Vi, tetap tenang,’ pikir Vivian sembari memilih salah satu pakaian lamanya dan segera menariknya dari dalam sana.“Apa kamu tidak mau mengatakan sesuatu?” tanya Raven yang kini terus memperhatikan setiap gerakan tubuh Vivian.“Tidak ada,” tukas Vivian. “Kamu pasti sudah tahu untuk apa aku datang ke perusahaan itu, ja—““Aku setuju,” potong Raven sembari bangun dari ranjang dan kembali menuangkan air dari teko ke dalam gelas.Vivian berhenti bergerak, ia mencoba mendengar kelanjutan kalimat yang seperti sedang terjeda tersebut.“Aku setuju, kamu berencana untuk mengambil salah satu benda di perusahaan ‘kan?” tanya Raven sembari mengangkat gelas di dalam genggamannya tersebut.Langsung saja Vivian memutar posisi tubuhnya dan menatap ke arah Raven dengan lurus. “Apa maksud kamu? Kamu benar-benar akan membiarkan aku mencuri benda yang aku inginkan?”“Ya.”“Ya?” Vivian tentu saja merasa ini sangat aneh dan terlihat seperti jebakan madu. Sangat manis, tapi tetap saja sebuah jebakan.“Sebagai pemimpin baru perusahaan, aku ingin tahu di mana titik kelemahan keamanan perusahaan,” ucap Raven, memberikan alasan yang paling tepat.‘Jangan tertipu Vi, ini pasti jebakan,’ batin Vivian yang langsung menyalakan alarm dalam otaknya.“Atau kamu terlalu percaya diri dan berpikir kalau aku masih sangat menyukaimu seperti dulu hanya karena pakaian di dalam lemari itu?” tanya Raven yang baru saja selesai meminum air mineral dari gelasnya.‘Sial, apa dia bisa membaca isi kepalaku,’ gerutu Vivian di dalam hatinya.“Jangan terlalu percaya diri Tuan Ravenska Goldy Brayer,” sanggagnya. “Aku bukan wanita naif seperti itu dan kamu tahu dengan benar semua itu,” imbuhnya.“Jadi kamu menolak kerja sama yang aku tawarkan?” tanyan Raven sembari menarik tali baju tidur kimononya.“Apa yang kamu lakukan!” seru Vivian ketika tak sengaja melihat otot perut mantan suaminya itu.‘Apa ini, kenapa aku harus malu,’ batin Vivian sambil membunyikan wajah bersemunya.“Kenapa kamu malu, ribuan kali kamu melihat ak—““Ck, kamu itu memang tak tahu malu,” sela Vivian sembari melangkah ke arah ruang ganti yang ternyata masih tetap sama posisinya sejak terakhir ia meninggalkan rumah itu.“Huh, apa kamu berubah miskin sampai tidak bisa memindah ruangan ini,” ejeknya sambil masuk ke dalam ruang ganti tersebut.“Lidahmu semakin tajam saja, bagaimana cara mengasahnya?” sindir Raven sembari membuka lemari besar yang sama.“Itu bukan urusan kamu!” teriak Vivian dari dalam ruang ganti. Beberapa menit berlalu, saat ini Vivian dan Raven sedang berada di meja makan. Terlihat beberapa menu makanan yang sudah berada di depan Vivian.“Ayo makan,” ucap Raven sembari tersenyum hangat pada Vivian yang saat ini sedang cemberut dengan mata berapi-api ingin menerkam laki-laki di dekatnya itu. “Kalau kamu tidak suka, maka—““Makan ya makan!” ketus Vivian yang langsung mengambil beberapa menu makanan dan kemudian melahapnya seperti orang kesetanan.“Bagus, itu tandanya kalian selamat,” ucap Raven sembari menatap ke arah dua koki yang saat ini berdiri di kanan-kiri Vivian.Vivian tahu betul kalau sampai dia tidak menyukai makanan itu, maka kedua koki tersebut akan dipecat atau dihukum karena dianggap melakukan kesalahan. ‘Dia masih saja menjengkelkan,’ batin Vivian sembari melirik tajam ke arah Raven dengan mulut yang penuh dengan makanan.“Aku akan pulang setelah ini,” ucap Vivian dengan mulut yang masih penuh dengan makanan.‘Huh, aku tidak boleh kesal sendirian malam ini,’ batinnya yang tahu jika Raven akan merasa mual jika ada yang berbicara dengan mulut penuh seperti dirinya.Kemudian ....“Hah!” Seketika mata Vivian membulat.Salah seorang anak buah Aldrich berteriak cukup nyaring dan kemudian ambruk tengkurap di lantai. "Hah?" Vivian terkejut begitu juga yang lainnya.Sesaat semua orang mengarahkan pandangan mereka pada orang yang baru saja ambruk tersebut. "Kamu berani bermain-main denganku?" Aldrich menatap tajam Vivian yang saat ini masih mengarahkan pandangannya pada orang yang baru saja ambruk.Mendengar hal tersebut Vivian langsung mengarahkan pandangannya pada Aldrich. Namun tanpa menjawab, dia mengalihkan pandangannya pada Raven yang saat ini masih terduduk di lantai."Apa ini yang dia katakan agar aku menunggu sebentar lagi," batin Vivian.Dan sesaat kemudian Aldrich pun bangun dari ranjangnya, lalu melangkah ke arah Vivian. Namun, di tengah langkahnya, tiba-tiba salah satu anak buah Aldrich kembali terjungkal."Satu lagi, di mana mereka?" batin Vivian yang juga ikut penasaran dengan hal itu. Dia mengarahkan pandangannya ke sekitar untuk mencari petunjuk, sama dengan apa yang dilakuk
Beberapa jam berlalu. Saat ini Vivian dan Raven sedang berada di depan ruang ICU di salah satu rumah sakit di kota tersebut."Shine," gumam Vivian yang terus saja berdiri memandangi pintu ruangan tersebut."Tenanglah Vi, dia pasti baik-baik saja," ucap Jessi yang saat ini merangkul pundak Vivian."Iya," sahut Vivian lemah.Rasa gelisah memenuhi pikirannya saat ini. Kedua tangannya terus saling meremas untuk menekan perasaannya yang penuh dengan ketakutan yang seolah tak berujung.Sesaat kemudian terdengar suara langkah kaki sedang berlari kecil ke tempat itu. Segera saja Vivian membalik badannya."Apa kamu mendapatkannya?" tanya Vivian pada laki-laki yang baru saja berlari kecil tersebut."Kami sedang berusaha," jawab Raven dengan ekspresi pahit di wajahnya.Seketika tubuh Vivian limbung. Namun, untung saja Jessi dengan sigap menahan tubuh sahabatnya itu. "Tenang dulu Vi, kamu harus kuat," ucapnya yang sebenarnya juga merasa khawatir bukan main.Vivian kemudian menoleh pada J
"Kenapa, tidak senang?" tanya wanita tersebut sambil bersedekap dan kemudian melengos dengan gaya yang dilebih-lebihkan.Langsung saja Vivian melepaskan pegangannya dan kemudian berjalan dengan cepat ke arah wanita tersebut. "Bagaimana bisa aku tidak senang," sahutnya sambil memeluk erat sahabatnya itu."Kamu tuh ya, bikin aku khawatir saja," ucap Jessy sembari melepaskan pelukan Vivian. "Kamu tidak apa-apa kan?" tanya sambil menatap Vivian dari ujung kepala hingga ujung kaki."Tentu saja tidak apa-apa," sahut Vivian sambil tertawa kecil. "Oh iya, lalu di mana Shine? Bukankah kamu bilang kamu bersamanya?""Dia masih di sekolahan bersama Yella. Aku dengar kamu pulang hari ini, mangkannya aku pulang lebih dulu," terang Jessi sambil mengambil ponselnya yang tiba-tiba berdering.Dan sementara Jessi mengangkat panggilan di ponselnya, kini Vivian berbalik badan dan menatap Raven yang sedang berbicara pada Gustavo. "Kapan dia mengatakan hal ini pada orang rumah?" batinnya.Di saat yang sama,
Sepuluh jam berlalu dengan Vivian yang terus berkutat dengan obat-obatan untuk menyembuhkan para tentara yang mengalami efek mengerikan dari racun yang diberikan oleh Aldrich dan sekutunya."Kamu harus istirahat," ucap Raven sembari merangkul pundak Vivian tiba-tiba.Vivian yang sedari tadi berkonsentrasi merawat para tentara pun menoleh. "Kurang sedikit lagi, tinggal beberapa orang yang belum minum penawarnya," jawabnya sambil memejamkan matanya rapat-rapat selama beberapa detik.Melihat Vivian yang menahan pusing, Raven pun menunjuk salah satu tenaga medis. "Kamu dan yang lainnya urus beberapa orang ini, dia membutuhkan istirahat," titah Raven.Vivian yang terkejut mendengar ucapan Raven langsung memaksa matanya untuk terbuka. "Apa maksud kamu, ini sudah menjadi tu—""Itu bukan hanya tugasmu, tapi juga tugas mereka. Kamu sudah cukup bekerja," potong Raven sembari menarik tubuh Vivian untuk masuk ke dalam pelukannya."Benar Nyonya, Anda sudah bekerja keras. Sisanya biar kami yang mela
Saat Vivian ingin menjawab pertanyaan Raven, tiba-tiba saja Verdick berdehem."Semuanya sudah siap, Pak," ucap Verdick dengan ekspresi serius di wajahnya."Baik," sahut Raven yang kemudian mengarahkan pandangannya pada seluruh anak buahnya yang ada di ruangan itu. "Mari kita mulai. Berhati-hatilah kalian."Semua orang pun menganggukkan kepalanya. Tatapan yakin dan siap berkorban apa pun kini mereka semua tampilkan."Kamu tunggu di sini!" titah Raven sambil menoleh pada Vivian."Tidak," tolak Vivian dengan cepat. "Aku akan ikut membantu.""Ck," decak Raven.Namun Vivian tak menghiraukan ekspresi keberatan di wajah Raven, dia dengan santai mengambil salah satu pistol yang ada di sana. "Jika kita menang kamu harus menjelaskan dari mana asal black swan," pintanya sambil memastikan peluru di dalam pistol tersebut.Raven terdiam sejenak. "Apa dia sudah tahu?" batinnya."Baik," sahut Raven pada akhirnya. Setelah itu semua orang pun keluar dari ruangan tersebut lewat beberapa
Kembali Vivian menatap ke arah Aldrich. "Kamu benar-benar ...." Dia berkata seolah tak bisa berkata-kata lagi."Jadi kamu benar-benar mengira kalau akan ada Raven bersamaku?" cibir Aldrich.Vivian menggingit bibirnya memperlihatkan pada semua orang yang ada di sana kalau dirinya sedang kesal tapi tak tahu harus berbuat apa. "Kamu harus tenang Vi," batinnya.Kembali Aldrich membuka mulutnya. "Jika dia benar-benar bersamaku, apa kamu pikir dia masih bisa hidup," imbuhnya."Kenapa? Kenapa kamu ingin menyerang dia? Apakah ada masalah di antara kalian?" tanya Vivian seperti seorang gadis biasa. "Dan Rolland, bukankah kalian bersahabat baik?" Vivian melirik Rolland yang saat ini terlihat kacau dengan wajah babak belur.Tawa dari mulut Aldrich pun menggema di ruangan tersebut. "Jadi kamu benar-benar berpikir kalau Rolland adalah orang baik, sedangkan aku orang jahat? Dasar wanita," ejeknya.Vivian mengepalkan tangannya mendengar perkataan Aldrich. Dia tahu kalau dia memang pernah tertipu ol