Jejak Langkah Sang CEO

Jejak Langkah Sang CEO

last updateLast Updated : 2025-01-11
By:  ENDRAOngoing
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel4goodnovel
Not enough ratings
12Chapters
188views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Di usia 27 tahun, Aiden Ravindra udah jadi CEO termuda di Zenith Corp, perusahaan teknologi terbesar di Asia Tenggara. Dia dikenal banget dengan sikapnya yang dingin, perfeksionis, dan nggak pernah ngijinin perasaan mengganggu logikanya. Tapi, di balik kesuksesannya, Aiden punya trauma mendalam—kehilangan keluarganya dalam kecelakaan tragis yang bikin dia lebih fokus sama kerjaan dan kesuksesan sebagai pelarian. Sementara itu, ada Alya Mahendra, jurnalis muda yang idealis dan lagi berjuang keras untuk ngebuktiin kemampuannya di dunia media yang super ketat. Ketika dia ditugaskan buat meliput perjalanan bisnis Zenith Corp, Alya nggak sengaja ketemu Aiden. Pertemuan itu malah buka babak baru dalam hidup Alya, karena dia mulai lihat sisi manusiawi Aiden yang selama ini tersembunyi di balik citra CEO suksesnya. Alya dan Aiden pun terjebak dalam hubungan profesional yang rumit, dimulai dari beda pandangan, tapi lama-lama mereka mulai ngerti satu sama lain, termasuk luka-luka yang mereka bawa masing-masing. Tapi, perjalanan mereka nggak semudah itu. Ada banyak intrik di dunia bisnis, konflik internal, dan rahasia masa lalu Aiden yang bisa jadi penghalang besar buat mereka. Akankah Aiden bisa menghadapin bayangan masa lalunya dan buka hati buat Alya? Dan bisakah Alya bertahan di tengah badai yang ancam karier dan kehidupannya? Jejak Langkah Sang CEO bakal bawa kamu ke dalam cerita soal ambisi, cinta, dan berani menghadapi kenyataan.

View More

Chapter 1

Titik Awal

“Udah sampai, Mbak Alya.”

Alya melongok dari jendela mobil taksi online. Kantor Zenith Corp menjulang tinggi di tengah hiruk pikuk Jakarta. Gedung itu terasa dingin, sama seperti reputasi CEO-nya, Aiden Ravindra. Alya menarik napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungnya yang sedikit lebih cepat dari biasanya.

“Semangat, Alya. Ingat, lo wartawan. Nggak ada yang nggak bisa lo hadapin,” gumamnya pelan sebelum membayar ongkos dan turun.

Begitu masuk ke lobi, dia disambut suasana yang penuh profesionalisme. Semua serba rapi, elegan, tapi juga terasa… kaku. Seorang resepsionis perempuan menyapanya dengan senyum tipis.

“Selamat siang. Ada yang bisa saya bantu?”

Alya memberikan ID persnya. “Alya Mahendra, dari Insight Media. Saya ada janji wawancara sama Pak Aiden Ravindra jam dua.”

Resepsionis itu mengangguk sambil memeriksa daftar tamu. “Silakan tunggu sebentar, Mbak. Saya panggilkan Mbak Tara untuk mengantar Anda.”

Beberapa menit kemudian, seorang perempuan muda dengan blazer hitam muncul. Penampilannya profesional banget, tapi matanya hangat.

“Selamat siang, Mbak Alya. Saya Tara, asisten pribadi Pak Aiden. Mari, saya antar ke ruangannya.”

Alya mengikuti Tara menuju lift kaca yang langsung naik ke lantai paling atas. Jantungnya kembali berdetak lebih kencang. Ini bukan wawancara biasa. Aiden Ravindra terkenal susah ditembus media. Orang-orang bilang dia CEO yang dingin, nggak peduli, bahkan kejam kalau bicara soal bisnis. Tapi justru itu yang bikin Alya penasaran.

“Aiden Ravindra… siapa sebenarnya lo?” batinnya.

Lift berhenti dengan bunyi lembut. Tara mengarahkan Alya ke sebuah ruangan besar dengan pemandangan kota Jakarta. Di balik meja kerja megah itu, seorang pria berdiri membelakangi mereka, memandangi jendela.

“Pak Aiden, Mbak Alya sudah tiba,” kata Tara.

Pria itu berbalik perlahan. Wajahnya tegas, dingin, tapi ada sesuatu di matanya yang sulit dijelaskan. Luka? Kemarahan? Atau mungkin, kelelahan?

“Alya Mahendra,” suaranya berat, berwibawa. “Silakan duduk.”

Alya mengangguk dan duduk di kursi di depan meja kerja. Jantungnya berdebar, tapi dia tetap menjaga ekspresi santainya.

“Aiden Ravindra,” dia memulai dengan senyum kecil. “Nama besar yang semua orang tahu. Tapi saya di sini bukan cuma mau tahu soal bisnis. Saya mau tahu sisi lain Anda.”

Aiden menaikkan satu alis. “Sisi lain?”

“Ya,” jawab Alya mantap. “Sisi manusiawi Anda.”

Untuk pertama kalinya, ada sedikit senyum di sudut bibir Aiden. Tapi itu bukan senyum ramah. Lebih seperti… tantangan.

“Kalau begitu, kita lihat apakah Anda siap menghadapi kebenarannya.”

Alya sedikit terguncang oleh ucapan Aiden tadi, tapi dia berusaha tetap tenang. Dia sudah biasa menghadapi orang-orang sulit dalam pekerjaannya, meski kali ini beda. Ada sesuatu dalam cara Aiden berbicara—seolah dia tahu lebih banyak daripada yang terlihat.

“Baik,” Alya berkata sambil membuka notes-nya. “Kita mulai saja. Banyak yang bilang Anda ini CEO yang nggak kenal kompromi. Apa Anda setuju dengan itu?”

Aiden bersandar ke kursinya, ekspresinya tetap netral. “Kalau kompromi artinya harus mengorbankan visi, ya, saya tidak kenal kompromi.”

“Dan kalau kompromi artinya memahami orang-orang di sekitar Anda?” Alya menimpali cepat.

Aiden menatap Alya tajam, tapi tidak langsung menjawab. Alya merasa seperti sedang diuji, tapi dia nggak mau mundur.

“Menarik. Pertanyaan Anda cukup langsung,” kata Aiden akhirnya. “Tapi saya kira, waktu kita lebih baik digunakan untuk hal-hal yang lebih relevan. Zenith Corp adalah perusahaan yang fokus pada inovasi. Anda pasti punya pertanyaan tentang itu.”

Alya tersenyum tipis. “Tentu saja, saya tertarik dengan inovasi Zenith. Tapi pembaca saya lebih ingin tahu tentang orang di baliknya.”

Aiden mendengus pelan, seperti menahan tawa. “Saya tidak yakin pembaca Anda peduli dengan itu.”

“Kalau begitu biarkan saya yang menentukan,” balas Alya dengan nada santai tapi tegas.

Tara, yang berdiri di sudut ruangan, kelihatan sedikit tegang melihat interaksi mereka. Aiden menatap Alya lagi, kali ini lebih dalam.

“Baiklah,” katanya akhirnya. “Tapi jangan harap saya akan menjawab semua pertanyaan Anda.”

Alya mengangguk kecil, puas dengan sedikit kemajuan ini. “Setuju. Jadi, Anda membangun Zenith Corp dari nol setelah kecelakaan yang menimpa keluarga Anda. Apa itu murni motivasi bisnis atau ada alasan pribadi di baliknya?”

Ruangan tiba-tiba terasa lebih sunyi. Ekspresi Aiden berubah. Sekilas terlihat bayangan luka yang dalam di matanya sebelum dia menyembunyikannya lagi di balik wajah dinginnya.

“Itu pertanyaan yang pribadi,” katanya datar.

“Dan itulah yang membuatnya penting,” balas Alya lembut.

Aiden menghela napas panjang, seolah sedang memutuskan apakah dia akan membuka sedikit sisi dirinya atau tetap menutup rapat. “Kehilangan keluarga saya… memberi saya perspektif yang berbeda tentang kehidupan. Saya belajar bahwa waktu adalah aset paling berharga, dan saya tidak punya waktu untuk membuang-buangnya.”

Alya mencatat cepat. “Dan itu alasan Anda begitu fokus pada pekerjaan?”

“Salah satu alasannya,” jawab Aiden singkat.

“Tapi apa nggak ada rasa kesepian? Maksud saya, Anda jelas sukses. Tapi di luar itu, apa Anda merasa puas?”

Aiden terdiam. Pertanyaan itu seperti memukul sesuatu yang dia sembunyikan dalam-dalam. Alya bisa melihat itu di matanya, tapi Aiden buru-buru memalingkan wajah, menatap jendela.

“Pertanyaan yang menarik,” katanya akhirnya. “Tapi saya tidak yakin jawaban saya akan memuaskan Anda.”

“Saya di sini bukan untuk jawaban yang mudah,” kata Alya, mencoba menahan senyumnya.

Sebelum Aiden bisa menjawab, pintu ruangan diketuk. Tara berjalan ke pintu dan membukanya. Nathaniel Cruz, COO Zenith, muncul dengan ekspresi tergesa-gesa.

“Maaf mengganggu, Aiden. Tapi kita ada masalah dengan kontrak dari BrightFuture Holdings. Mereka menuntut revisi mendadak.”

Aiden berdiri, wajahnya langsung berubah serius. Dia melirik Alya. “Sepertinya wawancara kita harus ditunda.”

Alya mengangguk meski agak kecewa. “Baik. Tapi saya akan kembali. Masih banyak yang ingin saya tanyakan.”

Aiden hanya mengangguk kecil sebelum berjalan keluar bersama Nathaniel.

Saat Tara mengantar Alya kembali ke lobi, dia berkomentar dengan nada ramah, “Pak Aiden jarang banget mau buka soal pribadi. Anda punya keberanian.”

Alya tersenyum kecil. “Saya cuma ingin tahu siapa dia sebenarnya. Dan saya nggak akan berhenti sampai saya tahu.”

Tara tersenyum tipis, seolah mengerti tekad Alya. “Semoga berhasil, Mbak Alya. Anda akan butuh itu.”

Setelah keluar dari gedung Zenith Corp, Alya merasa campur aduk. Wawancaranya memang belum selesai, tapi dia bisa melihat celah kecil di balik tembok kokoh Aiden Ravindra. Itu cukup untuk membuatnya yakin dia ada di jalur yang benar.

Di trotoar, Mira Santoso sudah menunggu sambil bersandar di sepeda motornya. Sahabat sekaligus fotografer andalannya itu langsung melambaikan tangan begitu melihat Alya.

“Eh, gimana? Si robot es itu akhirnya ngomong nggak?” Mira menyapa dengan senyum lebar.

Alya mendengus sambil melepaskan kancing blazer. “Ngomong sih ngomong, tapi setengah hati banget. Kayak lagi ngobrol sama tembok.”

Mira tertawa kecil. “Ya ampun, gimana sih rasanya ngadepin CEO setinggi langit gitu? Tegang, ya?”

“Lebih ke capek mental, Mir. Dia tipe orang yang ngomong seperlunya aja. Tapi gue yakin, ada sesuatu yang dia sembunyiin,” jawab Alya sambil masuk ke kursi belakang motor.

“Yakin bisa ngegali?” Mira menoleh sebentar sebelum menyalakan mesin motornya.

Alya tersenyum kecil. “Gue nggak akan nyerah sebelum dapet sisi lain dia. Aiden Ravindra pasti punya cerita, dan gue mau jadi orang pertama yang nulis itu.”

Mira tertawa kecil sambil menjalankan motornya. “Good luck, Mbak Wartawan. Tapi gue rasa lo harus siap mental lebih dari ini.”

Di sisi lain, di lantai paling atas Zenith Corp, Aiden duduk di ruang rapat bersama Nathaniel Cruz dan beberapa staf senior lainnya. Kontrak dengan BrightFuture Holdings sedang menjadi topik panas.

“Ini nggak masuk akal,” Nathaniel berkata dengan nada frustrasi. “Mereka mau mengubah syarat yang sudah kita sepakati di detik terakhir. Kalau kita setuju, ini bakal merugikan kita.”

Aiden duduk diam, mendengarkan. Wajahnya tetap dingin, seperti biasa.

“Kalau kita nggak setuju, mereka bisa mundur dan itu berarti kehilangan mitra strategis,” tambah Jessica Wong, Marketing Director yang selalu penuh ambisi.

Aiden mengetuk meja perlahan, memanggil perhatian semua orang. “Kita nggak punya waktu untuk berdebat. Nathan, negosiasikan ulang. Pastikan syarat baru mereka tidak terlalu merugikan kita. Kalau mereka nggak mau kompromi, kita cari mitra lain.”

“Tapi, Aiden, BrightFuture ini pemain besar. Kehilangan mereka bisa—” Jessica mencoba bicara, tapi Aiden memotong.

“Kehilangan mereka lebih baik daripada kehilangan prinsip kita,” jawab Aiden tegas.

Semua orang terdiam. Keputusan Aiden memang sering terdengar berani, bahkan nekad, tapi hasilnya selalu terbukti benar.

Nathaniel mengangguk kecil. “Baik, saya akan urus itu.”

Setelah rapat selesai, Aiden kembali ke ruangannya. Tapi kali ini, dia merasa gelisah. Bukan soal kontrak, melainkan soal wawancara tadi. Pertanyaan Alya masih menggema di pikirannya.

“Apa Anda merasa puas?”

Dia menghela napas panjang. Pertanyaan itu mengingatkannya pada seseorang—ibunya. Diana Ravindra adalah satu-satunya orang yang pernah bertanya hal serupa kepadanya sebelum kecelakaan itu terjadi.

Tanpa sadar, tangannya meraih bingkai foto kecil di mejanya. Foto lama keluarganya, sebelum semuanya berubah. Ada dirinya, ayahnya, ibunya, dan Elena, adik kesayangannya.

“Kalau kamu puas cuma sama kerjaan, Aiden,” suara ibunya seperti terdengar di kepalanya, “kamu akan kehilangan hidup yang sebenarnya.”

Aiden meletakkan foto itu dengan pelan. Matanya menatap kosong ke luar jendela.

Bagi orang lain, dia mungkin terlihat seperti pria yang punya segalanya. Tapi Alya benar—di dalam, ada ruang kosong yang terus menghantuinya.

Di tempat lain, Alya dan Mira berhenti di sebuah kafe kecil di pinggir jalan. Daniel, barista kafe itu, langsung menyapa mereka dengan ramah.

“Eh, Alya! Akhirnya nongol lagi. Mau pesan apa? Kopi hitam andalan lo?”

Alya tersenyum. “Iya, deh. Tambahin satu croissant, ya.”

Mira mengamati Alya sambil menyeruput es tehnya. “Lo yakin mau terus ngejar cerita ini? Gue tahu lo keras kepala, tapi yang lo hadapin ini bukan orang biasa.”

Alya mengangkat bahu. “Justru itu. Kalau gue berhasil, ini bakal jadi artikel terbaik gue. Dan mungkin… ini juga bakal bantu dia.”

“Bantu? Maksud lo?”

“Gue rasa, dia nggak cuma CEO yang dingin kayak yang orang bilang. Ada sesuatu yang dia sembunyiin, Mir. Dan mungkin, dia juga butuh orang buat ngerti sisi manusianya.”

Mira menatap Alya dengan alis terangkat. “Lo mulai kedengeran kayak lagi peduli lebih dari sekedar kerjaan.”

Alya mendengus. “Jangan mulai, Mir. Gue cuma pengen tahu kebenarannya. Itu aja.”

Mira tersenyum kecil, tapi nggak bilang apa-apa lagi. Di dalam hati, dia tahu sahabatnya ini nggak akan berhenti sampai dia mendapatkan apa yang dia cari—meskipun itu berarti berhadapan langsung dengan pria paling sulit di dunia.

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

No Comments
12 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status