LOGINDi usia 27 tahun, Aiden Ravindra udah jadi CEO termuda di Zenith Corp, perusahaan teknologi terbesar di Asia Tenggara. Dia dikenal banget dengan sikapnya yang dingin, perfeksionis, dan nggak pernah ngijinin perasaan mengganggu logikanya. Tapi, di balik kesuksesannya, Aiden punya trauma mendalam—kehilangan keluarganya dalam kecelakaan tragis yang bikin dia lebih fokus sama kerjaan dan kesuksesan sebagai pelarian. Sementara itu, ada Alya Mahendra, jurnalis muda yang idealis dan lagi berjuang keras untuk ngebuktiin kemampuannya di dunia media yang super ketat. Ketika dia ditugaskan buat meliput perjalanan bisnis Zenith Corp, Alya nggak sengaja ketemu Aiden. Pertemuan itu malah buka babak baru dalam hidup Alya, karena dia mulai lihat sisi manusiawi Aiden yang selama ini tersembunyi di balik citra CEO suksesnya. Alya dan Aiden pun terjebak dalam hubungan profesional yang rumit, dimulai dari beda pandangan, tapi lama-lama mereka mulai ngerti satu sama lain, termasuk luka-luka yang mereka bawa masing-masing. Tapi, perjalanan mereka nggak semudah itu. Ada banyak intrik di dunia bisnis, konflik internal, dan rahasia masa lalu Aiden yang bisa jadi penghalang besar buat mereka. Akankah Aiden bisa menghadapin bayangan masa lalunya dan buka hati buat Alya? Dan bisakah Alya bertahan di tengah badai yang ancam karier dan kehidupannya? Jejak Langkah Sang CEO bakal bawa kamu ke dalam cerita soal ambisi, cinta, dan berani menghadapi kenyataan.
View More“A journey of a thousand miles begins with a single step”
Dengan gusar Kara memasukan baju-bajunya ke dalam koper. Ia benar-benar sudah tidak mengerti dengan Papanya yang kali ini sudah kelewat batas.
Yang benar saja! Masa Kara yang berusia 28 tahun, akan dijodohkan dengan seorang pengusaha batu bara tua bangka yang punya banyak kutil di wajahnya!
Hutang sih hutang, tapi kenapa mesti ia yang dikorbankan?
Jika ia ingin menghentikan perjodohan itu paling tidak ia harus memiliki uang 100 milyar untuk membayar hutang Papa ke si tua bangka."Ra, kamu gak ada niatan kabur kan?" tanya Papa dengan wajah memelas.
Kara menghentikan aktivitas packingnya, lalu mendongak menatap Papanya dengan emosi yang tak terkira.
"Pa, aku tuh udah ngerencanain solo traveling ini dari enam bulan yang lalu! Kabur kabur! enak aja kalau ngomong," sahut Kara ketus saking sebalnya.
Papa menghembuskan nafas lega, sejatinya ia tak tega menjodohkan anak gadis semata wayangnya dengan Broto Asmoro si tua bangka. Tapi dirinya terancam dipenjara, sehingga mau tidak mau ia harus tega.
"Maafin Papa ya Ra. Kalau ada jalan lain pasti Papa gak akan maksa kamu. Sekali ini aja Ra tolongin Papa ya,"
Kalau saja ada Mama saat ini, pasti ia akan membela Kara habis-habisan. Tapi Mama Kara sudah berpulang ke haribaan yang Kuasa sejak Kara baru saja menginjak bangku SMA. Jadi mau tidak mau, suka tidak suka, ia harus menuruti kemauan Papa.
"Pokoknya nikah aja ya Pa! Abis nikah Kara mau kabur, bodo amat! Perjanjiannya nikah utang lunas kan?!" omel Kara masih dengan emosi yang memenuhi dadanya.
Papa menunduk,
"Iya kayaknya Ra, yang penting kamu nikah dulu lah ya. Pulang dari traveling ya nak. Papa nanti bilang sama Pak Broto."Begitulah Kara mengawali paginya sebelum berangkat ke bandara soekarno-hatta. Tak peduli seberapa keras Papanya mencegahnya untuk berangkat, Kara tetap maju tak gentar.
Solo traveling ini sudah ia rencanakan sejak enam bulan yang lalu. Ia dengan susah payah menabung honornya sebagai seorang penulis platform online yang jumlahnya kadang naik kadang surut. Tiga bulan sebelumnya ia sudah mendaftar Visa Schengen, dan hari ini ia sudah siap melalangbuana keliling Eropa. Diam-diam dalam hati ia berniat tak usah kembali saja ke Indonesia. Jika bisa.
Ia tertidur pulas sejak pesawat transit di Doha Qatar sampai pesawat tiba di Bandara Schiphol Amsterdam. Ia mengernyit silau melihat lampu pesawat yang sudah dinyalakan.
Dengan mata yang tiba-tiba menjadi segar karena semangat, ia menarik koper hitamnya menuju sebuah Coffee Shop untuk membeli kopi panas karena cuaca ternyata sangat dingin hingga mencapai 0 derajat celcius.
Ia merapatkan long john dan mantelnya sambil menunggu kopi panasnya selesai dibuat. Di sudut sofa yang tak jauh darinya, ia melihat seorang pria muda yang wajahnya terlihat sangat tampan ala Asia. "Ganteng sih, tapi judes bener mukanya," gumamnya dalam hati sambil terus menilai penampilan si pria muda yang kelihatannya kaya raya.
Pria muda itu balas melihat Kara, dengan kecepatan kilat Kara langsung mengalihkan pandangan ke arah barista yang sedang membuat kopinya. Tiba-tiba pria itu berjalan ke arahnya, membuat Kara menjadi salah tingkah. Jangan-jangan dia mau dilabrak karena terang-terangan menatap si pria muda sejak tadi.
Kara pura-pura tak peduli sambil terus menatap ke arah barista, tak lama kemudian, "Indonesia ya?" tanya si pria dengan suara super datarnya.
Hah dia tau gue dari Indonesia? Gue gak tau kalau gue seterkenal itu? Emang muka gue Indonesia banget ya? Astaga apa dia cenayang! Kara terus menerus menebak-nebak dalam hatinya tanpa menjawab si pria yang berdiri menjulang di hadapannya.
Seolah mengerti isi hati Kara, Pria itu menunjuk koper Kara yang terdapat tag di kopernya dengan tulisan CGK, yang artinya adalah Bandara Soekarno-Hatta yang terletak di Cengkareng Tangerang Banten Indonesia.
Kara langsung berdeham karena malu diri, ia mengambil pesanan kopinya di barista lalu berdiri menghadap si pria judes tersebut.
"Ya? Kenapa ya?" tanya Kara dengan suara sok penting.
"Saya mau tanya beberapa hal, bisa duduk sebentar di sofa sana?" tanya pria tersebut, sudah berusaha bersikap sopan tapi entah mengapa tetap saja kedengarannya seperti sedang menyuruh.
Kara mengernyit,
"Tau dari mana saya kalau anda bukan orang jahat?" Ia mulai waspada dan menggenggam erat kopi panasnya."Satu, kita di tempat ramai dan aman. Dua, kamu bisa teriak kalau saya berbuat jahat. Tiga, saya gak ngeliat ada yang berharga yang bisa saya ambil dari kamu," sahut si Pria dengan nada datar-datar saja berlawanan dengan perasaan Kara yang mulai kesal tak karuan.
Sambil melirik si Pria dengan sinis, Kara menyeret kopernya ke sofa tempat si pria duduk, lalu menghempaskan tubuhnya di sana. Tak lama kemudian si Pria yang mengenakan celana chino berwarna krem dan long coat Burberry duduk di depannya.
"Cepetan! ada apa?" tanya Kara sambil menatap si Pria dengan tatapan menilai. 'Boleh juga nih orang, jam nya Rolex! Tajir kayaknya!' pekik Kara dalam hati.
"Jadi saya dadakan ke sini. Belum sempat booking hotel dan ternyata semua hotel udah full. Bahkan hotel bintang 5 juga, semua full!"
Si Pria diam sebentar memberi jeda. Belum sempat si Pria melanjutkan, Kara sudah menyela, "Terussssss? Saya harus sharing hotel gitu sama kamu?!"Si Pria terkejut dengan pemikiran Kara,
"Bukan sharing sih, gak berminat juga saya tidur sama anda. Saya mau bayar hotel yang udah anda booking dengan harga 10 kali lipat!" tukas Pria tersebut sambil mengambil kopinya lalu menyeruput nya dengan perlahan, mempelajari reaksi wanita di hadapannya.APA 10 KALI LIPAT?
Kara sempat tergoda, lumayan juga uangnya untuk tambahan uang saku! Tapi nanti ia tidur dimana?"No Thanks, musim dingin begini yang ada saya jadi terlantar. Sudah ya saya mesti kejar kereta!" Kara berdiri bersiap untuk menarik kopernya.
"30 kali lipat!" teriak si Pria tiba-tiba.
Langkah Kara terhenti, wah lumayan juga! Satu pikiran melintas di benak Kara. Ia menatap si Pria lama, lalu berkata. "50 kali lipat dan kita sharing kamar."
Si Pria melotot tak percaya, seolah merasa di nodai harga dirinya. "Sharing kamar? No! Never!" sahutnya sambil mencibir dengan wajah tampannya yang menyebalkan.
Kara mengangkat bahu seolah tak peduli, lalu berbalik badan bersiap pergi. Ia menghitung dalam hatinya, entah kenapa ia begitu yakin bisa mendapatkan uang extra untuk bekal traveling nya kali ini. "Oke! Oke! Saya ikut!" teriak si Pria pasrah pada akhirnya.
Jadilah dua insan yang tak saling kenal berjalan bersisian di Areal Plaza Schiphol, berdebat antara ingin naik Taxi atau naik Kereta.
"Saya mau coba naik metro! Kalau gak mau ikut ya udah!" tukas Kara seraya melangkah menuju eskalator turun yang mengarah ke Schiphol Railway Station. Enggan berdebat, si Pria menurut, mengikuti Kara di belakang. Sambil menunggu metro datang, Kara menoleh menatap si Pria dengan tatapan yang ia buat segalak mungkin.
"Saya mau liat ID kamu! Yah buat jaga-jaga aja, siapa tau kamu orang aneh atau jahat atau gila," tukas Kara mulai agak ngawur.
Si Pria dengan kesal mengeluarkan paspornya dan memberikannya pada Kara.
BAGASKARA MAHENDARA, oh dia 31 tahun, walahhhh kok belakangnya sama kayak nama aku?' pekik Kara dalam hati.
Ia berdeham sedikit, mengambil foto paspor Bagas lalu mengembalikannya lagi. "Okay Bagas, mari berkenalan dengan resmi. Nama saya Kara Adriana Hadinata. Panggil saja Kara. Mulai sekarang sampai kamu checkout nanti, kamu harus mengikuti peraturan saya okay?" ujar Kara sambil tersenyum manis, ia sudah membayangkan akan mendapat pembayaran 50 kali lipat dari biaya sewa kamar nya!
Bagas mendengus sinis, lalu memasukan paspornya kembali ke dalam saku mantelnya.
"Nama kamu beneran Kara? Atau cuma ngepasin aja sama nama saya?" tanya Bagas datar.Dengan kesal Kara mengeluarkan paspornya, lalu menunjukkan lekat-lekat ke wajah Bagas.
"BACA NIH! KARA ADRIANA HADINATA! PEDE BANGET SIH JADI ORANG!" omelnya kesal.Tadinya ia ingin melanjutkan omelannya, tapi Bagas diselamatkan oleh metro yang datang, yang akan mengantarkan mereka sampai ke Sloterdijk Station. Metro malam itu tidak begitu penuh, hanya ada beberapa orang saja dalam satu gerbong. Kara dan Bagas duduk bersebelahan namun saling memalingkan wajah.
Dalam hati Bagas merutuki kesialannya karena lupa memesan hotel dan harus berurusan dengan makhluk ngawur seperti Kara yang dari tampang nya saja kelihatannya mata duitan. Sementara itu Kara malah sibuk mengalikan jumlah uang yang akan ia dapat, bahkan ia mulai merencanakan itinerary tambahan untuk agenda solo travelingnya.
Sampai di Sloterdijk Station, Kara menarik kopernya menuju pintu keluar stasiun. Kebetulan penginapan yang di rekomendasikan sahabatnya tidak jauh dari sana.
"Jalan kaki?" tanya Bagas saat melihat Kara mulai melangkah di trotoar. "Udah ikut aja, bawel bener," sahut Kara tanpa menoleh.
'Di peta tadi 100 meter dari stasiun kan ya?' ia bergumam dalam hati.
Ia gengsi untuk melihat peta sehingga memutuskan untuk terus berjalan mengikuti instingnya. Setelah berjalan agak jauh Bagas mulai mengomel, "Jauh banget gak sampe - sampe!"
"Cuma 100 meter kok!"
kelit Kara sambil mengeluarkan ponselnya, lalu membuka ulang catatan perjalanannya.Ia terdiam, melirik Bagas dengan wajah tertangkap basah. "Kenapa?!" bentak Bagas kesal. Kara menggigit bibirnya, lalu menunjukkan catatan di ponselnya. "1000 meter?!"
teriak Bagas tepat di telinga Kara.*****
Alya duduk di sofa ruang tamunya, memandangi layar ponselnya dengan pikiran kacau. Telepon Aiden tadi sore terus terngiang-ngiang di kepalanya. Kalimat singkat itu terasa seperti peringatan, atau mungkin… tawaran bantuan?“Samuel Aditya,” gumam Alya pelan.Mira yang lagi sibuk ngotak-atik kameranya di meja makan langsung mendongak. “Lo ngomong sama diri sendiri lagi, Al?”Alya menatap Mira, ragu sejenak sebelum akhirnya buka suara. “Tadi Aiden telepon gue.”Mata Mira langsung melebar. “Aiden Ravindra? CEO ganteng super jutek itu? Ngapain dia telepon lo?”“Dia bilang, kita harus bicara soal Samuel.”Mira mendekat, duduk di sebelah Alya dengan ekspresi penasaran. “Terus, lo mau?”Alya menghela napas panjang. “Gue nggak tahu, Mir. Gue ngerasa ini bisa jadi kesempatan buat dapat info penting. Tapi di sisi lain, dia nggak bisa sepenuhnya dipercaya.”“Ya iyalah,” Mira menyahut cepat. “Dia CEO gede, Al. Udah pasti dia punya agenda sendiri.”“Tapi kalau dia beneran punya bukti buat ngejatuhin
Pagi itu, Alya duduk di ruang redaksi dengan segelas kopi dingin yang sudah setengah habis. Matanya terpaku ke layar laptop, mengetik cepat sambil sesekali menghela napas panjang. Di sebelahnya, Dio menyandarkan tubuh di kursi dengan ekspresi santai tapi usil.“Artikel lo soal Zenith udah kelar?” tanya Dio sambil melirik layar laptop Alya.“Belum,” jawab Alya singkat tanpa mengalihkan pandangan.“Lo serius banget, kayak mau nulis tesis.” Dio terkekeh.“Dio, kalau nggak ada yang penting, tolong jangan ganggu,” balas Alya sambil mengetik lebih cepat.Reza Hartono, editor senior sekaligus mentor Alya, tiba-tiba muncul dari balik meja. “Alya, gue butuh artikel itu sebelum jam makan siang. Lo masih punya waktu dua jam.”“Iya, Pak Reza. Hampir selesai,” kata Alya sambil mengangguk cepat.“Bagus. Gue percaya lo bisa handle ini,” ujar Reza sambil menepuk bahunya.Setelah Reza pergi, Dio menyeringai kecil. “Jangan lupa kasih gue bocoran soal Aiden Ravindra. CEO misterius itu pasti punya sisi g
Alya mengetuk meja kafe kecil itu sambil melirik pintu. Dia udah duduk di sana selama 15 menit, menunggu seseorang. Kopi di depannya udah setengah dingin, tapi pikirannya masih sibuk dengan pesan ancaman yang dia terima tadi malam.“Maaf, telat,” suara berat menginterupsi lamunannya. Nathaniel duduk di kursi di seberangnya dengan wajah serius.Alya melipat tangannya di meja. “Lo yakin nggak bakal ada yang curiga lo ketemu sama gue?”Nathaniel tersenyum tipis. “Gue bisa bikin ini keliatan kayak meeting kerja biasa. Lagian, gue COO. Siapa yang bakal nanya?”Alya mengangkat alis. “Oke, jadi kenapa lo minta ketemu?”Nathaniel mengeluarkan amplop cokelat dari tasnya. “Gue nemu sesuatu di laporan keuangan Zenith. Ini kayak… pola yang aneh, tapi gue nggak bisa pastiin ini sabotase atau cuma salah input data.”Alya mengambil amplop itu, membuka isinya, dan mulai membaca cepat. “Ini… transfer dana kecil, tapi sering. Ke akun yang beda-beda?”Nathaniel mengangguk. “Tepat. Kalau dilihat sekilas,
Pagi itu, Alya menatap layar laptopnya sambil menyeruput kopi yang mulai dingin. Ia bolak-balik membaca catatan dari Evelyn dan mencoba mencocokkannya dengan beberapa dokumen lain yang ia temukan. Semuanya terasa seperti teka-teki besar yang belum ada gambarnya.“Lo nggak tidur, ya?” suara Mira yang baru bangun terdengar dari dapur kecil.“Sebentar aja,” jawab Alya singkat.“Sebentar yang udah masuk hari ketiga?” Mira mendekati meja kerja Alya sambil membawa roti bakar. “Lo serius banget. Awas, jangan sampai burnout.”Alya mendesah. “Gue nggak bisa berhenti, Mir. Semuanya makin jelas. Gue cuma butuh satu bukti lagi buat tahu siapa dalang sabotase Zenith ini.”Mira duduk di samping Alya, mengunyah pelan. “Lo yakin ini bukan cuma permainan Evelyn? Dia tuh manipulatif banget.”“Itu yang bikin gue pusing,” jawab Alya sambil mengusap wajah. “Tapi fakta yang dia kasih cocok sama investigasi gue.”Mira mengangkat bahu. “Yaudah, kalau lo yakin, gas terus. Tapi jangan lupa istirahat.”Di sisi
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.