Home / Thriller / Jejak di Balik Pesantren / Manusia yang Dihapus

Share

Manusia yang Dihapus

Author: InkRealm
last update Last Updated: 2025-03-23 15:54:56

Sementara itu, Kapten Arya terbangun di tempat berbeda.

Kepalanya berdenyut hebat, seakan ia baru saja mengalami sesuatu yang seharusnya tidak bisa diingat.

Ia duduk di ruangan yang kosong, hanya diterangi cahaya lampu redup. Tidak ada jendela, tidak ada pintu yang terlihat.

Ia menyadari sesuatu yang lebih aneh.

Senjatanya hilang.

Bahkan, ia merasa pakaiannya pun bukan seragam militernya. Ia mengenakan jubah santri.

Ia menyentuh wajahnya, mencoba memastikan dirinya masih dirinya.

Lalu, suara dari sudut ruangan terdengar.

“Jangan melawan, Kapten. Semuanya sudah diatur.”

Kapten Arya langsung menoleh.

Dari kegelapan, seseorang melangkah keluar.

Pria itu… mirip dengannya.

Sama tinggi, sama tegap. Tetapi wajahnya lebih tua, lebih lelah.

Seakan telah mengalami hidup yang terlalu panjang.

Kapten Arya berusaha tetap tenang. “Siapa kau?”

Pria itu tersenyum tipis. “Aku adalah dirimu.”

Kapten Arya langsung meraih sesuatu di lantai, sepotong kayu tajam bersiap untuk bertarung.

Pria itu hanya menggeleng.

“Kau tidak perlu melawan. Karena pada akhirnya, kau akan kembali ke titik ini.”

Kapten Arya menyipitkan mata. “Apa maksudmu?”

Pria itu menatapnya tajam.

“Kau pikir ini pertama kalinya kau berada di sini?”

Kapten Arya merasakan desakan aneh di kepalanya, seperti sesuatu yang berusaha keluar dari pikirannya.

Lalu pria itu melanjutkan, dengan suara yang lebih pelan, lebih menusuk.

“Berapa kali kau berpikir kau telah menyelamatkan Faris?”

Kapten Arya mengerjap. “Aku… apa?”

Pria itu mendekat dan berbisik tepat di telinganya.

“Ini sudah lebih dari seratus kali.”

Dunia Kapten Arya runtuh.

Di ruangan lain, Ustadz Faris mulai merasakan sesuatu di dalam dirinya.

Potongan-potongan ingatan yang dulu buram kini mulai muncul kembali.

Ia melihat dirinya yang lebih muda, berjalan memasuki pesantren ini untuk pertama kalinya.

Tapi sesuatu tidak beres.

Di setiap ingatan yang muncul, ada satu hal yang selalu berubah.

Kadang, ia masuk ke pesantren ini saat masih anak-anak.

Kadang, ia datang ke sini sebagai pemuda berusia dua puluh tahun.

Dan kadang, ia bahkan tidak datang ke pesantren ini sama sekali.

Realitasnya selalu berubah.

Dan ia mulai menyadari sebuah pola.

Setiap kali ia mencoba mengingat sesuatu yang lebih dalam…

Waktunya akan di-reset.

Ia menutup matanya, mencoba mengumpulkan seluruh ingatan yang masih tersisa.

Siapa yang mengendalikan semua ini?

Kenapa ia terus-menerus kehilangan kenangan?

Lalu, suara pria tua itu terdengar lagi.

“Kau sudah terlalu dekat dengan kebenaran, Faris.”

Ustadz Faris membuka matanya.

Pria tua itu tersenyum samar.

“Tapi kau harus memilih. Jika kau mengingat semuanya, kau tidak akan bisa kembali.”

Ustadz Faris menatapnya dengan tajam.

Ia tidak peduli.

Ia ingin tahu.

Ia harus tahu.

Lalu, pria tua itu mengangkat tangannya…

Dan semuanya berubah.

Kapten Arya dan Ustadz Faris terbangun di tempat yang sama.

Kali ini, mereka berada di dalam ruang yang seluruhnya berwarna putih.

Di tengah ruangan, seseorang duduk di kursi, menunggu mereka.

Ia mengenakan jubah panjang berwarna hitam.

Di meja di depannya, terdapat sebuah buku tebal… dan pena bulu.

Ia menatap mereka berdua, lalu tersenyum.

“Selamat datang di akhir pencarian kalian.”

Kapten Arya mengangkat alis. “Siapa kamu?”

Pria itu meletakkan buku di hadapannya.

“Aku adalah penulis cerita ini.”

Ustadz Faris menggeleng. "Tidak mungkin. Ini bukan cerita."

Pria itu mengangkat bahu santai. “Benarkah?”

Lalu, ia mengambil pena bulu itu…

Dan mulai menulis sesuatu di atas kertas kosong.

Saat tinta hitam itu menyentuh kertas, sesuatu terjadi.

Tubuh Ustadz Faris dan Kapten Arya mulai menghilang.

Ustaz Faris merasa kakinya mulai memudar. “Apa yang kamu lakukan?!”

Pria itu tetap tersenyum. “Aku hanya menulis akhir yang baru.”

Kapten Arya menggeram. “Kau pikir kami hanya karakter dalam buku ini?”

Pria itu hanya mengangguk pelan.

“Dan selama ini, setiap kali kalian mendekati kebenaran… Aku menulis ulang.”

Ustadz Faris dan Kapten Arya saling bertukar pandang.

Mereka sudah masuk terlalu dalam.

Mereka tidak hanya menghadapi konspirasi biasa.

Mereka telah menghadapi pencipta dunia mereka sendiri.

Dan sebelum mereka bisa melakukan apa pun…

Halaman terakhir dari buku itu tertutup.

Dan semuanya kembali menjadi kegelapan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jejak di Balik Pesantren   Kalimat Terakhir Dunia

    Bab Terakhir: Kalimat Terakhir DuniaLangit di atas Pesantren Narasi menjadi hitam pekat, seolah tinta raksasa tertumpah dari langit realitas. Awan-awan bergulung seperti gulungan naskah yang terbakar, mengelupas huruf-hurufnya dan menciptakan retakan dalam ruang dan waktu. Di tengah lapangan pesantren yang retak oleh garis-garis cahaya biru dan ungu, Lena berdiri tegak, memegang selembar halaman terakhir—halaman yang disebut para penjaga naratif sebagai "Kalimat Terakhir Dunia."Di sisinya, Kai berdiri dalam diam. Di kejauhan, Ustadz Faris dan para narator yang selamat—mereka yang menolak tunduk pada struktur lama—menyusun barisan di bawah gapura besar yang sudah berubah bentuk menjadi gerbang bercahaya, seperti batas antara fiksi dan kenyataan. Arx, yang dulu merupakan frasa pertama yang tak pernah ditulis, kini bersimpuh di depan Lena dan Kai, wajahnya merekah dalam kesedihan dan pengakuan."Kau tidak harus melakukan ini, Lena," bisik Arx, suaranya lelah. "Jika kalimat terakhir itu

  • Jejak di Balik Pesantren   Cahaya yang Menjawab Langit

    Cahaya yang Menjawab LangitLangit dini hari itu menghitam, bukan karena gelap malam, tapi karena mendung yang menggantungkan ketegangan. Lena berdiri di bawah gerbang pesantren yang sudah nyaris runtuh, tapi ia tak gentar. Di sampingnya, Kai mengepalkan tangan, sementara Arx berdiri di sisi mereka, tak lagi bersembunyi di balik bayang-bayang naskah lama."Ini waktunya," bisik Lena.Mereka bertiga melangkah masuk ke ruang utama, di mana para Frasa Terbuang telah berkumpul. Di tengah-tengah aula itu, Ustadz Faris berdiri, berselimut cahaya samar dari manuskrip kuno yang telah dibuka."Lena, Kai, Arx," sapa Ustadz Faris tanpa suara, hanya gema makna yang menyentuh kesadaran mereka. "Sudah tiba waktunya bagi dunia ini menyelesaikan kalimatnya."Seketika, langit-langit pesantren retak, memperlihatkan lorong-lorong narasi yang belum selesai, tumpukan cerita yang pernah dibatalkan, dan potongan konflik yang sengaja ditinggalkan oleh para Penulis Yang Diundang. Lena melangkah ke tengah ruang

  • Jejak di Balik Pesantren   Di Balik Jendela yang Tak Pernah Ditutup

    Di Balik Jendela yang Tak Pernah DitutupLangit pesantren diliputi cahaya jingga yang lembut. Waktu seolah melambat, memberi kesempatan terakhir bagi Lena dan Kai untuk menyentuh benang-benang takdir yang masih berserakan. Lorong-lorong sunyi yang pernah menyimpan suara-suara narasi yang dibisukan kini terbuka lebar, membiarkan mereka menelusuri jejak terakhir.Di balik ruang perpustakaan yang selama ini tertutup, mereka menemukan jendela besar yang tidak pernah ditutup. Bukan sekadar lubang cahaya biasa, tapi jendela itu memperlihatkan dunia luar yang belum pernah dituliskan. Dunia di mana pembaca berjalan di antara kalimat yang belum selesai, dunia tempat gema langkah Ustadz Faris pernah tertinggal di sisi lain halaman."Ini bukan jendela biasa," bisik Kai, menatap selembar kertas melayang di udara. Kalimat di atasnya belum sempurna, seolah menunggu seseorang untuk menyempurnakannya. Lena memegang ujung kalimat itu dengan jemari gemetar."Kalau begitu," ucap Lena pelan, "mungkin mem

  • Jejak di Balik Pesantren   Penulis yang Terlambat Datang

    Penulis yang Terlambat DatangSetelah Konvensi Kata ditutup dengan pembacaan Piagam Narasi Baru, suasana Kota Kata berubah. Bukan hanya karena langit kembali tenang dan halaman halaman tidak lagi terlipat dari luar, tapi karena kesadaran baru telah lahir. Setiap tokoh kini diberi pena, bukan hanya sebagai simbol, tetapi sebagai alat. Mereka bukan lagi pengikut alur, melainkan pencipta alur itu sendiri.Lena duduk di teras depan madrasah. Di tangannya, selembar halaman kosong yang belum ditulisi. Ia tahu halaman itu bukan untuk dirinya. Halaman itu disiapkan untuk siapa pun yang siap menulis cerita berikutnya, tanpa batas, tanpa instruksi paksa. Kai duduk di sebelahnya, menatap langit yang mulai kembali dipenuhi bintang."Masih ada yang belum menulis," kata Kai. "Masih banyak yang takut."Lena mengangguk pelan. "Menulis itu menakutkan. Tapi diam lebih mematikan."Dari ujung lorong madrasah, Ustadz Faris berjalan pelan membawa segulung manuskrip yang usang. Di belakangnya, Arx mengikuti

  • Jejak di Balik Pesantren   Suara dari Luar Halaman

    Suara dari Luar HalamanMalam yang turun di Kota Kata bukan malam biasa. Langitnya masih tertulis, tapi kali ini dengan kalimat yang tidak bisa dibaca. Aksara di langit berkilau dalam pola yang asing. Lena berdiri di balkon menara pengamatan, memandangi fenomena itu bersama Kai. Mereka bukan lagi hanya tokoh dalam kisah, mereka kini penjaga bagi struktur baru yang lahir dari luka, cinta, dan perlawanan.Tiba tiba bumi di bawah mereka bergemuruh pelan. Tidak seperti gempa, tapi seperti halaman yang dilipat dari luar. Di batas cakrawala, muncul retakan samar berbentuk lingkaran. Dan dari dalamnya terdengar suara. Bukan suara manusia, bukan narator, dan bukan pula pembaca.Suara itu menulis dirinya sendiri.Lena segera turun dari menara dan memanggil semua tokoh utama dan figuran. Kota Kata berkumpul di lapangan tengah, di depan madrasah tempat Ustadz Faris mengajarkan makna. Ustadz Faris berdiri di atas mimbar kayu, sorot matanya tenang namun waspada. Ia tahu ini bukan musuh lama. Ini

  • Jejak di Balik Pesantren   Kota Kata dan Suara Baru

    Kota Kata dan Suara BaruSetelah meledaknya cahaya dari kalimat terakhir Lena, dunia perlahan membentuk dirinya kembali. Namun tidak seperti sebelumnya, kali ini tidak ada satu pusat, tidak ada struktur tunggal yang mengatur semuanya. Sebaliknya, dunia ini hidup seperti jalinan suara dan makna dari berbagai karakter yang pernah terlupakan.Kai berdiri di tengah tanah yang belum selesai. Tanah itu seperti kertas kosong, tapi di setiap tapaknya muncul bunga-bunga kecil yang terbentuk dari metafora dan perumpamaan. Lena di sampingnya sedang menuliskan peta kota, bukan dengan kompas, tapi dengan kenangan yang mereka alami bersama."Kita beri nama apa untuk tempat ini?" tanya Kai.Lena menatap ke sekeliling. Kota ini bukan kota biasa. Setiap rumah terbuat dari paragraf yang belum selesai, setiap jalan dibangun dari bab-bab yang tertunda. Ada toko yang menjual judul, lapak kecil yang menyusun tanda baca seperti perhiasan, dan pepohonan yang daunnya mengeluarkan dialog lembut."Kita sebut sa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status