Share

4. Demi Keluarga

"Yakin, Dis?" tanya Rika untuk kesekian kalinya saat Gendis membereskan buku-bukunya.

"Yakin ... udah santai aja, lain kali kalo aku sedang off kerja, kamu bisa traktir aku," ucap Gendis beranjak dari tempat duduknya.

"Hhmm ... ya sudah kalo gitu, sayang banget padahal aku pengin ajak kamu jalan-jalan," ujar Rika dengan mimik wajah kecewa. "Emm, sebentar Dis." 

Rika merogoh kantung celananya, di ambilnya dua lembar uang berwarna merah lalu diberikannya pada Gendis.

"Ini uang buat ibu, bilang sama ibu besok aku mau main ke rumah, masakin aku masakan yang enak," ujar Rika.

Ya, begitulah cara Rika jika ingin memberikan uang pada Gendis agar tidak Gendis tolak. Alih-alih meminta ibu Gendis untuk memasakkannya masakan yang lezat untuk dirinya.

"Ibu masih ada uang, Ka," tolak Gendis. "Kamu kebiasaan kalo kayak gini." Gendis mengembalikan uang itu pada Rika.

"Aku yang minta ibu buat masakin, jadi nggak ada alasan kamu tolak," gerutu Rika menyelipkan uang dua ratus ribu itu di kantung celana Gendis. "Besok aku ke rumah ya, pastikan kamu nggak kerja terus." Rika pergi begitu saja meninggalkan Gendis yang pasti akan menolaknya dengan seribu alasan.

"Ck, kebiasaan," umpat Gendis kemudian merogoh kembali kantungnya memandangi uang yang Rika berikan.

Rika sudah banyak sekali membantu keluarganya. Meski bukan dari keluarga kaya raya, tapi bisa di bilang Rika berkecukupan, sayangnya pergaulan gadis itu kadang membuat Gendis geram.

Melangkah menuju halte bis, Gendis menyalakan ponselnya ada beberapa pesan masuk salah satunya dari teman shiftnya yang memastikan Gendis masuk kerja siang ini menggantikannya.

Hampir empat tahun semenjak dia lulus SMA, Gendis sudah bekerja sebagai salah satu karyawan di sebuah minimarket. Dulu yang ada di pikirannya, bagaimana bisa membantu keluarganya agar tetap bisa bertahan hidup.

Jujur saja, tinggal di Jakarta tidak lah mudah. Apalagi saat dinyatakan Wati, sang ibu mengidap penyakit diabetes. Gendis mau tidak mau berusaha sekuat tenaganya untuk menjadi penopang hidup orang tua dan satu adiknya.

Semenjak Wati memutuskan berhenti menjadi pembantu rumahtangga, maka pendapatan keluarga itu berkurang. Sesekali saja Wati membuat kue-kue kecil lalu dititipkan di tempat jajan pasar. Itu pun kalau tubuhnya sedang tidak rapuh, itu lah sebabnya Gendis selalu melarang Wati melakukan pekerjaan rumah.

Bis yang membawanya menuju ke arah rumah itu berhenti. Arah menuju minimarket sama dengan arah Gendis pulang ke rumahnya. Langkah kaki itu masih terasa semangatnya, saat dia membuka pintu minimarket angin AC menerpa wajahnya, rasanya begitu segar. Hampir dua ratus meter jarak yang dia tempuh saat turun dari bis tadi.

"Ah, gue kira lo telat, Dis," ujar Andi teman satu shiftnya siang itu. "Eh, gue bawa makan siang, Lo udah makan belum?" tanya Andi.

"Belum, tapi nanti aku beli aja."

"Makan bareng gue, ayo ... sebelum pergantian shift," ajak Andi masuk ke ruangan karyawan.

Satu tempat nasi berisi ayam goreng, sambal terasi, tempe goreng dan satu plastik berisi sayur asem.

"Ini mangkuknya." Andi menyodorkan mangkuk untuk tempat sayur asem. "Emak tadi bawa nasinya banyak, gue yang minta sih. Gue bilang, gue mau makan bareng sama Gendis," ujarnya berseri-seri.

"Ini banyak banget, bilang emak ... makasih," ucap Gendis sambil menyuapkan makanan ke mulutnya. "Enak banget."

"Liat lo makan aja gue udah kenyang," kekeh Andi. "Tadi kuliah ketemu dong sama ... siapa temen lo yang sering kesini?"

"Rika?"

"Iya, Rika ... udah lama nggak kesini, pasti tambah cantik," ujar Andi.

Gendis menghentikan kunyahannya, lalu menatap lelaki yang umurnya sama dengan dia. "Jadi, ini makanan kamu bawa buat aku karena pengen tau kabar Rika?"

"Ish, ya nggak lah ... tapi iya juga sih." Andi menampakkan giginya menyerupai cengiran tanpa dosa.

"Dasar!" 

"Semalam pulang sendiri?" tanya Andi yang memang kemarin kedapatan masuk di pagi hari.

"Iya, tadinya aku kira sendiri. Ternyata Bayu udah nungguin di depan," kata Gendis membersihkan tangannya.

"Lo nggak kepikiran nyari pacar, Dis. Ya yang pasti bukan sama gue sih, udah tau juga gue jawabannya apa." Andi tertawa mengingat pertemanan mereka memang sudah terlalu lama, sudah tahu luar dan dalam.

"Belum lah, mikirin makan, biaya kuliah sama sekolah Bayu aja sudah menguras energi masih mau mikirin masalah hati, buang-buang waktu."

"Tapi, sesekali ya pikirin diri sendiri lah," ucap Andi.

"Ada keluarga aku, ada emak, ada kamu, ada Rika dan teman-teman di sini itu sudah cukup buat aku, Ndi. Jangan terlalu muluk hidup Ndi, kita ini orang susah, pikirkan ini dulu," tunjuknya pada perut. "Kalo ini kenyang, semua akan berjalan lebih baik." Gendis bangkit dari duduknya di lantai. "Ayo kerja, biar bisa makan." 

Tepat pukul 10 malam, minimarket itu tutup. Seperti biasa Andi akan mengantarkan Gendis sampai gerbang rumah susun, setelahnya lelaki bertubuh kurus itu akan melanjutkan perjalanannha menuju kediamannya yang berjarak dua kilometer dari tempat Gendis.

"Makasih ya, Ndi," ucap Gendis.

"Sama-sama," ujar Andi menyalakan kembali motor maticnya. "Besok masuk siang kan?" Gendis mengangguk. "Pulang ya." Sambil melambaikan tangannya Andi menghilang di kegelapan.

Untuk sampai ke lantai tiga Gendis harus menaiki anak tangga. Biasanya kalau sudah malam begini, banyak pemuda-pemuda yang duduk-duduk di anak tangga. Sebagian dari mereka menyapa Gendis, ada lagi yang menggoda Gendis dengan siulan atau gombalan receh yang terkadang bisa membuat Gendis tersenyum.

"Baru pulang, Dis?" tanya lelaki yang tinggal berjarak terpisah tiga petak dari tempat Gendis tinggal.

"Iya, Mas," jawab Gendis.

"Ini," ujarnya memberikan satu buku akuntansi sesuai jurusan Gendis. "Aku tau nanti suatu saat kamu butuh. Ambil ...."

"Wah, makasih Mas ... Ini bakal ke pake untuk skripsi aku kayaknya," ucap Gendis dengan mata berbinar-binar. "Aku pernah liat dosen bawa buku ini, makasih ya."

"Iya, besok kerja masuk apa?"

"Pagi Mas. Kenapa?"

"Kalo gitu, sore udah di rumah?"

"Udah, besok kuliah jam tiga, cuma dua SKS," jawab Gendis. "Kenapa, sih?"

"Jalan yuk," kata Arya nama lelaki itu.

"Mas Arya nggak kerja?"

"Makanya pulang kerja aku jemput di kampus kamu, ya."

"Tapi—"

"Please, jangan nolak ... sesekali terima ajakan aku," ujarnya dengan tangan menangkup memohon di depan dada.

"Eem ... nanti aku kabari ya. Aku masuk ya Mas, makasih bukunya," jawab Gendis mengangkat buku di tangannya.

Komen (8)
goodnovel comment avatar
Devi Pramita
ternyata Gendis ada yg sukain
goodnovel comment avatar
winnie prass
berasa real bgt kehidupan crta gendis.....
goodnovel comment avatar
Puput Gendis
cieee pendekatan ya arya hahaha
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status