"Yakin, Dis?" tanya Rika untuk kesekian kalinya saat Gendis membereskan buku-bukunya.
"Yakin ... udah santai aja, lain kali kalo aku sedang off kerja, kamu bisa traktir aku," ucap Gendis beranjak dari tempat duduknya.
"Hhmm ... ya sudah kalo gitu, sayang banget padahal aku pengin ajak kamu jalan-jalan," ujar Rika dengan mimik wajah kecewa. "Emm, sebentar Dis."
Rika merogoh kantung celananya, di ambilnya dua lembar uang berwarna merah lalu diberikannya pada Gendis.
"Ini uang buat ibu, bilang sama ibu besok aku mau main ke rumah, masakin aku masakan yang enak," ujar Rika.
Ya, begitulah cara Rika jika ingin memberikan uang pada Gendis agar tidak Gendis tolak. Alih-alih meminta ibu Gendis untuk memasakkannya masakan yang lezat untuk dirinya.
"Ibu masih ada uang, Ka," tolak Gendis. "Kamu kebiasaan kalo kayak gini." Gendis mengembalikan uang itu pada Rika.
"Aku yang minta ibu buat masakin, jadi nggak ada alasan kamu tolak," gerutu Rika menyelipkan uang dua ratus ribu itu di kantung celana Gendis. "Besok aku ke rumah ya, pastikan kamu nggak kerja terus." Rika pergi begitu saja meninggalkan Gendis yang pasti akan menolaknya dengan seribu alasan.
"Ck, kebiasaan," umpat Gendis kemudian merogoh kembali kantungnya memandangi uang yang Rika berikan.
Rika sudah banyak sekali membantu keluarganya. Meski bukan dari keluarga kaya raya, tapi bisa di bilang Rika berkecukupan, sayangnya pergaulan gadis itu kadang membuat Gendis geram.
Melangkah menuju halte bis, Gendis menyalakan ponselnya ada beberapa pesan masuk salah satunya dari teman shiftnya yang memastikan Gendis masuk kerja siang ini menggantikannya.
Hampir empat tahun semenjak dia lulus SMA, Gendis sudah bekerja sebagai salah satu karyawan di sebuah minimarket. Dulu yang ada di pikirannya, bagaimana bisa membantu keluarganya agar tetap bisa bertahan hidup.
Jujur saja, tinggal di Jakarta tidak lah mudah. Apalagi saat dinyatakan Wati, sang ibu mengidap penyakit diabetes. Gendis mau tidak mau berusaha sekuat tenaganya untuk menjadi penopang hidup orang tua dan satu adiknya.
Semenjak Wati memutuskan berhenti menjadi pembantu rumahtangga, maka pendapatan keluarga itu berkurang. Sesekali saja Wati membuat kue-kue kecil lalu dititipkan di tempat jajan pasar. Itu pun kalau tubuhnya sedang tidak rapuh, itu lah sebabnya Gendis selalu melarang Wati melakukan pekerjaan rumah.
Bis yang membawanya menuju ke arah rumah itu berhenti. Arah menuju minimarket sama dengan arah Gendis pulang ke rumahnya. Langkah kaki itu masih terasa semangatnya, saat dia membuka pintu minimarket angin AC menerpa wajahnya, rasanya begitu segar. Hampir dua ratus meter jarak yang dia tempuh saat turun dari bis tadi.
"Ah, gue kira lo telat, Dis," ujar Andi teman satu shiftnya siang itu. "Eh, gue bawa makan siang, Lo udah makan belum?" tanya Andi.
"Belum, tapi nanti aku beli aja."
"Makan bareng gue, ayo ... sebelum pergantian shift," ajak Andi masuk ke ruangan karyawan.
Satu tempat nasi berisi ayam goreng, sambal terasi, tempe goreng dan satu plastik berisi sayur asem.
"Ini mangkuknya." Andi menyodorkan mangkuk untuk tempat sayur asem. "Emak tadi bawa nasinya banyak, gue yang minta sih. Gue bilang, gue mau makan bareng sama Gendis," ujarnya berseri-seri.
"Ini banyak banget, bilang emak ... makasih," ucap Gendis sambil menyuapkan makanan ke mulutnya. "Enak banget."
"Liat lo makan aja gue udah kenyang," kekeh Andi. "Tadi kuliah ketemu dong sama ... siapa temen lo yang sering kesini?"
"Rika?"
"Iya, Rika ... udah lama nggak kesini, pasti tambah cantik," ujar Andi.
Gendis menghentikan kunyahannya, lalu menatap lelaki yang umurnya sama dengan dia. "Jadi, ini makanan kamu bawa buat aku karena pengen tau kabar Rika?"
"Ish, ya nggak lah ... tapi iya juga sih." Andi menampakkan giginya menyerupai cengiran tanpa dosa.
"Dasar!"
"Semalam pulang sendiri?" tanya Andi yang memang kemarin kedapatan masuk di pagi hari.
"Iya, tadinya aku kira sendiri. Ternyata Bayu udah nungguin di depan," kata Gendis membersihkan tangannya.
"Lo nggak kepikiran nyari pacar, Dis. Ya yang pasti bukan sama gue sih, udah tau juga gue jawabannya apa." Andi tertawa mengingat pertemanan mereka memang sudah terlalu lama, sudah tahu luar dan dalam.
"Belum lah, mikirin makan, biaya kuliah sama sekolah Bayu aja sudah menguras energi masih mau mikirin masalah hati, buang-buang waktu."
"Tapi, sesekali ya pikirin diri sendiri lah," ucap Andi.
"Ada keluarga aku, ada emak, ada kamu, ada Rika dan teman-teman di sini itu sudah cukup buat aku, Ndi. Jangan terlalu muluk hidup Ndi, kita ini orang susah, pikirkan ini dulu," tunjuknya pada perut. "Kalo ini kenyang, semua akan berjalan lebih baik." Gendis bangkit dari duduknya di lantai. "Ayo kerja, biar bisa makan."
Tepat pukul 10 malam, minimarket itu tutup. Seperti biasa Andi akan mengantarkan Gendis sampai gerbang rumah susun, setelahnya lelaki bertubuh kurus itu akan melanjutkan perjalanannha menuju kediamannya yang berjarak dua kilometer dari tempat Gendis.
"Makasih ya, Ndi," ucap Gendis.
"Sama-sama," ujar Andi menyalakan kembali motor maticnya. "Besok masuk siang kan?" Gendis mengangguk. "Pulang ya." Sambil melambaikan tangannya Andi menghilang di kegelapan.
Untuk sampai ke lantai tiga Gendis harus menaiki anak tangga. Biasanya kalau sudah malam begini, banyak pemuda-pemuda yang duduk-duduk di anak tangga. Sebagian dari mereka menyapa Gendis, ada lagi yang menggoda Gendis dengan siulan atau gombalan receh yang terkadang bisa membuat Gendis tersenyum.
"Baru pulang, Dis?" tanya lelaki yang tinggal berjarak terpisah tiga petak dari tempat Gendis tinggal.
"Iya, Mas," jawab Gendis.
"Ini," ujarnya memberikan satu buku akuntansi sesuai jurusan Gendis. "Aku tau nanti suatu saat kamu butuh. Ambil ...."
"Wah, makasih Mas ... Ini bakal ke pake untuk skripsi aku kayaknya," ucap Gendis dengan mata berbinar-binar. "Aku pernah liat dosen bawa buku ini, makasih ya."
"Iya, besok kerja masuk apa?"
"Pagi Mas. Kenapa?"
"Kalo gitu, sore udah di rumah?"
"Udah, besok kuliah jam tiga, cuma dua SKS," jawab Gendis. "Kenapa, sih?"
"Jalan yuk," kata Arya nama lelaki itu.
"Mas Arya nggak kerja?"
"Makanya pulang kerja aku jemput di kampus kamu, ya."
"Tapi—"
"Please, jangan nolak ... sesekali terima ajakan aku," ujarnya dengan tangan menangkup memohon di depan dada.
"Eem ... nanti aku kabari ya. Aku masuk ya Mas, makasih bukunya," jawab Gendis mengangkat buku di tangannya.
Ciuman itu begitu liar, Sakti terlihat terburu-buru membuka pakaian lawan mainnya malam ini. Wanita berbeda lagi yang di temuinya malam ini sewaktu dia berada di club tadi."Slowly," ucap wanita itu lembut.Sakti seakan tidak perduli, dia dengan rakusnya melumat bibir yang sejak tadi tidak pernah diam selama perjalanan mereka.Sakti menghempaskan tubuh indah itu ke atas ranjang, seraya tersenyum miring. Gaun berwarna hitam membalut tubuh itu pun sudah terlepas dari tubuhnya. Sakti melempar kemejanya ke atas sofa, merangkak naik ke atas tubuh teman kencannya malam ini."Siapa nama kamu tadi?" bisik Sakti lalu menyusuri leher jenjang putih mulus itu.Wanita itu mendesah saat Sakti menekan tubuh bagian bawahnya dan menyesap leher wanita itu sedikit kuat."Reina ...," ucapnya lirih seraya mengangkat dagunya memberikan ruang pada Sakti menikmati lehernya."Reina ...." Suara itu begitu lembut, tangan Sakti meremas payudara yang bah
Pagi itu terasa berbeda bagi Sakti, secara sengaja ketika berangkat kerja lagi-lagi dia melewati halte busway tempat pertama kali dia bertemu gadis ber-kulot lilac. Meski gadis itu tidak ada, tetap saja dia perintah agar membawa mobil jangan terlalu cepat. Bahkan setelah melewati halte itu pun Sakti masih memutar kepalanya memastikan gadis itu bisa saja tiba-tiba datang. "Memangnya siapa, Pak?" tanya Supri. "Manis," jawab Sakti sambil tersenyum. "Manis?" Supri melirik kaca spion melihat Sakti di kursi tengah. "Iya, gadis manis di halte busway. Jarang saya liat yang seperti itu. Seperti tadi malam, kamu ingat ... saya bilang kejar gadis yang mengenakan celana kulot itu, saya rasa itu dia." Supri menyadari sepertinya anak majikannya ini sedang jatuh cinta. "Pandangan pertama, Pak." "Kenapa?" "Iya, namanya pandangan pertama ... dulu saya juga pertama kali jatuh cinta sama istri waktu ke temu di pasar becek. Pertama kali lihat dia lagi nawar tempe," cerita Supri. "Kamu ngapain d
"Meeting siang nanti setelah makan siang," ujar Agus assisten pribadi Sakti."Di kantor mereka?""Iya, Pak.""Ok, tim marketing siapa yang kamu tunjuk untuk ikut kita?" tanya Sakti masih fokus dengan berkas yang dia tanda tangani."Saya tunjuk Roro untuk presentasi produk kita," jawab Agus."Ok, kalian bawa mobil kantor saja, saya biar bawa mobil sendiri." Sakti memberikan berkas itu pada Agus."Saya permisi, Pak." Agus mohon diri embali ke ruangannya."Oh ya, Gus," panggil Sakti.Agus memutar tubuhnya, "ya, Pak?""Sudah berapa lama kamu menikah?" tanya Sakti.Agus mengernyitkan dahinya, seingatnya atasannya ini sangat sangat jarang membahas hal pribadi."Sudah berapa lama?" Lagi sakti bertanya."Dua tahun, Pak.""Pacaran berapa lama?""Tiga tahun, Pak. Kalo boleh tau, ada apa Pak?""Total sudah saling kenal lima tahun, nggak bosan?'"Lebih, Pak," ujar
"Pembalutnya isi 10 dengan sayap," ulang Gendis lagi."Ah ... iya— iya," jawab Sakti kelabakan karena merasa mengambil barang-barang itu dengan asal ambil saja."Totalnya 250 ribu, Kak," ujar Gendis lalu tersenyum."Ya ampun," ucap Sakti saat melihat senyum Gendis."Gimana? ada yang salah?" Gendis mengerutkan keningnya."Oh, nggak— nggak, nggak ada yang salah." Sakti merogoh saku celana bagian belakang mengeluarkan dompetnya. "Berapa tadi?""250 ribu," jawab Gendis lagi.Mengeluarkan tiga lembar uang ratusan, dan memberikannya pada Gendis. Detak jantung itu masih sama, berdegub kencang. Apalagi saat Gendis memberikan uang kembaliannya pada Sakti beserta struk pembayaran, jari mereka tak sengaja bersentuhan."Terimakasih, selamat berbelanja kembali," ujar Gendis dan lagi-lagi kembali tersenyum."Sama-sama," jawab Sakti namun mata lelaki itu mengarah pada name tag yang berada di dada Gendis.Gendis menge
"Pacarnya? ck ...." Sakti berdecak, kecewa terlihat dari raut wajahnya.Sebegitu ingin tahunya dia tentang Gendis, namun ketika rasa penasarannya membuncah lalu menghadapi kenyataan kalo gadis itu malah milik orang lain."Nggak mungkin pacarnya, kalo pacar pasti naek motornya nggak jauhan kayak gitu. Ck, bukan ... bukan pacar, mungkin kakaknya. Nah, bisa jadi ...."Bergelut dengan pikirannya sendiri, Sakti memutuskan untuk datang lagi besok. Meraih gawainya, Sakti mencari nama Supri. Hal pertama yang harus dia lakukan adalah menghubungi Supri, hanya lelaki itu yang bisa membantunya."Pri.""Ya, Pak.""Kamu di rumah?""Iya, Pak ... saya di rumah Pak Satyo.""Besok, setelah antar Papa ... kamu ke kantor saya, ya.""Siap, Pak.""Oh ya, kamu udah cari motor yang saya mau kemarin?""Belum, Pak ... maaf, seharian saya nemenin Pak Satyo.""Ya sudah, besok temani saya berarti. Nanti saya bi
"Dis, lo kenapa?" tanya Andi, melihat Gendis berjingkrak setelah lelaki yang terakhir berada di depan kasir itu pergi. "Hah? Nggak ... nggak apa-apa," ujar Gendis tersipu malu. "Yee ... udah buruan, udah di hitung?" "Oh iya, sebentar ...." Seperti biasa ketika keluar dari minimarket yang selalu tidak pernah di sangka pasti sudah setia menunggu di sana. "Dia pantang mundur ya ternyata," kata Andi menggoda Gendis. "Ya ampun, Mas Arya ...," ucap Gendis pelan nyaris tak terdengar. "Udah terima aja kenapa, Dis." "Terima apaan?" "Udah nembak, kan?" "Nggak ada nembak ... nembak apa?" "Ya elo Munaroh ... siape lagi?!" Logat Betawi itu terdengar lebih kental dari biasanya. Gendis tertawa, membantu Andi mendorong rolling door, "nggak nembak, nggak ngomong apa-apa, gimana mau nerima." "Nggak gercep, diambil orang aja dulu ... kapok," rutuk Andi. "Gue duluan, ya ... Mas Arya, gue
Matahari sore mulai tenggelam, Sakti masih sibuk dengan pekerjaannya. Tiga hari yang lalu dia memerintahkan Supri untuk mencari tahu siapa Gendis, dimana dia tinggal, kuliah jurusan apa, semester berapa, bagaimana kehidupannya, bagaimana keluarganya. Supri melakukan dengan sangat baik, entah bagaimana cara Supri mendapatkan semua informasi itu, termasuk Gendis belum punya pasangan. Sakti tersenyum saat mendengarkan laporan dari Supri, terlebih saat tahu kalau Gendis belum mempunyai pacar. Itu artinya, peluang untuk dirinya terbuka lebar. Dan sudah tiga hari pula, lelaki itu selalu menyempatkan diri berhenti di minimarket tempat Gendis bekerja, meski masih sering menemukan lelaki lain itu menjemput Gendis tapi setidaknya masih ada celah untuknya masuk ke hati gadis itu. Malam ini rencananya Sakti ingin memperkenalkan diri, tapi bingung harus memulai darimana. Apalagi pekerjaannya yang masih harus dia selesaikan. "Sak," suara berat itu dat
Wangi parfum itu menyeruak ke seluruh ruangan. Sakti menuruni anak tangga sambil berlari kecil, waktu sudah menunjukkan pukul 10 pagi. Rencananya pagi itu, Sakti akan menemui Gendis. Bagaimanapun caranya dia harus memperkenalkan dirinya pada gadis yang membuatnya selalu ingin kembali dan kembali menemui lagi kesana. "Mau kemana?" tanya Hanna yang sedang duduk di meja makan bersama Tari yang sedang mengupas buah-buahan. "Mau ketemu calon yang memenuhi kriteria Mama semalam," ujar Sakti menyeruput kopi yang terhidang di meja itu, matanya melirik ke arah Tari. "Kamu di rumah aja, kan? usahakan selalu nemenin Mama, kamu di sekolahin nggak gratis loh," ujar Sakti sambil berlalu. Seketika wajah gadis yang tidak tahu apa-apa itu mendadak memucat. "Jangan didengerin, dia memang begitu," ucap Hanna tak enak hati. "Pri," panggil Sakti pada Supri yang sedang membersihkan mobil majikannya. "Motor udah siap?" "Udah, Pak ...." Supri memberik