Enjoy reading 😘
"Aku sebentar lagi kesana, jangan gugup santai aja," ujar Sakti pada Gendis melalui sambungan telepon pagi itu. "Tunggu aja, ya." Sambil meyakinkan Gendis agar kekasihnya itu tetap percaya diri saat menghadapi sidang skripsi pagi ini. Baru saja Sakti menyudahi percakapannya dan bersiap untuk menemui kekasihnya, Satyo Anggara datang tiba-tiba dan duduk di sofa ruangan itu sambil menyilangkan satu kaki ke kaki yang lainnya tanpa melihat Sakti. "Malam nanti ikut Papa sama Mama makan malam di restoran tempat biasa, Sak ... teman Papa dari Jerman mengundang kita untuk bertemu dengan keluarganya," ujar Satyo. "Oh ... tapi, aku mungkin agak sedikit telat." Sakti menutup laptopnya lalu melangkah mendekati sofa dan duduk di sana. "Papa tunggu, karena ada pembicaraan yang harus di bahas juga nantinya, Papa buruh persetujuan kamu." Satyo memperhatikan gerak gerik Sakti. "Kamu mau kemana? meeting?" "Ada pertemuan di luar, mungkin sampai sore. Mungkin nanti aku agak telat sampai di restoran. M
Sakti mengusap bibir Gendis yang basah karena ulahnya. Berciuman dengan posisi berdiri seperti ini paling di sukai oleh Sakti, entah lah mungkin lebih terasa debarannya. Sakti menarik sudut bibirnya, gadis yang berdiri di depannya itu masih memejamkan matanya, ciuman Sakti wmmang memabukkan. "Setelah ini kita makan, lalu aku antar kamu pulang," ujar Sakti kembali mencium sekilas bibir basah itu. "Aku ada janji sama papa, dinner dengan klien." Gendis mengangguk, kalau masalah pekerjaan Sakti memang tidak dapat di ganggu gugat, apalagi kalau sudah membawa nama Satyo, ayahnya. Sudah pasti itu adalah klien besar, pikir Gendis. Setelah menikmati masakan Bik Sumi sore itu sebagai perayaan kelulusan Gendis, Sakti mengantarkan gadis itu pulang ke rumah susun. "Aku nggak nganter sampe rumah, ya ... enggak apa-apa, kan?" "Enggak apa-apa, kamu hati-hati di jalan, ya." Gendis melepaskan sabuk pengamannya. "Hei," cegah Sakti saat Gendis akan turun dari mobil. "Apa?" "Ini," ujar Sakti menu
Sakti meletakkan garpu dan sendok dari genggamannya, dia menunggu perihal apa yang akan di sampaikan oleh dua orang lelaki yang berada di depannya. "Maya itu bisnisnya sedang maju di Indonesia, sudah dua tahun dia menjalankan bisnisnya dari Jerman. Karena Papa sudah kenal bibit, bebet dan bobot keluarganya, jadi keinginan Papa saat ini adalah menikahkan kalian berdua selain mempererat hubungan silaturahmi kedua keluarga, juga bisa memperbesar perusahaan kita agar semakin kokoh, apalagi usaha Maya di bidang fashion ini sudah terlihat hasilnya." "Maaf, Pa—" "Tapi Sak, yang harus kamu tau ... sebenarnya dari dulu semasa kalian kecil niat perjodohan ini sudah ada. Saat istri Om masih ada, dia berpesan agar Maya mendapatkan lelaki yang sepadan dengan kami." Billy menoleh pada Maya. "Maaf, Om ... tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada Om dan keluarga, saya tid—" "Pertunangan kalian akan dilaksanakan minggu depan," kata Satyo menatap tajam pada Sakti. "Ma?? Mama nggak bisa diem aja ka
"Maaf ya, aku nggak bisa," kata Gendis sambil mengancing kemejanya. "Karena aku ngerasa ini belum waktunya," ujarnya lagi lalu kembali berbaring di samping Sakti. "Aku yang minta maaf, aku yang terlalu terburu-buru," ujar Sakti menelusup masuk ke dalam pelukan Gendis, wajah lelaki itu tepat di depan dada Gendis. "Maaf ya," ucapnya lagi. "Hhmm." Gendis mengangguk pelan, debar jantungnya mulai teratur. Setengah jam lebih Sakti mencumbunya, membuatnya terbang ke langit dengan sentuhan-sentuhan yang Sakti berikan walau hanya di dada. Kegiatan itu berhenti saat tangan Sakti pelan-pelan masuk ke celah celana panjangnya. "Antar aku pulang, ya," bisik Gendis lembut. "Nanti, sebentar lagi ... di sini dulu," ujar Sakti mengeratkan kembali pelukannya. Waktu menunjukkan pukul tujuh malam sudah, Sakti dan Gendis tertidur masih dengan posisi saling memeluk. Hujan di luar sana semakin membuat mereka nyaman satu sama lain, hingga dering ponsel Gendis mau tak mau membuatnya harus membuka mata. "
"Masuk, Sak." Maya meraih tangan Sakti, mengajaknya masuk ke apartemennya. "Duduk dulu, aku ambilin minum, ya." Maya berjalan ke arah bar kecil di ujung ruangan sambil membuka blazernya dan meletakkannya sembarang. "Kenapa nyari apartemen lagi kalo yang ini aja udah nyaman?" tanya Sakti mengedarkan pandangannya ke setiap ruangan lalu mendudukkan dirinya di sofa besar ruangan itu. "Aku itu orangnya bosenan, kalo udah bosen ya aku tinggal," ujar Maya. "Oh ... begitu juga dengan pasangan?" tanya Sakti menerima satu gelas berisi wine dari Maya. Maya duduk tepat di samping lelaki yang mengenakan kemeja slim fit berwarna hitam itu. "Sejauh ini ... iya. Aku termasuk orang yang mudah bosan, pada apapun. Selalu mencari suasana baru, termasuk pasangan, apalagi bercinta." Maya mengedipkan sebelah matanya. Sakti mendengus dingin, sudah dia duga wanita yang berada di hadapannya ini adalah wanita yang sangat-sangat berpengalaman, mungkin 11 12 dengan dirinya dulu. "Tapi, semakin kesini sepert
Udah lama nunggu?" tanya Sakti saat Gendis masuk ke dalam mobilnya sore itu. "15 menit," jawab Gendis tersenyum lalu Sakti memasangkan sabuk pengaman padanya. "Harum kamu beda ... kayak bukan parfum biasa yang di pake," ujar Gendis mengendusi lengan Sakti. "Enggak, perasaan kamu aja. Masih parfum yang kemarin," kata Sakti dengan debar jantung yang secara tiba-tiba berdetak kencang. "Mukanya biasa aja, aku bercanda kok." Gendis meraup wajah Sakti. "Usil," ucap Sakti dengan senyum kelegaan. "Kemana kita?" Sakti meletakkan kepalanya pada kemudi sambil mengamati wajah manis kekasihnya itu. "Terserah, pagi tadi aku udah ijin sama ibu pulang agak malam, mau pergi sama kamu." "Ibu kasih ijin?" "Iya dong, kan calon mantu," kekeh Gendis. "Pinter." Sakti menjawil ujung hidung Gendis. "Berarti kita makan malem aja, kita ke Ancol? gimana?" "Jauh amat makan di Ancol, gimana kalo kita makan pecel ayam di pinggir jalan sambil lesehan? mau?" "Yang makannya pake tangan?" Sakti mulai menyalaka
"Ibu, aku boleh bawa Gendis sebentar?" tanya Sakti saat mengantarkan kedua orang tua Gendis, serta Bayu pulang ke rumah mereka. "Boleh, tapi jangan terlalu malam pulangnya," ujar Wati memberikan isyarat pada Gendis. "Siap, Bu. Pak, aku bawa Gendis sebentar ya," ujar Sakti lagi. "Iya, hati-hati jangan terlalu malam." Hendro menjawab agak datar. Jujur saja hati lelaki paruh baya itu masih belum bisa menerima perlakuan Satyo kemarin. "Aku ikut masuk dulu ke rumah mau ganti baju," kata Gendis yang mau ikut turun dari mobil. "Eh, nggak usah. Gitu aja, cantik ... cantik dengan kebaya itu," ujar Sakti menahan tangan Gendis. "Kita pergi dulu, Pak, Bu," pamit Sakti lalu melajukan mobilnya menembus panasnya kota Jakarta siang itu. "Mau kemana?" "Mau buat kenang-kenangan," ujar Sakti berhenti di sebuah studio foto terkenal di kota itu. "Kan tadi kita udah poto-poto," sungut Gendis. "Sekalian buat poto engagement. Pertunangan kita," ujar Sakti lalu membuka bagasi belakang mobilnya memba
"Barangnya hanya ini?" tanya Arya pada Hendro saat menerima barang bawaan dari kuli angkut. Stasiun Tugu Yogyakarta pagi itu masih gelap, tepat pukul empat pagi Gendis dan keluarganya sampai di sana. Gendis tersenyum tipis pada Arya, gadis itu selama perjalanan dari Jakarta hingga Yogyakarta hanya diam saja. "Kita langsung ke Gunung Kidul atau ke rumah saya untuk istirahat dulu, Pak?" Arya menghidupkan mesin mobilnya. "Kalo nggak merepotkan Nak Arya, Bapak sih mau nya langsung ke Gunung Kidul saja. Biar lebih leluasa istirahat," ujar Hendro. "Oh baik, kalo begitu kita langsung saja," kata Arya. Dua jam lebih jarak tempuh yang mereka lalui, hingga mobil Arya berhenti di sebuah rumah joglo dengan halaman yang luas. Beberapa orang menyambut kedatangan mereka, dialek Jawa kental begitu terasa. Sambil menurunkan barang-barang miliknya, Arya membantu Gendis membawakannya ke dalam. "Mas Arya," panggil Gendis. "Gimana?" Arya membalikkan tubuhnya. "Mau pulang sekarang?" "Iya ... kam