Share

Tapi Perhatian

Author: FitriElmu
last update Last Updated: 2024-09-20 20:25:41

Keseimbangan Kalea hilang. Tubuhnya oleng dan terjatuh menghantam lantai. Begitu pula mangkuk dan gelas yang dibawanya, terlempar entah kemana. Yang jelas, suara pecahannya renyah di telinga. Kalea meringis. Pantatnya menghantam keras lantai.

"Astaga, Kalea!"

Gita tergopoh menghampirinya. Membantunya berdiri.

"Mana yang sakit?" tanyanya perhatian. Memeriksa seragam Kalea, yang juga terciprat kuah sebelum melayang. Roknya juga kotor.

"Gue gak papa, Git," ringisnya pelan. Namun ada yang lebih penting dari itu. Netranya tertuju pada Barra. Pecahan mangkuk dan gelas itu berada di bawah Barra. Kalea menelan salivanya kasar. Seragam Barra kotor. Baju putihnya berganti warna kecoklatan akibat terkena kuah baksonya.

"Barra, sory ...."

Barra menatapnya dingin. Dengan gerakan cepat, dia menarik tangan Kalea. Menimbulkan bisik-bisik ricuh di kantin.

"Bar, tunggu. Gue urus mangkok gue dulu."

Tapi Barra mengabaikan permintaannya. Justru cowok itu makin mempercepat langkahnya, membuat Kalea kesulitan menyeimbangkan langkahnya. Ditambah bokongnya saja masih nyeri. Barra lupa, atau memang gak ada perasaan.

Barra ternyata membawanya ke kelas.

"Bar, gue harus ----"

"Duduk."

Kalea kicep. Meski dia kerap kesal dengan Barra, tapi setiap kali Barra memperlihatkan sorot dinginnya, dia tak berani. Dia tahu, sorot dingin mana yang biasa saja dengan yang menyiratkan kemarahan.

Barra mengambil sesuatu di lacinya. Menyodorkan ke Kalea.

"Ganti rokmu, sama bajumu sekalian."

Celana dan kaos olahraga Bara.

"Tapi celanamu juga kotor, Bar. Lo aja yang pake aja."

"Perlu gue yang gantiin?"

Kalea cepat-cepat mengambil celana training dari tangan Barra.

"Kaosnya gak usah. Gue bawa sweater tadi," mengembalikan kaosnya pada Barra.

"Ganti disini saja. Gue jagain," ujar Barra, menerima kembali kaosnya.

"Ntar lo ngintip."

"Ck. Sejak kapan gue semesum itu? Lo bukan selera gue."

Kalea mendecis. Tapi memang benar. Meski menyebalkan, tapi sebenarnya Barra perhatian.

"Udah sana jaga. Gue mau ganti."

Bian tak menjawab, tapi langsung berbalik berjalan ke pintu. Berjaga disana.

Sudut bibirnya tertarik tipis. Calon adik ipar yang baik. Ternyata begini rasanya dijagain adik ipar sendiri. Hihi.

Tak mau membuat Barra lama menunggu, Kalea segera mengganti seragamnya dengan sweater dan celana olahraga Barra. Kepanjangan. Karna itu dia lipat bagian bawahnya. Wajar saja. Tingginya saja gak setara dengan Barra.. Pake nyoba-nyoba pake celananya. Untung bukan kaosnya. Mungkin dia sudah tenggelam.

"Barra, udah selesai," teriaknya, memanggil Barra. Dan cowok itu kembali muncul.

"Ganti sera --- woy! Barra!!" pekiknya langsung menutup mata. Tanpa aba-aba Barra melepas seragamnya di depan matanya. Gimana gak syok?

"Pake aba-aba kek.  Mata gue ternoda. Ish," omel Kalea membalikkan badan. Tapi sialnya dia malah menabrak meja. Gadis itu meringis, mengumpat reflek. Dia berjalan keluar sembari meraba-raba.

Melihatnya Barra menarik sudut bibirnya tipis. Dasar cewek aneh. Padahal dia bisa saja membuka matanya. Gak bakal kelihatan juga. Posisinya saja di belakang.

.

.

Kalea kembali ke kantin untuk mengurus uang baksonya. Sekaligus kerugian akibat memecahkan piring dan gelas tadi.

"Loh, siapa yang bayarin, bu?" kernyitnya. Ibu kantin bilang, sudah ada yang membayarnya.

"Tapi, temenmu."

Gita maksudnya? Tapi, Gita saja uang sakunya suka pas-pasan. Kayaknya kalau Gita gak mungkin. Tapi, temannya siapa lagi? Dia gak begitu dekat dengan orang lain.

"Gue juga gak tahu, Kal. Gue tadi aja bingung gimana bayarinnya. Orang lo tiba-tiba pergi sama Barra."

"Lah, terus Siapa? Lo gak lihat, ada yang bayarin gitu?"

Gita mengangkat bahu. "Gue bayarnya terakhir. Soalnya gue juga bingung, Kal. Pas gue nyoba tanya bu kantin, katanya udah ada yang bayarin. Gue lega deh. Secara, lo tahu sendiri, uang saku gue pas-pasan. Hehe."

Kalea mendesah pelan. Kerutan dahinya masih tercetak.

"Udahlah, Kal. Udah ada yang bayarin juga. Ntar kalau orangnya butuh duit, pasti bakal nongol."

"Iya sih. Tapi gue gak enak."

"Enakin aja. Santai."

Kalea mencibir. Santai apanya?

"Wow. Lo pake celana siapa tuh? Panjang amat."

"Punya Barra."

Gita melotot. "What?! Barra?" serunya, menutup mulutnya.

"Ngaku lo, Kal. Lo pasti ada apa-apa kan sama Barra? Gue curiga nih."

Kalea merolingkan netranya. "Apa sih. Cuma tetangga doang. Wajar dong sesama tetangga saling tolong menolong."

"Tapi ini gak wajar, Kal. Barra suka elo kan?"

"Ngarang."

"Serius, Kal. Barra pasti suka el--"

"Hay. Lo yang namanya Kalea?"

Obrolan dua sahabat itu terhenti. Gita bahkan belum jadi mengeluarkan huruf 'o'nya. Makin terperangah  saat tahu siapa yang memotong obrolan mereka.

"Aku Kimberly. Panggil aja Kim. Siswi baru sebelas IPA satu." Mengulurkan tangannya dengan senyum manis.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jerat Cinta Elbarra   Minuman Aneh

    "Ganti disini saja," tukas Barra saat dirinya mendekat. Pria itu tampak sibuk dengan ponselnya. Sampai melihat ke arahnya saja enggan. Namun, reaksi yang didapatnya justru lain. Barra menatapnya tajam dengan mata menyipit. Dengkusan lirih terdengar. Tanpa kata, pria itu beranjak dari duduknya, mengabaikan Kalea yang bingung dengan reaksi pria tersebut. "Emang jelek banget, ya?" Kalea bermonolog. Menatap penampilannya sendiri. Ya wajar saja. Dia ambil baju termurah disini. Apa yang diharapkan? "Coba ini." Barra menyodorkan gaun ke arahnya. Gaun cantik yang sebenarnya dia incar. Tapi urung karna harganya di luar nalar. "Tapi ini mahal, pak. Gaji saya kurang." "Memang apa urusannya dengan gajimu? Cepat, dicoba sana." Kalea menerimanya ragu. Dia masih bimbang. Tapi akhirnya dia kembali ke ruang ganti. Dengan membawa gaun tersebut. Menatap nanar bandrol harga di gaun itu. Lima puluh juta. Yang

  • Jerat Cinta Elbarra   Pergi Berdua

    "Aaahh ... Akhirnya selesai juga," Kalea merentangkan tangan, memutar pelan lehernya ke kanan dan kiri. Lantas mematikan laptop dan bersiap-siap untuk pulang. Kalea mengerling pandang ke ruangan sebelah. Belum ada tanda-tanda si boss bakal keluar. Ck. Jangan bilang pemuda itu lembur. Alamat dia juga gagal pulang. Ya kali, dia nekat pulang sementara bossnya saja belum pulang. Huft. Padahal dia sudah beres. Tinggal pulang.Kalea meletakkan dagunya di meja kerja. Membuat bibirnya manyun otomatis. Beberapa saat kemudian ponselnya berdering. Tanda ada panggilan masuk. Dengan malas gadis itu merogoh tasnya. Mengambil ponsel tanpa merubah posisinya. Bahkan menekan tombol hijau dengan gerakan malas. "Halo ...""Jangan langsung pulang."Gadis itu tersentak. Sontak menegakkan tubuhnya, mengangkat wajah. Menjauhkan ponsel demi memastikan siapa yang memanggil. Padahal dia tahu, itu suara Barra."Eoh?" ucapnya, cengo."Tunggu seben

  • Jerat Cinta Elbarra   Pindah Kerja

    Pagi-pagi, Kalea geger melihat mejanya sudah dihuni karyawan lain."Loh, Miko! ini kan meja gue?" seru Kalea. Menatap tak terima. "Itu kan kemarin, Kal. Sekarang meja gue.""Lah, mana bisa?! Tiba-tiba pindah aja," sungut Kalea, kesal.Hana dan Kevin yang melihat keributan itu hanya menonton. Mereka juga gak tahu tiba-tiba Miko pindah ke meja Kalea. Dia bilang dia dapat perintah."Lah, gue juga cuma disuruh, Kal. Mana mungkin gue main pindah-pindah aja. Yang ada kena SP gue ntar," Miko membela diri.Iya juga sih. Tapi, tetep aja kan ...."Terus, gue dimana, dong?" Kalea mencebik. Harusnya gak tiba-tiba gini dong. Ditambah, perintahnya sepihak. Dia aja gak tahu apa-apa."Ya gue gak tahu, Kal." Miko menggendikkan bahu santai. Kembali merapikan meja yang beralih jadi miliknya itu."Emang yang nyuruh siapa, Mik?" Kevin menimpali. Tatapannya menyelidik. Siapa tahu Miko bohong."Pak Lino. Tadi pagi gue ditelpon beliau, disur

  • Jerat Cinta Elbarra   Gengsi

    Netranya tertuju pada pemuda yang sedang menikmati makanannya. Nampak lahap, padahal makanan warteg. Kalea memang tadi keluar, membelikan pakaian untuk Barra, sekalian makan. Dia tidak punya uang banyak. Untuk dirinya saja dia berhemat. Jadi dia membelikan seadanya. Bukan pakaian bermerek seperti yang biasa dipakai Barra. Yang penting nyaman dan bisa buat ganti. Mau dipakai syukur, enggak ya terserah. Ah, untung saja masih ada toko yang buka. Coba kalau enggak?Tapi lihatlah, pakaian itu pas di tubuh Barra. Kaos pendek putih oversize  sesiku, menampakkan otot lengan yang kekar. Ternyata waktu berlalu. Barra yang dikenalnya dulu, jauh berbeda. Termasuk proporsi badannya. Pria ini, pasti banyak berolahraga. Otot liatnya tercetak bagus. Urat tangannya menyembul dengan jemari panjang lentiknya. Tangannya saja kalah lentik dengan milik Barra. Tangannya mungil, agak bantet dikit. Tanpa sengaja Kalea melebarkan jemarinya. Membandingkan dengan milik Barra.  Pandangannya j

  • Jerat Cinta Elbarra   Nginap

    Karna kesalnya, Kalea tidak mempedulikan bagaimana Barra pulang. Dia bahkan mengabaikan Barra yang ternyata mengikuti di belakangnya. Salah sendiri, gak peka. Seharusnya kalau memang gak tahu jalan, kan bisa bangunin dia. Bukan malah diem-diem menyesatkan. Terus, harusnya dia juga inisiatif nelpon siapa kek. Emangnya supirnya tadi gak merasa kehilangan bossnya? Aneh banget. Jadi cowok kok gak ada inisiatif.Untung saja bajunya sudah kering. Tapi tetap saja dingin. Apalagi malam setelah hujan begini. Ditambah, capek setelah bekerja. Tapi demi bisa cepat pulang, dia terpaksa menahan semuanya. Masuk ke gang, Kalea sedikit melirik ke belakang. Masih ada derap langkah Barra. Berarti Barra mengikutinya? Kalea mengela napas. Baiklah. Dia coba lihat sampai depan kosan. Apa Barra masih akan mengikutinya? Daripada dia salah omong lagi, dan dikatai kepedean.Ternyata benar. Barra masih di belakangnya. Kalea mengela napas. Mengurungkan niat membuka pagar.Ga

  • Jerat Cinta Elbarra   Kebablasan

    Halte.Kalea memandang lekat akun rekening online-nya. Sejumlah nominal tertulis disana. Helaan napas berat terembus. Memejamkan mata, seraya menyandarkan kepala di dinding halte. "Gue benci lo! gara-gara lo mama gue terbuang! Gara-gara mama lo hidup gue hancur! Papa jadi miskin gara-gara milih mama sialan lo itu!"Kalimat Alfin terus terngiang-ngiang di kepalanya. Dia bisa merasakan betapa hancurnya Alfin. Korban keegoisan para orang tua. Sama seperti dirinya. Hanya saja, dirinya memilih menjauh dari sumber rasa sakit. Sedangkan Alfin, mungkin dia tidak ada pilihan. Sehingga dia merasa hanya dirinyalah yang menjadi korban disana. Jujur, dia ingin menyahut sama kerasnya dengan teriakan Alfin padanya. Bahwa bukan cuma Alfin yang terluka. Tapi dia juga! Bukan cuma Alfin yang kehilangan fasilitas hidup nyamannya. Tapi dia juga! Bukan cuma Alfin yang sengsara!Tapi ... Dia tak tega. Alfin jauh lebih muda darinya.Masih dalam posisi yang sama. Kal

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status