Share

Awal Kehancuran

Ringisan pelan keluar dari bibir Safira ketika merasakan kepalanya seakan dihantam sesuatu yang berat saat hendak membuka mata. Safira memijat pelipisnya, berharap dapat meredakan nyeri yang mengganggu.

Setelah merasa lebih baik, Safira kembali membuka kelopak matanya. Alangkah terkejutnya Safira saat menyadari dirinya tertidur di dada bidang seseorang. Ia langsung mengangkat kepalanya tanpa mempedulikan rasa nyeri yang menghantam.

Pekikan Safira membuat lelaki yang berbaring di sampingnya terjaga. Agam segera bangkit dan membuka mulutnya seakan hendak menjelaskan sesuatu. Tetapi, bibirnya kembali mengatup karena tamparan keras yang Safira layangkan padanya.

Safira menatap Agam dengan tatapan nyalang. “Apa yang kamu lakuin ke aku?!” semburnya murka. Safira mengeratkan cengkeramannya pada selimut yang membalut tubuhnya yang benar-benar polos tanpa sehelai benang pun.

Meskipun otaknya tidak bisa di ajak bekerja sama mengingat apa yang terjadi semalam, Safira tahu bahwa dirinya dan lelaki di sampingnya ini telah melakukan sesuatu yang melampaui batas.

Denyut nyeri di area pribadinya juga keadaan mereka yang begitu polos tanpa busana sudah menjelaskan semuanya. Dan mungkin lebih baik ia tidak perlu mengingat apa yang terjadi, karena mengingat kegiatan itu hanya membuatnya ingin mengakhiri hidupnya sendiri.

Agam menyentuh sudut bibirnya mengeluarkan darah segar akibat tamparan Safira sembari berdecih sinis. “Aku hanya mengikuti keinginan kamu. Bukannya kamu yang menyerahkan diri?”

Kedua mata Safira semakin berapi-api, hasratnya untuk mencekik lelaki di sampingnya semakin menggebu-gebu. “Brengsek! Kamu manfaatin aku semalam!”

Rasanya Safira ingin menjerit dan menangis sekencang-kencangnya. Tetapi, ia berusaha menahan semuanya karena tidak ingin terlihat menyedihkan di hadapan Agam.

Dari semua lelaki yang ada di dunia ini, Safira tidak pernah membayangkan dirinya akan berakhir satu ranjang dalam keadaan menjijikan seperti ini dengan kakak tirinya sendiri.

Safira sangat membenci Agam karena sejak awal kedatangan lelaki itu sudah menjadi petaka baginya. Agam merenggut segalanya, perhatian ayahnya, bahkan sekarang kesuciannya.

Agam menyeringai lebar. “Hei, semalam kamu yang kirim pesan minta jemput di kamar ini, ‘kan? Kenapa sekarang kamu malah menyalahkan aku? Kalau bukan karena permintaan kamu, kita nggak akan berakhir di sini sekarang.”

“Aku nggak pernah kirim pe—”

Safira langsung mengatupkan bibirnya ketika menyadari sesuatu. Dirinya dijebak, bukan oleh Agam melainkan Emily, sahabatnya sendiri. Emily yang merencanakan semuanya.

Safira tidak sadarkan diri setelah menenggak minuman pemberian Emily. Ingatannya berakhir sampai di sana. Satu-satunya orang yang berpotensi menjebak dirinya adalah Emily.

Dadanya mendadak perih. Nuraninya menolak percaya pada asumsinya sendiri. Emily adalah sahabat dekatnya, bahkan mereka telah saling mengenal cukup lama. Kesalahan apa yang ia lakukan hingga membuat Emily setega ini?

Nasi sudah menjadi bubur. Bukan hanya kekasihnya yang membodohi dirinya, tetapi sahabatnya juga. Safira tidak lagi mempedulikan kehadiran Agam. Ia lebih fokus pada pemikirannya sendiri, berusaha mencari di manakah letak kesalahannya, tetapi otaknya terlalu buntu.

“Kalau kamu ingin aku tanggungjawab, aku akan melakukannya. Nanti aku akan mengatakan semuanya ke Ayah, kamu nggak perlu khawa—”

PLAK!

Safira kembali menampar wajah Agam sekuat tenaga. Napas terengah dengan wajah merah padam menahan amarah yang menyesakkan dadanya. “Tutup mulut kamu!” sentaknya sembari menunjuk wajah lelaki itu.

“Aku nggak akan segan-segan buat perhitungan sama kamu kalau Ayah sampai tahu kejadian ini! Nggak ada yang boleh tahu, siapa pun itu!” peringat Safira penuh penekanan.

Safira segera beranjak dari ranjang dan mulai memunguti pakaiannya dengan selimut yang masih membelit tubuhnya. Ia harus bergegas pergi dari tempat ini sebelum ada orang lain yang memergoki mereka.

Tanpa sengaja netra hazelnya menangkap bercak kemerahan yang menempel di seprei. Bercak darah yang semakin memperkuat bukti nyata kejadian semalam. Safira menghela napas pelan, berusaha menguatkan diri.

Setelah berhasil mendapatkan pakaiannya yang beruntungnya masih layak pakai, Safira langsung menggunakannya dengan gerakan cepat, tanpa peduli jika itu membuat persediaannya semakin nyeri.

“Kamu mau ke mana?” tanya Agam yang masih memasang ekspresi santai tanpa merasa bersalah sedikitpun. Lelaki itu malah kembali berbaring dan menggunakan lengannya sebagai bantalan.

“Pergi sejauh mungkin dari sini!” jawab Safira sembari membanting pintu kamar itu.

Semua orang yang berlalu lalang di sekitar sana spontan mengalihkan atensi ke arah Safira dengan tatapan penuh tanya. Safira langsung melengos pergi tanpa mempedulikan kehadiran mereka. Beruntungnya, tidak ada satu pun orang yang ia kenal di antara mereka.

Tungkai jenjang Safira melangkah cepat menjauh dari sana sembari menatap awas ke sekelilingnya. Ia berusaha keras agar langkahnya terlihat normal padahal denyut nyeri masih bersarang di pangkal pahanya.

Safira merogoh sling bagnya dan mengambil ponselnya. Jemarinya langsung menari-nari di atas benda pipih itu, ingin membuktikan perkataan Agam tadi. Sayangnya, dirinya tidak menemukan pesan yang Emily kirimkan pada Agam.

Tetapi, ada sebuah pesan yang belum terbaca dari lelaki itu. Menunjukkan jika Agam tidak menipunya. Mungkin Emily sengaja menghapus pesan itu setelah terkirim untuk menghilangkan jejak.

“Kenapa nggak diangkat sih?!” gerutu Safira yang sedang berusaha menghubungi Emily. Ia perlu mengklarifikasi alasan sahabatnya itu menjebaknya.

Kemarahan dan kekecewaannya bercampur menjadi satu. Luka yang Safira dapatkan dari pengkhianatan keji kekasihnya belum benar-benar pulih dan di saat yang bersamaan, sahabat baiknya juga menusuknya dari belakang.

Pengkhianatan yang Emily lakukan sama seperti menabur garam di atas luka menganga di dadanya yang masih basah. Perih di hatinya semakin bertambah karena yang menodainya adalah kakak tirinya sendiri.

“Kenapa lo tega ngelakuin ini ke gue, Em?” gumam Safira lirih.

Usai berhasil menemukan keberadaan mobilnya, Safira langsung memasuki kendaraan beroda empat itu dan menangis sejadi-jadinya di dalam sana. Ia sudah tidak kuat lagi menahan sesak yang mencengkeram sanubarinya.

Safira terisak sembari memeluk tubuhnya sendiri. Ia tidak peduli isakannya akan terdengar hingga keluar mobil. Safira ingin berteriak se kencang-kencangnya, tetapi untuk saat ini dirinya hanya bisa menangis.

Setelah puas menumpahkan air mata, Safira segera menyalakan mesin mobilnya dan mengemudikan kendaraan menjauh dari club malam itu. Padahal ia hanya ingin mencari pengalihan semalam, sayangnya itu malah membuatnya mendapat masalah baru yang jauh lebih gila.

Di tengah perjalanan, tak sengaja Safira melihat seseorang yang mirip dengan Emily di trotoar. Wanita itu langsung menggiring mobilnya ke pinggir jalan, kemudian mematikan mesinnya.

Tanpa membuang waktu lagi, Safira segera keluar dari mobilnya dan berjalan cepat mendekati Emily. Matanya yang membengkak juga riasan yang berantakan menyebabkan Safira menjadi pusat perhatian orang-orang di sekitarnya.

Tetapi, belum sempat Safira sampai di sana, Emily sudah lebih dulu menyadari kehadirannya. Wajah Emily langsung pucat pasi ketika menyadari kehadiran Safira. Persekian detik kemudian, Emily berlari secepat kilat seperti orang ketakutan.

“Tunggu, Em! Kita harus bicara!” teriak Safira sembari berusaha mengejar Emily yang sepertinya tidak memiliki niat sedikitpun untuk menjelaskan apa yang gadis itu lakukan padanya.

Reaksi Emily semakin memperkuat bukti jika gadis itu memang sengaja melakukan ini. Tetapi, Safira tidak akan menyerah sebelum mendapat jawaban langsung dari mulut sahabatnya sendiri.

Tubuh Safira yang remuk redam ditambah denyut nyeri di pangkal pahanya membuat wanita itu semakin sulit mengejar Emily. Deru napasnya mulai tersenggal dan belum ada tanda-tanda Emily akan berhenti.

“Kenapa lo ngelakuin ini, Em?” tanya Safira ketika berhasil menarik lengan Emily dan membuat sahabatnya itu berhenti berlari.

Emily tersenyum sinis. “Karena emang lo pantas dapetin itu!” Tanpa belas kasihan sedikitpun Emily mendorong tubuh Safira dan segera menyeberangi jalan raya setengah berlari.

Safira yang merasa belum puas atas jawaban Emily kembali mengejar gadis itu tanpa memperhatikan sekitarnya. Nyaris saja sebuah mobil yang melaju kencang menghantamnya jika tubuhnya tidak ditarik oleh seseorang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status