Mag-log inKepalaku berdenyut nyeri saat aku membuka mata.
Rasanya seperti ada palu kecil yang memukul pelipisku. Aku mengerjapkan mata, mencoba mengusir kabur yang menghalangi pandangan. Langit-langit di atasku bukan langit-langit kamar kosku yang sederhana, melainkan panel kulit mewah berwarna krem. "Sudah bangun, Putri Tidur?" Suara itu rendah dan berat. Aku menoleh cepat ke samping. Leherku kaku. Ethan duduk di kursi seberangku. Ia sudah berganti pakaian. Kemeja kusut bekas di pantai tadi sudah hilang, digantikan oleh turtleneck hitam yang membalut tubuh atletisnya. Di tangannya ada gelas kopi, dan di pangkuannya sebuah tablet menyala. Ia terlihat segar, seolah perjalanan panjang ini tidak menyentuhnya sama sekali. "Jam berapa ini?" tanyaku, suaraku parau. "Jam delapan malam," jawabnya tanpa melihat jam. "Waktu Los Angeles." Los Angeles. Kata itu menghantam kesadaranku. Aku duduk tegak, mengabaikan pusing di kepalaku, dan menatap ke luar jendela pesawat. Di bawah sana, hamparan cahaya membentang tanpa ujung. Itu bukan cahaya kuning hangat yang biasa kulihat di Bali. Itu adalah cahaya putih dan neon yang tajam, dingin, dan asing. Kota ini terlihat seperti raksasa yang tidak pernah tidur, penuh dengan gedung-gedung tinggi yang menusuk langit malam. Indah, tapi mengerikan. "Kita... kita benar-benar di Amerika?" kataku, masih tidak percaya. "Selamat datang di City of Angels," kata Ethan. Ia meletakkan tabletnya, menatapku dengan senyum miring. "Meskipun menurutku, kota ini lebih banyak dihuni iblis daripada malaikat." Pesawat mulai merendah. Roda mendarat menyentuh aspal dengan guncangan halus. Kami tidak berhenti di terminal umum. Pesawat hitam ini meluncur menuju hanggar pribadi yang terpisah jauh dari kerumunan, area eksklusif yang dijaga ketat. Begitu mesin mati, pintu pesawat terbuka. Udara yang masuk terasa kering. Bau aspal dan bahan bakar menyengat hidung. Dingin. "Ayo," Ethan berdiri. Aku mengikutinya turun dengan langkah ragu. Di bawah tangga, sebuah mobil limousine hitam sudah menunggu. Jordan (asisten Ethan) sudah berdiri di sana, membukakan pintu tanpa ekspresi. "Selamat datang kembali, Tuan," sapa Jordan. Ia melirikku sekilas. "Nona." Aku masuk ke dalam mobil. Interiornya gelap dan mewah, dibatasi kaca pemisah antara penumpang dan sopir. Ethan duduk di sampingku. Mobil bergerak keluar dari bandara, membelah jalanan kota yang padat. Aku menempelkan wajahku ke kaca jendela. Orang-orang di luar sana berjalan cepat, wajah mereka tertunduk, sibuk dengan dunia masing-masing. Semuanya terasa agresif. "Kenapa?" tanya Ethan tiba-tiba. Aku menoleh. "Kenapa apa?" "Kenapa kau diam saja? Biasanya sandera akan menangis atau memohon dipulangkan." "Apakah memohon akan mengubah keputusanmu?" Ethan menatapku. "Tidak." "Maka aku tidak akan membuang tenagaku," jawabku ketus, meski tanganku gemetar di pangkuan. Ethan menatapku lama. Ada kilatan ketertarikan di matanya. "Kau cerdas, Chintya. Itu bagus. Kau butuh kecerdasan itu untuk bertahan di sini." "Bertahan dari apa? Dari kamu?" "Dari duniaku," koreksinya. Ia menunjuk ke luar jendela. "Di Bali, musuhmu hanya preman kampung. Di sini? Musuhmu memakai setelan jas mahal, tersenyum ramah, lalu menikammu saat kau lengah." Mobil berbelok masuk ke kawasan elit, menanjak menuju bukit. Kami berhenti di depan sebuah gedung penthouse yang menjulang tinggi sendirian. Gerbang baja terbuka. Mobil masuk ke basement yang dipenuhi koleksi mobil mewah. Ferrari, Lamborghini, Rolls Royce. Seperti showroom pribadi. "Turun," perintah Ethan. Kami menuju lift pribadi. Ethan menempelkan telapak tangannya di panel pemindai. BIP. Pintu terbuka. Kami meluncur naik dengan kecepatan tinggi yang membuat telingaku berdengung. Saat pintu lift terbuka di lantai paling atas, aku ternganga. Ruangan itu luas dan sunyi. Dindingnya terbuat dari kaca setinggi langit-langit, menampilkan panorama kota 360 derajat. Lantainya marmer hitam yang dingin. Tapi yang membuatku merinding bukan kemewahannya. Adalah kesunyiannya. Tempat ini tinggi sekali. Jauh dari suara klakson, jauh dari suara manusia. Kami berada di atas awan, terisolasi total dari dunia bawah. Ethan berjalan masuk, melempar kunci mobil ke meja. Ia berbalik, merentangkan tangannya sedikit. "Ini rumahku," katanya. Aku berjalan mendekati dinding kaca. Menempelkan telapak tanganku di sana. Dingin. Di bawah sana, mobil-mobil terlihat seperti semut. Aku berada di puncak dunia. Tapi aku belum pernah merasa sekecil ini. Ethan berjalan mendekat, berdiri tepat di belakangku. Aku bisa melihat pantulan kami berdua di kaca. Dia tinggi, gelap, mendominasi. Aku kecil, kusut, dan terjebak. "Lihat ke bawah," bisiknya tepat di telingaku. Napasnya panas. "Kau lihat seberapa tinggi kita?" Aku menelan ludah. "Ini penjara." "Ini istana," koreksinya. Tangan besarnya menyentuh bahuku, meremasnya pelan. "Dan mulai sekarang... kau adalah burung cantik yang tinggal di sangkarku. Tidak ada yang bisa mendengarmu berteriak dari ketinggian ini."Langkah kakiku terdengar berat saat memasuki ruang tengah penthouse. Dinding kaca raksasa menampilkan langit Los Angeles yang cerah menyakitkan mata. Cahaya matahari membanjiri ruangan, memantul di lantai marmer hitam dan perabotan logam yang dingin. Semuanya di sini berteriak tentang kekuasaan. Tapi bagiku, kemewahan ini terasa seperti peti mati yang dilapisi emas. Di ujung meja makan granit yang panjang, Ethan duduk. Ia membaca koran fisik sambil menyesap espresso. Punggungnya tegak, auranya tenang namun mendominasi, seolah ia adalah raja di atas papan catur raksasa ini. Saat aku mendekat, ia melipat korannya perlahan. Tatapan gelapnya menelusuri tubuhku, berhenti di gaun merah marun yang kupakai—gaun pemberiannya. "Merah," gumamnya. "Warna darah. Cocok untukmu." "Aku merasa seperti memakai kulit orang lain," jawabku dingin, berdiri kaku di sisi meja. "Duduk, Chintya. Makananmu dingin." Aku menarik kursi di seberangnya. Di piringku tersaji sarapan mewah, tapi perutk
Ethan meninggalkanku sendirian di kamar mandi. Ia keluar begitu saja setelah menyampaikan tawaran gilanya, seolah-olah ia baru saja membicarakan cuaca, bukan nasib hidupku. Punggungnya yang lebar dan basah menghilang di balik pintu kaca buram, meninggalkanku yang masih gemetar di bawah guyuran air shower yang mulai terasa dingin. Enam bulan. Aku memeluk tubuhku sendiri. Kontrak macam apa itu? Mencintainya atau dipulangkan? Itu bukan pilihan. Itu ancaman yang dibungkus dengan pita emas. Aku mematikan keran air dengan kasar. Marah. Aku marah pada situasi ini, tapi lebih marah pada tubuhku sendiri yang sempat bereaksi saat ia menyentuhku tadi. Aku keluar dari bilik shower, meraih handuk tebal berwarna putih yang tergantung di rak pemanas. Handuk itu hangat dan beraroma sandalwood—aroma Ethan. Aku melilitkannya ke tubuhku, lalu melangkah keluar menuju kamar tidur. Kamar itu kosong. Ethan sudah tidak ada. Tapi di sisi lain ruangan, sebuah pintu ganda yang terbuat dari
Cahaya matahari pagi yang menusuk melalui dinding kaca memaksaku membuka mata. Aku mengerjap, merasakan tubuhku pegal luar biasa. Kasur ini empuk, terlalu empuk, seperti menelan tubuhku hidup-hidup. Seprei sutra terasa dingin di kulit. Aku hendak bergerak, tapi tubuhku kaku seketika. Di sampingku, hanya berjarak beberapa sentimeter, seorang pria sedang tidur telentang. Ethan. Napasnya teratur. Satu lengannya terlempar santai di atas bantal, tepat di atas kepalaku. Bahkan dalam tidurnya, ia terlihat mendominasi ranjang ini, seolah memberi tanda bahwa akulah yang menumpang di wilayah kekuasaannya. Aku menahan napas, takut membangunkannya. Tidur di sebelahnya terasa seperti tidur di samping singa yang kenyang. Perlahan, aku menggeser tubuhku menjauh. Aku turun dari ranjang raksasa itu tanpa suara, lalu menyelinap menuju pintu kaca buram di sudut ruangan. Kamar mandi. Aku butuh air dingin. Aku butuh mencuci otakku agar sadar bahwa mimpi buruk ini nyata. Kama
Kepalaku berdenyut nyeri saat aku membuka mata.Rasanya seperti ada palu kecil yang memukul pelipisku. Aku mengerjapkan mata, mencoba mengusir kabur yang menghalangi pandangan. Langit-langit di atasku bukan langit-langit kamar kosku yang sederhana, melainkan panel kulit mewah berwarna krem."Sudah bangun, Putri Tidur?"Suara itu rendah dan berat.Aku menoleh cepat ke samping. Leherku kaku.Ethan duduk di kursi seberangku. Ia sudah berganti pakaian. Kemeja kusut bekas di pantai tadi sudah hilang, digantikan oleh turtleneck hitam yang membalut tubuh atletisnya. Di tangannya ada gelas kopi, dan di pangkuannya sebuah tablet menyala. Ia terlihat segar, seolah perjalanan panjang ini tidak menyentuhnya sama sekali."Jam berapa ini?" tanyaku, suaraku parau."Jam delapan malam," jawabnya tanpa melihat jam. "Waktu Los Angeles."Los Angeles.Kata itu menghantam kesadaranku. Aku duduk tegak, mengabaikan pusing di kepalaku, dan menatap ke luar jendela pesawat.Di bawah sana, hamparan ca
Interior pesawat ini tidak terlihat seperti alat transportasi. Ini terlihat seperti penthouse mewah yang dicabut paksa dari fondasinya dan dilemparkan ke langit. Lantainya dilapisi karpet tebal yang meredam suara langkah kaki. Kursi-kursi kulit berwarna krem ditata berhadapan, dipisahkan oleh meja kayu mahoni yang mengkilap. Pencahayaan di dalam temaram, hangat, dan intim. Sangat kontras dengan kegelapan dan kepanikan yang baru saja kutinggalkan di luar pintu. Seorang pramugari wanita berseragam rapi muncul dari balik tirai. Wajahnya cantik, namun ekspresinya kosong dan profesional. Ia tidak tampak terkejut melihatku yang berantakan, basah kuyup, dan penuh pasir. "Selamat datang, Tuan Mahendra," sapanya dengan nada datar. "Rute ke Los Angeles sudah siap. Izin lepas landas sudah disetujui menara kontrol." Los Angeles. Kata itu kembali menghantamku. Aku berbalik cepat, menatap Ethan yang baru saja mengunci pintu pesawat dengan sistem elektronik. Lampu indikator di pint
Vonis itu jatuh begitu saja dari bibirnya, seringan debu, namun menghantamku sekeras batu. Aku menahan napas, berharap telingaku salah dengar, berharap ini hanya lelucon buruk dari pria kaya yang bosan. Namun, ekspresi datar di wajah Ethan menghancurkan harapan itu seketika. Dia tidak sedang bercanda. Rasa takut meledak di dadaku. "Buka pintunya!" teriakku histeris. Tanganku menyambar tuas pintu mobil, menariknya kasar berkali-kali. Terkunci. Logam dingin itu tidak bergeming. Aku memukul kaca jendela dengan kepalan tanganku, berharap ada retakan, ada jalan untuk keluar. "Turunkan aku! Aku tidak mau ikut! Kau tidak berhak membawaku!" Ethan sama sekali tidak menggubris amukanku. Ia tetap tenang, fokus pada jalanan aspal yang melesat di bawah kami. Satu tangannya memutar kemudi dengan santai saat mobil berbelok tajam meninggalkan jalan raya utama, masuk ke jalan akses yang gelap gulita. "Diam, Chintya," katanya. Suaranya tidak keras, tapi otoritas di dalamnya mem







