Share

Bab 3 - Migrasi

Author: Dacep
last update Last Updated: 2025-12-09 12:21:21

Interior pesawat ini tidak terlihat seperti alat transportasi. Ini terlihat seperti penthouse mewah yang dicabut paksa dari fondasinya dan dilemparkan ke langit.

​Lantainya dilapisi karpet tebal yang meredam suara langkah kaki. Kursi-kursi kulit berwarna krem ditata berhadapan, dipisahkan oleh meja kayu mahoni yang mengkilap. Pencahayaan di dalam temaram, hangat, dan intim. Sangat kontras dengan kegelapan dan kepanikan yang baru saja kutinggalkan di luar pintu.

​Seorang pramugari wanita berseragam rapi muncul dari balik tirai. Wajahnya cantik, namun ekspresinya kosong dan profesional. Ia tidak tampak terkejut melihatku yang berantakan, basah kuyup, dan penuh pasir.

​"Selamat datang, Tuan Mahendra," sapanya dengan nada datar. "Rute ke Los Angeles sudah siap. Izin lepas landas sudah disetujui menara kontrol."

​Los Angeles.

​Kata itu kembali menghantamku.

​Aku berbalik cepat, menatap Ethan yang baru saja mengunci pintu pesawat dengan sistem elektronik. Lampu indikator di pintu berubah dari hijau menjadi merah. Terkunci.

​"Aku tidak mau ke Amerika!" teriakku. Suaraku menggema di kabin yang sunyi. "Buka pintunya! Aku mau turun sekarang juga!"

​Aku berlari menuju pintu kokpit, berniat menggedornya, berharap pilot di dalam sana masih memiliki hati nurani untuk membatalkan penerbangan ini.

​Namun, sebelum tanganku menyentuh gagang pintu, sebuah lengan kekar melingkar di pinggangku.

​Ethan menangkapku dengan mudah, seolah aku seringan kapas. Ia menarikku mundur, menjauh dari kokpit, lalu menghempaskanku ke salah satu kursi kulit yang empuk.

​"Duduk," perintahnya. Suaranya tidak lagi santai. Ada geraman rendah di sana.

​Aku mencoba bangkit, tapi Ethan menahan bahuku dengan satu tangan. Ia mencondongkan tubuhnya, mengurungku di kursi itu. Wajah kami hanya berjarak beberapa sentimeter. Aku bisa melihat kilatan amarah yang dingin di mata hitamnya.

​"Berhenti bertingkah histeris, Chintya," desisnya. "Kau pikir pilot itu akan mendengarkanmu? Dia bekerja untukku. Pramugari itu bekerja untukku. Bahkan oksigen yang kau hirup di kabin ini... adalah milikku."

​"Kau gila..." bisikku, air mata frustrasi menetes. "Kenapa kau lakukan ini? Apa salahku padamu?"

​Ethan tidak menjawab. Ia menegakkan tubuh, lalu melepaskan jas hitamnya yang sedikit basah. Ia melemparkannya ke kursi kosong, lalu mulai melonggarkan dasinya. Gerakannya lambat dan metodis, seolah ia sedang melepas lelah setelah seharian bekerja di kantor, bukan setelah menculik orang.

​Ia berjalan ke arah minibar di sudut ruangan. Bunyi es batu beradu dengan gelas kristal terdengar nyaring di keheningan yang mencekam.

​Cairan berwarna amber dituangkan. Aroma alkohol yang tajam menguar di udara.

​Ethan kembali dengan gelas di tangan. Ia menyodorkannya padaku.

​"Minum," perintahnya.

​Aku memalingkan wajah. "Aku tidak mau."

​"Minum," ulangnya, nadanya lebih keras. "Kau menggigil. Bibirmu biru. Dan kau butuh sesuatu untuk menenangkan sarafmu sebelum kita menembus awan."

​"Aku tidak butuh alkohol, aku butuh pulang!"

​Ethan meletakkan gelas itu di meja dengan kasar hingga isinya sedikit tumpah. Ia mencengkeram daguku, memaksaku menatapnya lagi.

​"Dengar baik-baik," katanya, setiap kata ditekan dengan ancaman. "Bram sedang dalam perjalanan ke rumah ibumu sekarang. Jika kau ada di sana, dia akan menyeretmu ke ranjangnya malam ini juga. Apa itu yang kau mau? Menjadi pelunas utang?"

​Aku terdiam. Bayangan wajah Bram yang menjijikkan melintas di kepalaku.

​"Aku memberimu jalan keluar," lanjut Ethan, melepaskan daguku. "Memang bukan jalan yang kau pilih. Tapi setidaknya di sini, kau bernilai lebih dari sekadar tiga miliar rupiah."

​"Bernilai sebagai apa?" tanyaku getir. "Mainanmu?"

​Ethan menatapku lamat-lamat. Tatapannya turun ke bibirku, lalu kembali ke mataku.

​"Anggap saja... investasi jangka panjang."

​Pesawat mulai bergerak. Getaran mesin semakin kencang. Tubuhku terdorong ke belakang menempel sandaran kursi saat pesawat memacu kecepatan di landasan pacu.

​Aku melihat ke luar jendela kecil. Lampu-lampu landasan berkelebat cepat, menjadi garis-garis neon yang kabur. Lalu... sensasi melayang itu datang. Roda pesawat meninggalkan aspal.

​Hidung pesawat menukik naik. Kami lepas landas.

​Lampu-lampu kota Bali terlihat di bawah sana. Ribuan titik cahaya kuning yang indah. Di salah satu titik itu ada rumahku. Ada ibuku yang mungkin sedang tidur, tidak tahu bahwa putrinya baru saja dinyatakan mati dan dibawa terbang menembus langit.

​Semuanya mengecil. Menjauh. Lalu tertutup awan hitam.

​Aku merasa hampa.

​Ethan duduk di kursi seberangku, menyilangkan kaki panjangnya dengan santai. Ia mengambil gelas whiskey-nya, menyesapnya pelan sambil terus mengawasiku.

​"Tidurlah," katanya. "Perjalanan kita lima belas jam. Simpan tenagamu."

​"Untuk apa?"

​Ethan tersenyum tipis. Senyum yang penuh rahasia.

​"Untuk bertahan hidup di Los Angeles," jawabnya. "Karena begitu kaki kita menyentuh tanah Amerika... kau akan menyadari bahwa Bram hanyalah penjahat kecil dibandingkan musuh-musuh yang menungguku di sana."

​Ia meletakkan gelasnya, lalu mencondongkan tubuh sedikit ke depan.

​"Dan sebagai milikku... kau sekarang menjadi target mereka juga."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jerat Cinta Mafia Hyper   Bab 7 - Tempat Untuk Pulang

    ​Langkah kakiku terdengar berat saat memasuki ruang tengah penthouse. ​Dinding kaca raksasa menampilkan langit Los Angeles yang cerah menyakitkan mata. Cahaya matahari membanjiri ruangan, memantul di lantai marmer hitam dan perabotan logam yang dingin. Semuanya di sini berteriak tentang kekuasaan. ​Tapi bagiku, kemewahan ini terasa seperti peti mati yang dilapisi emas. ​Di ujung meja makan granit yang panjang, Ethan duduk. Ia membaca koran fisik sambil menyesap espresso. Punggungnya tegak, auranya tenang namun mendominasi, seolah ia adalah raja di atas papan catur raksasa ini. ​Saat aku mendekat, ia melipat korannya perlahan. Tatapan gelapnya menelusuri tubuhku, berhenti di gaun merah marun yang kupakai—gaun pemberiannya. ​"Merah," gumamnya. "Warna darah. Cocok untukmu." ​"Aku merasa seperti memakai kulit orang lain," jawabku dingin, berdiri kaku di sisi meja. ​"Duduk, Chintya. Makananmu dingin." ​Aku menarik kursi di seberangnya. Di piringku tersaji sarapan mewah, tapi perutk

  • Jerat Cinta Mafia Hyper   Bab 6 - Boneka dalam Lemari Kaca

    ​Ethan meninggalkanku sendirian di kamar mandi. ​Ia keluar begitu saja setelah menyampaikan tawaran gilanya, seolah-olah ia baru saja membicarakan cuaca, bukan nasib hidupku. Punggungnya yang lebar dan basah menghilang di balik pintu kaca buram, meninggalkanku yang masih gemetar di bawah guyuran air shower yang mulai terasa dingin. ​Enam bulan. ​Aku memeluk tubuhku sendiri. Kontrak macam apa itu? Mencintainya atau dipulangkan? Itu bukan pilihan. Itu ancaman yang dibungkus dengan pita emas. ​Aku mematikan keran air dengan kasar. Marah. Aku marah pada situasi ini, tapi lebih marah pada tubuhku sendiri yang sempat bereaksi saat ia menyentuhku tadi. ​Aku keluar dari bilik shower, meraih handuk tebal berwarna putih yang tergantung di rak pemanas. Handuk itu hangat dan beraroma sandalwood—aroma Ethan. Aku melilitkannya ke tubuhku, lalu melangkah keluar menuju kamar tidur. ​Kamar itu kosong. Ethan sudah tidak ada. ​Tapi di sisi lain ruangan, sebuah pintu ganda yang terbuat dari

  • Jerat Cinta Mafia Hyper   Bab 5 - Tawaran sang iblis

    ​Cahaya matahari pagi yang menusuk melalui dinding kaca memaksaku membuka mata. ​Aku mengerjap, merasakan tubuhku pegal luar biasa. Kasur ini empuk, terlalu empuk, seperti menelan tubuhku hidup-hidup. Seprei sutra terasa dingin di kulit. ​Aku hendak bergerak, tapi tubuhku kaku seketika. ​Di sampingku, hanya berjarak beberapa sentimeter, seorang pria sedang tidur telentang. ​Ethan. ​Napasnya teratur. Satu lengannya terlempar santai di atas bantal, tepat di atas kepalaku. Bahkan dalam tidurnya, ia terlihat mendominasi ranjang ini, seolah memberi tanda bahwa akulah yang menumpang di wilayah kekuasaannya. ​Aku menahan napas, takut membangunkannya. Tidur di sebelahnya terasa seperti tidur di samping singa yang kenyang. ​Perlahan, aku menggeser tubuhku menjauh. Aku turun dari ranjang raksasa itu tanpa suara, lalu menyelinap menuju pintu kaca buram di sudut ruangan. ​Kamar mandi. ​Aku butuh air dingin. Aku butuh mencuci otakku agar sadar bahwa mimpi buruk ini nyata. ​Kama

  • Jerat Cinta Mafia Hyper   Bab 4 - City Of Angels

    ​Kepalaku berdenyut nyeri saat aku membuka mata.​Rasanya seperti ada palu kecil yang memukul pelipisku. Aku mengerjapkan mata, mencoba mengusir kabur yang menghalangi pandangan. Langit-langit di atasku bukan langit-langit kamar kosku yang sederhana, melainkan panel kulit mewah berwarna krem.​"Sudah bangun, Putri Tidur?"​Suara itu rendah dan berat.​Aku menoleh cepat ke samping. Leherku kaku.​Ethan duduk di kursi seberangku. Ia sudah berganti pakaian. Kemeja kusut bekas di pantai tadi sudah hilang, digantikan oleh turtleneck hitam yang membalut tubuh atletisnya. Di tangannya ada gelas kopi, dan di pangkuannya sebuah tablet menyala. Ia terlihat segar, seolah perjalanan panjang ini tidak menyentuhnya sama sekali.​"Jam berapa ini?" tanyaku, suaraku parau.​"Jam delapan malam," jawabnya tanpa melihat jam. "Waktu Los Angeles."​Los Angeles.​Kata itu menghantam kesadaranku. Aku duduk tegak, mengabaikan pusing di kepalaku, dan menatap ke luar jendela pesawat.​Di bawah sana, hamparan ca

  • Jerat Cinta Mafia Hyper   Bab 3 - Migrasi

    Interior pesawat ini tidak terlihat seperti alat transportasi. Ini terlihat seperti penthouse mewah yang dicabut paksa dari fondasinya dan dilemparkan ke langit. ​Lantainya dilapisi karpet tebal yang meredam suara langkah kaki. Kursi-kursi kulit berwarna krem ditata berhadapan, dipisahkan oleh meja kayu mahoni yang mengkilap. Pencahayaan di dalam temaram, hangat, dan intim. Sangat kontras dengan kegelapan dan kepanikan yang baru saja kutinggalkan di luar pintu. ​Seorang pramugari wanita berseragam rapi muncul dari balik tirai. Wajahnya cantik, namun ekspresinya kosong dan profesional. Ia tidak tampak terkejut melihatku yang berantakan, basah kuyup, dan penuh pasir. ​"Selamat datang, Tuan Mahendra," sapanya dengan nada datar. "Rute ke Los Angeles sudah siap. Izin lepas landas sudah disetujui menara kontrol." ​Los Angeles. ​Kata itu kembali menghantamku. ​Aku berbalik cepat, menatap Ethan yang baru saja mengunci pintu pesawat dengan sistem elektronik. Lampu indikator di pint

  • Jerat Cinta Mafia Hyper   Bab 2 - Takdir yang di renggut

    ​Vonis itu jatuh begitu saja dari bibirnya, seringan debu, namun menghantamku sekeras batu. Aku menahan napas, berharap telingaku salah dengar, berharap ini hanya lelucon buruk dari pria kaya yang bosan. Namun, ekspresi datar di wajah Ethan menghancurkan harapan itu seketika. ​Dia tidak sedang bercanda. ​Rasa takut meledak di dadaku. ​"Buka pintunya!" teriakku histeris. ​Tanganku menyambar tuas pintu mobil, menariknya kasar berkali-kali. Terkunci. Logam dingin itu tidak bergeming. Aku memukul kaca jendela dengan kepalan tanganku, berharap ada retakan, ada jalan untuk keluar. ​"Turunkan aku! Aku tidak mau ikut! Kau tidak berhak membawaku!" ​Ethan sama sekali tidak menggubris amukanku. Ia tetap tenang, fokus pada jalanan aspal yang melesat di bawah kami. Satu tangannya memutar kemudi dengan santai saat mobil berbelok tajam meninggalkan jalan raya utama, masuk ke jalan akses yang gelap gulita. ​"Diam, Chintya," katanya. Suaranya tidak keras, tapi otoritas di dalamnya mem

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status