Beranda / Romansa / Jerat Cinta Suami Posesif / Keributan di luar pagar

Share

Keributan di luar pagar

Penulis: Mama fia
last update Terakhir Diperbarui: 2023-09-13 20:18:42

Tadi malam tamu bulananku datang. Pagi harinya, Mas Andra ijin pergi ke luar kota. Dan di saat itulah, aku benar-benar bisa bebas.

Eits, tunggu dulu!

Yang kumaksud bebas di sini, bukanlah bebas keluar rumah sesuai yang kuinginkan. Bukan!

Bebas yang kumaksud adalah bebas kewajiban di atas ranjang. Selain itu, aku juga bisa leluasa memasak, membuat kue, dan mengacak-acak dapur seperti sekarang. Biarlah aku hanya di dalam rumah, yang penting aku bisa melakukan kegiatan yang kusuka. 

Tak lupa aku juga meminta Rara dan ketiga anaknya datang ke rumah. 

Mas Andra tetaplah Mas Andra yang posesif. Jika dia ke luar kota, dua bodyguard menjagaku di depan rumah. Bahkan di seluruh sudut rumah kami terpasang CCTV. 

Sampai bulan lalu saat ke luar kota, Mas Andra masih belum mengijinkanku beraktifitas di dapur. Namun, aku selalu merengek dan merayunya sampai akhirnya dia mengijinkan.

"Mbak, nanti Bibi saja yang mencuci peralatan masaknya. Mbak Arini jangan terlalu capek. Kalau sakit, nanti bapak marah sama saya." Bi Lastri selalu seperti itu karena dia takut aku kenapa-kenapa.

"Bibi tenang saja, kalau saya capek, saya pasti akan bilang sama Bibi," balasku meyakinkannya.

"Beneran ya, Mbak?" 

"Iya, Bi, saya nggak bohong. Bibi sekarang ngerjain yang lain saja. Minta tolong kalau Arini datang, suruh langsung ke ruang keluarga ya, Bi."

"Baik, Mbak."

Aku membuat kue bolu dengan taburan keju di atasnya. Aku bukan wanita yang pandai memasak atau membuat kue tapi aku ingin bisa. Dengan melihat youtube sebentar, aku yakin akan berhasil. 

Sebelum menikah, aku adalah anak petani kaya raya. Aku putri satu-satunya dan sangat dimanja oleh kedua orang tuaku. Bahkan aku sama sekali tidak diajarkan pekerjaan rumah. Semua dilayani. Hingga kedua orang tuaku meninggal dunia karena kecelakaan saat aku lulus SMP. 

Aku tinggal bersama nenek sampai SMA. Sawah dan rumah terpaksa kujual untuk biaya sekolah, makan dan juga pengobatan nenek yang sakit jantung. Namun setelah lulus, nenek meninggal dunia. 

Akhirnya aku memutuskan untuk pergi bekerja ke kota karena semua harta peninggalan orang tuaku habis tak tersisa, hanya tinggal tabungan beberapa juta. Aku langsung mendapat pekerjaan sebagai SPG dan tinggal di sebuah kos-kosan. Di tempat itulah aku bertemu dengan Rara.

"Mbak, setahu saya kalau bikin kue itu telurnya jangan yang dari kulkas, kadang suka bantet hasilnya. Kalau dari kulkas, dibiarkan dulu sampai nggak dingin." 

Meskipun sudah kuusir, Bi Lastri masih tak mau pergi dari dapur. Bi Lastri selalu memperhatikanku, seperti perintah Mas Andra.

"Kelamaan, Bi. Kalau bantet, besok-besok bikin lagi," balasku.

"Tepung terigunya diayak dulu, Mbak."

"Sama saja, Bi, ini juga baru beli. Nggak usah diayak nggak apa-apa. Pasti jadilah."

Itulah aku, ingin berhasil tapi selalu ngeyel. Alhasil, tentu saja tidak sesuai dengan ekspektasi. 

Aku tertawa melihat hasil kue buatanku, begitu juga dengan Bi Lastri. 

"Mbak Arini dibilangin Bibi nggak percaya. Itu kuenya bantet beneran."

"Nggak apa-apa, Bi. Rasanya tetap enak kok. Cicipin deh, Bi."

Kuberi potongan kue bolu pada Bi Lastri. 

"Iya, Mbak. Meskipun agak keras tapi rasanya tetap enak. Lain kali kalau bikin kue itu harus sabar, Mbak, yang telaten."

"Siap. Bulan depan kita bikin lagi ya, Bi?"

"Besok nggak, Mbak?"

"Nggak ah, Bi. Besok jadwal saya bantuin Bibi masak."

"Mau masak apa, Mbak?"

"Saya ingin lihat Bibi masak ayam panggang."

"Baik, Mbak. Tapi Mbak lihat saja, ya? Saya nggak mau tangan Mbak Arini terluka seperti waktu itu. Saya nggak mau dipecat, Mbak." 

Bi Lastri selalu seperti itu. Aku benar-benar diperlakukan seperti kristal yang harus dijaga dengan hati-hati dan tidak boleh terluka sedikit pun.

"Iya, Bi. Tenang saja."

Aku pun menikmati kue bolu buatanku dengan santai di ruang makan. Bi Lastri membersihkan dapur yang sudah kubuat berantakan.

"Bi, Bibi 'kan sudah lama kerja sama Mas Andra. Mantan istrinya pernah datang ke sini, nggak?" tanyaku penasaran. Entah kenapa tiba-tiba aku ingin tahu tentang mantan istri Mas Andra.

"Sebenarnya sering, Mbak."

"Hah, sering? Kok saya nggak pernah tahu, Bi."

"Kan langsung diusir sama Pak Dadang. Mbak juga selalu di kamar atau di taman belakang, jadi ya nggak tahu."

Pak Dadang adalah sekuriti yang bertugas menjaga rumah Mas Andra, bergantian dengan Pak Hadi.

"Apa nggak pernah diijinkan masuk sama sekali, Bi?" 

"Pernah satu kali."

"Terus?" Aku benar-benar penasaran. 

"Langsung diusir sama bapak."

"Beneran, Bi?"

"Iya, Mbak. Bapak 'kan begitu, kalau sudah benci, nggak akan mau bertemu sama orang itu. Bibi lihat sendiri, Bu Melisa menyembah-nyembah di kaki bapak tapi bapak langung pergi. Terus Pak Dadang disuruh mengusirnya."

"Oh namanya Melisa." 

Aku bahkan baru tahu sekarang kalau nama mantan istri Mas Andra adalah Melisa.

"Lho, Mbak Arini nggak tahu?" Bi Lastri sepertinya heran. 

"Nggak, Bi. Mas Andra nggak pernah cerita. Tapi kasihan juga ya, Bi."

"Jangan bilang kasihan, Mbak. Kita nggak tahu kesalahan apa yang sudah dibuat Bu Melisa waktu mereka masih tinggal bersama. Pak Andra orangnya baik, Mbak, sangat baik. Saya yakin Bu Melisa pasti sudah melakukan kesalahan besar sampai bapak sebenci itu."

"Saya cuma tahu kalau istrinya dulu selingkuh. Apa dulu Mas Andra juga posesif sama Melisa?"

"Nggak sih, Mbak. Bu Melisa sering pergi ke luar sama teman-temannya. Mbak Arini, maaf kalau Bibi menasihati. Menurut saja sama bapak, insyaa Allah bapak posesif karena sangat mencintai Mbak Arini."

Aku mendesah perlahan, tak berniat membalas ucapan Bi Yati. Rara baru saja mengirim pesan kalau dia datang terlambat karena menunggu kedua anaknya pulang sekolah. 

Aku berjalan meninggalkan dapur menuju ruang tamu. Berdiri sambil memandang ke arah luar jendela, merenungi nasihat yang diberikan Bi Lastri. Sampai akhirnya kudengar suara keributan di luar pagar. 

Aku pun berjalan mendekat. Namun, kedua bodyguard Mas Andra menahanku. 

"Maaf, sebaiknya Nyonya masuk saja."

Bi Lastri pun berjalan menghampiriku dengan raut wajah terlihat cemas.

"Ayo, Mbak, nunggu Mbak Raranya di dalam saja," pinta Bi Lastri sembari memegang lenganku.

"Ada apa itu di luar?" tanyaku tanpa menghiraukan ucapan mereka.

"Silakan Nyonya masuk. Ini perintah dari Tuan Andra. Tolong jangan menghalangi tugas kami, Nyonya." 

Salah satu bodyguard yang entah siapa namanya itu kembali memberi peringatan, membuatku berdecak kesal.

"Saya itu nggak menghalangi tugas kamu. Saya hanya ingin tahu, siapa yang teriak-teriak itu!" bentakku tak terima.

Pagar rumah Mas Andra tinggi dan tertutup, membuatku tak bisa melihat siapa yang sudah membuat keributan.

"Nyonya masuk sendiri atau kami paksa!" ancam bodyguard yang satu lagi. Mereka berdua benar-benar menjengkelkan.

"Ayo masuk, Mbak," pinta Bi Lastri dengan tatapan memohon. 

Akhirnya terpaksa aku mengalah dan berjalan meninggalkan kedua orang bodyguard itu dengan kesal.

"Ish, nggak majikan nggak bodyguardnya, sama saja!"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Jerat Cinta Suami Posesif   Telepon dari Dokter Haris 2

    “Kukira Mas sakit sampai-sampai berhubungan dengan seorang dokter.” “Alhamdulillah aku sehat, bahkan sangat sehat. Mau berapa ronde?” tanya Mas Andra sambil menaikturunkan alisnya yang hitam dan tebal itu. Wajahku menghangat mendengar ucapannya yang sepertinya sengaja menggodaku. Aku pun berdecak sebal, menutupi rasa malu. “Ish, Mas ini. Selalu itu yang dibahas. Ya sudah, aku tidur saja. Katanya Mas mau kerja.” “Iya, sayang sekali ada pekerjaan yang harus aku selesaikan. Kalau nggak, aku akan memakanmu dengan lahap.” “Memangnya aku ayam kecap?” Mas Andra hanya tertawa. Lalu berjalan meninggalkan kamar setelah mengecup bibirku singkat. *** Aku mengerjapkan mata, melihat sekelilingku. Mas Andra masih belum masuk kamar. Kulihat jam di dinding sudah melewati angka satu. Apa pekerjaannya sebanyak itu sampai-sampai Mas Andra belum tidur selarut ini? Aku beringsut turun dari ranjang dengan perlahan. Meskipun masih mengantuk, aku paksakan untuk mengambil salah satu buku

  • Jerat Cinta Suami Posesif   Telepon dari Dokter Haris 1

    Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam tapi Mas Andra belum pulang. Ponselku pun sepi tanpa ada satu pesan atau panggilan telepon dari suamiku. Tumben sekali. Sepertinya Mas Andra benar-benar sibuk dengan pekerjaannya. Atau mungkin dia sibuk mencari siapa pengirim pizza? Ah, semoga saja jika Dika pengirimnya, tidak membuat masalah baru. Aku lelah dengan sikap suamiku yang terlalu pencemburu itu. Aku berbaring setelah sholat empat rakaat. Mataku tak bisa terpejam karena memikirkan suamiku. Jika Mas Andra pulang terlambat, biasanya dia pasti memberitahuku terlebih dahulu. Apa dia marah? Kumainkan ponsel mahalku yang sepi, tanpa aplikasi apa pun kecuali aplikasi berlogo gagang telepon berwarna hijau. Bahkan aku sama sekali tidak berniat men-download aplikasi media sosial satu pun. Apalagi yang sekarang lagi viral, yang di sana kita bisa belanja dengan harga sangat murah. Itu semua aku tahu dari Rara, karena dia sekarang juga berjualan melalui aplikasi yang bernama Tok Tok itu.

  • Jerat Cinta Suami Posesif   Kiriman Pizza 2

    Bi Lastri tertawa terpingkal-pingkal, mungkin karena mendengar ucapanku. Memang terus terang saja kalau aku kurang healing, kurang refreshing. Bayangkan saja, dikurung di rumah tanpa boleh pergi ke mana pun, siapa yang akan betah? Bersyukur aku memang tipe orang yang tidak suka keluyuran. Namun meskipun begitu, kadangkala aku juga merasa bosan. Wajar, bukan? “Mbak Arini memang lucu. Pantas saja kalau bapak gemas dan cemburu. Kalau Mbak Arini dibiarkan keluar sendirian tanpa pengawasan, pasti digodain banyak laki-laki, mulai hidung polos sampai hidung belang.”“Sekarang Bibi yang lucu,” balas ku sembari tersenyum lebar. “Sudah, Bi, saya mau ke kamar. Semoga saja pizza itu benar-benar dari Mas Andra,” pamitku untuk yang kedua kalinya. “Semoga saja, Mbak.”Aku melanjutkan langkahku menuju kamar. Baru saja sampai di depan pintu, tampak Mas Andra keluar dari ruang kerjanya lalu berjalan ke arahku. Dia tersenyum manis sekali. “Habis makan ya, Sayang?” tanya Mas Andra setelah berdiri tep

  • Jerat Cinta Suami Posesif   Kiriman Pizza 1

    Aku tersenyum melihat foto yang dikirim Mas Andra. Dia duduk berhadapan dengan Dika, di salah satu restoran Jepang ternama. Ternyata Mas Andra menyetujui permintaanku.Kukirim pesan ucapan terima kasih dengan emoticon love yang entah berapa jumlahnya, mungkin dua puluhan. Dan Mas Andra membalasnya dengan emoticon ketawa. Ish, menyebalkan! Untung cinta.Aku berjalan keluar kamar lalu menuju ruang makan. Perutku mulai meronta, protes minta diisi. Pantas saja, sekarang sudah pukul sebelas siang dan aku memang belum makan apa pun dari pagi, hanya segelas susu setelah sholat subuh. Hampir setiap hari aku tidur lagi setelah sholat subuh, karena lelah semalaman melayani Mas Andra. Ingin menolak tapi aku juga tidak ingin dia nanti selingkuh. Apalagi godaan wanita lain di luar sana selalu mengintai bagi pria tampan dan mapan seperti suamiku itu."Bi Lastri masak apa?" tanyaku pada Bi Lastri yang baru saja menyajikan masakannya di atas meja. Baunya sangat menggugah selera."Saya masak capcay sa

  • Jerat Cinta Suami Posesif   Membujuk Mas Andra 2

    Mas Andra beranjak berdiri lalu duduk di sampingku. Dia lalu menepuk pahanya, sebagai isyarat agar aku duduk di pangkuannya. Karena penasaran, aku pun menuruti permintaannya."Bukan anakku, Sayang, tapi anak dia dengan suaminya. Setelah kami bercerai, dia menikah dengan selingkuhannya. Satu tahun kemudian, nggak sengaja aku bertemu dan perutnya sudah buncit."Aku merasa lega mendengar jawabannya. Setidaknya Mas Andra tidak ada urusan lagi dengan Melisa. "Lalu?" Aku penasaran dengan kelanjutan cerita tentang Melisa dan anaknya. Mas Andra pasti punya alasan yang kuat kenapa dia membantu mantan istrinya."Lalu apa?" Mas Andra bertanya sambil terkekeh. Aku tahu dia tak ingin lagi membahas tentang mantan istrinya. Namun, aku tak mau menyerah begitu saja."Lalu kenapa Mas memberikan sembako dan uang. Apa alasannya, Mas? Bukankah dia punya suami? Kalau orang yang nggak tahu, pasti dikira Mas masih cinta sama dia. Aku juga nggak menyalahkan Melisa jika dia sampai berpikiran seperti itu."Ma

  • Jerat Cinta Suami Posesif   Membujuk Mas Andra 1

    "Anu, Pak ... tadi di pasar ponsel saya jatuh, terus tiba-tiba saja waktu saya cari, Bu Melisa datang mengembalikan ponsel saya. Sumpah demi Allah, Pak, saya tidak memberi nomornya Mbak Arini pada Bu Melisa. Bapak harus percaya sama saya."Akhirnya Bi Lastri menceritakan apa yang dialaminya sewaktu di pasar dengan terbata-bata. Aku yang sudah mendengarnya, berusaha membela Bi Lastri. Aku yakin Bi Lastri tidak bersalah."Mas, aku yakin Bi Lastri tidak berbohong. Ayolah, Mas sendiri tahu bagaimana pengabdian Bibi selama ini. Apalagi Mas juga sudah mengenal Bibi selama sepuluh tahun."Mas Andra menghela napas panjang kemudian menghembuskannya dengan perlahan. Dia lalu mengecup puncak kepalaku sebelum meninggalkan kami. Sepertinya Mas Andra masuk ke dalam ruang kerjanya. Dia hanya mendengarkan tanpa membalas penjelasan Bi Lastri."Tenang ya, Bi, Insya Allah Mas Andra percaya sama Bibi. Sepertinya dia sudah nggak marah, nanti aku akan mencoba membujuknya lagi. Aku juga nggak mau kalau Bibi

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status